Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH TENTANG

DAERAH OPERASI MILITER DI ACEH (DOM ACEH)

NAMA : ALIF FIRMANSYAH

PRODI : D3 RMIK/1A

NIM : 30518010

INSTITUT ILMU KESEHATAN

BHAKTI WIYATA KEDIRI

JL. KH. WAHID HASYIM NO. 65 KEDIRI

TAHUN AJARAN 2018/2019


PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Daerah operasi militer yang dikenal sebagai DOM ACEH secara luas
mayoritas masyarakatnya beragama islam yang sangat konservatif dan
lebih dipraktikkan. Hal tersebut tentunya sangat berbeda dengan
penerapan islam sebelumnya yang sangat moderat disebagian wilayah
indonesia terutama di wilayah aceh. Perbedaan budaya dan penerapan
agama Islam antara Aceh dan banyak daerah lain di Indonesia ini menjadi
gambaran sebab konflik yang paling jelas. Selain itu, kebijakan-
kebijakan sekuler dalam administrasi Orde baru oleh pemerintahan
Presiden Soeharto (1965-1998) jarang diketahui oleh sebagian besar
wilayah di Aceh, di mana banyak tokoh Aceh membenci kebijakan
pemerintahan Orde Baru pusat yang mempromosikan satu 'budaya
Indonesia. Selanjutnya, lokasi provinsi Aceh di ujung Barat Indonesia
banyak sekali menimbulkan sentimen yang meluas di provinsi Aceh bahwa
para pemimpin di Jakarta yang masih belum mengerti masalah yang
dimiliki Aceh tersebut dan tidak bersimpati pada kebutuhan masyarakat
Aceh dan adat istiadat di Aceh yang berbeda beda, dan tidak dapat
perhatian khusus dari pemerintahan indonesia.

Kecenderungan sistem sentralistik pemerintahan Soeharto, bersama


dengan keluhan lain mendorong tokoh masyarakat Aceh Hasan di
Tiro untuk membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 4
Desember 1976 dan mendeklarasikan kemerdekaan Aceh. Ancaman
utama yang dianggap melatar belakangi peristiwa praktik agama Islam
konservatif masyarakat Aceh, budaya pemerintah Indonesia yang dianggap
"neo-kolonial", dan meningkatnya jumlah migran dari pulau Jawa ke
provinsi Aceh.

Sebab lain terjadinya gerakan separatisme GAM di Aceh, di perkuat oleh


dukungan yang datang dari para tokoh Darul Islam (DI) di Aceh yang belum
terselesaikan secara tuntas di zaman orde lama. Dari situlah timbul
beberapa Tokoh DI/TII yang gagal melakukan pemberontakan di Aceh,
merasa bahwa dengan memberikan dukungan terhadap GAM, nantinya
Aceh dapat memperoleh kemerdekaannya.
ISI (PEMBAHASAN).

Operasi militer Indonesia di Aceh 1990-1998 atau juga disebut


Operasi Jaring Merah adalah operasi berupa pemberontakan yang
terjadi pada awal tahun 1990 sampai 22 Agustus 1998, dengan
melawan gerakan separatis atau lebih dikenalnya Gerakan Aceh
Merdeka (GAM) yang berada di wilayah Aceh. Selama periode tersebut,
Aceh dinyatakan sebagai "Daerah Operasi Militer" (DOM), di mana
Tentara Nasional Indonesia diduga melakukan pelanggaran hak asasi
manusia dalam skala besar dan sistematis terhadap pejuang Gerakan
Aceh Merdeka (GAM). Operasi ini ditandai sebagai peristiwa paling
buruk dalam sejarah di Indonesia terutama di aceh yang melibatkan
eksekusi sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan dan penghilangan,
dan pembakaran desa..

ANU Edward Aspinall ahli sejarawan berpendapat bahwa peristiwa yang


terjadi di wilayah Aceh selama Revolusi Nasional Indonesia menyebabkan
munculnya separatisme Aceh. Beliau berpendapat bahwa pemberontakan
Aceh di bawah pemerintahan Indonesia terjadi berdasarkan jalur sejarah
Aceh. Hal ini bisa ditelusuri ke konflik kepentingan dan peristiwa-peristiwa
tertentu dalam sejarah Aceh, terutama otonomi yang didapat oleh
para ulama Aceh selama revolusi nasional dan menjadi sejarah kelam
tersendiri seusai kemerdekaan Indonesia.

Aspinall berpendapat bahwa ada dua tonggak sejarah dalam


berkembangnya separitis aceh di indonesia:

1945-1949: Aceh memainkan peranan penting dalam revolusi dan perang


kemerdekaan melawan Belanda dan akibatnya disinyalir mampu
mendapatkan janji dari Presiden Soekarno saat kunjungannya ke Aceh
pada 1947, bahwa Aceh akan diizinkan untuk menerapkan hukum
Islam (atau syariah) setelah perang kemerdekaan Indonesia.
1953-1962: Gubernur militer Aceh Daud Beureueh berpendapat bahwa
provinsi Aceh akan memisahkan diri dari Republik Indonesia (RI) untuk
bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) sebagai reaksi terhadap
penolakan pemerintah pusat untuk mengizinkan pelaksanaan syariah dan
penurunan Aceh dari status provinsi. Pemberontakan dimana Aceh
merupakan bagian ini, kemudian dikenal sebagai Pemberontakan Darul
Islam. Karena masyarakat aceh menyatakan adanya kesenjangan dan
memperoleh ketidakadilan selama peristiwa tersebut berlangsung dan
pada akhirnya sebagian besar masyarakat aceh memberontak pada
indonesia. Pendapat yang dicetuskan oleh Aspinall bertentangan dengan
pandangan ulama sebelumnya. yaitu pada 1998, Geoffrey Robinson
berargumen bahwa kekalahan dan penyerahan pemberontakan yang
dipimpin Daud Beureueh pada 1962 diikuti oleh sekitar 15 tahun periode di
mana tidak ada masalah keamanan atau politik khusus di Aceh terhadap
pemerintah pusat. Tim Kell juga menyatakan bahwa mantan pemimpin-
pemimpin pemberontakan Darul Islam pada tahun 1953-1962 telah berniat
untuk bergabung dengan Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia dalam operasi penumpasan berdarah Partai Komunis
Indonesia (PKI) pada tahun 1965 dan 1966.

Awal mula terjadinya GAM (Gerakan Aceh Merdeka) atau lebih dikenal
dengan kasus DOM aceh (Daerah Operasi Militer)

Kecenderungan sistem sentralistik yang dicetuskan pemerintahan Soeharto


bersama dengan keluhan lainnya mendorong tokoh masyarakat
Aceh Hasan di Tiro untuk membentuk Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada
tanggal 4 Desember 1976 dan mendeklarasikan kemerdekaan Aceh.
Ancaman utama yang dianggap melatarbelakangi adalah terhadap praktik
agama Islam konservatif masyarakat Aceh, budaya pemerintah Indonesia
yang dianggap "neo-kolonial", dan meningkatnya jumlah migran dari
pulau Jawa ke provinsi Aceh. Distribusi pendapatan yang tidak adil dari
sumber daya alam substansial Aceh juga menjadi bahan perdebatan.
Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap Mobil Oil
Indonesia yang merupakan pemegang saham PT Arun NGL, perusahaan
yang mengoperasikan ladang gas Arun.

Pada tahap ini, jumlah pasukan yang dimobilisasi oleh GAM yang sangat
terbatas. Meskipun telah ada ketidakpuasan cukup besar di Aceh dan
simpati yang mungkin pada tujuan GAM, hal ini tidak mengundang
partisipasi aktif massa. Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, hanya 70
orang yang bergabung dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari
kabupaten Pidie, terutama dari desa di Tiro sendiri, yang bergabung karena
loyalitas pribadi kepada keluarga di Tiro, sementara yang lain karena
kekecewaan terhadap pemerintah pusat.

Para prajurit kelas menengah dan serdadu yang bergabung dalam GAM
sendiri telah berjuang pada tahun 1953-1959 dalam pemberontakan Darul
Islam. Banyak dari mereka adalah laki-laki tua yang tetap setia kepada
mantan gubernur militer Aceh dan pemimpin pemberontakan Darul Islam di
Aceh, Daud Beureueh. Orang yang paling menonjol dari kelompok ini
adalah Teungku Ilyas Leube, seorang ulama terkenal yang pernah menjadi
pemimpin pemberontakan Darul Islam. Beberapa orang anggota Darul
Islam juga kemungkinan terkait dengan di Tiro melalui keluarga atau ikatan
regional, namun kesetiaan mereka terutama adalah untuk Beureueh.
Orang-orang inilah yang menyediakan pengetahuan militer, pertempuran,
pengetahuan lokal dan keterampilan logistik yang tidak memiliki pemimpin
muda GAM yang berpendidikan.

Pada akhir tahun 1979, tindakan penekanan yang dilakukan militer


Indonesia telah menghancurkan GAM, pemimpin-pemimpin GAM berakhir
di pengasingan, dipenjara, atau dibunuh; pengikutnya tercerai berai,
melarikan diri dan bersembunyi. Para pemimpinnya seperti Di Tiro, Zaini
Abdullah (menteri kesehatan GAM), Malik Mahmud (menteri luar negeri
GAM), dan Dr Husaini M. Hasan (menteri pendidikan GAM) telah melarikan
diri ke luar negeri dan kabinet GAM yang asli berhenti berfungsi.

PADA TAHUN 1985

Pada tahun 1985, di Tiro mendapat dukungan Libya untuk GAM, dengan
mengambil keuntungan dari kebijakan Muammar Gaddafi yang mendukung
pemberontakan nasionalis Melalui mathaba melawan kebikan negara,
melawan rasis, melawan zionis dan melawan ideologi. tidak jelas apakah
Libya kemudian telah mendanai GAM, tapi yang pasti disediakan adalah
tempat perlindungan di mana para serdadu GAM bisa menerima pelatihan
militer yang sangat dibutuhkan.Sejumlah pejuang GAM yang dilatih oleh
Libya selama periode 1986-1989 atau 1990 menceritakan pengakuan yang
berbeda-beda. Perekrut GAM mengklaim bahwa jumlah mereka ada sekitar
1.000 sampai 2.000 sedangkan laporan pers yang ditulis berdasar laporan
militer Indonesia menyatakan bahwa mereka berjumlah 600-800. Di antara
para pemimpin GAM yang bergabung selama fase ini adalah Sofyan
Dawood (yang kemudian menjadi komandan GAM Pasè, Aceh Utara)
dan Ishak Daud (yang menjadi juru bicara GAM di Peureulak, Aceh Timur).

pada tahun 1989 setelah kembalinya peserta pelatihan GAM dari


Libya. Operasi yang dilakukan GAM antara lain operasi merampok
senjata, serangan terhadap polisi dan pos militer, pembakaran dan
pembunuhan yang ditargetkan kepada polisi dan personel militer, informan
pemerintah dan tokoh-tokoh yang pro-Republik Indonesia.

Meskipun gagal mendapatkan dukungan yang luas, tindakan kelompok


GAM yang lebih agresif ini membuat pemerintah Indonesia untuk
memberlakukan tindakan represif. Periode antara tahun 1989 dan 1998
kemudian menjadi dikenal sebagai era Daerah Operasi Militer (DOM)
Aceh ketika militer Indonesia meningkatkan operasi kontra-pemberontakan
di Aceh. Langkah ini, meskipun secara taktik berhasil menghancurkan
kekuatan gerilya GAM, telah mengakibatkan korban di kalangan penduduk
sipil lokal di Aceh. Karena merasa terasing dari Republik Indonesia setelah
operasi militer tersebut, penduduk sipil Aceh kemudian memberi dukungan
dan membantu GAM membangun kembali organisasinya ketika militer
Indonesia hampir seluruhnya ditarik dari Aceh atas perintah
presiden Habibie pada akhir era 1998 setelah kejatuhan Soeharto.
Komandan penting GAM telah entah dibunuh (komandan GAM Pasè Yusuf
Ali dan panglima senior GAM Keuchik Umar), ditangkap (Ligadinsyah) atau
lari (Robert, Arjuna dan Ahmad Kandang).

PADA TAHUN 1999

Pada tahun 1999, terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang
tidak efektif karena jatuhnya Soeharto memberikan keuntungan
bagi Gerakan Aceh Merdeka dan mengakibatkan pemberontakan tahap
kedua, kali ini dengan dukungan yang besar dari masyarakat Aceh. Pada
tahun 1999 penarikan pasukan diumumkan, namun situasi keamanan yang
memburuk di Aceh kemudian menyebabkan pengiriman ulang lebih banyak
tentara. Jumlah tentara diyakini telah meningkat menjadi sekitar 15.000
selama masa jabatan Presiden Megawati Soekarnoputri (2001 -2004) pada
pertengahan 2002. GAM mampu menguasai 70 persen pedesaan di
seluruh Aceh. Selama fase ini, ada dua periode penghentian konflik
singkat: yaitu "Jeda Kemanusiaan" tahun 2000 dan "Cessation of Hostilities
Agreement" (COHA) ("Kesepakatan Penghentian Permusuhan") yang
hanya berlangsung antara Desember 2002 ketika ditandatangani dan
berakhir pada Mei 2003 ketika pemerintah Indonesia menyatakan "darurat
militer" di Aceh dan mengumumkan bahwa ingin menghancurkan GAM
sekali dan untuk selamanya. Dalam istirahat dari penggunaan cara-cara
militer untuk mencapai kemerdekaan, GAM bergeser posisi mendukung
penyelenggaraan referendum. Dalam demonstrasi pro-referendum 8
November 1999 di Banda Aceh, GAM memberikan dukungan dengan
menyediakan transportasi pada para pengunjuk rasa dari daerah pedesaan
ke ibukota provinsi. Pada tanggal 21 Juli 2002, GAM juga
mengeluarkan Deklarasi Stavanger setelah pertemuan "Worldwide
Achehnese Representatives Meeting" di Stavanger, Norwegia. Dalam
deklarasi tersebut, GAM menyatakan bahwa "Negara Aceh mempraktikkan
sistem demokrasi. Impuls hak-hak demokratis dan hak asasi manusia
dalam GAM ini ini dilihat sebagai akibat dari upaya kelompok berbasis
perkotaan di Aceh yang mempromosikan nilai-nilai tersebut karena
lingkungan yang lebih bebas dan lebih terbuka setelah jatuhnya rezim
otoriter Soeharto.

Memburuknya kondisi keamanan sipil di Aceh menyebabkan tindakan


pengamanan keras diluncurkan pada tahun 2001 dan 2002. Pemerintah
Megawati akhirnya pada tahun 2003 meluncurkan operasi militer untuk
mengakhiri konflik dengan GAM untuk selamanya dan keadaan
darurat dinyatakan di Provinsi Aceh. Pada bulan November 2003 darurat
militer diperpanjang lagi selama enam bulan karena konflik belum
terselesaikan. Menurut laporan Human Rights Watch. militer Indonesia
kembali melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam operasi ini
seperti operasi sebelumnya, dengan lebih dari 100.000 orang mengungsi di
tujuh bulan pertama darurat militer dan pembunuhan di luar hukum yang
umum. Konflik ini masih berlangsung ketika tiba-tiba bencana Tsunami
bulan Desember 2004 memporakporandakan provinsi Aceh dan
membekukan konflik yang terjadi di tengah bencana alam terbesar dalam
sejarah Indonesia tersebut.

Robinson mengatakan bahwa penggunaan teror oleh militer


Indonesia dalam aksi kontra-pemberontakan melawan GAM dalam periode
rezim Orde Baru pertengahan 1990 (dalam tahap kedua pemberontakan)
telah menyebabkan meluasnya dukungan dari masyarakat Aceh yang
terpengaruh oleh kebijakan militer Indonesia tersebut, dan mendorong
mereka untuk menjadi lebih simpatik dan mendukung GAM. Ia menilai
bahwa metode militer tersebut malah memiliki efek meningkatkan tingkat
kekerasan, mengganggu masyarakat Aceh, dan luka yang ditimbulkan
terbukti sulit untuk disembuhkan.

Otoritas politik Angkatan Bersenjata (Republik Indonesia), yang besar


bahkan dalam kondisi normal, sekarang (telah) menjadi tak tertandingi.
Atas nama keamanan nasional, otoritas militer dan polisi dikerahkan di
Aceh kemudian bebas untuk menggunakan hampir segala cara yang
dipandang perlu untuk menghancurkan GPK ("Gerakan Pengacauan
Keamanan"), yang merupakan nomenklatur (istilah) pemerintah Indonesia
untuk GAM.[75]

Amnesty International mendokumentasikan penggunaan penangkapan


sewenang-wenang, penahanan di luar legalitas, eksekusi, perkosaan dan
pembumi-hangusan sebagai karakter operasi militer Indonesia terhadap
GAM sejak tahun 1990. Di antara tindakan yang lebih mengerikan diamati
oleh Amnesty International adalah pembuangan publik mayat-mayat
korban eksekusi (atau Penembakan Misterius) yang dilakukan sebagai
peringatan untuk orang Aceh untuk menahan diri dari bergabung atau
mendukung GAM.
PENUTUP

KESIMPULAN

Dari kasus diatas sudah dapat dipastikan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM)
merupakan hak dasar yang dimiliki manusia dan bersumber dari Tuhan
yang maha esa sejak dari lahir. Hak tersebut bukan diberikan oleh negara
maupun oleh sesama manusia. Oleh karena itu penghormatan terhadap
HAM haruslah dijunjung tinggi, manusia bermartabat tidak berhak
melakukan pelanggaran HAM terhadap manusia lain. Pelanggaran yang
dilakukan akan dikenakan sanksi sesuai dengan perundang-undangan
yang berlaku. Namun demikaian pelanggara HAM masih marak terjadi.
Kasus Aceh misalnya. Sejak dideklarasikan adanya Gerakan Aceh
Merdeka, Aceh menjadi daerah dengan potenti pelanggaran HAM yang
tinggi pemberkaluan HAM di aceh dapat menimbulkan beberapa masalah
didaerahnya yaitu dengan adanya penggusuran, penculikan, penyiksaan,
penghilangan paksa, sampai ke pembunuhan yang terjadi mulai tahun
1989 sampai 2005 silam. Hal ni tentunya menimbulkan trauma yang
mendalam bagi masyarakat Aceh. Untuk itu diperlukan upaya-upaya agar
masyarakat Aceh yang telah dilanggar haknya bisa mendapatkan haknya
kembali. Upaya itu dapat dlakukan dengan jalan rekonsiliasi.
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Pemberontakan_di_Aceh

https://id.wikipedia.org/wiki/Operasi_militer_Indonesia_di_Aceh_1990-1998

http://rezaekoaja.blogspot.com/2016/05/dom-aceh-daerah-operasi-militer-
aceh-90.html

https://dininst.blogspot.com/2014/12/pelanggaran-ham-di-aceh.html

Anda mungkin juga menyukai