Anda di halaman 1dari 31

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses pengobatan menggambarkan suatu proses normal atau "fisiologik" dari
pengobatan, di mana diperlukan pengetahuan, keahlian sekaligus berbagai pertimbangan
profesional dalam setiap tahap sebelum menuliskan resep. Kenyataannya dalam praktek,
sering dijumpai kebiasaan pengobatan (peresepan, prescribing habit) yang tidak berdasarkan
proses dan tahap ilmiah tersebut. Hal ini sering menimbulkan suatu keadaan "patologik" atau
tidak rasional dalam peresepan dengan berbagai dampaknya yang merugikan. Secara umum
patologi peresepan ini lebih dikenal sebagai peresepan yang tidak rasional (irrational
prescribing) atau peresepan yang tidak benar(in appropriate prescribing).1
Pemberian obat untuk penderita rawat jalan umumnya menggunakan resep atau order
dokter. Evaluasi penulisan resep perlu dilakukan di rumah sakit, karena penggunaan obat yang
sangat meningkat, memungkinkan meningkatnya bahaya kesalahan yang merupakan
penyebab utama kesalahan obat dalam rumah sakit. Intervensi apoteker dalam evaluasi
penulisan resep dapat mengurangi terjadinya kesalahan obat. Apoteker juga harus
berpartisipasi dalam komite rumah sakit yang sesuai, serta bekerja sama dengan dokter,
perawat, pimpinan rumah sakit, untuk memeriksa dan menyempurnakan sistem guna
memastikan bahwa proses pengobatan aman.1
Untuk dapat menuliskan resep yang tepat dan rasional seorang petugas medis harus
memiliki cukup pengetahuan dasar mengenai ilmu-ilmu farmakologi yaitu tentang
farmakodinamik, farmakokinetik, dan sifat-sifat fisikokimia obat yang diberikan. Oleh karena
itu petugas medis berperan penting dalam proses pelayanan kesehatan khususnya dalam
melaksanakan pengobatan melalui pemberian obat kepada pasien. Kejadian penulisan resep
yang tidak rasional dilaporkan dalam suatu penelitian oleh Oviave (1989) yaitu 74,3 %
disebabkan oleh penulisan resep yang tidak esensial, dalam suatu survey mengenai
polifarmasi pada pasien di rumah sakit dilaporkan terjadi insiden efek samping, karena adanya
kemungkinan interaksi obat.1
Pemberian obat lebih dari satu macam yang lebih dikenal dengan polifarmasi ini
disamping dapat memperkuat kerja obat (potensiasi) juga dapat berlawanan (antagonis),
mengganggu

absorbsi,

mempengaruhi

distribusi,

mempengaruhi

metabolisme,

dan

mengganggu ekskresi obat yang disebabkan oleh terjadinya interaksi obat. Yang dimaksud

dengan interaksi obat ialah reaksi yang terjadi antara obat dengan senyawa kimia (obat lain,
makanan) di dalam tubuh maupun pada permukaan tubuh yang dapat mempengaruhi kerja
obat. Dapat terjadi peningkatan kerja obat, pengurangan kerja obat atau obat sama sekali tidak
menimbullkan efek. Interaksi obat yang terjadi di dalam tubuh yaitu interaksi farmakokinetik
dan farmakodinamik sering kali lolos dari pengamatan dokter karena kurangnya pengetahuan
dari mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat, selain itu kurangnya pengetahuan
dokter mengenai farmakologi (farmakodinamik dan farmakokinetik) suatu obat dapat
mengakibatkan tidak lengkapnya penulisan resep jika ditinjau dari interaksi obat yang terjadi.2
Penulisan resep yang tidak lengkap dapat mengakibatkan pemakaian obat yang tidak
rasional merupakan masalah serius dalam pelayanan kesehatan oleh karena kemungkinan
dampak negatif yang terjadi. Yang jelas masih banyak hal yang dapat ditingkatkan dalam
pemakaian obat umumnya dan khususnya dalam peresepan obat (prescribing). Secara singkat,
pemakaian obat (lebih sempit lagi adalah peresepan obat atau prescribing), dikatakan tidak
lengkap apabila kemungkinan untuk memberikan manfaat kecil atau tidak ada sama sekali,
sedangkan kemungkinan manfaatnya tidak sebanding dengan kemungkinan efek samping atau
biayanya.2 Pentingnya penulisan resep rasional, sehingga penulis ingin membahas penulisan
resep rasional pada makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar berlakang di atas dapat dirumuskan masalah bagaimana
kerasionalan obat di Puskesmas kota Palembang?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui gambaran kelengkapan penulisan resep di Puskesmas kota Palembang.
2. Menganalisa rasionalitas penulisan resep di Puskesmas kota Palembang.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelolaan Obat
Pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut aspek
perencanaan,

permintaan,

penerimaan,

penyimpanan,

pendistribusian,

pengendalian,

pencatatan dan pelaporan serta pemantauan dan evaluasi. Pengelolaan obat bertujuan
menjamin kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan obat yang efisien, efektif, dan
rasional, meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga kefarmasian, mewujudkan sistem
informasi manajemen, dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan. Laporan Pemakaian
dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) merupakan salah satu contoh pengelolaan obat yang
bermanfaat untuk mengendalikan tingkatan stok, perencanaan distribusi, perencanaan
kebutuhan obat dan memantau penggunaan obat.3
Terlaksananya pengelolaan obat dengan efektif dan efisien perlu ditunjang dengan
sistem informasi manajemen obat untuk menggalang keterpaduan pelaksanaan kegiatankegiatan pengelolaan obat. Dengan adanya sistem ini pelaksanaan salah satu kegiatan dengan
mudah diselaraskan dengan yang lain. Selain itu, berbagai kendala yang menimbulkan
kegagalan atau keterlambatan salah satu kegiatan dapat dengan cepat dapat diketahui,
sehingga segera dapat ditempuh berbagai tindakan operasional yang diperlukan untuk
mengatasinya.3,4
2.2 Perencanaan
Perencanaan adalah suatu proses kegiatan seleksi obat dan perbekalan kesehatan untuk
menentukan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan Puskesmas. Perencanaan dalam
proses perencanaan kebutuhan obat pertahun Puskesmas diminta menyediakan data
pemakaian obat dengan menggunakan LPLPO. Selanjutnya Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota
yang akan melakukan kompilasi dan analisa terhadap kebutuhan obat Puskesmas di wilayah
kerjanya. Kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan kebutuhan obat antara lain;3
a. Tahap Pemilihan Obat
Fungsi seleksi/ pemilihan obat adalah untuk menentukkan apakah obat benar-benar
diperlukan sesuai dengan jumlah penduduk dan pola penyakit di daerah. Untuk
mendapatkan pengadaan obat yang baik, sebaiknya diawali dengan dasar-dasar
seleksi kebutuhan obat yaitu meliputi:

1. Obat dipilih berdasarkan seleksi ilmiah, medik dan statistik yang memberikan
efek terapi jauh lebih baik dibandingkan resiko efek samping yang akan
ditimbulkan.
2. Jenis obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara menghindari duplikasi
dan kesamaan jenis.
3. Jika ada obat baru harus ada bukti yang spesifik untuk efek terapi yang lebih
baik.
4. Hindari penggunaan kombinasi, kecuali jika obat kombinasi mempunyai efek
yang lebih baik dibanding obat tunggal.
5. Apabila jenis obat banyak, maka kita memilih berdasarkan obat pilihan (drug of
choice) dari penyakit yang prevalensinya tinggi.
b. Tahap Perhitungan Kebutuhan Obat
Kompilasi pemakaian obat berfungsi untuk mengetahui pemakaian bulanan masingmasing jenis obat di unit pelayanan kesehatan/puskesmas selama setahun dan
sebagai pembanding bagi stok optimum.
Informasi yang didapat dari kompilasi pemakaian obat adalah:
1. Jumlah pemakaian tiap jenis obat pada masing-masing unit pelayanan
kesehatan/puskesmas.
2. Persentase pemakaian tiap jenis obat terhadap total pemakaian setahun seluruh
unit pelayanan kesehatan/puskesmas.
3. Pemakaian rata-rata untuk setiap jenis obat untuk tingkat kabupaten/kota.
c. Tahap perhitungan kebutuhan obat menentukkan kebutuhan obat merupakan
tantangan yang berat yang harus dihadapi oleh tenaga farmasi yang bekerja di
UPOPPK kabupaten/kota maupun

Unit Pelayanan Kesehatan Dasar (PKD).

Masalah kekosongan obat atau kelebihan obat dapat terjadi apabila informasi
semata-mata hanya berdasarkan informasi teoritis terhadap kebutuhan pengobatan.
Koordinasi dan proses perencanaan untuk pengadaan obat secara terpadu serta
melalui tahapan seperti diatas, diharapkan obat yang direncanakan dapat tepat jenis,
tepat jumlah serta tepat waktu dan tersedia pada saat dibutuhkan.
Metode yang lazim digunakan untuk menyusun perkiraan kebutuhan obat di tiap
unit pelayanan kesehatan adalah:
1.1 Metode Konsumsi
Metode ini dilakukan dengan menganalisis data komsumsi obat tahun
sebelumnya. Hal yang perlu diperhatikan antara lain:
Pengumpulan data dan pengolahan data
Analisis data untuk informasi dan evaluasi
Perhitungan perkiraan kebutuhan obat
2.1 Metode Epidemiologi

Metode ini dilakukan dengan menganalisis kebutuhan obat berdasarkan pola


penyakit, perkiraan kunjungan dan waktu tunggu (lead time).
Langkah-langkah dalam metode ini antara lain:
Menentukan jumlah penduduk yang akan dilayani
Menentukan jumlah kunjungan kasus berdasarkan frekuensi penyakit
Menyediakan standar/pedoman pengobatan yang digunakan
Menghitung perkiraan kebutuhan obat
Penyesuaian dengan alokasi dana yang tersedia.
2.3 Permintaan
Permintaan/pengadaan obat adalah suatu proses pengusulan dalam rangka menyediakan
obat

dan

alat

kesehatan

untuk

memenuhi

kebutuhan

pelayan

di

puskesmas.

Permintaan/pengadaan dimaksudkan agar obat tersedia dengan jenis dan jumlah yang tepat.
Pegadaan meliputi kegiatan pengusulan kepada kota/kabupaten melalui mekanisme Lembar
Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO). Permintaan/pengadaan obat di puskesmas
merupakan bagian dari tugas distribusi obat oleh Gudang Farmasi Kabupaten/Kota (GFK),
sehingga ketersediaan obat di puskesmas sangat tergantung dari kemampuan GFK dalam
melakukan distribusi berdasarkan laporan pemakaian dan permintaan obat di semua
puskesmas.
Dalam rangka mengajukan usulan kebutuhan obat ke kota/kabupaten, puskesmas perlu
memperhatikan tenggang waktu antara pengajuan usulan dengan waktu penyerahan obat ke
puskesmas. Umumnya waktu pengajuan dan pengiriman obat oleh GFK ke masing-masing
puskesmas sudah ditetapkan sebelumnya berdasarkan kesepakatan antara GFK dengan
puskesmas. Permintaan obat untuk mendukung pelayanan kesehatan di puskesmas diajukan
oleh Kepala Puskesmas kepada Dinas Kesehatan kabupaten/kota melalui GFK dengan
menggunakan format LPLPO, sedangkan permintaan dari sub

unit. Berdasarkan

pertimbangan efisiensi dan ketepatan waktu penyerahan obat kepada puskesmas, Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat menyusun petunjuk mengenai alur permintaan dan
penyerahan obat dari GFK ke puskesmas.
Kegiatan permintaan dari puskesmas ke GFK dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Permintaan rutin yaitu permintaan yang dilakukan sesuai dengan jadwal yang
disepakati oleh Dinas Kesehatan dan masing-masing Puskesmas.
b. Permintaan khusus yaitu permintaan yang dilakukan diluar jadwal yang telah
disepakati apabila terjadi peningkatan yang menyebabkan kekosongan obat dan
penanganan kejadian luar bias (KLB) serta obat rusak.

Sumber penyediaan obat di Puskesmas berasal dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.


Obat yang diadakan di Puskesmas adalah obat esensial yang jenis dan itemnya merujuk pada
DOEN. Selain itu sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan No.085/1989 tentang
kewajiban menuliskan resep generik dan atau menggunakan obat generik di fasilitas
pelayanan kesehatan pemerintah, maka hanya obat generik yang diperkenankan tersedia di
Puskesmas. Dengan dasar pertimbangan:
Obat generik mempunyai mutu, efikasi yang memenuhi standar pengobatan
Meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan publik
Menjaga kelangsungan pelayanan publik
Meningkatkan efektifitas dan efisiensi alokasi dana obat pelayanan kesehatan publik.
Kegiatan utama dalam permintaan dalam pengadaan obat baik di Rumah sakit maupun
Puskesmas antara lain berupa:
a. Menyusun daftar permintaan obat-obatan yang sesuai dengan kebutuhan.
b. Mengajukan permintaan kebutuhan obat kepada Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten
c.

dan GFK dengan menggunakan LPLPO.


Penerimaan dan pengecekan jenis dan jumlah obat.

Penerimaan adalah suatu kegiatan dalam menerima obat-obatan yang diserahkan dari
unit pengelola yang lebih tinggi kepada unit pengelola di bawahnya. Setiap penyerahan obat
oleh Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota, kepada Puskesmas dilaksanakan setelah mendapat
persetujuan dari Kepala Diknas Kesehatan Kabupaten/Kota atau pejabat yang diberi
wewenang untuk itu. Semua petugas yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan obat
bertanggung jawab atas ketertiban penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan, dan penggunaan
obat berikut kelengkapan catatan yang menyertainya.
Pelaksanaan fungsi pengendalian distribusi obat kepada Puskesmas Pembantu dan sub
unit kesehatan lainnya merupakan tanggung jawab Kepala Puskesmas Induk. Petugas
penerima obat wajib melakukan pengecekan terhadap obat-obatan yang diserahkan,
mencakup jumlah kemasan/peti, jenis dan jumlah obat, bentuk obat sesuai dengan isi
dokumen (LPLPO) dan ditanda tangani oleh petugas penerima/diketahui Kepala Puskesmas.
Bila tidak memenuhi syarat petugas penerima dapat mengajukan keberatan.
Jika terdapat kekurangan, penerimaan obat wajib menuliskan jenis yang kurang (rusak,
jumlah kurang, dan lain-lain). Setiap penambahan obat-obatan, di catat dan dibukukan pada
buku penerimaan obat dan kartu stok.
Penyimpanan adalah suatu kegiatan pengamanan terhadap obat-obatan yang diterima
agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap
terjamin.

1. Persyaratan gudang dan pengaturan penyimpanan obat.


a. Persyaratan gudang
Cukup luas minimal 3x4 m2.
Ruangan kering tidak lembab.
Ada ventilasi agar ada aliran udara dan tidak lembab/panas.
Perlu cahaya yang cukup, namun jendela harus mempunyai pelindung untuk
mengihindarkan adanya cahaya langsung dan berteralis.
Lantai dibuat dari tegel/semen yang tidak memungkinkan bertumpuknya debu dan
kotoran lain. Bila perlu diberi alas papan (palet).
Dinding di buat licin.
Hindari perbuatan sudut lantai dan dinding yang tajam.
Gudang digunakan khusus untuk penyimpanan obat.
Mempunyai pintu yang dilengkapi kunci ganda.
Tersedia lemari/laci khusus untuk narkotika dan psikotropika yang selalu terkunci.
Sebaiknya ada pengukur suhu ruangan.
b. Pengaturan penyimpanan obat:
Obat di susun secara alfabetis.
Obat dirotasikan dengan sistem FIFO dan FEFO.
Obat disimpan pada rak obat yang disimpan pada lantai harus di letakan diatas
palet.
Tumpukan dus sebaiknya harus sesuai dengan petunjuk.
Cairan dipisahkan dari padatan.
Sera, vaksin, supositoria disimpan dalam lemari pendingin.
2. Kondisi penyimpanan
Untuk menjaga mutu obat perlu diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut:
a. Kelembaban
Udara lembab dapat mempengaruhi obat-obatan yang tidak tertutup sehingga
mempercepat kerusakan. Untuk menghindari udara lembab maka perlu dilakukan
upaya berikut;
Ventilasi harus baik, jendela dibuka.

Simpan obat ditempat yang kering.


Wadah harus selalu tertutup rapat, jangan dibiarkan terbuka.
Bila memungkinkan pasang kipas angin atau AC. Karena makin panas udara
di dalam ruangan maka semakin lembab.
Kalau ada atap yang bocor harus segera diperbaiki.
b. Sinar matahari
Kebanyakan cairan, larutan dan injeksi cepat rusak karena pengaruh sinar matahari.
Cara mencegah kerusakan karena sinar matahari:
Gunakan wadah botol atau vial yang berwarna gelap (coklat).
Jangan letakkan botol atau vial di udara terbuka.
Obat yang penting dapat disimpan di dalam lemari.
Jendela diberi gorden.
Kaca jendela di cat putih.
c. Temperatur/panas
Seperti salep, krim dan suposituria sangat sensitif terhadap pengaruh panas, dapat
meleleh. Oleh karena itu hindarkan obat dari udara panas, ruangan harus sejuk,
beberapa jenis obat harus disimpan di dalam lemari pendingin pada suhu 4 8 oC
seperti;
Vaksin.
Sera dan produk darah.
Antitoksin.
Insulin.
Injeksi antibiotika yang sudah dipakai (sisa).
Injeksi oksitosin.
Cara mencegah kerusakan karena panas:
Pasang ventilasi udara.
Atap gedung jangan dibuat dari bahan metal.
Buka jendela sehingga terjadi sirkulasi udara.
d. Kerusakan fisik
Untuk menghindari kerusakan fisik;
Dus obat jangan ditumpuk terlalu tinggi.
Penumpukan dus obat sesuai dnegan petunjuk pada karton.
Hindari kontak dengan benda-benda tajam.

e. Kontaminasi bakteri
Wadah obat harus selalu rapat. Apabila wadah terbuka, maka obat mudah tercemar
oleh bakteri atau jamur.
f. Pengotoran
2.4 Distribusi
Distribusi adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran dan pengiriman
obat-obatan yang bermutu, terjamin keabsahannya serta tepat jenis dan jumlahnya dari
gudang obat di unit-unit pelayanan kesehatan termasuk penyerahan obat kepada pasien.
Distribusi obat bertujuan untuk mendekatkan obat dan alat kesehatan kepada pemakai di
unit pelayanan kesehatan sehingga setiap saat tersedia dalam jumlah, jenis, mutu yang di
butuhkan secara ekonomis dan efektif. Kegiatan distribusi meliputi:
a. Menentukan frekuensi/jadwal distribusi
Dalam menentukkan frekuensi distribusi perlu pertimbangan jarak sub unit
pelayanan dan biaya distribusi yang tersedia.
b. Menentukan jumlah obat
Dalam menentukan jumlah obat perlu dipertimbangkan pemakaian rata-rata setiap
jenis obat, sisa stok obat, pola penyakit, jumlah kunjungan di masing-masing sub
unit pelayanan kesehatan dengan menghitung stok optimum setiap jenis obat.
c. Memeriksa mutu dan kadaluarsa obat
Obat dan alat bantu kesehatan yang didistribusi ke sub unit pelayanan kesehatan
perlu dicek mutu dan kadaluarsanya.
d. Melaksanakan penyerahan dapat dilakukan dengan cara:

Gudang obat menyerahkan/mengirim obat dan diterima di sub unit


pelayanan

Diambil sendiri oleh petugas sub unit pelayanan. Obat diserahkan dengan
formulir LPLPO yang sudah ditanda tangani dan satu rangkap disimpan
sebagai tanda bukti penyerahan/penerimaan obat.

Menandatangani dokumen penyerahan obat ke sub unit berupa LPLPO sub


unit.

Tata cara pendistribusian obat antara lain:


a. Unit pengelola obat tingkat Kabupaten/Kota melaksanakan distribusi obat ke
puskesmas dan rumah sakit yang ada di wilayah kerjanya sesuai dengan kebutuhan
masing-masing unit pelayanan kesehatan.
b. Obat-obatan yang akan dikirim ke Puskesmas harus disertai dokumen penyerahan
dan pengiriman obat.

10

c. Sebelum dilakukan pengepakan atas obat-obat yang akan dikirim, maka perlu
dilakukan pemeriksaan terhadap:
Jenis dan jumlah obat
Kualitas/kondisi obat
Isi kemasan
Kelengkapan dan kebenaran dokumen
Puskesmas induk mendistribusikan kebutuhan obat untuk Puskesmas
pembantu, Puskesmas keliling dan unit-unit pelayanan kesehatan harus
dicatat dalam kartu stok obat.

GFK

Puskesmas
Gudang Obat

UPO
UPO
UPO
UPO
Kamar Suntik Puskesmas Pembantu
Puskesmas Keliling Posyandu
dll

UPO
Kamar Obat

Gambar 1. Jalur Distribusi dan Pelaporan Obat di Puskesmas

Keterangan:
GFK
Sie
UPO

=
=
=
=
=

Gudang Farmasi Kabupaten/Kota


Seksi
Unit Pelayanan Obat
Distribusi
Pelaporan

2.5 Kerasionalan Obat


Penggunaan obat-obatan yang tidak rasional menyebabkan dampak negatif yang
diterima oleh pasien lebih besar daripada manfaatnya. Bisa dampaknya berupa klinik
misalnya efek samping, resistensi-resistensi kuman, dampak ekonomis (biaya mahal tidak
terjangkau) dan dampak social (ketergantungan pasien terhadap intervensi obat).
Mengabaikan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penggunaan obat dapat memberi
dampak terhadap mutu pelayanan kesehatan (pengobatan) dan terhadap pemakaian sumber
dana kesehatan serta meningkatkan resiko efek samping obat.
Menurut WHO, Penggunaan obat dilakukan rasional apabila memenuhi kriteria:4,7

11

a.
b.
c.
d.

Sesuai dengan indikasi penyakit


Tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau
Diberikan dengan interval waktu pemberian yang tepat
Obat yang diberikan harus efektif dengan mutu terjamin dan aman.

Pemakaian obat dikatakan rasional jika memenuhi beberapa persyaratan tertentu yang
secara garis besarnya harus mencakup hal-hal ketepatan diagnosis, ketepatan indikasi
penggunaan obat, ketepatan pemulihan obat, ketepatan dosis secara rasional, ketepatan
penilaian terhadap pasien, ketepatan pemberian informasi dan ketepatan dalam tindak lanjut
peresepan yang rasional. Penggunaan obat berkaitan dengan peresepan yang rasional dan
pelayanan obat, peresepan yang rasional apabila diagnosis yang ditegakkan sesuai dengan
kondisi pasien memilih obat yang paling tepat dari berbagai alternatif obat yang ada dan
merespon obat dengan dosis yang cukup dan berpedoman pada standar yang berlaku atau
ditetapkan. Penggunaan obat yang salah dalam pelayanan kesehatan di Puskesmas dapat
mengakibatkan berkurangnya persediaan yang menyebabkan beberapa pasien tidak dapat
diobati sebagai mana mestinya.
Terdapat enam faktor yang mempengaruhi pola penggunaan obat atau terapi yang
rasional yaitu: (1) Pengaturan obat (regulasi, law enforcement); (2) Pendidikan (formal dan
informal); (3) Pengaruh industri obat (iklan dan insentif); (4) Informasi/prescribing
information; (5) Sistem pelayanan kesehatan (asuransi dan jaminan kesehatan); (6) Sosiokultural. Keenam faktor tersebut saling terkait satu sama lain. 5,6
Menurut WHO intervensi kunci yang dapat meningkatkan pemakaian obat secara
rasional adalah pembentukan badan multi-disiplin di tingkat nasional yang mengkordinasi
kebijakan penggunaan obat, penggunaan pedoman klinik (clinical guidelines), pembuatan
daftar obat esensial nasional (DOEN), pembentukan Komite Obat/Farmasi dan Terapi (KFT)
di wilayah dan rumah sakit, memasukkan pembelajaran farmakoterapi model belajar-berbasis
masalah (problem-based learning/PBL) di pendidikan dokter, pendidikan medik berkelanjutan
sebagai syarat pengajuan/perpanjangan izin praktik, supervisi, audit dan umpan-balik terhadap
(pola) penggunaan obat, penggunaan sumber informasi yang mandiri/independen tentang
obat, dan pendidikan tentang obat kepada masyarakat.8
2.6

Indikator Penggunaan Obat Rasional


Dalam melakukan identifikasi masalah maupun melakukan monitoring dan evaluasi

terdapat indikator dalam rasionalitas obat, yaitu indikator inti dan indikator tambahan.9

12

1. Indikator Inti:
a. Indikator peresepan
- Rerata jumlah item dalam tiap resep.
- Persentase peresepan dengan nama generik.
- Persentase peresepan dengan antibiotik.
- Persentase peresepan dengan suntikan.
- Persentase peresepan yang sesuai dengan Daftar Obat Esensial.
b. Indikator Pelayanan
1) Rerata waktu konsultasi.
2) Rerata waktu penyerahan obat.
3) Persentase obat yang sesungguhnya diserahkan.
4) Persentase obat yang dilabel secara adekuat.
c. Indikator Fasilitas
1) Pengetahuan pasien mengenai dosis yang benar.
2) Ketersediaan Daftar Obat Esensial.
3) Ketersediaan key drugs.
2. Indikator Tambahan:
Indikator ini dapat diperlakukan sebagai tambahan terhadap indikator inti. Indikator ini tidak
kurang pentingnya dibandingkan indikator inti, namun sering data yang dipergunakan sulit
diperoleh atau interpretasi terhadap data tersebut mungkin sarat muatan lokal.
a. Persentase pasien yang diterapi tanpa obat.
b. Rerata biaya obat tiap peresepan.
c. Persentase biaya untuk antibiotik.
d. Persentase biaya untuk suntikan.
e. Peresepan yang sesuai dengan pedoman pengobatan.
f. Persentase pasien yang puas dengan pelayanan yang diberikan.
g. Persentase fasilitas kesehatan yang mempunyai akses kepada informasi yang obyektif.
2.6 Penghapusan Obat

13

Penghapusan adalah proses menghapus tanggung jawab bendahara barang satau


pengelola barang atas bahan tertentu sekaligus mengeluarkan dari catatan/pembukuan sesuai
dengan peraturan yang berlaku. Penghapusan barang diperlukan karena:
a. Bahan/barang rusak tidak dapat dipakai kembali
b. Bahan/barang tidak dapat didaur ulang atau tidak ekonomis untuk didaur ulang
c. Bahan/barang sudah melewati masa kadaluarsa ( expire date )
d. Bahan/barang hilang karena pencurian atau sebab lain
Penghapusan barangdapat dilakukan dengan:
a. Pemusnahan yaitu dibakar atau dipendam/ditanam
b. Dijual/dilelang. Untuk rumah sakit pemerintah dan puskesmas, hasil penjualan dan
pelelangan harus disetor ke kas Negara. Setelah penghapusan dilaksanakan, maka
dibuat Berita Acara Penghapusan yang tembusannya dikirim keinstansi terkait.
2.7 Siklus Rasionalitas Obat

Menetapkan Masalah Pasien.


Keluhan yang disampaikan pasien harus digali lebih dalam saat anamnesis. Anamnesis
yang baik sangat membantu penegakan diagnosis yang tepat setelah ditambah data
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang lain. Bila
masalah jelas maka diagnosis (kerja) menjadi lebih mudah, karena bila diagnosis
sudah ditegakkan, maka tujuan terapi lebih mudah ditetapkan. Data anamnesis dan
pemeriksaan yang lengkap akan membantu membangun hipotesis berdasarkan
patofisiologi penyakit. Dengan mengenal patofisiologi dapat diusahakan untuk
mengembalikan ke keadaan fisiologis melalui pilihan terapi yang sesuai.

Menetapkan Tujuan Terapi.


Bila diagnosis (kerja) dapat ditegakkan maka tujuan terapi pun dapat dibuat dengan
tegas, karena dari sinilah ditentukan apa yang diharapkan bila terapi diberikan pada
pasien.

Meneliti Kecocokan Terapi-Pribadi (personal therapy).


Dari keadaan pasien dipilih (rangkaian) terapi-P yang paling cocok agar tujuan terapi
tercapai dengan mempertimbangkan efektifitas, keamanan, kecocokan dan biaya.

Dasar pemilihan terapi.


Dalam pemilihan dan pengambilan keputusan tentang terapi non-obat maupun obat
harus dipertimbangkan faktor kemanjuran (efficacy), keamanan (safety), kecocokan

14

(suitability) dan biaya (cost). Terapi non-obat yang biasanya dipikirkan dan dianjurkan
kepada pasien menyangkut perubahan gaya hidup (life style) termasuk perubahan pola
makan (mengurangi asupan karbohidrat, lemak atau protein),perubahan pola minum
(mengurangi konsumsi alkohol), berhenti merokok, meningkatkan kegiatan olahraga).

Langkah pemilihan Obat-Pribadi (personal drugs).


-

Tetapkan tujuan pengobatan:


Dalam menentukan tujuan pengobatan patofisiologi penyakit perlu diketahui dan
menjadi dasar untuk pengobatan non-farmakologik maupun farmakologik.

Kemanjuran Keamanan Kecocokan Biaya.

Kesimpulan.

Mulai pengobatan.
Setelah sampai pada kesimpulan dan keputusan tentang obat yang paling cocok untuk
pasien dan kasus yang kita hadapi, maka langkah berikut adalah memulai pengobatan
dengan menuliskan resep yang merupakan suatu instruksi kepada apoteker untuk
menyediakan/menyiapkan obat yang dibutuhkan tadi. Dalam mata rantai pengobatan
rasional, pasien pun berhak mendapatkan informasi dari apoteker dan perawat (atau
petugas kesehatan yang bertanggung-jawab untuk hal itu) tentang obat, dosis, cara
penggunaan, efek samping, dan lainnya.

Penjelasan Tentang Obat, Cara Pakai, Peringatan.


Penjelalasan mengenai efek obat, efek samping, instruksi, dan peringatan.

Pantau dan mengentikan pengobatan.


2.8 Dampak Tidak Adanya Rasionalitas Obat
Dampak buruk penggunaan obat seperti antibiotik yang berlebihan sudah akan
mengubah ekologi kuman dan menimbulkan seleksi kuman resisten, penggunaan antibiotik
yang tidak bijak juga menimbulkan masalah infeksi nosokomial khususnya oleh kuman yang
resisten terhadap beberapa antibiotik sekaligus. Selain itu, akan terjadinya peningkatan
morbiditas dan mortalitas yang diikuti dengan meningkatnya lama dan biaya rawat. Dampak
penggunaan yang tidak rasional atas obat lainnya selain meningkatnya kejadian efek samping
dan interaksi obat, serta peningkatan pengeluaran biaya berobat.10

15

2.9

Upaya dan Intervensi Untuk Mengatasai Masalah Penggunaan Obat yang Tidak

Rasional
Penggunaan obat dikatakan tidak rasional jika tidak tepat secara medik. Artinya, tidak
sesuai dengan indikasi, diberikan dalam dosis yang tidak tepat, cara dan lama pemberian yang
keliru hingga kurang tepatnya pemberian informasi sehubungan dengan pengobatan yang
diberikan. Dalam pokok bahasan ini akan dibicarakan berbagai upaya perbaikan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi ketidakrasionalan tersebut.11,12
Secara garis besar upaya perbaikan dan intervensi ini dapat dikelompokkan dalam
beberapa hal:
a. Upaya Pendidikan (educational strategies)
Upaya pendidikan dapat mencakup pendidikan selama masa kuliah (pre service)
maupun sesudah menjalankan praktek keprofesian (post service). Upaya tersebut mutlak harus
diikuti dengan pendidikan kepada pasien/masyarakat secara simultan. Upaya peningkatan
mutu calon dokter selama dalam masa pendidikan dapat dilakukan dengan pendekatan
berdasar masalah (problem-based approach), memperbaiki isi (content) maupun metode
pengajaran (teaching method) agar lebih diarahkan pada pengobatan yang rasional.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pendidikan farmakologi lebih banyak
berorientasi pada aspek obat, bukannya penerapan pengobatan pada kondisi-kondisi tertentu
(terapi), sehingga tidak jarang muncul kesenjangan antara pengetahuan tentang obat dengan
pelaksanaan pengobatan dalam klinik. Salah satu upaya pendidikan pre service ini antara lain
dengan membiasakan mahasiswa memecahkan masalah klinik dalam bentuk pembahasan
kasus. Upaya pendidikan yang lebih mendasar adalah dengan menambahkan Kurikulum
Farmakologi Klinik ke dalam Kurikulum Fakultas Kedokteran. Pendidikan post service antara
lain dapat berupa:
Hal ini selain dimaksudkan untuk memelihara pengetahuan dan ketrampilan mengenai
terapi yang mutakhir, juga untuk meluruskan informasi obat yang sebagian besar berasal dari
industri farmasi, agar tidak "bias" terhadap jenis/produk-produk tertentu.
Adapun sarana pendidikan yang dapat digunakan untuk intervensi antara lain:
- Media cetak: buletin, pedoman pengobatan.
- Pendidikan tatap muka (face to face education): kuliah penyegaran, seminar.
- Media elektronik: radio, televisi, video.
- Media lain.

16

b. Upaya manajerial (managerial strategies)


Upaya lain yang dapat dilakukan untuk memperbaiki praktek penggunaan obat yang
tidak rasional adalah dari segi manajerial, yang umumnya meliputi:
1. Pengendalian kecukupan obat
Melalui sistem informasi manajemen obat. Dengan sistem ini setiap penggunaan dan
permintaan obat oleh unit pelayanan kesehatan dapat terpantau, sehingga kecukupan obat
dapat dikendalikan dengan baik. LPLPO merupakan sistem informasi manajemen obat yang
saat ini digunakan di Puskesmas-Puskesmas di Indonesia.
2. Perbaikan sistem suplai
Melalui penerapan konsep obat esensial nasional. Disini mengandung arti bahwa di
tingkat pelayanan kesehatan tertentu hanya tersedia obat yang paling dibutuhkan oleh
sebagian besar masyarakat dan tersedia setiap saat dengan harga yang terjangkau. Untuk
Rumah Sakit, konsep obat esensial ini diaplikasikan dalam bentuk Formularium Rumah Sakit.
3. Pembatasan sistem peresepan dan dispensing obat.
Untuk itu perlu disediakan buku pedoman pengobatan di masing-masing pusat
pelayanan kesehatan, formulirformulir resep dengan jumlah R/ yang terbatas, dan sebagainya.
4. Pembentukan dan pemberdayaan Komite Farmasi dan Terapi (KFT) di Rumahrumah Sakit.
Komite

Farmasi

dan

Terapi

mempunyai

tugas

dan

fungsi

untuk

meningkatkan/menerapkan Penggunaan Obat secara Rasional di Rumah Sakit.


5. Informasi Harga
Akan memberi dampak sadar biaya bagi para provider serta pasien/masyarakat.
6. Pengaturan pembiayaan.
Bentuk pengaturan ini dapat merupakan pembiayaan berbasis kapitasi dan costsharing.
c. Intervensi regulasi (regulatory strategies)
Intervensi regulasi umumnya paling mudah ditaati, mengingat sifatnya yang mengikat
secara formal serta memiliki kekuatan hukum. Dengan cara ini setiap penyimpangan terhadap
pelaksanaannya akan mempunyai akibat hukum. Namun demikian, pendekatan ini sering
dirasa kaku dan dianggap membatasi kebebasan profesi. Padahal jika kita simak, misalnya
konsep obat esensial, maka kesan membatasi kebebasan tersebut tidaklah benar. Di negara
maju pun sistem

17

pengendalian kebutuhan obat melalui regulasi juga dilakukan.


Hal ini antara lain didasarkan pada kenyataan bahwa biaya obat secara nasional
merupakan komponen terbesar dari anggaran pelayanan kesehatan. Strategi regulasi dilakukan
dalam bentuk kewajiban registrasi obat bagi obat jadi yang beredar, peraturan keharusan
peresepan generik, pelabelan generik, dan lain-lain.
.
d. Upaya Informasi
Upaya informasi secara ringkas dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

Intervensi informasi bagi provider, yaitu dokter sebagai peresep (prescriber) dan
apoteker/asisten apoteker sebagai dispenser.

Intervensi informasi bagi pasien/masyarakat.


Bagi dokter, intervensi informasi bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam

memperoleh informasi-informasi ilmiah yang diperlukan dalam menunjang pelaksanaan


praktek keprofesiannya. Mutu informasi yang tersedia hendaknya tetap dipelihara dengan cara
menyeleksi secara ketat sumber informasi yang handal, tidak memihak/seimbang dan bebas
dari pengaruh promosi industri farmasi.
Bagi apoteker, sebagai dispenser (penyerah obat), intervensi informasi bertujuan untuk
memberi kemudahan dalam memperoleh informasi ilmiah yang diperlukan dalam menunjang
pelaksanaan praktek keprofesiannya. Dengan informasi tersebut, dispenser dapat menjelaskan
cara menyimpan dan minum obat secara tepat, serta hal-hal lain yang perlu diperhatikan.13
Bagi pasien/masyarakat, intervensi informasi lebih ditujukan untuk mendidik agar
memahami dengan benar setiap upaya pengobatan yang diberikan, karena keberhasilan terapi
sangat ditentukan oleh ketaatan pasien untuk menjalankan setiap upaya pengobatan yang
diberikan oleh dokter. Masih kurang tertatanya sistem informasi pengobatan dari dokter ke
pasien menjadi salah satu masalah dalam proses terapi. Di satu sisi salah satu alasan dokter
mengapa tidak rasional adalah akibat tekanan dan permintaan pasien terhadap obat tertentu
(misalnya penggunaan injeksi).14,15
Sementara itu di pihak pasien sebenarnya tidak pernah ada keberatan terhadap setiap
proses pengobatan yang dilakukan oleh dokter. Dengan demikian, selama dokter dapat
memberikan informasi yang benar kepada pasien, maka tidak mungkin pasien berniat
mendikte dokter, apalagi memaksakan kehendak untuk mendapatkan jenis terapi tertentu.
Informasi yang disampaikan ke pasien antara lain:16,17
a. Informasi mengenai penyakit yang diderita.
b. Jenis dan peran obat yang diberikan dalam proses penyembuhan.

18

c. Informasi mengenai cara, frekuensi dan lama penggunaan obat.


d. Kemungkinan resiko efek samping obat.
e. Cara penanggulangan efek samping.
f. Apa yang harus dilakukan jika dalam periode waktu tertentu obat belum
memberikan hasil seperti yang diharapkan.
g. Informasi mengenai hal-hal yang harus dilakukan selain pengobatan yang diberikan,
seperti misalnya diet karbohidrat dan olahraga untuk penderita diabetes, anjuran
untuk banyak minum bagi penderita demam, istirahat dan makan minum secukupnya
untuk penderita common cold.
Langkah-langkah untuk mengatasi permasalahan:12
1) Dilakukan identifi kasi masalah dan kebutuhan untuk mengatasi masalah tersebut.
2) Identifikasi faktor penyebab.
3) Buat daftar intervensi yang mungkin dilakukan.
4) Menetapkan sumber daya yang tersedia.
5) Memilih intervensi yang akan dilakukan.
6) Melaksanakan intervensi.
7) Memonitor dampak dan melakukan revisi terhadap intervensi yang telah dilakukan
bila diperlukan.
Cara melakukan intervensi yang efektif:17
1) Identifi kasi faktor yang paling berpengaruh.
2) Individu/kelompok yang paling buruk menjadi target utama intervensi tersebut.
3) Gunakan sumber informasi yang terpercaya.
4) Gunakan jalur komunikasi yang terpercaya.
5) Gunakan kontak pribadi bila perlu.
6) Batasi jumlah pesan.
7) Ulangi pesan utama melalui berbagai media komunikasi.
8) Berikan alternatif yang lebih baik.
Ciri-ciri Penggunaan Obat yang Tidak Rasional
Penggunaan obat yang tidak rasional dapat dikategorikan sebagai berikut:

19

a. Peresepan berlebih (overprescribing)


Yaitu jika memberikan obat yang sebenarnya tidak diperlukan untuk penyakit yang
bersangkutan.
Contoh:
- Pemberian antibiotik pada ISPA non pneumonia (umumnya disebabkan oleh virus)
- Pemberian obat dengan dosis yang lebih besar daripada yang dianjurkan.
- Jumlah obat yang diberikan lebih dari yang diperlukan untuk pengobatan penyakit tersebut.
- Pemberian obat berlebihan memberi resiko lebih besar untuk timbulnya efek yang tidak
diinginkan.
b. Peresepan kurang (underprescribing),
Yaitu jika pemberian obat kurang dari yang seharusnya diperlukan, baik dalam hal
dosis, jumlah maupun lama pemberian. Tidak diresepkannya obat yang diperlukan untuk
penyakit yang diderita juga termasuk dalam kategori ini.
Contoh :
- Pemberian antibiotik selama 3 hari untuk ISPA pneumonia.
- Tidak memberikan oralit pada anak yang jelas menderita diare.
- Tidak memberikan tablet Zn selama 10 hari pada balita yang diare
c. Peresepan majemuk (multiple prescribing)
Yaitu jika memberikan beberapa obat untuk satu indikasi penyakit yang sama. Dalam
kelompok ini juga termasuk pemberian lebih dari satu obat untuk penyakit yang diketahui
dapat disembuhkan dengan satu jenis obat.
Contoh:
Pemberian puyer pada anak dengan batuk pilek berisi:
- Amoksisilin,
- Parasetamol,
- Gliseril guaiakolat,
- Deksametason,
- CTM, dan
- Luminal.
d. Peresepan salah (incorrect prescribing)
Mencakup pemberian obat untuk indikasi yang keliru, untuk kondisi yang sebenarnya
merupakan kontraindikasi pemberian obat, memberikan kemungkinan resiko efek samping
yang lebih besar, pemberian informasi yang keliru mengenai obat yang diberikan kepada
pasien, dan sebagainya.17

20

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
Resep yang dikumpulkan berasal dari empat puskesmas yang tersebar di Kota
Palembang, yakni Puskesmas Sosial, Puskesmas Sukarami, Puskesmas Alang-alang
Lebar, dan Puskesmas Talang Betutu yang masing-masing puskesmas mengumpulkan
25 resep jika ditotalkan menjadi 100 resep.
Dari 100 resep tersebut didapatkan contoh kertas resep di salah satu puskesmas
adalah sebagai berikut;

Gambar 1a. Resep Obat

Gambar 1b. Resep Obat

21

Contoh penyakit dan obat yang sering digunakan di ke empat Puskesmas yang ada di
Kota Palembang.
No.
1.

Anamnesis
Kepala pusing, tengkuk pegal-

Diagnosis
Hipertensi

pegal, penglihatan berkunang.

Terapi
Captopril 25 mg 1x1/hari
Ambroxol 30 mg 3x1/hari

TD 140/90 mmHg.
2.

Badan pegal-pegal, R/ kolesterol

Hiperkolesterolemia

tinggi (+), TD 130/80 mmHg.

Simvastatin 20 mg 1x1/hari
selama 5 hari.

Cek koresterol: 282 mg/dl.


3.

Batuk, pilek, bersin-bersin,

ISPA

kepala pusing.
4.

Kaki dan tangan kesemutan,

GG tablet 100 mg 3x1/hari


CTM tablet 1x1/hari

DM Tipe 2

kencing sering malam hari (+),

Metformin tab 2x1/hari


Glimepirid tab 2x1/hari

penurunan berat badan (+).

B Compleks 3x1/hari

R/DM (+) 2 tahun yang lalu. TD


130/70 mmHg.
5.

Nyeri tenggorokan, demam (+)

Faringitis Akut

tidak terlalu tinngi, terasa

Paracetamol tab 500 mg 3x1/hari

mengganjal saat menelan (-).


6.

Nyeri pada kedua lutut terutama

Amoxilin tab 500 mg 3x1/hari

Osteoartritis

saat bangun tidur.

Piroksikam tab 90 mg 1x1/hari


Asam Mefenamat tab 250 mg
2x1/hari
Antasida 3x1/hari

7.

Nyeri menelan, demam (+),

Konjungtivitis

Kloramfenikol ED, PCT.

Observasi febris

Paracetamol tab 500 mg 3x1/hari

terasa mengganjal saat menelan


(+).
Pemeriksaan fisik tonsil: T3/T3
8.

Demam, nyeri sendi, badan lesu.

22

3.2 Pembahasan
Resep merupakan permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan dan praktisi
lain yang berizin, kepada Apoteker Pengelola Apotek untuk menyediakan/membuatkan obat
dan menyerahkannya kepada penderita. Resep yang benar adalah ditulis secara jelas, dapat
dibaca, lengkap dan memenuhi peraturan perundangan serta kaidah yang berlaku.
Menurut WHO, peresepan rasional adalah memberikan obat sesuai dengan keperluan
klinik, dosis sesuai dengan kebutuhan pasien, diberikan dalam jangka waktu yang sesuai
dengan penyakit, dan dengan biaya termurah menurut pasien dan komunitasnya.

Pada contoh resep diatas masih tidak lengkap, karena kertas resep ukurannya terlalu
kecil, tidak terdapat nomor pada resep, cara penulisan resep tidak sesuai dengan
kaidah penulisan resep yakni, penulisan obat tidak di dahului dengan R/, setelah nama
obat, seharusnya diikuti dengan sediaan (dosis obat), bentuk sediaan, jumlah sediaan
(numero), keterangan cara pemberian obat dan paraf dokter.

23

Pada contoh resep diatas cukup lengkap. Hanya kertas resep terlalu kecil ukurannya,
cara penulisan resep sudah cukup sesuai dengan kaidah penulisan resep yakni,
penulisan obat di dahului dengan R/, setelah nama obat, diikuti dengan sediaan, dosis
obat, bentuk sediaan, jumlah sediaan (numero) Hanya kurang keterangan cara
pemberian obat dan paraf dokter.
Format penulisan resep:
1. Inscriptio

: nama dokter, no SIP, alamat, telpon/hp,

kota, tempat,
tanggal penulisan resep.
2. Invocatio

: permintaan tertulis dokter dalam

singkatan latin.
resipe artinya berikanlan.
3. Prescriptio/ordonantio

: nama obat dan jumlah

serta bentuk sediaan yang


diinginkan.
4. Signatura

: tanda cara pakai, dosis pemberian,

interval waktu
pemberian, sebagai keamanan penggunaan obat dan
keberhasilan terapi.
5. Subcriptio
sebagai

: tanda tangan/paraf dokter penulis resep

24

legalitas resep tersebut.


6. Pro

: bagian ini terdiri dari nama pasien, umur, dan

alamat
bila perlu.

Tatacara atau kaedah penulisan resep;


R/

R/

Bentuk
Sediaan
Cap
Tab
Syr
Supp
Opth Oint

Nama
Sediaan
Amoxycillin
Bactrim
Dibekacin
Lamisil
Lidonest

Kaedah Penulisan Resep I


Nama
Kekhasan
Wadah
Sediaan
Sedian
Sedian
Amoxycillin
500 mg
No
Bactrim
Forte
No
Glostrum
Fl.
Borraginol N
No
Cendocillin
1%
Tube
Kaedah Penulisan Resep II
Kekhasan
Bentuk
Sedian
Sediaan
500 mg
Cap
Forte
Tab
150 mg
Inj.
Cream
2%
Inj.

Wadah
Sedian
No
No
Vial
Tube
Amp.

Jumlah
Sedian
XV
X
I
VI
I

Jumlah
Sedian
XV
X
III
I
VI

Berikut merupakan contoh penulisan resep yang benar dan memenuhi kaidah penulisan resep

25

Penggunaan obat dikatakan rasionalitas jika memenuhi kriteria: 1) tepat diagnosis, 2)


tepat indikasi penyakit, 3) tepat pemilihan obat, 4) tepat dosis, 5) tepat cara pemberian obat,
6) tepat interval waktu pemberian, 7) tepat lama pemberian dan waspada terhadap efek
samping, 8) tepat penilaian kondisi pasien, 9) obat yang diberikan harus efektif dan aman
dengan mutu terjamin serta tersedia setiap saat dengan harga terjangkau, 10) tepat informasi,
11) tepat tindak lanjut (follow up), 12) tepat penyerahan obat, dan 13) pasien patuh terhadap
perintah pengobatan yang dibutuhkan.
Berikut adalah contoh penyakit dan obat yang sering digunakan di puskesmas.
Kasus 1.
Keluhan

: Kepala pusing, tengkuk pegal-pegal, penglihatan berkunang. TD


140/90 mmHg.

Diagnosis

: Hipertensi grade I

Pengobatan

: Captopril 25 mg 1x1/hari
Ambroxol 30 mg 3x1/hari

Penetapan diagnosis

: Hipertensi grade I

Tujuan terapi

: Mengontrol tekanan darah pada kisaran 120/80mmHg

Golongan obat terpilih

: Golongan ACE, inhibitor, penyakit kanal kalsium, beta blocker.

26

Pemilihan kelompok obat

Kemanjuran

Keamanan

Kecocokan

Biaya

berdasarkan kriteria
Gol ACE inhibitor

(-) efek

samping
batuk
Penyekat kanal CA

(+)

Beta blocker

() efek

samping
banyak
Pilih obat P
Amlodipine

Tersedia di
puskesmas

Nifedipine

Tersedia di
puskesmas

Kesimpulan
-

Obat terpilih

: amlodipine tablet 10 mg

Dosis

: 1x1/hari

Lama pengobatan

: sesuai rencana tindak lanjut

Seharusnya obat terpilih adalah Amlodipine tabalet 10 mg dosis 1x1/hari dikarenakan


efek samping relatif aman. Pasien mengeluh batuk yang merupakan efek samping utama dari
captopril, captopril akan memperberat keluhan batuk pasien.
Pada kasus ini, penggunaan obat masih belum rasional karena jenis obat yang dipilih masih
kurang tepat.
Kasus 2.
Keluhan

: Badan pegal-pegal, R/ kolesterol tinggi (+), TD 130/80


mmHg. Cek koresterol: 282 mg/dl.

Diagnosis

: Kolesterol tinggi

Pengobatan

: Simvastatin 20 mg 1x1/hari selama 5 hari

Penetapan diagnosis

: Hiperkolesterolemia

Tujuan terapi

: Menurunkan kolesterol (<200 mg/dl)

27

Golongan obat terpilih

: Golongan penghambat reduktase : statin. Golongan Niasin


(asam nikotinat). Golongan Fibrat.

Pemilihan kelompok obat

Kemanjuran

Keamanan

Kecocokan

Biaya

berdasarkan kriteria
Gol Statin

(-) efek

samping
banyak : as.
Urat
eritem, mual,
hepatotolisik
Gol Niasin

(+)

Gol Fibrat

(sedikit

() efek

mengurangi

samping

kolesterol)

banyak

Pilih obat P
Simvastatin

Tersedia di
puskesmas

Fluvastatin

Tidak
tersedia di
puskesmas

Kesimpulan
-

Obat terpilih

: amlodipine tablet 10 mg

Dosis

: 1x1/hari

Lama pengobatan

: sesuai rencana tindak lanjut

Pemberian obat sudah tepat yaitu simvastatin tablet 20 mg. Namun pemberian hanya
untuk 5 hari yang idealnya diberi selama 10 hari untuk efektivitas penurunan kolesterol sesuai
mekanisme kerja obat. Pada kasus ini terjadi underprescribing. Pada kasus ini, penggunaan
obat masih belum rasional karena tidak tepat lama pemberian.

28

Kasus 3.
Keluhan
Diagnosis
Pengobatan

: Nyeri pada kedua lutut, terutama saat bangun tidur


: Rematik
: Piroksikam tab 90 mg 1x1/hari
Asam mefenamat tab 250 mg 2x1/hari
Antasida 3x1/hari
Penetapan diagnosis : OA
Tujuan terapi
: Menghilangkan rasa nyeri dan merujuk pasien ke Sp.PD

Pemilihan kelompok

Kemanjuran Keamanan

Kecocokan

Biaya

obat berdasarkan
kritirea
OAINS

(+)

Asetaminofen

(-)

Pilih obat -P

() efek
samping
banyak

Asam mefenamat

(-) efek

analgetik

Tersedia di
puskesmas

untuk OA
kurang
Piroksikam

efek

samping

Tersedia di
puskesmas

lebih
banyak
Meloksikam

Tersedia di
puskesmas

Kesimpulan
-

Obat terpilih : Meloksicam tablet 15mh 1x1/hari diminum setelah makan

Lama pengobatan : sesuai rencana tindak lanjut


Seharusnya dilakukan pemeriksaan lab penunjang untuk menyingkirkan diagnosis

banding seperti asam urat. Dan pada kasus ini terjadi multiple prescribing, dimana terdapat 2

29

analgetik yang diberikan. Padahal analgetik tersebut dapat menyebabkan kerusakan lambung.
Sebaiknya pasien hanya diberi meloksikam saja sebagai analgetiknya, dikarenakan efek
antiinflamasi dan analgetik meloksikam efektif untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien OA.
Lalu pasien dirujuk ke Sp.PD. Pada kasus ini, penggunaan obat masih belum rasional karena
tidak tepat pemilihan obat.

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Penulisan resep di Puskesmas Sosial, Puskesmas Sukarami, Puskesmas Alang-alang
Lebar, dan Puskesmas Talang Betutu Kota Palembang masih tidak sesuai dengan tata
cara penulisan resep yang benar, seperti kertas resep ukurannya terlalu kecil, tidak
terdapat nomor pada resep, cara penulisan resep tidak sesuai dengan kaidah penulisan
resep yaitu, penulisan obat tidak di dahului dengan R/, setelah nama obat seharusnya
diikuti dengan sediaan (dosis obat), bentuk sediaan, jumlah sediaan sediaan (numero),
keterangan cara pemberian obat dan paraf dokter.
2. Kerasionalitasan resep Puskesmas Sosial, Puskesmas Sukarami, Puskesmas Alangalang Lebar, dan Puskesmas Talang Betutu Kota Palembang masih kurang, seperti
kurang tepatnya pemberian obat dengan penyakit yang diderita pasien, terjadinya
peresepan yang berlebih, peresepan yang kurang, ataupun peresepan majemuk.
Adapun obat terbanyak untuk kasus hipertensi yang digunakan di puskemas tersebut
adalah captopril dan ambroxol, untuk kasus hiperkolesterolemia adalah simvastatin,
untuk kasus ISPA GG tablet dan CTM tablet, untuk kasus DM Tipe 2 yaitu metmorfin,
dan glimepirid, untuk kasus faringitis akut adalah amoxilin, dan untuk kasus
konjuntivitis obat terbanyak yang dipakai adalah kloramfenikol eye drop.
4.2 Saran
1. Perlunya dibuat peraturan yang tegas mengenai penulisan resep yang baik dan benar,
mengingat pentingnya resep bagi obat yang akan diminum pasien.

30

2. Peningkatan kajian dan evaluasi bagi petugas medis ataupun para medis mengenai
rasionalitas penggunaan obat di Puskemas yang tersebar di Kota Palembang.

DAFTAR PUSTAKA
1. Syamsuri. 2006. Ilmu Resep. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Vance Ma & Millington Wr. 1986. Principle of irrational drug therapy. International
Journal of Health Sciences16(3). Halaman: 355-361
3. Departemen Farmakologi FKUI. Penuntun Diskusi Masalah Obat dan Pengobatan.
Tahun 2004.
4. World Health Organization. WHO Policy Perspectives on Medicines. Promoting
rational use of medicines: core components. Geneva: 2002.
5. Barrett SP, Meisner JR, Stewart SH. What Constitutes Prescription Drug Misuse?
Problems and Pitfalls of Current Conceptualizations. Curr Drug Abuse Rev.
2008;1:255-62.
6. Vestal RE, Gurwitz JH. Geriatric Pharmacology. In: Carruthers SE, Hoffman BB,
Melman KL, Nierenberg DW (eds). Melmon and Morrellis Clinical Pharmacology.
4th ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2000:1151-77.
7. Guide to good prescribing. Diunduh dari http://libdoc.who.int/hq/1994/WHO DAP
94.11.pdf
8. Lewis PJ, Dornan T, Taylor D, Tully MP, Wass V, Ashcroft DM. Prevalence, Incidence
and Nature of Prescribing Errors in Hospital Inpatients. A systematic Review. Drug
Safety 2009; 32 (5): 379- 89.
9. Velo GP; Minuz P. Medication errors: prescribing faults and prescription errors. Br J
Clin Pharmacol 2009; 67 (6): 624-8.
10. Pearson SA, Rolfe I, Smith T. Factors influencing prescribing: an interns perspective.
Medical Educat 2002;36:7817.

31

11. Coombes ID, Mitchell CA, Stowasser DA. Safe medication practice: attitudes of
medical students about to begin their intern year. Medical Educat 2008; 42:42731.
12. de Vries TPGM, Henning RH, Hogerzeil HV, Fresle DA. Guide to Good Prescribing.
1994, Geneva. WHO.
13. Pollack D, Wopat R, Muench J, Hartung DM. Show me the evidence: the ethical
aspects of pharmaceutical marketing, evidence-based medicine, and rational
prescribing. JEMH 2009: April- Sept. suppl : 1-8.
14. Sacket DL, Rosenberg WM, Gray JA, Haynes RB, Richardson WS. Evidence based
medicine: what it is and what it isn't. Editorial. BMJ 1996; 312: 71-2. Diunduh dari
http://www.bmj.com/cgi/content/full/312/7023/71.
15. Simatupang A. Proses Keputusan Terapi dan Masalah dalam Pemakaian Obat. Cermin
Dunia Kedokteran 1992; 78: 57-60.
16. Davey P, Garner S. Professional education on antimicrobial prescribing: a report from
the Specialist Advisory Committee on antimicrobial Resistance (SACAR) professional
education subgroup. J Antimicrob Chemother 2007; 60, Suppl. 1.i27-i32.
17. Gommans J, McIntosh P, Bee S, Allan W. Improving the quality of written
prescriptions in a general hospital: the influence of 10 years of serial audits and
targeted interventions. Internal Medicine J, 2008; 38: 24348.

Anda mungkin juga menyukai