Anda di halaman 1dari 2

Menyurat ALDERA, Menggurat Orde Baru

Judul : ALDERA. Potret Gerakan Politik Kaum Muda 1993-1999


Penulis : Teddy Wibisana (Ketua), Nanang Pujalaksana, Rahardi T. Wiratarma
Editor : Marlin Dinamikanto
Penerbit : Buku Kompas
Cetakan : II, 2022
Tebal : xx + 308 hlm.
ISBN : 978-623-346-684-4
Harga : Rp. 99.000

Nama ALDERA memang sudah tidak populer lagi di kalangan mahasiswa masa kini.
Bahkan nama Pius Lustrilanang pun boleh jadi terasa asing di telinga generasi muda milenial
saat ini. Jadi, untuk apa dan siapa sesungguhnya buku ini ditulis dan diterbitkan?
Inilah pertanyaan yang di “Bagian 1” dari buku ini dikemas secara lain melalui dua
pertanyaan berikut ini: “Apa yang pertama kali terlintas dalam benak Anda tentang Aliansi
Demokrasi Rakyat (ALDERA)?” dan “apa yang pertama terlintas dalam pikiran Anda
tentang Pius Lustrilanang?” (hlm. 11)
Dari dua pertanyaan itu, tentu cukup jelas bahwa buku ini terutama ditujukan bagi
aktivis 1980-an atau 1990-an serta wartawan politik di era 1990-an. Sementara, bagi aktivis
BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) yang lahir di tahun 1990-an atau 2000-an, buku ini
sekadar menjadi peristiwa dari masa lalu. Masa di mana Orde Baru masih begitu berkuasa
dan mampu membungkam siapapun, bahkan apapun, yang berani menentangnya.
Pembungkaman inilah yang dilawan tanpa kenal takut oleh ALDERA dengan Pius
Lustrilanang sebagai tokohnya. Mengapa? Karena tanpa diduga oleh siapapun juga, empat
bulan sebelum Orde Baru tumbang, ia diculik di pintu keluar Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo (RSCM), Jakarta (hlm. 13). Akibat dari penculikan itu cukup jelas, bahwa
para aktivis menjadi lebih hati-hati dan waspada agar tidak menjadi target selanjutnya.
Namun, yang menarik adalah sesama aktivis ALDERA tidak terlalu panik dan tergesa-gesa
untuk “tiarap” alias menyembunyikan diri, karena beberapa dari antara mereka ternyata sudah
tahu bahwa Pius hilang, namun masih hidup dan ada di markas Kopassus Cijantung (hlm.
16).
Kenyataan seperti ini tentu menjadi cerita heroik yang dengan cepat dapat menyebar
ke segenap penjuru. Masuk akal jika ada banyak pihak yang merasa berkepentingan dengan
keberaniannya untuk bersaksi di KOMNAS HAM pada Senin, 27 April 1998 (hlm. 20).
Maka, sesudah menyampaikan testimoninya, ia pun langsung diungsikan ke luar negeri, yaitu
ke Belanda.
Kisah penculikan yang menjadi awal dari buku ini memang merupakan petunjuk
bahwa ALDERA adalah sebuah gerakan politik kaum muda yang bertujuan untuk mengakhiri
kekuasaan Orde Baru. Tujuan itulah yang dipegang secara konsisten oleh setiap aktivis
ALDERA, khususnya Pius Lustrilanang. Terbukti sampai tiba saatnya ALDERA dibubarkan
dalam sebuah kongres di Tasikmalaya pada tahun 2000, alasan pokoknya adalah target politik
utama ALDERA yang bertujuan menggulingkan Soeharto sudah terlaksana. Jadi, tugas
ALDERA selesai dengan sendirinya karena raison d’etre (alasan keberadaan) ALDERA
untuk menumbangkan Soeharto telah terpenuhi (hlm. 281).
Demikianlah sebenarnya kerangka utama dari buku ini yang tampak pada bagian 1
dan bagian 7. Sementara bagian 2 hingga bagian 6 adalah daging yang memberi isi pada
ALDERA sebagai bagian dari gerakan politik kaum muda pada zamannya. Jadi, dari tujuh
bagian yang ada dalam buku ini, bagian awal dan bagian akhir merupakan kunci untuk
memahami untuk apa dan siapa ALDERA menjadi penting dan perlu untuk ditulis dan
diterbitkan sebagai sebuah buku.
Dibandingkan dengan buku lain bertema penculikan aktivis menjelang Reformasi
1998, novel karya Leila S. Chudori berjudul Laut Bercerita (KPG, 2017/2018) juga mampu
memperlihatkan bahwa Orde Baru memang tampak begitu berkuasa dan digdaya. Namun, di
balik itu semua, ada celah retak yang menunjukkan betapa keroposnya kekuasaan dan
kedigdayaan yang dibangun dengan kekerasan. Penculikan yang disertai dengan intimidasi
dan penyiksaan terhadap sejumlah aktivis adalah bukti nyata bahwa politik rust en orde
(keamanan dan ketertiban) yang dijalankan di era Orde Baru hanyalah bahasa kosong. Bahasa
yang kerap digunakan oleh pihak-pihak yang sedang berkuasa untuk melarang rakyat
menantang, apalagi menentang, apapun yang telah diputuskan. Dan sebaliknya, bahasa itu
memperbolehkan penguasa untuk melakukan apapun juga terhadap rakyatnya demi
menegakkan bahasa kosong itu.
Di buku ini bahasa kosong itu belum sepenuhnya tampil, bahkan hadir, lantaran
terlalu fokus pada soal ketokohan belaka. Artinya, ALDERA dan Pius yang diibartkan
sebagai dua sisi dari sekeping mata uang tampak terlalu dominan dalam buku ini. Itulah
mengapa buku ini seperti otobiografi dari Pius, namun dikemas dengan jejak langkah
ALDERA dalam perpolitikan di masa Orde Baru. Barangkali agar ketokohan Pius tidak
terlalu menonjol, bisa saja diimbangi dengan menempatkannya sebagai bagian penting dari
pergerakan ALDERA, namun tetap tak bisa lepas begitu saja dari sesama aktivis lainnya,
baik secara internal maupun ekternal.
Jadi, supaya tidak seperti peristiwa Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949 yang
mampu mengkultuskan Soeharto, buku ini perlu dan mendesak untuk ditulis ulang. Dengan
pendekatan yang tidak berkiblat pada ketokohan belaka, buku ini dapat juga memotret
dinamika politik dan budaya yang dihasilkan selama ALDERA bergerak bersama. Sebab
hanya dengan demikian, buku ini dapat menjadi bacaan, bahkan acuan, yang tidak lagi jatuh
ke dalam kaca mata sejarah yang Indonesia-sentris. Singkatnya, dengan atau tanpa ALDERA
dengan kepiusannya, Orde Baru niscaya tumbang.

Anda mungkin juga menyukai