Anda di halaman 1dari 8

GERAKAN ACEH MERDEKA

OLEH :

ANGGUN AGUSTINA PRATIWI

NIM : 22410642

UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA

2022/2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) merupakan salah satu gerakan separatis yang terjadi di
provinsi Aceh, Indonesia. Gerakan ini memiliki sejarah yang panjang dan kompleks, serta
memiliki implikasi yang signifikan terhadap politik dan kehidupan masyarakat Aceh.
Makalah ini bertujuan untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang Gerakan
Aceh Merdeka, termasuk latar belakang sejarah, tujuan gerakan, konflik dengan pemerintah
Indonesia, peran internasional, dan akhirnya proses perdamaian yang mengakhiri gerakan ini.
Aceh, yang terletak di ujung barat pulau Sumatera, memiliki sejarah panjang sebagai kerajaan
yang berdaulat. Setelah Indonesia meraih kemerdekaannya dari penjajah kolonial Belanda
pada tahun 1945, Aceh juga menjadi bagian dari negara tersebut. Namun, sejak masa awal
kemerdekaan, kelompok-kelompok separatis di Aceh telah muncul dengan tujuan
memperoleh kemerdekaan atau otonomi yang lebih besar. Gerakan Aceh Merdeka didirikan
pada tahun 1976 dengan tujuan utama memperoleh kemerdekaan penuh bagi provinsi Aceh.
GAM menganggap bahwa Aceh memiliki hak atas penentuan nasib sendiri dan mendesak
pemerintah Indonesia untuk mengakui hal ini. Mereka menuntut otonomi yang lebih besar,
penghentian penindasan oleh aparat keamanan, dan pembagian sumber daya yang adil.
Gerakan Aceh Merdeka memulai perjuangannya dengan menggunakan taktik gerilya dan
serangan terhadap pasukan keamanan Indonesia. Konflik antara GAM dan pemerintah
Indonesia menyebabkan kerugian manusia yang besar di kedua belah pihak, serta melibatkan
pelanggaran hak asasi manusia yang serius. Pemerintah Indonesia merespons dengan
meningkatkan kehadiran militer di Aceh dan meluncurkan operasi militer untuk
memadamkan gerakan separatis.

1.2 Rumusan Masalah

1. Kronologi peristiwa Gerakan aceh merdeka dan apa saja pelanggarannya?


2. Apa tantangan dalam membangun perdamaian di Aceh pasca-Gerakan Aceh
Merdeka?
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Sejarah dan kronologi Gerakan aceh merdeka

Salah satu contoh dari ancaman terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dalam
bidang militer dalam negeri adalah gerakan separatis GAM (gerakan separatis ini dibentuk
pada tanggal 4 Desember 1976 dan dipimpin oleh Hasan di Tirto). Pergerakan separatis ini
memakan banyak sekali korban baik dari kedua belah pihak dengan total hampir sebanyak
15.000 jiwa, GAM berhenti melakukan gerakan separatisnya setelah melakukan perjanjian
damai dengan Indonesia pada tahun 2005. Ada beberapa sebab kenapa gerakan separatis ini
bisa terjadi,antara lain:

1. Adanya perbedaan pendapat tentang penerapan hukum Islam


2. Adanya ketidakpuasan atas distribusi sumber daya alam Aceh
3. Meningkatnya populasi orang Jawa di Aceh.

Dalam konflik tersebut GAM melalui 3 tahapan yaitu pada tahun 1977, 1989, dan 1998.
Sebelum itu pada tanggal 4 Desember 1976 pimpinan GAM Hasan di Tiro bersama dengan
pengikutnya melakukan perlawanan terhadap pemerintahan RI diperbukitan Halimunan di
kawasan Kabupaten Pidie. Sejak saat itu konflik antara pergerakan separatis GAM dan
pemerintahan RI terus berlangsung. Pada tahun 1977 untuk pertama kalinya GAM
mengibarkan panji-panji perang dengan melakukan gerilya, namun gagal disebabkan
pemerintahan pusat berhasil menetralisir gerakan tersebut. Dalam tahap ini GAM mengalami
kegagalan dalam melakukan perang grilyanya. Namun pada tahun 1989 GAM melakukan
pembaruan terhadap gerakan separatis yang GAM lakukan. GAM mendapatkan bala bantuan
pasukan sekitar 1.000 tentara yang berasal dari Libya dan Iran, pengikut GAM juga
menerima pelatihan militer, sehingga tentara GAM menjadi jauh lebih tertata dan terlatih
dengan baik.

Dengan adanya ancaman terbaru ini pemerintah akhirnya menetapkan wilayah Aceh sebagai
Daerah Operasi Militer Khusus (DOM). Desa-desa yang diduga menampung para
tentara/pengikut GAM dibakar dan para anggota keluarga dari tentara GAM diculik dan
disiksa, diperkirakan terdapat sekitar 7.000 pelanggaran hak asasi manusia terjadi ketika
operasi ini dilaksanakan. Pada tahun 1998, Seoharto mundur dari jabatannya yang kemudian
digantikan oleh B.J Habibie. Semasa kepemimpinannya, beliau menarik seluruh pasukan dari
Aceh agar bisa memberikan ruang terhadap GAM agar bisa membangun kembali
organisasinya. Tetapi pada tahun 1999, kekerasan justru malah semakin meningkat. GAM
melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan dan penduduk jawa yang didukung dengan
penyelundupan senjata besar-besaran dari Thailand oleh GAM. Saat awal tahun 2002,
kekuatan militer dan polisi meningkat menjadi sekitar 30.000 personel. Satu tahun
berikutnya, jumlah personel GAM meningkat pesat menjadi 50.000 personel.

Tindakan kekerasan GAM mengakibatkan beberapa ribu korban jiwa dari pihak warga sipil.
Untuk mengatasi masalah ini pada tahun 2003, pemerintah Indonesia melancarkan serangan
besar-besaran diaceh untuk meredam pemberontakan tersebut dimana keberhasilan semakin
terlihat. Pada tanggal 26 desember 2004, gempa dan tsunami besar melanda Aceh. Kejadian
ini memakan banyak sekali korban sehingga memaksa kedua belah pihak untuk ke meja
perundingan atas inisiasi dan mediasi dari pihak internasional. Setelah berunding selama 25
hari, pada tanggal 17 juli 2005, kedua belah pihak berhasil mencapai kesepakatan damai di
Vantaa, Finlandia. Penandatangan kesepakatan damai berlangsung pada tanggal 15 Agustus
2005. Proses perdamaian selanjutnya diawasi oleh tim Aceh Monitoring Mission (AMM)
yang beranggotakan lima negara ASEAN. Semua senjata yang GAM gunakan yang
berjumlah sekitar 840 buah diserahkan kepada AMM pada 19 Desember 2005.

2.2 Pelanggaran Pada Gerakan Aceh Merdeka

Pelanggaran HAM Oleh Militer Indonesia

Robinson mengatakan bahwa penggunaan teror oleh militer Indonesia dalam aksi kontra-
pemberontakan melawan GAM dalam periode rezim Orde Baru pertengahan 1990 (dalam
tahap kedua pemberontakan) telah menyebabkan meluasnya dukungan dari masyarakat Aceh
yang terpengaruh oleh kebijakan militer Indonesia tersebut, dan mendorong mereka untuk
menjadi lebih simpatik dan mendukung GAM. Ia menilai bahwa metode militer tersebut
malah memiliki efek meningkatkan tingkat kekerasan, mengganggu masyarakat Aceh, dan
luka yang ditimbulkan terbukti sulit untuk disembuhkan. Amnesty International mencatat:
Otoritas politik Angkatan Bersenjata (Republik Indonesia), yang besar bahkan dalam kondisi
normal, sekarang (telah) menjadi tak tertandingi. Atas nama keamanan nasional, otoritas
militer dan polisi dikerahkan di Aceh kemudian bebas untuk menggunakan hampir segala
cara yang dipandang perlu untuk menghancurkan GPK ("Gerakan Pengacauan Keamanan"),
yang merupakan nomenklatur (istilah) pemerintah Indonesia untuk GAM.]

Amnesty International mendokumentasikan penggunaan penangkapan sewenang-wenang,


penahanan di luar legalitas, eksekusi, perkosaan dan pembumi-hangusan sebagai karakter
operasi militer Indonesia terhadap GAM sejak tahun 1990. Di antara tindakan yang lebih
mengerikan diamati oleh Amnesty International adalah pembuangan publik mayat-mayat
korban eksekusi (atau Penembakan Misterius) yang dilakukan sebagai peringatan untuk
orang Aceh untuk menahan diri dari bergabung atau mendukung GAM. Berikut ini adalah
deskripsi tindakan tersebut oleh Amnesty International:

"Penembakan misterius" (Petrus) di Aceh memiliki fitur umum sebagai berikut. Mayat-mayat
korban biasanya dibiarkan di tempat umum - di samping jalan utama, di ladang dan
perkebunan, sungai atau tepi sungai - tampaknya sebagai peringatan kepada orang lain untuk
tidak bergabung atau mendukung pemberontak. Sebagian besar jelas adalah tahanan ketika
mereka dibunuh, jempol mereka, dan kadang-kadang kaki mereka, diikat dengan jenis simpul
tertentu. Sebagian besar telah ditembak dari jarak dekat, meskipun peluru jarang ditemukan
di tubuh mereka. Kebanyakan juga menunjukkan tanda-tanda telah dipukuli dengan benda
tumpul atau disiksa, dan karena itu wajah mereka sering tidak bisa dikenali. Dalam banyak
kasus, mayat-mayat tersebut tidak diambil oleh kerabat atau teman, baik karena takut
pembalasan oleh militer, dan karena korban biasanya dibuang agak jauh dari desa asal
mereka.

Taktik TNI lain yang dipertanyakan adalah aktivitas yang disebut "operasi sipil-militer" di
mana warga sipil dipaksa untuk berpartisipasi dalam intelijen dan operasi keamanan. Sebuah
contoh terkenal dari hal ini adalah Operasi Pagar Betis seperti yang dijelaskan oleh Amnesty
International berikut:

Strategi kerjasama sipil-militer adalah "Operasi Pagar Betis" - digunakan sebelumnya


di Timor Timur - di mana penduduk desa biasa dipaksa menyapu melalui daerah tertentu di
depan pasukan bersenjata, baik dalam rangka untuk menghalau pemberontak dan juga untuk
menghambat mereka untuk membalas tembakan. Elemen penting dalam keberhasilan operasi
ini adalah kelompok-kelompok lokal yang "main hakim sendiri" dan patroli malam yang
terdiri dari warga sipil, tetapi dibentuk di bawah perintah dan pengawasan militer. Antara 20
dan 30 pemuda dimobilisasi dari setiap desa di daerah yang dicurigai daerah pemberontak.
Dalam kata-kata seorang komandan militer setempat: "Para pemuda adalah garis depan.
Mereka adalah yang terbaik dalam mengetahui siapa adalah anggota GPK. Kami kemudian
menyelesaikan masalah tersebut." Menolak untuk berpartisipasi dalam kelompok-kelompok
tersebut atau kegagalan untuk menunjukkan komitmen yang cukup untuk menghancurkan
musuh dengan mengidentifikasi, menangkap atau membunuh terduga pemberontak kadang-
kadang mengakibatkan hukuman oleh pasukan pemerintah, termasuk penyiksaan umum,
penangkapan dan eksekusi.

2.3 Tantangan Dalam Membangun Perdamaian Di Aceh Pasca-Gerakan Aceh Merdeka

Pasca-Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ada sejumlah tantangan yang dihadapi dalam
membangun perdamaian di Aceh. Meskipun telah tercapai kesepakatan damai antara
pemerintah Indonesia dan GAM pada tahun 2005, implementasi dan pemeliharaan
perdamaian memerlukan usaha yang berkelanjutan. Berikut adalah beberapa tantangan
yang mungkin dihadapi:

1. Reintegrasi bekas anggota GAM


Salah satu tantangan utama adalah mengintegrasikan bekas anggota GAM ke dalam
masyarakat Aceh yang lebih luas. Setelah konflik berakhir, banyak mantan anggota
GAM yang perlu mendapatkan keterampilan baru, pekerjaan, dan dukungan sosial
untuk menjalani kehidupan yang stabil. Proses reintegrasi ini memerlukan program-
program yang mendukung pendidikan, pelatihan keterampilan, pembangunan
ekonomi, dan penyediaan lapangan kerja.

2. Pengungsi dan pengungsi Kembali


Konflik di Aceh menyebabkan banyak orang menjadi pengungsi baik di dalam negeri
maupun di luar negeri. Setelah berakhirnya konflik, tantangan muncul dalam
mengatasi masalah pengungsi, memfasilitasi kembalinya mereka ke rumah mereka,
dan memberikan bantuan untuk membangun kembali kehidupan mereka. Perlunya
dukungan dalam hal perumahan, layanan dasar, seperti pendidikan dan layanan
kesehatan, dan pemulihan ekonomi bagi pengungsi kembali sangat penting untuk
memastikan pemulihan yang berkelanjutan.
3. Pembangunan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat
Pembangunan ekonomi yang inklusif dan pemberdayaan masyarakat sangat penting
dalam membangun perdamaian jangka panjang. Aceh perlu mengatasi ketimpangan
ekonomi, meningkatkan akses terhadap lapangan kerja, membangun infrastruktur, dan
mempromosikan investasi. Selain itu, pemberdayaan masyarakat lokal melalui
partisipasi dalam pengambilan keputusan dan program-program pembangunan juga
perlu ditingkatkan.

4. Penegakan hukum dan keadilan


Untuk membangun kepercayaan dalam perdamaian, penting untuk menjamin
penegakan hukum dan keadilan. Tantangan dalam memperkuat sistem peradilan di
Aceh termasuk melibatkan bekas anggota GAM dalam proses hukum, memperkuat
kapasitas sistem peradilan untuk menangani kasus-kasus kejahatan yang terjadi
selama konflik, dan memberikan akses keadilan kepada seluruh masyarakat Aceh.

5. Rekonsiliasi dan pemulihan trauma


Setelah konflik yang panjang, rekonsiliasi antara kelompok-kelompok yang bertikai
menjadi penting. Proses rekonsiliasi harus melibatkan dialog yang jujur dan terbuka,
pemahaman bersama tentang masa lalu, dan upaya untuk membangun kepercayaan
dan kerjasama antara mantan pihak konflik. Selain itu, penting juga untuk
menyediakan dukungan dan layanan pemulihan trauma bagi individu dan komunitas
yang terpengaruh oleh konflik.

Memperbaiki perdamaian dan membangun kehidupan yang lebih baik di Aceh setelah
Gerakan Aceh Merdeka bukanlah tugas yang mudah. Diperlukan komitmen yang kuat
dari pemerintah, masyarakat Aceh, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengatasi
tantangan-tantangan ini dengan kerjasama dan kesabaran.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh, Indonesia, telah menyebabkan konflik yang
panjang dan menghancurkan. Namun, setelah berakhirnya konflik, upaya telah
dilakukan untuk membangun perdamaian dan menciptakan masa depan yang lebih
baik bagi Aceh. Berdasarkan analisis terhadap tantangan dan upaya yang dilakukan,
maka kesimpulan dari makalah ini yaitu membicarakan mengenai penyebab Gerakan
Aceh Merdeka, konflik di Aceh dipicu oleh berbagai faktor, termasuk ketidakpuasan
atas pemerintahan pusat, pelanggaran hak asasi manusia, ketimpangan ekonomi, dan
faktor identitas serta budaya Aceh. Faktor-faktor ini menjadi pemicu gerakan
separatisme GAM. Terdapat beberapa tantangan dalam mengembalikan keadaan
setelah Gerakan Aceh Merdeka, yaitu tantangan reintegrasi bekas anggota GAM,
pembangunan ekonomi masyarakat, serta pemulihan trauma kepada masyarakat Aceh
yang mengalaminya.

Anda mungkin juga menyukai