Anda di halaman 1dari 10

I.

PENDAHULUAN
1.Latar Belakang
Gerakan Aceh Merdeka, atau GAM adalah sebuah organisasi (yang dianggap separatis) yang memiliki
tujuan supaya Aceh, yang merupakan daerah yang sempat berganti nama menjadiNanggroe
Aceh Darussalam lepas dari Negara Republik Indonesia. GAM dipimpin oleh Hasan di tiro yang
bermukim di Swedia dan berwarganegaran Swedia. Tujuan utama GAM adalah ingin NAD berpisah
dengan NKRI.Di dalam situsi antara GAM dan pemerintah, masyarakat NAD yang menjadi korban
karena terjadi konflik antara GAM dan pemerintah sehingga para anggota GAM sering melakukan
penculikan dan penarikan pajak terhadap para masyarakat NAD bahkan juga terjadi perang, sehingga
para masyarakat NAD menjadi resah. Untuk itu para masyarakat NAD meminta agar pemerintah
segera menyelesaikannya.
Dalam menyelesaikan konflik yang terjadi antara pemerintah NAD dengan GAM, pemerintah pusat
melancarka dua strategi yaitu otonomi khusus (untuk aspek agama, ekonomi, dan politik) bagi
masyarakat sipil yang ada di NAD. Selain itu pemerintah juga mengadakan perundingan yang di kenal
dengan sebutan COHA, hasil dalam perundingan ini pemerintah dan GAM tetap pada pendirian
masing-masing.
Pembahasan ini tidak akan lepas dari ketahanan nasional, karena Hakekat Ketahanan Nasional
Indonesia adalah keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemempuan
menggambarkan kekuatan nasional untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara
dalam mencapai tujuan nasional. Selain itu merupakan pengaturan dan penyelenggaraan
kesejahteraan dan keamanan secara seimbang, serasi dan selaras dalam seluruh aspek kehidupan
nasional.
Sedangkan konsepsi ketahanan nasional adalah keseimbangan dan keserasian dalam kehidupan
sosial melingkupi seluruh aspek kehidupan secara utuh menyeluruh berlandaskan falsafah bangsa,
ideologi negara, konstistusi dan wawasan nasional dengan metode astagrata. Konsepsi ketahanan
nasional ini merupakan saran untuk mewujudkan ketahanan nasional.
Tujuan
Makalah ini ditujukan selain sebagai tugas akhir mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan, tetapi
juga agar mahasiswa sebagai kalangan intelektual pada khususnya dan masyarakat pada umumnya
mengerti dan paham akan pentingnya ketahanan nasional.



II. PEMBAHASAN
Permasalahan
Dalam makalah ini penulis akan mencoba memaparkan mengenai masalah yang berhubungan
dengan, Gerakan Aceh Merdeka adalah masalah Ketahanan Nasional. Ada beberapa hal yang akan
kita jadikan sebagai permasalahan kita yakni:

Latar belakang apa yang menimbulkan pemberontakan GAM ?
Pengaruh apakah yang di timbulkan pemberontakan GAM terhadap ketahanan
nasional indonesia ?
Tindakan/ langkah apa yang di lakukan pemerintah untuk mengatasi pemberontakan GAM ?
Pembahasan

Kali ini penulis akan membahas masalah yang pertama, latar belakang pemberontakan GAM, GAM
lahir karena kegagalan gerakan Darul Islam pada masa sebelumnya. Darul Islam muncul sebagai
reaksi atas ketidak berpihakan Jakarta terhadap gagasan formalisasi Islam di Indonesia. Darul Islam
adalah sebuah gerakan perlawanan dengan ideologi Islam yang terbuka. Bagi Darul islam, dasar dari
perlawanan adalah Islam, sehingga tidak ada sentimen terhadap bangsa-bangsa lain, bahkan ideologi
Islam adalah sebagai perekat dari perbedaan yang ada. Gagasan ini juga berkembang dalam gerakan
Darul Islam di Aceh.
Akan tetapi, paska berhentinya perlawanan Darul Islam Aceh, keinginan Aceh untuk melakukan
Islamisasi di Indonesia menjadi lebih sempit hanya kepada Aceh. Perubahan ini terjadi disebabkan
karena kegagalan Darul Islam diseluruh Indonesia, sehingga memaksa orang Aceh lebih realistis
untuk mewujudkan cita-cita. Yang menjadi menarik adalah, GAM yang melanjutkan tradisi
perlawanan Aceh, ternyata tidak melanjutkan ideologi Islam yang terlebih dahulu digunakan oleh
Darul Islam. Sebagaimana yang disebutkan bahwa GAM lebih memilih nasionalisme Aceh sebagai isu
populisnya, yang mempengaruhi muculnya GAM berikutnya adalah faktor ekonomi, yang berwujud
ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara pusat dengan daerah. Pemerintahan sentralistik
Orde Baru menimbulkan kekecewaan berat terutama di kalangan elite Aceh. Pada era Soeharto,
Aceh menerima 1% dari anggaran pendapatan nasional, padahal Aceh memiliki kontribusi 14% dari
GDP Nasional. Terlalu banyak pemotongan yang dilakukan pusat yang menggarap hasil produksi dari
Aceh. Sebagian besar hasil kekayaan Aceh dilahap oleh penentu kebijakan di Jakarta. Meningkatnya
tingkat produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada 1970-an dan 1980-an dengan nilai 1,3
miliar US Dolar tidak memperbaiki kehidupan sosial ekonomi masyarakat Aceh.
Kemunculan GAM pada masa awalnya langsung mendapat respon oleh pemerintah Orde Baru
dengan melakukan operasi militer yang represif, sehingga membuat GAM kurang bisa berkembang.
Walau demikian, GAM juga melakukan pelebaran jaringan yang membuat mereka kuat, baik pada
tingkat internasional maupun menyatu dengan masyarakat dan GAM bisa terus bertahan.Pada masa
Orde Baru GAM memankan dua wajah; satu wajah perlawanan (dengan pola-pola kekerasan yang
dilakukan), dan strategi ekonomi-politik yang dimainkan (dengan mengambil uang pada proyek-
proyek pembangunan).
Masalah berikutnya yakni pengaruh apakah yang di timbulkan pemberontakan GAM, terhadap
ketahanan nasional Indonesia, pengaruhnya masuk dalam berbagai aspek kehidupan bernegara,
terutama terhadap kesatuan dan persatuan yang secara otomatis akan menimbulkan perpecahan
lalu akan memotivasi daerah lain yang mempunyai keinginan memberontak di saat pemerintah
sedang mengurusi masalah masalah GAM, serta Gerakan separatis di Aceh telah banyak melibatkan
penggunaan sumberdaya nasional, dan akibatnya telah menimbulkan korban jiwa dan harta benda
yang tidak kecil.untuk berikutberikutnya indonesia harus mempunyai Langkah-langkah kebijakan
dalam pencegahan dan penanggulangan separatisme adalah (1) pemulihan keamanan untuk
menindak secara tegas separatisme bersenjata yang melanggar hak-hak masyarakat sipil; (2)
meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah rawan konflik atau separatisme melalui
perbaikan akses masyarakat lokal terhadap sumber daya ekonomi dan pemerataan pembangunan
antardaerah; (3) meningkatkan kualitas pelaksanaan otonomi dan desentralisasi; (4) mendeteksi
secara dini dan pencegahan awal potensi konflik dan separatisme; (5) melaksanakan pendidikan
politik secara formal, informal, dialogis, serta melalui media massa dalam rangka meningkatkan rasa
saling percaya; (6) menguatkan kelembagaan pemerintah daerah di bidang pelayanan publik; dan (7)
menguatkan komunikasi politik pemerintah dengan masyarakat.
Contoh upaya yang dilakukan dalam pencegahan dan penanggulangan separatisme ditempuh
melalui program-program sebagai berikut.

A. Pengembangan Ketahanan Nasional
Pengembangan ketahanan nasional dimaksudkan sebagai usaha mengembangkan dan meningkatkan
ketahanan nasional, wawasan nasional dan sistem manajemen nasional, serta wawasan kebangsaan
bagi warga negara dalam rangka mengatasi berbagai aspek ancaman terhadap kehidupan bangsa
dan negara.
Untuk mencapai tujuan tersebut, telah dilakukan perumusan rancangan kebijakan nasional dalam
rangka pembinaan ketahanan nasional untuk menjamin tercapainya tujuan dan kepentingan
nasional dan keselamatan negara dari ancaman terhadap kedaulatan, persatuan, dan kesatuan.
Untuk itu, peneliteian dan pengkajian strategis masalah aktual yang berkaitan dengan konsepsi
pertahanan dan keamanan nasional, wawasan nusantara, ketahanan nasional, dan sistem
manajemen nasional merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk mendukung upaya
mencapaian tujuan tersebut.

B. Penyelidikan, Pengamanan dan Penggalangan Keamanan Negara
Penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan keamanan negara dimaksudkan sebagai usaha
meningkatkan kemampuan profesionalisme intelijen guna lebih peka, tajam, dan antisipatif dalam
mendeteksi dan mengeliminasi berbagai ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan yang
berpengaruh terhadap kepentingan nasional dalam hal deteksi dini untuk mencegah dan
menanggulangi separatisme.
Untuk mencapai tujuan tersebut, telah dilakukan operasi intelijen dalam hal deteksi dini untuk
mencegah dan menanggulangi separatisme, koordinasi seluruh badan-badan intelijen pusat dan
daerah di seluruh wilayah NKRI dalam hal mencegah dan menanggulangi separatisme, serta
pengkajian analisis intelijen perkembangan lingkungan strategis, pengolahan dan penyusunan
produk intelijen dalam hal deteksi dini untuk mencegah dan menanggulangi separatisme.
C. Penjagaan Keutuhan Wilayah NKRI
Penjagaan keutuhan wilayah NKRI dimaksudkan sebagai usaha mewujudkan kesiapan operasional
dan penindakan ancaman baik berupa invasi/agresi dari luar dan ancaman dari dalam baik ancaman
militer maupun nonmiliter.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan antisipasi dan pelaksanaan operasi militer atau
nonmiliter terhadap gerakan separatis yang berusaha memisahkan diri dari NKRI terutama gerakan
separatisme bersenjata yang mengancam kedaulatan dan keutuhan wilayah Indonesia.
Di samping itu, dilakukan pula antisipasi dan pelaksanaan operasi militer atau nonmiliter terhadap
aksi radikalisme yang berlatar belakang primordial etnis, ras, dan agama serta ideologi di luar
Pancasila, baik berdiri sendiri maupun memiliki keterkaitan dengan kekuatan-kekuatan di luar
negeri.

D. Pemantapan Keamanan Dalam Negeri
Pemantapan keamanan dalam negeri dimaksudkan sebagai usaha meningkatkan dan memantapkan
keamanan dan ketertiban wilayah Indonesia terutama di daerah rawan, seperti wilayah laut
Indonesia, wilayah perbatasan, dan pulau-pulau terluar, serta meningkatkan kondisi aman wilayah
Indonesia dari tindak kejahatan separatisme.
Untuk mencapai tujuan tersebut, telah dilakukan operasi keamanan dan penegakan hukum dalam
hal penindakan awal separatisme di wilayah kedaulatan NKRI, upaya keamanan dan ketertiban di
wilayah perbatasan dan pulau-pulau terluar, serta pendekatan persuasif secara intensif kepada
masyarakat yang rawan terhadap pengaruh separatis.

E. Peningkatan Komitmen Persatuan dan Kesatuan Nasional
Peningkatan komitmen persatuan dan kesatuan nasional dimaksudkan sebagai usaha menyepakati
kembali makna penting persatuan nasional dalam konstelasi politik yang sudah berubah.
Untuk mencapai tujuan tersebut, telah dilakukan pendidikan politik masyarakat dan sosialisasi
wawasan kebangsaan. Di samping itu, diupayakan pula perwujudan dan fasilitasi berbagai forum
dan wacana-wacana sosial politik yang dapat memperdalam pemahaman mengenai pentingnya
persatuan bangsa, mengikis sikap diskriminatif, dan menghormati perbedaan-perbedaan dalam
masyarakat.

F. Peningkatan Kualitas Pelayanan Informasi Publik
Peningkatan kualitas pelayanan informasi publik sebagai usaha meningkatkan mutu pelayanan dan
arus informasi kepada dan dari masyarakat untuk mendukung proses sosialisasi dan partisipasi
politik rakyat.
Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan implementasi upaya proaktif dalam penyediaan
informasi yang lebih berorientasi pada permintaan dan kebutuhan nyata masyarakat, serta
memperluas jaringan informasi dan penyiaran publik untuk mempromosikan nilai-nilai persatuan
dan persamaan secara sosial.
Kemudian kita akan membahas masalah berikutnya, langkah apakah yang di lakukan pemerintah
dalam menangani GAM, Dalam rangka menyelesaikan masalah separatisme di Aceh secara damai,
bermartabat dan menyeluruh, Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dalam kurun waktu terakhir ini secara intensif melakukan perundingan informal di Helsinski yang
difasilitasi oleh Crisis Management Inisiative. Berbagai issue penting yang telah disepakati oleh
kedua belah pihak dalam perundingan damai tersebut diharapkan akan menjadi landasan yang
kokoh dalam penyelesaian masalah separatisme di Aceh. Lalu Pemerintah Republik Indonesia
bertekad menyelesaikan secara damai, komprehensif, dan bermartabat dalam bingkai NKRI. Dengan
berpedoman pada Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dengan GAM yang
ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, sebagai langkah nyata, Pemerintah RI
dengan negara Uni Eropa dan negara ASEAN akan menandatangani MoU tentang keikutsertaan Aceh
Monitoring Mission (AMM) sehingga diharapkan upaya damai dapat diwujudkan secepatnya. Kedua
MoU tersebut menjadi prinsip dasar bagi para pihak dan digunakan sebagai pedoman untuk
diimplementasikan dengan dimonitor oleh AMM.


III. PENUTUP
Kesimpulan
Untuk menghadapi tantangan yang semakin kompleks di era globalisasi, dimana perubahan-
perubahan terjadi begitu cepat, manusia Indonesia harus memiliki ketahanan pribadi yang kuat yang
berlandaskan kepribadian Pancasila yang mampu berinteraksi dengan lingkungannya.
Dengan demikian maka ketahanan pribadi akan dapat memberikan konstribusi yang nyata di dalam
kehidupan dirinya, keluarganya, lingkungan dan kehidupan berbangsa dan bernegara, sebagai
implementasi dari konsepsi Ketahanan Nasional Indonesia dalam rangka mewujudkan masyarakat
Indonesia yang adil dan makmur, perwujudan dan pencapaian tujuan serta cita-cita nasional
berlandaskan UUD 1945.
Kiranya apa yang dihadapi tahun, 2012, 2018, 2020 serta selanjutnya akan dapat dihadapi dan
diatasi dengan keyakinan karena rasa percaya diri yang secara nyata dan sadar kita tumbuh
kembangkan
Dengan melihat dari contoh kasus dan pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan, yakni:
Persatuan sebagai landasan untuk mencapai ketahanan nasional.
Dari kesatuan pandangan akan didapat ketahanan nasional yang kuat.
Dengan adanya kesamaan pandangan antara pemerintah dengan masyarakat maka dengan mudah
pemerintah dapat menentukan politik dan strategi nasional.
Jika wawasan nasional, ketahanan nasional serta politik dan strategi nasional suatu bangsa tercapai
maka tujuan nasional bangsa tersebut tidak hanya menjadi cita-cita belaka tetapi dapat terwujud

"Para pemberontak sebagai kelompok dapat diberikan hak-hak sebagai pihak sedang berperang (belligerent) dalam
perselisihannya dengan pemerintah yang sah, meskipun tidak dalam artian organisasi seperti negara." Keputusan House
of Lord (1962).

PERMASALAHAN Aceh belakangan ini menjadi diskursus publik di berbagai media massa. Mereka bahkan
memaparkannya dalam ikon-ikon tersendiri. Ikon-ikon ini seperti halnya pada kasus penyerangan Amerika Serikat
terhadap pemerintahan Saddam Husein di Irak. Eskalasi pemberitaan di berbagai media massa meningkat pesat seiring
dengan meningkatnya konflik antara GAM dan TNI yang meningkat ketika pemerintahan Megawati mengeluarkan
keputusan untuk menggelar operasi terpadu di wilayah Aceh.

Peperangan antara GAM dan TNI telah berlangsung lebih dari satu bulan. Dari beberapa informasi media massa
menunjukkan bahwa perang ini telah menyebabkan kerugian harta benda dan nyawa, baik dari pihak TNI, GAM
maupun
pihak masyarakat sipil. Perang yang diawali tindakan diskriminatif baik secara ekonomi maupun politik oleh
pemerintahan
Orde Baru kepada masyarakat Aceh bukanlah fenomena baru dalam tatanan internasional. Padahal, dalam konvensi
PBB
Pasal 1 ayat 1 secara tegas menolak praktik-praktik diskriminasi. Perang yang dalam klasifikasinya termasuk kategori
perang internal ini sebelumnya juga melanda negara-negara di Amerika Latin, khususnya ketika rezim-rezim diktator
berkuasa di wilayah tersebut. Gerakan-gerakan yang mereka tempuh biasanya berupa gerakan pembebasan nasional.

Bagi pemerintah yang berkuasa yakni pemerintahan Mega-Hamzah, tindakan GAM tersebut dianggap sebagai usaha
memberontak terhadap pemerintahan yang sah dan berdaulat. Pemerintah berpendapat bahwa GAM adalah gerakan
separatis bersenjata yang mengancam kedaulatan NKRI dan mengganggu semangat nasionalisme. Di Indonesia sendiri,
gerakan pemberontakan semacam ini tidak hanya muncul di Aceh, tetapi juga di Papua, Makassar, dan wilayah lainnya.
Gerakan ini marak ketika reformasi digulirkan pada tahun 1998 yang memberikan sedikit angin segar bagi kebebasan
berpendapat.

Namun, di antara semua itu, GAM adalah bentuk organisasi pemberontak yang terbesar di wilayah Indonesia dilihat
dari
beberapa parameter. Pertama, GAM punya struktur pemerintahan sendiri yang tersebar hampir di seluruh wilayah Aceh.
Dengan pemerintahan ini, GAM dapat menyelenggarakan kegiatan administrasi dalam interaksi sosial dan hal ini sudah
dilaksanakan oleh GAM sehingga terdapat dua administrasi di wilayah Aceh.

Kedua, GAM memiliki angkatan perang yang jumlahnya memadai. Angkatan perang inilah yang kemudian menjalankan
fungsi keamanan internal di tingkatan mereka. Kedua faktor inilah yang akhirnya membentuk parameter ketiga yakni
otoritas de facto di wilayah Aceh.

Dalam kerangka hukum internasional, organisasi GAM dapat dikategorikan sebagai kelompok pemberontak
(belligerent)
yang diakui sebagai subjek dari hukum internasional. Subjek hukum internasional adalah kesatuan entitas yang dapat
dikenai hak dan kewajiban internasional. Selain kelompok pemberontak, subjek hukum internasional yang cukup
penting
adalah negara, individu, dan organisasi internasional. Pengakuan GAM sebagai subjek hukum internasional dilihat dari
beberapa prinsip penting.

Pertama, kegiatan-kegiatan GAM telah mencapai suatu titik keberhasilan saat mereka dapat menduduki secara efektif
dan
membentuk otoritas de facto di wilayah Aceh yang sebelumnya dikuasai penuh oleh pemerintah Indonesia. Prinsip ini
muncul karena ada pertimbangan negara lain menyangkut kepentingan perlindungan warga negaranya dan
perdagangan
internasional.

Dalam kondisi ini, negara-negara luar dapat mengambil keputusan untuk mengakui secara de facto kepada GAM
terbatas
pada wilayah Aceh. Pengakuan seperti ini pernah ditempuh pemerintah Inggris terhadap pihak pemberontak dalam
perang saudara di Spanyol tahun 1937. Kedua, peperangan antara pihak GAM dan TNI telah mencapai dimensi tertentu
di
mana negara luar harus melihatnya sebagai perang sesungguhnya antara dua kekuatan. Konsekuensinya adalah
pelaksanaan hukum perang bagi kedua belah pihak. Pengakuan keadaan berperang ini tentu sangat berbeda dari
pengakuan pemerintah induk atau pemerintah pemberontak sebagai pemerintah yang sah.

Dalam pengakuan de facto kepada GAM, hanya pemerintah RI yang diakui secara de jure yang dapat mengklaim atas
harta benda yang berada di seluruh wilayah RI termasuk Aceh. Selain itu, hanya pemerintah RI yang dapat mewakili
negara untuk tujuan suksesi negara dan wakil-wakil dari kelompok GAM yang diakui de facto secara hukum tidak
berhak
atas imunitas-imunitas dan privilegde-privilegde diplomatik penuh (Starke:1992).

Oleh karenanya, jelas bahwa perang antara GAM dan TNI harus dilihat sebagai peperangan dua pihak yang harus
memerhatikan hukum perang. Sebenarnya penyelesaian konflik antara GAM dan TNI dapat ditempuh dengan jalan
diplomasi. Hal ini karena dalam perspektif hukum internasional, GAM dapat diakui sebagai kaum belligerent
(pemberontak) sehingga mampu menjadi subjek dari hukum internasional. Meskipun pada proses historisnya jalan
diplomasi kerap tidak menemukan titik temu, sebagai langkah demokratis, kegagalan tersebut harus saling
diintrospeksi
satu sama lain. Yang terpenting lagi adalah bagaimana mengikutsertakan perwakilan dari masyarakat sipil sebagai
komunitas mayoritas di Aceh dalam setiap meja perundingan.

Sejarah telah membuktikan bahwa cara-cara militeristik tidak mampu menyelesaikan perang. Masih teringat di benak
kita
bagaimana Orde Baru menggelar DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh sebagai suatu penyelesaian terhadap GAM.
Yang
terjadi adalah tumbuhnya benih-benih rasialisme yang berkembang hingga saat ini. Mampukah operasi militer
menyelesaikan konflik antara GAM dan TNI ataukah justru akan menciptakan konflik yang berkepanjangan? Dialektika
sejarahlah yang akan menjawab semua itu. ***

Oleh ENY PRIHATINI, asisten dosen pada jurusan Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran.
http://www.duniaesai.com/index.php?option=com_content&view=article&id=183:gam-dalam-
perspektif-hukum-internasional&catid=40:hukum&Itemid=93
Aceh pascadamai mengalami perubahan struktur politik yang drastis. Perubahan ini
semakin kuat setelah adanya partai politik lokal, di mana mayoritas eks kombatan
Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berestorasi ke dalam Partai Aceh (PA) yang
kemudian berkuasa di eksekutif dan legislatif. Perjuangan GAM secara legal melalui
partai untuk melanjutkan cita-cita politiknya, sepertinya belum padam. Pada Pemilu
2009, PA menjadi partai pemenang di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)
maupun di 17 DPR kabupaten/kota. Pada saat itu eks-GAM/PA menguasai sekitar
10 kepala daerah kabupaten/kota. Kondisi ini memperkuat konsolidasi PA secara
logistik, politik, dan struktur partainya. Ini tentunya semakin memudahkan mereka
dalam membangun kekuatan politik dan ekonomi.
Kekuatan politik secara de facto, sebenarnya sudah mereka dapatkan selama konflik
Aceh. Tetapi, dengan kemenangan Pemilukada 2006 di beberapa kabupaten/kota,
Gubernur Aceh, dan Pemilu 2009, PA telah mendapatkan kekuatan politik secara de
jure. Dengan begitu mereka semakin mudah melakukan manuver politik kepada
pemerintah pusat dan internasional untuk mencapai cita-cita mereka.
Pasca-Pemilukada 2012, kekuatan politik PA mengalami peningkatan drastis.
Mereka menguasai Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali
Kota/Wakil Wali Kota di 10 kabupaten/kota, sekaligus kekuatan di parlemen. Inilah
yang membuat PA begitu berani dan terbuka mengajukan usulan pembuatan qanun
Lembaga Wali Nangroe, sebagai cikal bakal Kepala Pemerintahan Negara Aceh
(karena Aceh dirancang sebagai sebuah negara monarki konstitusional), dan
mengajukan usulan pembuatan qanun Bendera dan Lambang Aceh.
Polemik Qanun Wali Nanggroe, Lambang dan Bendera
Disahkannya Qanun Aceh Nomor 8 Tahun 2012 tentang Wali Nanggroe dan Qanun
Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tentang Bendera dan Lambang Aceh telah mengubah
konstalasi politik antara pemerintah Aceh dengan pemerintah
pusat. Settingpemerintah Aceh, perlahan tapi pasti, memunculkan identitas
sebenarnya melalui mekanisme Qanun Aceh di DPRA.
Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat pemersatu masyarakat
independen, berwibawa, berwenang membina/mengawasi penyelenggaraan
kehidupan lembaga-lembaga adat, adat-istiadat, pemberian gelar/derajat dan
upacara-upacara adat lainnya. Namun, dalam qanun tersebut, hak dan wewenang
Wali Nanggroe bertambah luas termasuk membina kehidupan politik di Provinsi
Aceh.Kewenangan dan struktur organisasi Wali Nanggroe pun tumpang tindih
dengan fungsi pemerintahan yang selama ini dijalankan oleh Pemerintah Aceh.
Beberapa keistimewaan lain dari Wali Nanggroe adalah memiliki hak imunitas terkait
pertanyaan, pernyataan, pendapat, dan/atau tindakan yang berkaitan dengan tugas,
fungsi, dan kewenangannya. Wali Nanggroe juga mempunyai kewenangan
melakukan kerja sama dengan lembaga atau badan luar negeri. Syarat menjadi Wali
Nanggroe juga bisa dikatakan diskriminatif karena hanya dibatasi bagi
yang fasihberbahasa Aceh serta dikenal keturunan dan nasabnya sebagai orang
Aceh sampai 4 keturunan ke atas. Pembatasan ini berlaku bagi struktur organisasi
Wali Nanggroe lainnya seperti majelis tuha peuet, majelis fatwa dan majelis tuha
lapan. Sedangkan sruktur lainnya juga dibatasi pada kemampuan berbahasa Aceh.
Hal ini kemudian memunculkan gesekan vertikal dan horizontal. Selain berseteru
dengan Jakarta, beberapa suku minoritas yang tidak setuju dengan pengesahan
keduaqanun tersebut mulai menganggap kedua qanun itu tidak mewakili aspirasi
semua suku di Aceh seperti Gayo, Alas, Tamiang, Singkil, Aceh Selatan (Aneuk
Jamee).Bahkan mereka menilai, selain diskriminatif, Qanun Wali Nanggroe
melampau batas kewenangannya. Keistimewaan lain yang diberikan dalam UU
Nomor 11/2006 adalah terkait bendera dan lambang daerah Aceh. Pada 25 Maret
2013, Gubernur Aceh menetapkan Qanun Nomor 3/2013 tentang Lambang dan
Bendera Aceh, dengan menetapkan binatang Buraq Singa sebagai
lambang dan Bulan Sabit Merah sebagai bendera Aceh. Lambang maupun bendera
tersebut merupakan lambang dan bendera yang selama ini dipakai
oleh GAM. Padahal, sebelumnya disepakati bendera Aceh adalah Alam Pedang.
Setelah pengesahan kedua qanun tersebut, Mendagri memberikan koreksi, namun
Pemerintah Aceh mengabaikannya. Pengabaian koreksi ini direspons Mendagri
dengan cara dingin, malah Mendagri mengajak pihak legislatif dan eksekutif Aceh
untuk berdialog. Sikap Mendagri ini terkesan membiarkan apa yang sedang terjadi di
Aceh dan memberi angin segar bagi PA/GAM untuk
terus memperjuangkankepentingan mereka. Pertemuan antara Mendagri
dengan Gubernur Aceh untuk membahas masalah kedua qanun
juga terkesan ditutupi. Misalnya, pertemuan tersebut dilakukan secara tertutup
antara Mendagri, Gubernur Aceh, dan Malik Mahmud(Pemangku Wali Nanggroe),
tanpa melibatkan Pangdam IM, Kapolda Aceh, BIN, serta muspida lainnya.
Sikap Mendagri tersebut telah melahirkan ancaman nyata terhadap
keberlangsungan NKRI di Aceh. Sikap Mendagri ini membuat PA/GAM semakin
berani mengabaikanaturan hukum negara ini. Bahkan, dalam aspek penganggaran
serta pengesahannya, PA/GAM melalui eksekutif dan legislatif telah mengesahkan
APBA siluman sebesarRp1,8 triliun.
Aceh (Tidak Bisa) Merdeka
Dilihat secara teoritik, keberadaan negara bangsa akan terbentuk apabila memenuhi
lima syarat penting, yaitu mempunyai wilayah/daerah
tertentu; adanya rakyat; adanya pemerintahan; adanya pengakuan negara dari
negara-negara lain; dan adanya tujuan negara.
Jika kita mau jujur, kelima syarat tersebut bukanlah hal yang jauh panggang dari
api lagi bagi Aceh. Sikap pemerintah pusat yang terkesan melakukan pembiaran
dapat semakin menguatkan pergerakan politik GAM dan PA. Ini bisa
berubah menjadi tsunami politik, apalagi Aceh kini telah memiliki payung hukum
kokoh, yaitu MoU dan UUPA yang masyarakatnya dipersatukan dengan Lambang
dan Bendera Aceh. Lambang dan bendera ini pun terus memberikan roh
kebangkitan heroisme perjuangan kemerdekaan dan kebencian terhadap
pemerintah pusat.
Selain itu, sebagai pemegang kendali di eksekutif dan legislatif, akan memudahkan
PA untuk mendapatkan simpati dan dukungan internasional. Bahkan, tujuan
bernegarapun akan dengan mudah direalisasikan, mengingat GAM atau
PA adalah organisasi yang sudah memiliki tujuan dan cita-cita. Kondisi ini sungguh
merisaukan keberlangsungan NKRI di Aceh, terlebih lagi dalam event politik tahun
2014, di mana PA dapat dipastikan akan menguasai parlemen tanpa penyeimbang
yang tangguh. Jika ini dibiarkan, maka cita-cita mengamankan NKRI di Aceh akan
menjadi kenangan sejarah.
Keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI sebenarnya bukanlah keinginan dari
masyarakat Aceh, melainkan kelompok-kelompok kepentingan seperti GAM. Hal ini
terlihat dari banyaknya masyarakat Aceh yang turut memprotes lambang dan
bendera Aceh yang mirip dengan milik GAM. Keinginan merdeka tersebut tentunya
tidak lepas dari kepentingan asing, yang tanpa disadari telah memanfaatkan
kelompok tersebut. Walaupun pemerintah pusat terkesan melakukan pembiaran
terhadap masalah-masalah di Aceh, tanpa mereka sadari, berbagai upaya juga telah
dilakukan pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat Aceh. Berbagai upaya
tersebut juga tidak memakan usaha dan dana yang sedikit. Contohnya, saat Aceh
dilanda tsunami tahun 2004. Bagaimana Aceh mampu bertahan dan bangkit kembali
tanpa turun tangan pemerintah pusat? Selain itu, pemberian otonomi khusus bagi
Aceh yang tidak diberikan kepada provinsi lain di Indonesia. Jika mereka mau
menyadari, sebenarnya pemerintah telah melakukan banyak hal bagi Aceh. Oleh
karena itu, merdeka bukanlah keinginan yang tepat, dan sampai kapan pun Aceh
akan tetap menjadi bagian dari NKRI
http://hankam.kompasiana.com/2013/09/13/melihat-aceh-dalam-lingkaran-nkri-591262.html

Anda mungkin juga menyukai