Anda di halaman 1dari 3

Garis Waktu GAM

 Tahap pertama

Kecenderungan sistem sentralistik pemerintahan Soeharto, bersama dengan keluhan lain mendorong
tokoh masyarakat Aceh Hasan di Tiro untuk membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4
Desember 1976 dan mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Ancaman utama yang dianggap
melatarbelakangi adalah terhadap praktik agama Islam konservatif masyarakat Aceh, budaya
pemerintah Indonesia yang dianggap "neo-kolonial", dan meningkatnya jumlah migran dari pulau Jawa
ke provinsi Aceh. Distribusi pendapatan yang tidak adil dari sumber daya alam substansial Aceh juga
menjadi bahan perdebatan. Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap Mobil Oil
Indonesia yang merupakan pemegang saham PT Arun NGL, perusahaan yang mengoperasikan ladang
gas Arun.

Pada tahap ini, jumlah pasukan yang dimobilisasi oleh GAM yang sangat terbatas. Meskipun telah ada
ketidakpuasan cukup besar di Aceh dan simpati yang mungkin pada tujuan GAM, hal ini tidak
mengundang partisipasi aktif massa.[5] Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, hanya 70 orang yang
bergabung dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari kabupaten Pidie, terutama dari desa di Tiro
sendiri, yang bergabung karena loyalitas pribadi kepada keluarga di Tiro, sementara yang lain karena
kekecewaan terhadap pemerintah pusat.

Banyak pemimpin GAM adalah pemuda dan profesional berpendidikan tinggi yang merupakan anggota
kelas ekonomi atas dan menengah masyarakat Aceh.[6] Kabinet pertama GAM, yang dibentuk oleh di
Tiro di Aceh antara tahun 1976 dan 1979, terdiri dari tokoh pemberontakan Darul Islam berikut ini:

Teungku Hasan di Tiro:Wali Negara, Menteri Pertahanan, dan Panglima Agung


Dr Muchtar Hasbi: Wakil Presiden, Menteri Dalam Negeri
Teungku Muhamad Usman Lampoih Awe: Menteri Keuangan
Teungku Ilyas Leube: Menteri Kehakiman
Dr Husaini M. Hasan: Menteri Pendidikan dan Informasi
Dr Zaini Abdullah: Menteri Kesehatan
Dr Zubir Mahmud: Menteri Sosial
Dr Asnawi Ali: Menteri Pekerjaan Umum dan Industri
Amir Ishak: Menteri Komunikasi
Amir Mahmud Rasyid: Menteri Perdagangan
Malik Mahmud: Menteri Luar Negeri

Para prajurit kelas menengah dan serdadu yang bergabung dalam GAM sendiri telah berjuang pada
tahun 1953-1959 dalam pemberontakan Darul Islam.[5] Banyak dari mereka adalah laki-laki tua yang
tetap setia kepada mantan gubernur militer Aceh dan pemimpin pemberontakan Darul Islam di Aceh,
Daud Beureueh.[8] Orang yang paling menonjol dari kelompok ini adalah Teungku Ilyas Leube, seorang
ulama terkenal yang pernah menjadi pemimpin pemberontakan Darul Islam.[8] Beberapa orang anggota
Darul Islam juga kemungkinan terkait dengan di Tiro melalui keluarga atau ikatan regional, namun
kesetiaan mereka terutama adalah untuk Beureueh.[9] Orang-orang inilah yang menyediakan
pengetahuan militer, pertempuran, pengetahuan lokal dan keterampilan logistik yang tidak memiliki
pemimpin muda GAM yang berpendidikan.
Pada akhir tahun 1979, tindakan penekanan yang dilakukan militer Indonesia telah menghancurkan
GAM, pemimpin-pemimpin GAM berakhir di pengasingan, dipenjara, atau dibunuh; pengikutnya tercerai
berai, melarikan diri dan bersembunyi. Para pemimpinnya seperti Di Tiro, Zaini Abdullah (menteri
kesehatan GAM), Malik Mahmud (menteri luar negeri GAM), dan Dr Husaini M. Hasan (menteri
pendidikan GAM) telah melarikan diri ke luar negeri dan kabinet GAM yang asli berhenti berfungsi.

 Tahap kedua

Pada tahun 1985, di Tiro mendapat dukungan Libya untuk GAM, dengan mengambil keuntungan dari
kebijakan Muammar Gaddafi yang mendukung pemberontakan nasionalis melalui "Mathaba Melawan
Imperialisme, Rasisme, Zionisme dan Fasisme". Tidak jelas apakah Libya kemudian telah mendanai GAM,
tapi yang pasti disediakan adalah tempat perlindungan di mana para serdadu GAM bisa menerima
pelatihan militer yang sangat dibutuhkan. Sejumlah pejuang GAM yang dilatih oleh Libya selama periode
1986-1989 atau 1990 menceritakan pengakuan yang berbeda-beda. Perekrut GAM mengklaim bahwa
jumlah mereka ada sekitar 1.000 sampai 2.000 sedangkan laporan pers yang ditulis berdasar laporan
militer Indonesia menyatakan bahwa mereka berjumlah 600-800. Di antara para pemimpin GAM yang
bergabung selama fase ini adalah Sofyan Dawood (yang kemudian menjadi komandan GAM Pasè, Aceh
Utara) dan Ishak Daud (yang menjadi juru bicara GAM di Peureulak, Aceh Timur).

Insiden di tahap kedua dimulai pada tahun 1989 setelah kembalinya peserta pelatihan GAM dari Libya.
Operasi yang dilakukan GAM antara lain operasi merampok senjata, serangan terhadap polisi dan pos
militer, pembakaran dan pembunuhan yang ditargetkan kepada polisi dan personel militer, informan
pemerintah dan tokoh-tokoh yang pro-Republik Indonesia.

Meskipun gagal mendapatkan dukungan yang luas, tindakan kelompok GAM yang lebih agresif ini
membuat pemerintah Indonesia untuk memberlakukan tindakan represif. Periode antara tahun 1989
dan 1998 kemudian menjadi dikenal sebagai era Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh ketika militer
Indonesia meningkatkan operasi kontra-pemberontakan di Aceh. Langkah ini, meskipun secara taktik
berhasil menghancurkan kekuatan gerilya GAM, telah mengakibatkan korban di kalangan penduduk sipil
lokal di Aceh. Karena merasa terasing dari Republik Indonesia setelah operasi militer tersebut, penduduk
sipil Aceh kemudian memberi dukungan dan membantu GAM membangun kembali organisasinya ketika
militer Indonesia hampir seluruhnya ditarik dari Aceh atas perintah presiden Habibie pada akhir era
1998 setelah kejatuhan Soeharto. Komandan penting GAM telah entah dibunuh (komandan GAM Pasè
Yusuf Ali dan panglima senior GAM Keuchik Umar), ditangkap (Ligadinsyah) atau lari (Robert, Arjuna dan
Ahmad Kandang).
 Tahap ketiga

Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang tidak efektif karena jatuhnya
Soeharto memberikan keuntungan bagi Gerakan Aceh Merdeka dan mengakibatkan pemberontakan
tahap kedua, kali ini dengan dukungan yang besar dari masyarakat Aceh. Pada tahun 1999 penarikan
pasukan diumumkan, namun situasi keamanan yang memburuk di Aceh kemudian menyebabkan
pengiriman ulang lebih banyak tentara. Jumlah tentara diyakini telah meningkat menjadi sekitar 15.000
selama masa jabatan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001 -2004) pada pertengahan 2002. GAM
mampu menguasai 70 persen pedesaan di seluruh Aceh.

Selama fase ini, ada dua periode penghentian konflik singkat: yaitu "Jeda Kemanusiaan" tahun 2000 dan
"Cessation of Hostilities Agreement" (COHA) ("Kesepakatan Penghentian Permusuhan") yang hanya
berlangsung antara Desember 2002 ketika ditandatangani dan berakhir pada Mei 2003 ketika
pemerintah Indonesia menyatakan "darurat militer" di Aceh dan mengumumkan bahwa ingin
menghancurkan GAM sekali dan untuk selamanya.

Dalam istirahat dari penggunaan cara-cara militer untuk mencapai kemerdekaan, GAM bergeser posisi
mendukung penyelenggaraan referendum. Dalam demonstrasi pro-referendum 8 November 1999 di
Banda Aceh, GAM memberikan dukungan dengan menyediakan transportasi pada para pengunjuk rasa
dari daerah pedesaan ke ibukota provinsi. Pada tanggal 21 Juli 2002, GAM juga mengeluarkan Deklarasi
Stavanger setelah pertemuan "Worldwide Achehnese Representatives Meeting" di Stavanger, Norwegia.
Dalam deklarasi tersebut, GAM menyatakan bahwa "Negara Aceh mempraktekkan sistem demokrasi."
Impuls hak-hak demokratis dan hak asasi manusia dalam GAM ini ini dilihat sebagai akibat dari upaya
kelompok berbasis perkotaan di Aceh yang mempromosikan nilai-nilai tersebut karena lingkungan yang
lebih bebas dan lebih terbuka setelah jatuhnya rezim otoriter Soeharto.

Memburuknya kondisi keamanan sipil di Aceh menyebabkan tindakan pengamanan keras diluncurkan
pada tahun 2001 dan 2002. Pemerintah Megawati akhirnya pada tahun 2003 meluncurkan operasi
militer untuk mengakhiri konflik dengan GAM untuk selamanya dan keadaan darurat dinyatakan di
Provinsi Aceh. Pada bulan November 2003 darurat militer diperpanjang lagi selama enam bulan karena
konflik belum terselesaikan. Menurut laporan Human Rights Watch, militer Indonesia kembali
melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi ini seperti operasi sebelumnya, dengan lebih
dari 100.000 orang mengungsi di tujuh bulan pertama darurat militer dan pembunuhan di luar hukum
yang umum. Konflik ini masih berlangsung ketika tiba-tiba bencana Tsunami bulan Desember 2004
memporakporandakan provinsi Aceh dan membekukan konflik yang terjadi di tengah bencana alam
terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut.

Anda mungkin juga menyukai