Di depan teras rumah Adit sedang membaca koran nusantara,
dengan suasana pagi yang cerah dan secangkir kopi hitam asli buatan negeri. Membaca dengan seksama dan memperhatikan headline berita yang menarik perhatian isi otak, yaitu suatu permalasahan negara di masa lampau dengan judul GAM atau Gerakan Aceh Merdeka. Sejenak berdiam diri dengan rasa penasaran seraya bertanya “ada apa dengan negara ini di masa lampau”. Dengan rasa penasaran yang ada, Adit bergegas menuju perpustakaan kota, menuju lorong sejarah yang panjang ia berjalan, satu persatu ia pilah untuk mencari buku tentang GAM ini. Ia adalah anak muda asli Surabaya yang selalu bangga dengan sejarah yang tercipta. Pada lorong ke empat tepat ia berdiri ditemukan buku yang selama ini dicari. Tak menunggu lama ia mencari tempat untuk duduk dan membaca buku sejarah ini, berada di sudut ruangan dengan ditemani pemandangan kota metropolitan dari balik kaca, menambah semangat untuk memahami isi cerita yang ada di buku ini. Tepat saat membuka halaman pertama ia menemukan fakta bahwa GAM di inisiator oleh Hasan Di Tiro pada tanggal 4 Desember 1976 dan beberapa pengikutnya yang mengeluarkan pernyataan perlawanan kepada Pemerintah Republik Indonesia. Dimana pernyataan tersebut dilakukan di suatu tempat yaitu perbukitan Halimon yang berada di Kabupaten Pidie. Pada awal mulanya nama resmi yang digunakan bukan GAM melainkan AM atau Aceh Merdeka. Sungguh pembukaan yang menarik bahwa orang atau saudara sedarah bisa melakukan ini demi kepentingan kelompok pribadi, lanjut ke paragraph berikutnya, Adit membaca dengan serius, memperhatikan kata demi kata. Gerakan ini tercium oleh militer dan Presiden Suharto, dengan rasa ketakutan yang ada, Hasan Tiro pergi melarikan diri ke luar negeri dan meminta pertolongan pada suaka politik ke Swedia pada tahun 1979. Saat berada di Swedia, pria kelahiran 25 September 1925 ini masih mempunyai nyali dan semangat untuk melanjutkan gagasan kemerdekaan dan membawa masyarakat aceh berjuang ke puncak diplomatik. Tak lama waktu berselang pada pertengahan tahun 80- an, banyak anak muda Aceh dikirim ke Libya untuk di didik menjadi militer yang menghasilkan Taruna Neugara Aceh atau TNA. Berselangnya dan berjalan nya waktu pada tahun 1988 jatuhnya rezim Suharto membuat Gerakan yang dulunya redup kemudian menjadi terbuka lebar. Selain itu keberhasilan Timor Timur merdeka pada tahun 1999, menyulut masyarakat Aceh untuk mengadakan referendum. Tak terasa sudah 15 menit Adit membaca, dengan sedikit rasa haus, ia kemudian pergi sejenak untuk membeli minuman yang ada di kantin balai perpustakaan. Hal yang perlu diketahui bahwa perpustakaan kota yang ia pijak berdampingan dengan museum sejarah yang ada di Indonesia khususnya Kota Surabaya. Sembari berjalan ia menemukan sebuah lukisan dan gambar gambar hitam putih tentang perjuangan pahlawan kita di masa lampau. Dengan keadaan yang sudah merdeka di masa kini, tak lupa adit mengucapkan rasa syukur dan terimakasih kepada para pahlawan yang telah berjuang memerdekakan serta menyatukan seluruh RAS dan budaya yang berbeda di negara ini. Setelah minuman di beli, ia berhenti di depan lukisan dimana perjuangan rakyat aceh dan pemerintah dalam negeri ini berunding. Suasana semakin terasa nyata saat membuka buku yang tadi sudah dipinjam di balai perpustakaan dengan dikelilingi banyak potret sejarah di masa lampau. Lanjut pada halaman kertas selanjutnya, Masih dipimpin oleh orang yang sama yaitu Hasan Tirto dan petinggi GAM lainnya, tuntutan terus dilayangkan tetapi tetap di tolak oleh NKRI ini. Dengan semangat yang masih membara Hasan terus berusaha dan terus memperkasai Gerakan ini. Sempat terjadi pertemuan antara kedua belah pihak yaitu Hasan dan petinggi GAM dengan Presiden Abdurahman Wahud, pertemuan informal itu masih berujung penolakan dan kegagalan bagi Hasan. Selanjutnya terjadi pergantian presiden atau kepemimpinan Megawati tetap saja upaya tersebut gagal dan menemui jalan buntu. Setelah perjalan dari tahun ke tahun, pemerintah pada zaman Presiden Megawati melakukan operasi militer terbatas yang berdampak pencabutan status setelah satu tahun kemudian. Dalam operasi ini banyak juru runding GAM yang ditangkap. Terdengar lega hati Adit setelah membaca kalimat “telah ditangkap banyak juru runding GAM”, tetapi tidak sampai disini saja. Sedikit menghela nafas dan melamun beberapa detik, Adit membayangkan betapa sulitnya menyatukan perbedaan dari banyak pihak menjadi satu kesatuan, sebagai contoh saja Adit pernah menjabat sebagai wakil ketua osis dan ketua kelas dalam beberapa tahun. Ia merasakan mengatur siswa dalam satu sekolah dengan jumlah 900 siswa siswi yang mempunyai kepribadian dan pendapat yang berbeda beda itu saja sudah membuat kepala Adit pusing, bagaimana dengan Presiden atau para petinggi negara yang mengatur ratusan juta jiwa yang mempunyai latar belakang, RAS, budaya serta suku yang berbeda beda. Mengucap terimakasih karena dapat mempertahankan NKRI menjadi utuh dan tetap bersatu. Kemudian kembali pada cerita isi buku, dengan adanya konflik yang berkepanjangan antara GAM dan Pemerintah Indonesia, rupanya tsunami aceh yang menimbulkan banyak korban jiwa yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 mampu melunakkan kedua belah pihak, tetapi gencatan senjata sempat dilakukan dan pada akhirnya GAM mau Kembali ke meja perundingan, melalui perundingan yang dilaksanakan dengan melibatkan Wakil Presiden Yusuf Kalla dan petinggi GAM, mereka akhirnya sepakat untuk damai dengan di tandatangani di kota Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. Empat bulan setelah peristiwa tersebut, TNA atau Tentara Neugara Aceh resmi dibubarkan. Pada tanggal 2 Juni 2010, dalam keadaan sakit, Hasan Tiro kembali mendapatkan status kewarganegaraannya yang dulunya sempat di cabut oleh Pemerintah Indonesia. Tak terasa sudah ada di penghujung halaman, Adit merasa lega telah mengetahui proses sejarah GAM yang telah terjadi, Adit menyimpulkan bahwa tugas remaja atau milenial Indonesia saat ini adalah menjaga keutuhan NKRI dan tidak mudah terpengaruh dengan pihak mana pun. Langit mulai menampakkan senja dan Adit bergegas pulang kerumah.