Anda di halaman 1dari 8

Farhan Al Hafiz

{ 200906012
A. Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

Aceh merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang mempunyai ciri khas yang berbeda dari
daerah yang lain. Aceh mendapatkan keistimewaan dan kekhususan dari pemerintah pusat yang
biasa disebut otonomi khusus. Untuk memperoleh keistimewaan dan kekhususan tersebut Aceh
melewati konflik berkepanjangan hingga terjadi pertumpahan darah.

Aceh dapat dikatagorikan sebagai wilayah yang tidak lepas dari konflik. Setelah kemerdekaan
Indonesia, konflik antara Aceh dan Pemerintah Pusat (Indonesia) pertama kali terjadi pada saat
gerakan Darul Islam (DI/TII) pimpinan Tgk. Daud Beureueh di proklamirkan pada 1953.
Pemberontakan ini dipicu oleh kebijakan pemerintah pusat yang memasukkan Aceh ke dalam
Provinsi Sumatera Utara, dan sekaligus dihapusnya hak istimewa bagi rakyat Aceh untuk
menjalankan Syari’at Islam dalam menjalankan kehidupan masyarakat dan pemerintahan.
Kebijakan ini dianggap sebagai bentuk pengingkaran Jakarta terhadap sumbangsih rakyat Aceh
dalam perang kemerdekaan, sehingga mendorong munculnya gerakan perlawanan.
Gerakan nasionalis Aceh yang dipelopori oleh Hasan Tiro tersebut tidak muncul secara tiba-
tiba pada tahun 1976 atau tahun 1980-an. Akar penyebabnya adalah persoalan ekonomi dan
politik, tetapi keduanya berkombinasi dengan aspirasi, ideologi, kekecewaan, ambisi, serta
kepentingan. Eksploitasi ekonomi dan politik bukan hanya terjadi pada masa Orde Baru,
tetapi sudah dimulai sejak Belanda mengintegrasikan kesultanan Aceh ke dalam lingkungan
politik nasional yang berpusat di Batavia. Kondisi ini berlangsung secara terus-menerus
kecuali sekitar 5 tahun pada masa revolusi setelah Indonesia merdeka. Namun menjadi
intensif kembali pada masa pemerintahan Soeharto, tepatnya ketika modal asing banyak
mendapatkan keuntungan dari sumber daya alam Aceh.
Salah satu faktor pemicu konflik adalah adanya ketidaksepahaman antara Aceh dan
pemerintah pusat. Dalam sejarah hubungan pemerintah pusat dengan Aceh, pemerintah pusat
pernah mengeluarkan kebijakan peleburan provinsi Aceh ke dalam provinsi Sumatera Utara
sehingga menimbulkan kekecewaan masyarakat Aceh. Kondisi tersebut mendorong tokoh
masyarakat Aceh untuk bereaksi keras terhadap kebijakan pemerintah pusat, sehingga
timbullah pemberontakan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
Dalam konteks gerakan perlawanan rakyat Aceh (GAM) yang diproklamirkan oleh Hasan Tiro tersebut,
pihak militer pemerintah Indonesia (TNI) tidak tinggal diam, mereka melakukan upaya tekanan-tekanan
tertentu terhadap pengikut GAM. Dengan melihat gencarnya tekanan TNI kepada pengikut GAM
tersebut, maka di awal tahun 1979 Hasan Tiro mencoba meyakinkan pengikutnya dengan cara meminta
pengertian dari wakilnya Muchtar Hasbi untuk diizinkan pergi ke luar negeri dengan alasan untuk
mencari bantuan persenjataan serta dukungan internasional. Semula Muchtar Hasbi berat untuk
mengizinkan kepergian Hasan Tiro, apalagi situasi dan kondisi para pejuang GAM sedang menghadapi
tekanan TNI yang sudah tentu sangat dibutuhkan keberadaan pemimpin mereka di Aceh.

Tetapi, setelah meyakinkan Muchtar Hasbi bahwa kepergiannya ke luar negeri tidak akan lebih dari tiga
bulan dan akan kembali dengan membawa sejumlah alat persenjataan, maka akhirnya Hasan Tiro
diizinkan untuk meninggalkan Aceh.
Pada tanggal 29 Maret 1979 dengan menggunakan perahu nelayan, Hasan Tiro bersama beberapa
pengikutnya resmi meninggalkan Aceh. Menyeberangi Selat Malaka menuju Malaysia , dan kemudian
melanjutkan perjalanan hingga akhirnya menuju ke Swedia dan menetap di sana hingga terwujudnya
perdamaian di Aceh. Sementara janjinya untuk kembali dalam tempo tiga bulan dengan membawa
bantuan persenjataan tidak pernah terealisasi.
B. Imajinasi Negara Islam ke Imajinasi Etno-Nasionalis.

Proklamasi kemerdekaan Aceh ini menandai hubungan yang


semakin memburuk di antara Indonesia dan Aceh. Suharto,
Presiden RI berikutnya yang mengambil alih kekuasaan dari
tangan Presiden Sukarno, kemudian malah mengirimkan puluhan
ribu tentara untuk menumpas pemberontakan GAM serta
menangkapi mau pun membunuh aktifis politik dan pejuang
GAM. Akibatnya, periode ini, terutama antara tahun 1990-1998
adalah periode dengan catatan pelanggaran hak asasi paling
buruk yang pernah terjadi dalam sejarah konflik Indonesia-Aceh.
Dengan begitu, alih-alih mampu mengeliminasi kekuatan GAM,
operasi militer yang dijalankan pemerintahan Suharto malah
menghasilkan sebaliknya. GAM yang semula kurang berhasil
mendapatkan dukungan rakyat – dengan operasi yang
menimbulkan banyak korban rakyat sipil ini – justru kemudian
mendapatkan simpati yang besar dari rakyat Aceh.
Dalam perspektif teologis orang semacam Beureueh, Negara dan Islam, adalah dua hal yang tak terpisahkan, sebab
menurutnya ‘politik adalah sebahagian dari agama yang kami anut’ (Geulanggang, 1956: 46). Jika sebelumnya dia
melihat Belanda dan ulee balang yang pro Belanda, secara teologis adalah “Yang lain” atau “other” yang
mencegah identitas orang Aceh, maka kemudian pemerintahan Indonesia yang berdasarkan Pancasila, kebangsaan
ini lah “Other” yang baru atau musuh baru yang menghalangi hasratnya membangun Ad Daulatul Islamiyah di
Aceh atau lebih luas lagi di seluruh Indonesia. Dalam konteks Negara dalam perspektif teologis semacam ini, tentu
saja Beureueh atau ulama yang lain berada dalam posisi amat penting. Menghalangi proses pembentukan politik
Islam Aceh berarti sekaligus mengganggu peran dan posisi ulama, sebagaimana yang kemudian terbukti dialami
Beureueh lewat peminggiran peran dan posisi politiknya.

Tentu saja, lahirnya wacana baru tentang Negara Aceh harus dipahami sebagai hasil dari kulminasi kekecewaan
terhadap nasionalisme Indonesia. Pemberontakan Darul Islam yang dipimpin Abu Beureueh di mana Tiro juga ikut
terlibat adalah awal dari pertentangan ideologi-politik antara Aceh dan Indonesia. Puncaknya adalah pada masa
pemerintahan Orde Baru yang mengeksplorasi sumber daya alam Aceh secara besar-besaran tapi urung
memperhatikan kesejahteraan masyarakatnya.
Menurut Tiro, ratusan tahun sebelum Indonesia terbentuk, Aceh telah menjadi
sebuah entitas politik sendiri, yang bukan saja besar dan makmur, tetapi juga
diakui dunia internasional. Misalnya, tujuh tahun sebelum invasi pertama
Belanda tahun 1873, Larouse Grand Dictionaries Universelle telah
menggambarkan bahwa Acheh-Sumatera adalah suatu bangsa yang dominan di
Indie. Pengakuan akan keberadaan Negara Acheh juga terlihat di dalam sebuah
traktat (perjanjian internasional) antara Sultan Acheh dengan King James 1 of
Britain yang antara lain mengatakan ‘harus ada suatu perdamaian abadi,
persahabatan dan aliansi pertahanan di antara Negara-negara berkuasa dan
subjek-subjek para pihak yang terikat perjanjian tingkat tinggi, untuk tidak
memberikan bantuan apa pun kepada musuh dari masing-masing pihak’. Selain
itu hubungan baik juga dibangun dengan USA, Portugal, Perancis, Kerajaan
Belanda dan Turki. Dari penjelasan sejarah Aceh ini maka Tiro menyimpulkan
bahwa Acheh jauh lebih dulu ada ketimbang RI, yakni satu bangsa
bentukan/palsu (a fabricated nation) yang tak jelas asal-usulnya
Argumentasi Farhan

Argumentasi saya mengenai Elit politik Hasan Tiro sendiri adalah Pro akan tetapi ada beberapa hal
juga yang membuat saya kontra terhadap beliau.
Yang membuat saya setuju atau pro terhadap beliau karena beliau seorang elit Politik yang sangat
membantu sekaligus mendukung Aceh untuk menjadi salah satu provinsi yang mendapatkan hak
otonomi khusus walaupun harus melalui beberapa konflik yang berkepanjangan. Ditambah lagi
dengan gerakan nasionalis aceh yang dipelopori hasan Tiro ini tidak muncul begitu saja akan tetapi
ada landasannya atau ada sebabnya yaitu persoalan ekonomi dan politik, rasa kekecewaan, serta
modal asing yang mendapatkan keuntungan kala itu dari sumber daya alam Aceh pada masa
Soeharto. Oleh karena itu laa kenapa saya setuju dengan beliau dalam menyuarakan aspirasi
masyarakat aceh dengan sebuah gerakan nasionalis aceh merdeka yang berangkat dari rasa kecewa
dan tidak dihargainya wilayah Aceh.
Tetapi disatu sisi saya kontra juga terhadap beliau yang mana, seperti di ketahui Hasan Tiro sendiri
dahulunya pernah terlibat dengan gerakan separatisme yaitu DI/TII atau gerakan darul Islam di Aceh
Yang saat itu dipimpin Daud beureuh walau tidak terlibat begitu aktif. Maka tidak heran jika gerakan
Aceh merdeka yang dipelopori beliau pada tahun 1976 atau tahun 1980-an bersifat lebih represif dan
bahkan sampai terjadinya kekerasan, serta beliau dalam mempelopori gerakan Aceh merdeka didasari
dengan masalah pribadi yang mana dulunya Hasan Tiro sangat menolak konsep negara kesatuan
republik Indonesia kala itu. Oleh karena ini jugalah saya merasa tidak setuju atau kontra dengan
beliau dalam menyuarakan aspirasi masyarakat aceh tersebut.

Anda mungkin juga menyukai