PRODI : D3 RMIK/1A
NIM : 30518010
LATAR BELAKANG
Daerah operasi militer yang dikenal sebagai DOM ACEH secara luas
mayoritas masyarakatnya beragama islam yang sangat konservatif dan
lebih dipraktikkan. Hal tersebut tentunya sangat berbeda dengan
penerapan islam sebelumnya yang sangat moderat disebagian wilayah
indonesia terutama di wilayah aceh. Perbedaan budaya dan penerapan
agama Islam antara Aceh dan banyak daerah lain di Indonesia ini menjadi
gambaran sebab konflik yang paling jelas. Selain itu, kebijakan-
kebijakan sekuler dalam administrasi Orde baru oleh pemerintahan
Presiden Soeharto (1965-1998) jarang diketahui oleh sebagian besar
wilayah di Aceh, di mana banyak tokoh Aceh membenci kebijakan
pemerintahan Orde Baru pusat yang mempromosikan satu 'budaya
Indonesia. Selanjutnya, lokasi provinsi Aceh di ujung Barat Indonesia
banyak sekali menimbulkan sentimen yang meluas di provinsi Aceh bahwa
para pemimpin di Jakarta yang masih belum mengerti masalah yang
dimiliki Aceh tersebut dan tidak bersimpati pada kebutuhan masyarakat
Aceh dan adat istiadat di Aceh yang berbeda beda, dan tidak dapat
perhatian khusus dari pemerintahan indonesia.
Awal mula terjadinya GAM (Gerakan Aceh Merdeka) atau lebih dikenal
dengan kasus DOM aceh (Daerah Operasi Militer)
Pada tahap ini, jumlah pasukan yang dimobilisasi oleh GAM yang sangat
terbatas. Meskipun telah ada ketidakpuasan cukup besar di Aceh dan
simpati yang mungkin pada tujuan GAM, hal ini tidak mengundang
partisipasi aktif massa. Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, hanya 70
orang yang bergabung dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari
kabupaten Pidie, terutama dari desa di Tiro sendiri, yang bergabung karena
loyalitas pribadi kepada keluarga di Tiro, sementara yang lain karena
kekecewaan terhadap pemerintah pusat.
Para prajurit kelas menengah dan serdadu yang bergabung dalam GAM
sendiri telah berjuang pada tahun 1953-1959 dalam pemberontakan Darul
Islam. Banyak dari mereka adalah laki-laki tua yang tetap setia kepada
mantan gubernur militer Aceh dan pemimpin pemberontakan Darul Islam di
Aceh, Daud Beureueh. Orang yang paling menonjol dari kelompok ini
adalah Teungku Ilyas Leube, seorang ulama terkenal yang pernah menjadi
pemimpin pemberontakan Darul Islam. Beberapa orang anggota Darul
Islam juga kemungkinan terkait dengan di Tiro melalui keluarga atau ikatan
regional, namun kesetiaan mereka terutama adalah untuk Beureueh.
Orang-orang inilah yang menyediakan pengetahuan militer, pertempuran,
pengetahuan lokal dan keterampilan logistik yang tidak memiliki pemimpin
muda GAM yang berpendidikan.
Pada tahun 1985, di Tiro mendapat dukungan Libya untuk GAM, dengan
mengambil keuntungan dari kebijakan Muammar Gaddafi yang mendukung
pemberontakan nasionalis Melalui mathaba melawan kebikan negara,
melawan rasis, melawan zionis dan melawan ideologi. tidak jelas apakah
Libya kemudian telah mendanai GAM, tapi yang pasti disediakan adalah
tempat perlindungan di mana para serdadu GAM bisa menerima pelatihan
militer yang sangat dibutuhkan.Sejumlah pejuang GAM yang dilatih oleh
Libya selama periode 1986-1989 atau 1990 menceritakan pengakuan yang
berbeda-beda. Perekrut GAM mengklaim bahwa jumlah mereka ada sekitar
1.000 sampai 2.000 sedangkan laporan pers yang ditulis berdasar laporan
militer Indonesia menyatakan bahwa mereka berjumlah 600-800. Di antara
para pemimpin GAM yang bergabung selama fase ini adalah Sofyan
Dawood (yang kemudian menjadi komandan GAM Pasè, Aceh Utara)
dan Ishak Daud (yang menjadi juru bicara GAM di Peureulak, Aceh Timur).
Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang
tidak efektif karena jatuhnya Soeharto memberikan keuntungan
bagi Gerakan Aceh Merdeka dan mengakibatkan pemberontakan tahap
kedua, kali ini dengan dukungan yang besar dari masyarakat Aceh. Pada
tahun 1999 penarikan pasukan diumumkan, namun situasi keamanan yang
memburuk di Aceh kemudian menyebabkan pengiriman ulang lebih banyak
tentara. Jumlah tentara diyakini telah meningkat menjadi sekitar 15.000
selama masa jabatan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001 -2004) pada
pertengahan 2002. GAM mampu menguasai 70 persen pedesaan di
seluruh Aceh. Selama fase ini, ada dua periode penghentian konflik
singkat: yaitu "Jeda Kemanusiaan" tahun 2000 dan "Cessation of Hostilities
Agreement" (COHA) ("Kesepakatan Penghentian Permusuhan") yang
hanya berlangsung antara Desember 2002 ketika ditandatangani dan
berakhir pada Mei 2003 ketika pemerintah Indonesia menyatakan "darurat
militer" di Aceh dan mengumumkan bahwa ingin menghancurkan GAM
sekali dan untuk selamanya. Dalam istirahat dari penggunaan cara-cara
militer untuk mencapai kemerdekaan, GAM bergeser posisi mendukung
penyelenggaraan referendum. Dalam demonstrasi pro-referendum 8
November 1999 di Banda Aceh, GAM memberikan dukungan dengan
menyediakan transportasi pada para pengunjuk rasa dari daerah pedesaan
ke ibukota provinsi. Pada tanggal 21 Juli 2002, GAM juga
mengeluarkan Deklarasi Stavanger setelah pertemuan "Worldwide
Achehnese Representatives Meeting" di Stavanger, Norwegia. Dalam
deklarasi tersebut, GAM menyatakan bahwa "Negara Aceh mempraktikkan
sistem demokrasi. Impuls hak-hak demokratis dan hak asasi manusia
dalam GAM ini ini dilihat sebagai akibat dari upaya kelompok berbasis
perkotaan di Aceh yang mempromosikan nilai-nilai tersebut karena
lingkungan yang lebih bebas dan lebih terbuka setelah jatuhnya rezim
otoriter Soeharto.
KESIMPULAN
Dari kasus diatas sudah dapat dipastikan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM)
merupakan hak dasar yang dimiliki manusia dan bersumber dari Tuhan
yang maha esa sejak dari lahir. Hak tersebut bukan diberikan oleh negara
maupun oleh sesama manusia. Oleh karena itu penghormatan terhadap
HAM haruslah dijunjung tinggi, manusia bermartabat tidak berhak
melakukan pelanggaran HAM terhadap manusia lain. Pelanggaran yang
dilakukan akan dikenakan sanksi sesuai dengan perundang-undangan
yang berlaku. Namun demikaian pelanggara HAM masih marak terjadi.
Kasus Aceh misalnya. Sejak dideklarasikan adanya Gerakan Aceh
Merdeka, Aceh menjadi daerah dengan potenti pelanggaran HAM yang
tinggi pemberkaluan HAM di aceh dapat menimbulkan beberapa masalah
didaerahnya yaitu dengan adanya penggusuran, penculikan, penyiksaan,
penghilangan paksa, sampai ke pembunuhan yang terjadi mulai tahun
1989 sampai 2005 silam. Hal ni tentunya menimbulkan trauma yang
mendalam bagi masyarakat Aceh. Untuk itu diperlukan upaya-upaya agar
masyarakat Aceh yang telah dilanggar haknya bisa mendapatkan haknya
kembali. Upaya itu dapat dlakukan dengan jalan rekonsiliasi.
DAFTAR PUSTAKA
https://id.wikipedia.org/wiki/Pemberontakan_di_Aceh
https://id.wikipedia.org/wiki/Operasi_militer_Indonesia_di_Aceh_1990-1998
http://rezaekoaja.blogspot.com/2016/05/dom-aceh-daerah-operasi-militer-
aceh-90.html
https://dininst.blogspot.com/2014/12/pelanggaran-ham-di-aceh.html