Adinda Maharani
Muhammad Jibril
Pemberontakan
DI/TII Jawa Tengah
Tokoh Tokoh yang terlibat
Tujuan :
Mengatasi pengaruh komunis dan sosialisme yang semakin meluas dan mendirikan
negara berdasarkan syariat islam
Latar Belakang
1. penandatanganan Perjanian Renville.
Munculnya gerakan DI/TII di Jawa Tengah diawali dengan adanya perubahan situasi
politik di daerah Tegal-Brebes akibat penandatanganan Perjanjian Renville.
Dalam perjanjian tersebut disebutkan satu pasal yang berisi bahwa semua kekuatan
pasukan RI yang berada di daerah pendudukan Belanda harus ditarik dan ditempatkan di
daerah RI.
Para pejuang di dua wilayah tersebut masih tetap bertahan dan menyusun strategi untuk
melakukan perlawanan.
Jalan Pemberontakan
Pasukan yang dipimpin Abas ini bernama Pasukan Hizbullah, di mana saat itu
mereka memutuskan untuk pergi ke wilayah sengketa Indonesia-Belanda, yaitu
Brebes.
Sampai di sana, pasukan ini membentuk pasukan baru bernama Mujahidin yang
disebut sebagai Majelis Islam (MI).
Bukan hanya pasukan Hizbullah, Amir Fatah juga saat itu tengah mendatangi
Brebes, minatnya untuk kemudian turut bergabung dalam pemberontakan ini
adalah karena ia merasa memiliki cara pandang dan ideologi yang sama, khususnya
dalam membentuk Negara Islam Indonesia.
Demi melemahkan kekuatan para tentara Amir Fatah serta penyerangan mereka,
TNI membentuk Gerakan Banteng Nasional (GBN).
Unsur penting yang ada di dalem GBN adalah Banteng Raiders, sebuah pasukan
elit di bawah kepemimpinan Ahmad Yani untuk memburu gerilyawan DI/TII.
Amir Fatah yang juga ikut tertangkap dipenjara selama dua tahun. Ia mendapat izin
untuk berpegian ke negara lain setelah itu.
Pemberontakan
DI/TII Aceh
Waktu :
10 September 1953
Seorang pemimpin sipil, agama, dan militer di Aceh pada masa perang agresi Militer
Belanda I
Latar Belakang
Waktu itu, Provinsi Aceh dilebur ke Provinsi Sumatera Utara yang beribu Kota di
Medan. Keputusan peleburan dianggap mengabaikan jasa baik dari masyarakat Aceh
saat berjuang mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia pada masa
Revolusi.
Kekesalan Daud Beureuh Semakin Membara karena pada tahun 1948 Presiden
Soekarno pernah berjanji bahwa Aceh boleh menerapkan syariat Islam dan tetap
menjadi salah satu provinsi di Indonesia.
Jalan Pemberontakan
Sejarah mencatat bahwa pemberontakan DI/TII di Aceh pimpinan Daud Beureueh terjadi
mulai 20 September 1953. Dalam riset Harry Adi Darmanto bertajuk "Pemberontakan
Daud Beureueh (DI/TII Aceh) Tahun 1953-1962" (2007), ditambahkan, kebijakan
penyatuan Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara ditentang. Daud Beureueh dan
kelompoknya bahkan menuntut diberikannya hak otonom untuk Aceh. Pemerintah pusat
tidak tinggal diam menyikapi ini dan memutuskan untuk melakukan tindakan kepada
DI/TII Daud Beureueh di Aceh. Ada dua jalur yang ditempuh pemerintah pusat, yakni
upaya militer dan diplomasi. Operasi militer dilakukan dengan menggelar “Operasi 17
Agustus” dan “Operasi Merdeka”.
Sedangkan cara diplomasi diterapkan dengan mengirim utusan ke Aceh untuk berdialog
dengan Daud Beureueh dan kawan-kawan dalam upaya meredam perang saudara.
Persoalan ini akhirnya bisa diselesaikan dengan jalan damai kendati harus melalui proses
negosiasi yang alot dan melelahkan. Diputuskan bahwa diberikan hak otonomi sebagai
provinsi yang disebut Daerah Istimewa Aceh dan boleh menerapkan syariat Islam sebagai
aturan daerah yang berbeda dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Tanggal 18-22
Desember 1962, sebuah upacara besar bertajuk “Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh
(MKRA)” dihelat di Blangpadang, Aceh, sebagai simbol perdamaian.
Akhir Pemberontakan
Ternyata, masalah belum sepenuhnya dapat diatasi. Beberapa mantan pengikut Daud
Beureueh yang tetap bergerak melawan pemerintah pusat, salah satunya adalah Hasan
Tiro. Menurut Neta S Pane dalam Sejarah dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka
(2001:10), Hasan Tiro melihat kenyataan pahit di mana rakyat Aceh lemah ekonomi dan
pendidikannya kendati sudah menjadi bagian Indonesia. Pada 30 Oktober 1976, Hasan
Tiro mengadakan pertemuan di Pidie dengan beberapa mantan tokoh DI/TII dan para
pemuda Aceh Di kaki Gunung Halimun, bahasan utama adalah tentang sumber daya alam
Aceh yang dikeruk oleh industri asing atas izin pemerintah Indonesia. Mereka inilah yang
kemudian dikenal sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM). GAM berlangsung sangat
lama dan telah terlibat konflik dengan angkatan militer pemerintah pusat yang memakan
belasan ribu korban jiwa. Penyelesaian masalah ini baru dapat dituntaskan pada 2005.
DAUD BEUREH
Amir Fatah