Gerakan Aceh Merdeka atau yang biasa disebut GAM (dalam Bahasa Aceh: Acèh
Meurdèka) adalah bekas sebuah Gerakan separatis bersenjata yang bertujuan supaya Aceh
lepas darri Negara Kesatuan Republik Indonesia. Konflik antara pemerintah RI dan Gam yang
diakibatkan perbedaan keinginan ini telah berlangsung sejak tahun 1976-2008 dan
menyebabkan jatuhnya hampir sekitar 15.000 jiwa. Gerakan ini juga dikenal dengan nama
Aceh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). GAM dipimpin oleh Hasan di Tiro selama
hampir tiga decade yang bermukim di Swedia dan berkewarganegaraan swedia. Hasan di Tiro
memperoleh status kewarganegaraannya sebagai warga Indonesia pada tanggal 2 Juni 2010,
tepat sehari sebelum ia meninggal dunia di Banda Aceh. ama Awal (1976) Memang "Aceh
Merdeka" dan digunakan untuk diksi dalam daerah (Aceh). Untuk luar negeri, Tengku Hasan
menggunakan Istilah "National Liberation Front Aceh Sumatra" atau NLFAS. Nama dan
singkatan ini masih digunakan sebagai istilah "diplomatik" atau Diplomatic Correspondence
sampai tahun 1980-an.
Dalam beberapa surat resmi untuk negara atau organisasi representatif kenegaraan,
beliau juga menulis "State of Acheh Sumatra - National Liberation Front Acheh Sumatra" atau
"Acheh Sumatra National Liberation Front (ASNLF). Untuk istilah itu, beliau menulis dirinya
sebagai President NLFAS atau ASNLF. Dan terkadang, jika beliau menggunakan istilah "State
of Aceh Sumatra" atau "Islamic State of Acheh", beliau sering menulis dirinya sebagai "Head
of State" tanpa sebutan jabatan (struktural kenegaraan) seperti Presiden, Kaisar, Sulthan,
Perdana Menteri, Wali Negara (Istilah ini hanya digunakan untuk krespondensi internal).
Disini, membuktikan bahwa beliau sangat menguasai etika, keilmuan dan nilai² Diplomasi
kenegaraan.
Dan penggunaan istilah ini untuk menghindari klaim bahwa beliau pengganti
Raja/Sulthan Aceh, serta menghindari bentuk Negara Aceh yang diusung oleh Aceh Merdeka.
Istilah ini masih digunakan dari awal lahirnya Aceh Merdeka sampai tahun 1980 an. Tahun
1977 (Setahun setelah Deklarasi AM) sampai 2005, media di Indonesia dan Internasional
menggunakan Istilah perlawanan AM ini dengan Gerakan "Aceh Merdeka" atau Acheh Free
Movement.
Setelah dianggap mengancam keamanan Negara, baru kemudian orde baru memberi
label pertama untuk "Aceh Merdeka" dengan sebutan " GPLHT (Gerakan Pengacau Liar Hasan
Tiro) dan "Gerombolan Hasan Tiro" istilah ini bertahan dari tahun 1978 - 1990 an. Setelah itu
Orba memberi label GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) dan istilah² lain yang memberi efek
negatif untuk GAM dimata internasional. Pasca Deklarasi Stavanger (2002) Norwegia. Istilah
ASNLF berubah jadi PNA, dan Istilah AGAM berubah jadi TNA.
Foto: Hawil Awaluddin dan Malik Mahmud berjabat tangan usai menandatangani MOU Helsinki
(Wikipedia)
Meski perdamaian tersebut, sejatinya sampai sekarang masih menyisakan persoalan
yang belum menemukan jalan keluar. Misalnya saja berkait dengan Tapol/Napol Aceh yang
masih berada di penjara Cipinang, Jakarta seperti Ismuhadi Jafar, dkk. Selain juga persoalan
kesejahteraan mantan prajurit kombatan GAM yang cenderung hanya dinikmati oleh segelintir
elit. Seluruh senjata GAM yang mencapai 840 pucuk selesai diserahkan kepada AMM pada 19
Desember 2005. Kemudian pada 27 Desember, GAM melalui juru bicara militernya, Sofyan
Dawood, menyatakan bahwa sayap militer mereka yaitu Tentara Neugara Aceh (TNA) telah
dibubarkan secara formal dan dibentuk Komite Peralihan Aceh guna untuk menampung para
eks-kombatan.