BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Proses pengobatan menggambarkan suatu proses normal atau "fisiologik" dari
pengobatan, di mana diperlukan pengetahuan, keahlian sekaligus berbagai pertimbangan
profesional dalam setiap tahap sebelum menuliskan resep. Kenyataannya dalam praktek,
sering dijumpai kebiasaan pengobatan (peresepan, prescribing habit) yang tidak berdasarkan
proses dan tahap ilmiah tersebut. Hal ini sering menimbulkan suatu keadaan "patologik" atau
tidak rasional dalam peresepan dengan berbagai dampaknya yang merugikan. Secara umum
patologi peresepan ini lebih dikenal sebagai peresepan yang tidak rasional (irrational
prescribing) atau peresepan yang tidak benar(in appropriate prescribing).1
Pemberian obat untuk penderita rawat jalan umumnya menggunakan resep atau order
dokter. Evaluasi penulisan resep perlu dilakukan di rumah sakit, karena penggunaan obat yang
sangat meningkat, memungkinkan meningkatnya bahaya kesalahan yang merupakan
penyebab utama kesalahan obat dalam rumah sakit. Intervensi apoteker dalam evaluasi
penulisan resep dapat mengurangi terjadinya kesalahan obat. Apoteker juga harus
berpartisipasi dalam komite rumah sakit yang sesuai, serta bekerja sama dengan dokter,
perawat, pimpinan rumah sakit, untuk memeriksa dan menyempurnakan sistem guna
memastikan bahwa proses pengobatan aman.1
Untuk dapat menuliskan resep yang tepat dan rasional seorang petugas medis harus
memiliki cukup pengetahuan dasar mengenai ilmu-ilmu farmakologi yaitu tentang
farmakodinamik, farmakokinetik, dan sifat-sifat fisikokimia obat yang diberikan. Oleh karena
itu petugas medis berperan penting dalam proses pelayanan kesehatan khususnya dalam
melaksanakan pengobatan melalui pemberian obat kepada pasien. Kejadian penulisan resep
yang tidak rasional dilaporkan dalam suatu penelitian oleh Oviave (1989) yaitu 74,3 %
disebabkan oleh penulisan resep yang tidak esensial, dalam suatu survey mengenai
polifarmasi pada pasien di rumah sakit dilaporkan terjadi insiden efek samping, karena adanya
kemungkinan interaksi obat.1
Pemberian obat lebih dari satu macam yang lebih dikenal dengan polifarmasi ini
disamping dapat memperkuat kerja obat (potensiasi) juga dapat berlawanan (antagonis),
mengganggu
absorbsi,
mempengaruhi
distribusi,
mempengaruhi
metabolisme,
dan
mengganggu ekskresi obat yang disebabkan oleh terjadinya interaksi obat. Yang dimaksud
dengan interaksi obat ialah reaksi yang terjadi antara obat dengan senyawa kimia (obat lain,
makanan) di dalam tubuh maupun pada permukaan tubuh yang dapat mempengaruhi kerja
obat. Dapat terjadi peningkatan kerja obat, pengurangan kerja obat atau obat sama sekali tidak
menimbullkan efek. Interaksi obat yang terjadi di dalam tubuh yaitu interaksi farmakokinetik
dan farmakodinamik sering kali lolos dari pengamatan dokter karena kurangnya pengetahuan
dari mekanisme dan kemungkinan terjadinya interaksi obat, selain itu kurangnya pengetahuan
dokter mengenai farmakologi (farmakodinamik dan farmakokinetik) suatu obat dapat
mengakibatkan tidak lengkapnya penulisan resep jika ditinjau dari interaksi obat yang terjadi.2
Penulisan resep yang tidak lengkap dapat mengakibatkan pemakaian obat yang tidak
rasional merupakan masalah serius dalam pelayanan kesehatan oleh karena kemungkinan
dampak negatif yang terjadi. Yang jelas masih banyak hal yang dapat ditingkatkan dalam
pemakaian obat umumnya dan khususnya dalam peresepan obat (prescribing). Secara singkat,
pemakaian obat (lebih sempit lagi adalah peresepan obat atau prescribing), dikatakan tidak
lengkap apabila kemungkinan untuk memberikan manfaat kecil atau tidak ada sama sekali,
sedangkan kemungkinan manfaatnya tidak sebanding dengan kemungkinan efek samping atau
biayanya.2 Pentingnya penulisan resep rasional, sehingga penulis ingin membahas penulisan
resep rasional pada makalah ini.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar berlakang di atas dapat dirumuskan masalah bagaimana
kerasionalan obat di Puskesmas kota Palembang?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mengetahui gambaran kelengkapan penulisan resep di Puskesmas kota Palembang.
2. Menganalisa rasionalitas penulisan resep di Puskesmas kota Palembang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengelolaan Obat
Pengelolaan obat merupakan suatu rangkaian kegiatan yang menyangkut aspek
perencanaan,
permintaan,
penerimaan,
penyimpanan,
pendistribusian,
pengendalian,
pencatatan dan pelaporan serta pemantauan dan evaluasi. Pengelolaan obat bertujuan
menjamin kelangsungan ketersediaan dan keterjangkauan obat yang efisien, efektif, dan
rasional, meningkatkan kompetensi/kemampuan tenaga kefarmasian, mewujudkan sistem
informasi manajemen, dan melaksanakan pengendalian mutu pelayanan. Laporan Pemakaian
dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO) merupakan salah satu contoh pengelolaan obat yang
bermanfaat untuk mengendalikan tingkatan stok, perencanaan distribusi, perencanaan
kebutuhan obat dan memantau penggunaan obat.3
Terlaksananya pengelolaan obat dengan efektif dan efisien perlu ditunjang dengan
sistem informasi manajemen obat untuk menggalang keterpaduan pelaksanaan kegiatankegiatan pengelolaan obat. Dengan adanya sistem ini pelaksanaan salah satu kegiatan dengan
mudah diselaraskan dengan yang lain. Selain itu, berbagai kendala yang menimbulkan
kegagalan atau keterlambatan salah satu kegiatan dapat dengan cepat dapat diketahui,
sehingga segera dapat ditempuh berbagai tindakan operasional yang diperlukan untuk
mengatasinya.3,4
2.2 Perencanaan
Perencanaan adalah suatu proses kegiatan seleksi obat dan perbekalan kesehatan untuk
menentukan jumlah obat dalam rangka pemenuhan kebutuhan Puskesmas. Perencanaan dalam
proses perencanaan kebutuhan obat pertahun Puskesmas diminta menyediakan data
pemakaian obat dengan menggunakan LPLPO. Selanjutnya Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota
yang akan melakukan kompilasi dan analisa terhadap kebutuhan obat Puskesmas di wilayah
kerjanya. Kegiatan yang dilakukan dalam perencanaan kebutuhan obat antara lain;3
a. Tahap Pemilihan Obat
Fungsi seleksi/ pemilihan obat adalah untuk menentukkan apakah obat benar-benar
diperlukan sesuai dengan jumlah penduduk dan pola penyakit di daerah. Untuk
mendapatkan pengadaan obat yang baik, sebaiknya diawali dengan dasar-dasar
seleksi kebutuhan obat yaitu meliputi:
1. Obat dipilih berdasarkan seleksi ilmiah, medik dan statistik yang memberikan
efek terapi jauh lebih baik dibandingkan resiko efek samping yang akan
ditimbulkan.
2. Jenis obat yang dipilih seminimal mungkin dengan cara menghindari duplikasi
dan kesamaan jenis.
3. Jika ada obat baru harus ada bukti yang spesifik untuk efek terapi yang lebih
baik.
4. Hindari penggunaan kombinasi, kecuali jika obat kombinasi mempunyai efek
yang lebih baik dibanding obat tunggal.
5. Apabila jenis obat banyak, maka kita memilih berdasarkan obat pilihan (drug of
choice) dari penyakit yang prevalensinya tinggi.
b. Tahap Perhitungan Kebutuhan Obat
Kompilasi pemakaian obat berfungsi untuk mengetahui pemakaian bulanan masingmasing jenis obat di unit pelayanan kesehatan/puskesmas selama setahun dan
sebagai pembanding bagi stok optimum.
Informasi yang didapat dari kompilasi pemakaian obat adalah:
1. Jumlah pemakaian tiap jenis obat pada masing-masing unit pelayanan
kesehatan/puskesmas.
2. Persentase pemakaian tiap jenis obat terhadap total pemakaian setahun seluruh
unit pelayanan kesehatan/puskesmas.
3. Pemakaian rata-rata untuk setiap jenis obat untuk tingkat kabupaten/kota.
c. Tahap perhitungan kebutuhan obat menentukkan kebutuhan obat merupakan
tantangan yang berat yang harus dihadapi oleh tenaga farmasi yang bekerja di
UPOPPK kabupaten/kota maupun
Masalah kekosongan obat atau kelebihan obat dapat terjadi apabila informasi
semata-mata hanya berdasarkan informasi teoritis terhadap kebutuhan pengobatan.
Koordinasi dan proses perencanaan untuk pengadaan obat secara terpadu serta
melalui tahapan seperti diatas, diharapkan obat yang direncanakan dapat tepat jenis,
tepat jumlah serta tepat waktu dan tersedia pada saat dibutuhkan.
Metode yang lazim digunakan untuk menyusun perkiraan kebutuhan obat di tiap
unit pelayanan kesehatan adalah:
1.1 Metode Konsumsi
Metode ini dilakukan dengan menganalisis data komsumsi obat tahun
sebelumnya. Hal yang perlu diperhatikan antara lain:
Pengumpulan data dan pengolahan data
Analisis data untuk informasi dan evaluasi
Perhitungan perkiraan kebutuhan obat
2.1 Metode Epidemiologi
dan
alat
kesehatan
untuk
memenuhi
kebutuhan
pelayan
di
puskesmas.
Permintaan/pengadaan dimaksudkan agar obat tersedia dengan jenis dan jumlah yang tepat.
Pegadaan meliputi kegiatan pengusulan kepada kota/kabupaten melalui mekanisme Lembar
Pemakaian dan Lembar Permintaan Obat (LPLPO). Permintaan/pengadaan obat di puskesmas
merupakan bagian dari tugas distribusi obat oleh Gudang Farmasi Kabupaten/Kota (GFK),
sehingga ketersediaan obat di puskesmas sangat tergantung dari kemampuan GFK dalam
melakukan distribusi berdasarkan laporan pemakaian dan permintaan obat di semua
puskesmas.
Dalam rangka mengajukan usulan kebutuhan obat ke kota/kabupaten, puskesmas perlu
memperhatikan tenggang waktu antara pengajuan usulan dengan waktu penyerahan obat ke
puskesmas. Umumnya waktu pengajuan dan pengiriman obat oleh GFK ke masing-masing
puskesmas sudah ditetapkan sebelumnya berdasarkan kesepakatan antara GFK dengan
puskesmas. Permintaan obat untuk mendukung pelayanan kesehatan di puskesmas diajukan
oleh Kepala Puskesmas kepada Dinas Kesehatan kabupaten/kota melalui GFK dengan
menggunakan format LPLPO, sedangkan permintaan dari sub
unit. Berdasarkan
pertimbangan efisiensi dan ketepatan waktu penyerahan obat kepada puskesmas, Kepala
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dapat menyusun petunjuk mengenai alur permintaan dan
penyerahan obat dari GFK ke puskesmas.
Kegiatan permintaan dari puskesmas ke GFK dapat dilakukan sebagai berikut:
a. Permintaan rutin yaitu permintaan yang dilakukan sesuai dengan jadwal yang
disepakati oleh Dinas Kesehatan dan masing-masing Puskesmas.
b. Permintaan khusus yaitu permintaan yang dilakukan diluar jadwal yang telah
disepakati apabila terjadi peningkatan yang menyebabkan kekosongan obat dan
penanganan kejadian luar bias (KLB) serta obat rusak.
Penerimaan adalah suatu kegiatan dalam menerima obat-obatan yang diserahkan dari
unit pengelola yang lebih tinggi kepada unit pengelola di bawahnya. Setiap penyerahan obat
oleh Instalasi Farmasi Kabupaten/Kota, kepada Puskesmas dilaksanakan setelah mendapat
persetujuan dari Kepala Diknas Kesehatan Kabupaten/Kota atau pejabat yang diberi
wewenang untuk itu. Semua petugas yang terlibat dalam kegiatan pengelolaan obat
bertanggung jawab atas ketertiban penyimpanan, pemindahan, pemeliharaan, dan penggunaan
obat berikut kelengkapan catatan yang menyertainya.
Pelaksanaan fungsi pengendalian distribusi obat kepada Puskesmas Pembantu dan sub
unit kesehatan lainnya merupakan tanggung jawab Kepala Puskesmas Induk. Petugas
penerima obat wajib melakukan pengecekan terhadap obat-obatan yang diserahkan,
mencakup jumlah kemasan/peti, jenis dan jumlah obat, bentuk obat sesuai dengan isi
dokumen (LPLPO) dan ditanda tangani oleh petugas penerima/diketahui Kepala Puskesmas.
Bila tidak memenuhi syarat petugas penerima dapat mengajukan keberatan.
Jika terdapat kekurangan, penerimaan obat wajib menuliskan jenis yang kurang (rusak,
jumlah kurang, dan lain-lain). Setiap penambahan obat-obatan, di catat dan dibukukan pada
buku penerimaan obat dan kartu stok.
Penyimpanan adalah suatu kegiatan pengamanan terhadap obat-obatan yang diterima
agar aman (tidak hilang), terhindar dari kerusakan fisik maupun kimia dan mutunya tetap
terjamin.
e. Kontaminasi bakteri
Wadah obat harus selalu rapat. Apabila wadah terbuka, maka obat mudah tercemar
oleh bakteri atau jamur.
f. Pengotoran
2.4 Distribusi
Distribusi adalah suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran dan pengiriman
obat-obatan yang bermutu, terjamin keabsahannya serta tepat jenis dan jumlahnya dari
gudang obat di unit-unit pelayanan kesehatan termasuk penyerahan obat kepada pasien.
Distribusi obat bertujuan untuk mendekatkan obat dan alat kesehatan kepada pemakai di
unit pelayanan kesehatan sehingga setiap saat tersedia dalam jumlah, jenis, mutu yang di
butuhkan secara ekonomis dan efektif. Kegiatan distribusi meliputi:
a. Menentukan frekuensi/jadwal distribusi
Dalam menentukkan frekuensi distribusi perlu pertimbangan jarak sub unit
pelayanan dan biaya distribusi yang tersedia.
b. Menentukan jumlah obat
Dalam menentukan jumlah obat perlu dipertimbangkan pemakaian rata-rata setiap
jenis obat, sisa stok obat, pola penyakit, jumlah kunjungan di masing-masing sub
unit pelayanan kesehatan dengan menghitung stok optimum setiap jenis obat.
c. Memeriksa mutu dan kadaluarsa obat
Obat dan alat bantu kesehatan yang didistribusi ke sub unit pelayanan kesehatan
perlu dicek mutu dan kadaluarsanya.
d. Melaksanakan penyerahan dapat dilakukan dengan cara:
Diambil sendiri oleh petugas sub unit pelayanan. Obat diserahkan dengan
formulir LPLPO yang sudah ditanda tangani dan satu rangkap disimpan
sebagai tanda bukti penyerahan/penerimaan obat.
10
c. Sebelum dilakukan pengepakan atas obat-obat yang akan dikirim, maka perlu
dilakukan pemeriksaan terhadap:
Jenis dan jumlah obat
Kualitas/kondisi obat
Isi kemasan
Kelengkapan dan kebenaran dokumen
Puskesmas induk mendistribusikan kebutuhan obat untuk Puskesmas
pembantu, Puskesmas keliling dan unit-unit pelayanan kesehatan harus
dicatat dalam kartu stok obat.
GFK
Puskesmas
Gudang Obat
UPO
UPO
UPO
UPO
Kamar Suntik Puskesmas Pembantu
Puskesmas Keliling Posyandu
dll
UPO
Kamar Obat
Keterangan:
GFK
Sie
UPO
=
=
=
=
=
11
a.
b.
c.
d.
Pemakaian obat dikatakan rasional jika memenuhi beberapa persyaratan tertentu yang
secara garis besarnya harus mencakup hal-hal ketepatan diagnosis, ketepatan indikasi
penggunaan obat, ketepatan pemulihan obat, ketepatan dosis secara rasional, ketepatan
penilaian terhadap pasien, ketepatan pemberian informasi dan ketepatan dalam tindak lanjut
peresepan yang rasional. Penggunaan obat berkaitan dengan peresepan yang rasional dan
pelayanan obat, peresepan yang rasional apabila diagnosis yang ditegakkan sesuai dengan
kondisi pasien memilih obat yang paling tepat dari berbagai alternatif obat yang ada dan
merespon obat dengan dosis yang cukup dan berpedoman pada standar yang berlaku atau
ditetapkan. Penggunaan obat yang salah dalam pelayanan kesehatan di Puskesmas dapat
mengakibatkan berkurangnya persediaan yang menyebabkan beberapa pasien tidak dapat
diobati sebagai mana mestinya.
Terdapat enam faktor yang mempengaruhi pola penggunaan obat atau terapi yang
rasional yaitu: (1) Pengaturan obat (regulasi, law enforcement); (2) Pendidikan (formal dan
informal); (3) Pengaruh industri obat (iklan dan insentif); (4) Informasi/prescribing
information; (5) Sistem pelayanan kesehatan (asuransi dan jaminan kesehatan); (6) Sosiokultural. Keenam faktor tersebut saling terkait satu sama lain. 5,6
Menurut WHO intervensi kunci yang dapat meningkatkan pemakaian obat secara
rasional adalah pembentukan badan multi-disiplin di tingkat nasional yang mengkordinasi
kebijakan penggunaan obat, penggunaan pedoman klinik (clinical guidelines), pembuatan
daftar obat esensial nasional (DOEN), pembentukan Komite Obat/Farmasi dan Terapi (KFT)
di wilayah dan rumah sakit, memasukkan pembelajaran farmakoterapi model belajar-berbasis
masalah (problem-based learning/PBL) di pendidikan dokter, pendidikan medik berkelanjutan
sebagai syarat pengajuan/perpanjangan izin praktik, supervisi, audit dan umpan-balik terhadap
(pola) penggunaan obat, penggunaan sumber informasi yang mandiri/independen tentang
obat, dan pendidikan tentang obat kepada masyarakat.8
2.6
terdapat indikator dalam rasionalitas obat, yaitu indikator inti dan indikator tambahan.9
12
1. Indikator Inti:
a. Indikator peresepan
- Rerata jumlah item dalam tiap resep.
- Persentase peresepan dengan nama generik.
- Persentase peresepan dengan antibiotik.
- Persentase peresepan dengan suntikan.
- Persentase peresepan yang sesuai dengan Daftar Obat Esensial.
b. Indikator Pelayanan
1) Rerata waktu konsultasi.
2) Rerata waktu penyerahan obat.
3) Persentase obat yang sesungguhnya diserahkan.
4) Persentase obat yang dilabel secara adekuat.
c. Indikator Fasilitas
1) Pengetahuan pasien mengenai dosis yang benar.
2) Ketersediaan Daftar Obat Esensial.
3) Ketersediaan key drugs.
2. Indikator Tambahan:
Indikator ini dapat diperlakukan sebagai tambahan terhadap indikator inti. Indikator ini tidak
kurang pentingnya dibandingkan indikator inti, namun sering data yang dipergunakan sulit
diperoleh atau interpretasi terhadap data tersebut mungkin sarat muatan lokal.
a. Persentase pasien yang diterapi tanpa obat.
b. Rerata biaya obat tiap peresepan.
c. Persentase biaya untuk antibiotik.
d. Persentase biaya untuk suntikan.
e. Peresepan yang sesuai dengan pedoman pengobatan.
f. Persentase pasien yang puas dengan pelayanan yang diberikan.
g. Persentase fasilitas kesehatan yang mempunyai akses kepada informasi yang obyektif.
2.6 Penghapusan Obat
13
14
(suitability) dan biaya (cost). Terapi non-obat yang biasanya dipikirkan dan dianjurkan
kepada pasien menyangkut perubahan gaya hidup (life style) termasuk perubahan pola
makan (mengurangi asupan karbohidrat, lemak atau protein),perubahan pola minum
(mengurangi konsumsi alkohol), berhenti merokok, meningkatkan kegiatan olahraga).
Kesimpulan.
Mulai pengobatan.
Setelah sampai pada kesimpulan dan keputusan tentang obat yang paling cocok untuk
pasien dan kasus yang kita hadapi, maka langkah berikut adalah memulai pengobatan
dengan menuliskan resep yang merupakan suatu instruksi kepada apoteker untuk
menyediakan/menyiapkan obat yang dibutuhkan tadi. Dalam mata rantai pengobatan
rasional, pasien pun berhak mendapatkan informasi dari apoteker dan perawat (atau
petugas kesehatan yang bertanggung-jawab untuk hal itu) tentang obat, dosis, cara
penggunaan, efek samping, dan lainnya.
15
2.9
Upaya dan Intervensi Untuk Mengatasai Masalah Penggunaan Obat yang Tidak
Rasional
Penggunaan obat dikatakan tidak rasional jika tidak tepat secara medik. Artinya, tidak
sesuai dengan indikasi, diberikan dalam dosis yang tidak tepat, cara dan lama pemberian yang
keliru hingga kurang tepatnya pemberian informasi sehubungan dengan pengobatan yang
diberikan. Dalam pokok bahasan ini akan dibicarakan berbagai upaya perbaikan yang dapat
dilakukan untuk mengatasi ketidakrasionalan tersebut.11,12
Secara garis besar upaya perbaikan dan intervensi ini dapat dikelompokkan dalam
beberapa hal:
a. Upaya Pendidikan (educational strategies)
Upaya pendidikan dapat mencakup pendidikan selama masa kuliah (pre service)
maupun sesudah menjalankan praktek keprofesian (post service). Upaya tersebut mutlak harus
diikuti dengan pendidikan kepada pasien/masyarakat secara simultan. Upaya peningkatan
mutu calon dokter selama dalam masa pendidikan dapat dilakukan dengan pendekatan
berdasar masalah (problem-based approach), memperbaiki isi (content) maupun metode
pengajaran (teaching method) agar lebih diarahkan pada pengobatan yang rasional.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pendidikan farmakologi lebih banyak
berorientasi pada aspek obat, bukannya penerapan pengobatan pada kondisi-kondisi tertentu
(terapi), sehingga tidak jarang muncul kesenjangan antara pengetahuan tentang obat dengan
pelaksanaan pengobatan dalam klinik. Salah satu upaya pendidikan pre service ini antara lain
dengan membiasakan mahasiswa memecahkan masalah klinik dalam bentuk pembahasan
kasus. Upaya pendidikan yang lebih mendasar adalah dengan menambahkan Kurikulum
Farmakologi Klinik ke dalam Kurikulum Fakultas Kedokteran. Pendidikan post service antara
lain dapat berupa:
Hal ini selain dimaksudkan untuk memelihara pengetahuan dan ketrampilan mengenai
terapi yang mutakhir, juga untuk meluruskan informasi obat yang sebagian besar berasal dari
industri farmasi, agar tidak "bias" terhadap jenis/produk-produk tertentu.
Adapun sarana pendidikan yang dapat digunakan untuk intervensi antara lain:
- Media cetak: buletin, pedoman pengobatan.
- Pendidikan tatap muka (face to face education): kuliah penyegaran, seminar.
- Media elektronik: radio, televisi, video.
- Media lain.
16
Farmasi
dan
Terapi
mempunyai
tugas
dan
fungsi
untuk
17
Intervensi informasi bagi provider, yaitu dokter sebagai peresep (prescriber) dan
apoteker/asisten apoteker sebagai dispenser.
18
19
20
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Hasil
Resep yang dikumpulkan berasal dari empat puskesmas yang tersebar di Kota
Palembang, yakni Puskesmas Sosial, Puskesmas Sukarami, Puskesmas Alang-alang
Lebar, dan Puskesmas Talang Betutu yang masing-masing puskesmas mengumpulkan
25 resep jika ditotalkan menjadi 100 resep.
Dari 100 resep tersebut didapatkan contoh kertas resep di salah satu puskesmas
adalah sebagai berikut;
21
Contoh penyakit dan obat yang sering digunakan di ke empat Puskesmas yang ada di
Kota Palembang.
No.
1.
Anamnesis
Kepala pusing, tengkuk pegal-
Diagnosis
Hipertensi
Terapi
Captopril 25 mg 1x1/hari
Ambroxol 30 mg 3x1/hari
TD 140/90 mmHg.
2.
Hiperkolesterolemia
Simvastatin 20 mg 1x1/hari
selama 5 hari.
ISPA
kepala pusing.
4.
DM Tipe 2
B Compleks 3x1/hari
Faringitis Akut
Osteoartritis
7.
Konjungtivitis
Observasi febris
22
3.2 Pembahasan
Resep merupakan permintaan tertulis dari dokter, dokter gigi, dokter hewan dan praktisi
lain yang berizin, kepada Apoteker Pengelola Apotek untuk menyediakan/membuatkan obat
dan menyerahkannya kepada penderita. Resep yang benar adalah ditulis secara jelas, dapat
dibaca, lengkap dan memenuhi peraturan perundangan serta kaidah yang berlaku.
Menurut WHO, peresepan rasional adalah memberikan obat sesuai dengan keperluan
klinik, dosis sesuai dengan kebutuhan pasien, diberikan dalam jangka waktu yang sesuai
dengan penyakit, dan dengan biaya termurah menurut pasien dan komunitasnya.
Pada contoh resep diatas masih tidak lengkap, karena kertas resep ukurannya terlalu
kecil, tidak terdapat nomor pada resep, cara penulisan resep tidak sesuai dengan
kaidah penulisan resep yakni, penulisan obat tidak di dahului dengan R/, setelah nama
obat, seharusnya diikuti dengan sediaan (dosis obat), bentuk sediaan, jumlah sediaan
(numero), keterangan cara pemberian obat dan paraf dokter.
23
Pada contoh resep diatas cukup lengkap. Hanya kertas resep terlalu kecil ukurannya,
cara penulisan resep sudah cukup sesuai dengan kaidah penulisan resep yakni,
penulisan obat di dahului dengan R/, setelah nama obat, diikuti dengan sediaan, dosis
obat, bentuk sediaan, jumlah sediaan (numero) Hanya kurang keterangan cara
pemberian obat dan paraf dokter.
Format penulisan resep:
1. Inscriptio
kota, tempat,
tanggal penulisan resep.
2. Invocatio
singkatan latin.
resipe artinya berikanlan.
3. Prescriptio/ordonantio
interval waktu
pemberian, sebagai keamanan penggunaan obat dan
keberhasilan terapi.
5. Subcriptio
sebagai
24
alamat
bila perlu.
R/
Bentuk
Sediaan
Cap
Tab
Syr
Supp
Opth Oint
Nama
Sediaan
Amoxycillin
Bactrim
Dibekacin
Lamisil
Lidonest
Wadah
Sedian
No
No
Vial
Tube
Amp.
Jumlah
Sedian
XV
X
I
VI
I
Jumlah
Sedian
XV
X
III
I
VI
Berikut merupakan contoh penulisan resep yang benar dan memenuhi kaidah penulisan resep
25
Diagnosis
: Hipertensi grade I
Pengobatan
: Captopril 25 mg 1x1/hari
Ambroxol 30 mg 3x1/hari
Penetapan diagnosis
: Hipertensi grade I
Tujuan terapi
26
Kemanjuran
Keamanan
Kecocokan
Biaya
berdasarkan kriteria
Gol ACE inhibitor
(-) efek
samping
batuk
Penyekat kanal CA
(+)
Beta blocker
() efek
samping
banyak
Pilih obat P
Amlodipine
Tersedia di
puskesmas
Nifedipine
Tersedia di
puskesmas
Kesimpulan
-
Obat terpilih
: amlodipine tablet 10 mg
Dosis
: 1x1/hari
Lama pengobatan
Diagnosis
: Kolesterol tinggi
Pengobatan
Penetapan diagnosis
: Hiperkolesterolemia
Tujuan terapi
27
Kemanjuran
Keamanan
Kecocokan
Biaya
berdasarkan kriteria
Gol Statin
(-) efek
samping
banyak : as.
Urat
eritem, mual,
hepatotolisik
Gol Niasin
(+)
Gol Fibrat
(sedikit
() efek
mengurangi
samping
kolesterol)
banyak
Pilih obat P
Simvastatin
Tersedia di
puskesmas
Fluvastatin
Tidak
tersedia di
puskesmas
Kesimpulan
-
Obat terpilih
: amlodipine tablet 10 mg
Dosis
: 1x1/hari
Lama pengobatan
Pemberian obat sudah tepat yaitu simvastatin tablet 20 mg. Namun pemberian hanya
untuk 5 hari yang idealnya diberi selama 10 hari untuk efektivitas penurunan kolesterol sesuai
mekanisme kerja obat. Pada kasus ini terjadi underprescribing. Pada kasus ini, penggunaan
obat masih belum rasional karena tidak tepat lama pemberian.
28
Kasus 3.
Keluhan
Diagnosis
Pengobatan
Pemilihan kelompok
Kemanjuran Keamanan
Kecocokan
Biaya
obat berdasarkan
kritirea
OAINS
(+)
Asetaminofen
(-)
Pilih obat -P
() efek
samping
banyak
Asam mefenamat
(-) efek
analgetik
Tersedia di
puskesmas
untuk OA
kurang
Piroksikam
efek
samping
Tersedia di
puskesmas
lebih
banyak
Meloksikam
Tersedia di
puskesmas
Kesimpulan
-
banding seperti asam urat. Dan pada kasus ini terjadi multiple prescribing, dimana terdapat 2
29
analgetik yang diberikan. Padahal analgetik tersebut dapat menyebabkan kerusakan lambung.
Sebaiknya pasien hanya diberi meloksikam saja sebagai analgetiknya, dikarenakan efek
antiinflamasi dan analgetik meloksikam efektif untuk mengurangi rasa nyeri pada pasien OA.
Lalu pasien dirujuk ke Sp.PD. Pada kasus ini, penggunaan obat masih belum rasional karena
tidak tepat pemilihan obat.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
1. Penulisan resep di Puskesmas Sosial, Puskesmas Sukarami, Puskesmas Alang-alang
Lebar, dan Puskesmas Talang Betutu Kota Palembang masih tidak sesuai dengan tata
cara penulisan resep yang benar, seperti kertas resep ukurannya terlalu kecil, tidak
terdapat nomor pada resep, cara penulisan resep tidak sesuai dengan kaidah penulisan
resep yaitu, penulisan obat tidak di dahului dengan R/, setelah nama obat seharusnya
diikuti dengan sediaan (dosis obat), bentuk sediaan, jumlah sediaan sediaan (numero),
keterangan cara pemberian obat dan paraf dokter.
2. Kerasionalitasan resep Puskesmas Sosial, Puskesmas Sukarami, Puskesmas Alangalang Lebar, dan Puskesmas Talang Betutu Kota Palembang masih kurang, seperti
kurang tepatnya pemberian obat dengan penyakit yang diderita pasien, terjadinya
peresepan yang berlebih, peresepan yang kurang, ataupun peresepan majemuk.
Adapun obat terbanyak untuk kasus hipertensi yang digunakan di puskemas tersebut
adalah captopril dan ambroxol, untuk kasus hiperkolesterolemia adalah simvastatin,
untuk kasus ISPA GG tablet dan CTM tablet, untuk kasus DM Tipe 2 yaitu metmorfin,
dan glimepirid, untuk kasus faringitis akut adalah amoxilin, dan untuk kasus
konjuntivitis obat terbanyak yang dipakai adalah kloramfenikol eye drop.
4.2 Saran
1. Perlunya dibuat peraturan yang tegas mengenai penulisan resep yang baik dan benar,
mengingat pentingnya resep bagi obat yang akan diminum pasien.
30
2. Peningkatan kajian dan evaluasi bagi petugas medis ataupun para medis mengenai
rasionalitas penggunaan obat di Puskemas yang tersebar di Kota Palembang.
DAFTAR PUSTAKA
1. Syamsuri. 2006. Ilmu Resep. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC.
2. Vance Ma & Millington Wr. 1986. Principle of irrational drug therapy. International
Journal of Health Sciences16(3). Halaman: 355-361
3. Departemen Farmakologi FKUI. Penuntun Diskusi Masalah Obat dan Pengobatan.
Tahun 2004.
4. World Health Organization. WHO Policy Perspectives on Medicines. Promoting
rational use of medicines: core components. Geneva: 2002.
5. Barrett SP, Meisner JR, Stewart SH. What Constitutes Prescription Drug Misuse?
Problems and Pitfalls of Current Conceptualizations. Curr Drug Abuse Rev.
2008;1:255-62.
6. Vestal RE, Gurwitz JH. Geriatric Pharmacology. In: Carruthers SE, Hoffman BB,
Melman KL, Nierenberg DW (eds). Melmon and Morrellis Clinical Pharmacology.
4th ed. New York: McGraw-Hill Medical; 2000:1151-77.
7. Guide to good prescribing. Diunduh dari http://libdoc.who.int/hq/1994/WHO DAP
94.11.pdf
8. Lewis PJ, Dornan T, Taylor D, Tully MP, Wass V, Ashcroft DM. Prevalence, Incidence
and Nature of Prescribing Errors in Hospital Inpatients. A systematic Review. Drug
Safety 2009; 32 (5): 379- 89.
9. Velo GP; Minuz P. Medication errors: prescribing faults and prescription errors. Br J
Clin Pharmacol 2009; 67 (6): 624-8.
10. Pearson SA, Rolfe I, Smith T. Factors influencing prescribing: an interns perspective.
Medical Educat 2002;36:7817.
31
11. Coombes ID, Mitchell CA, Stowasser DA. Safe medication practice: attitudes of
medical students about to begin their intern year. Medical Educat 2008; 42:42731.
12. de Vries TPGM, Henning RH, Hogerzeil HV, Fresle DA. Guide to Good Prescribing.
1994, Geneva. WHO.
13. Pollack D, Wopat R, Muench J, Hartung DM. Show me the evidence: the ethical
aspects of pharmaceutical marketing, evidence-based medicine, and rational
prescribing. JEMH 2009: April- Sept. suppl : 1-8.
14. Sacket DL, Rosenberg WM, Gray JA, Haynes RB, Richardson WS. Evidence based
medicine: what it is and what it isn't. Editorial. BMJ 1996; 312: 71-2. Diunduh dari
http://www.bmj.com/cgi/content/full/312/7023/71.
15. Simatupang A. Proses Keputusan Terapi dan Masalah dalam Pemakaian Obat. Cermin
Dunia Kedokteran 1992; 78: 57-60.
16. Davey P, Garner S. Professional education on antimicrobial prescribing: a report from
the Specialist Advisory Committee on antimicrobial Resistance (SACAR) professional
education subgroup. J Antimicrob Chemother 2007; 60, Suppl. 1.i27-i32.
17. Gommans J, McIntosh P, Bee S, Allan W. Improving the quality of written
prescriptions in a general hospital: the influence of 10 years of serial audits and
targeted interventions. Internal Medicine J, 2008; 38: 24348.