Anda di halaman 1dari 4

UPAYA DALAM PENYELESAIAN KONFLIK GAM (Gerakan Aceh

Merdeka)
(Studi Kasus Konflik Aceh ingin lepas dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia )
Gerakan Aceh Merdeka atau yang biasa disebut dengan GAM, merupakan
organisasi separatisme yang telah berdiri di Aceh sejak tahun 1976. Tujuan
didirikannya GAM ini ialah agar Aceh dapat lepas dari Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan membuat negara kesatuan sendiri dengan nama Nanggroe Aceh
Darussalam. Gerakan Aceh Merdeka juga dikenal dengan nama Aceh Sumatera
National Liberation Front (ASNLF).
Pada awalnya, GAM adalah sebuah organisasi yang diproklamirkan secara
terbatas. Deklarasi GAM yang dikumandangkan oleh Hasan Tiro dilakukan secara
diam-diam disebuah kamp kedua yang bertempat di bukit Cokan, Pedalaman
Kecamatan Tiro, Pidie. Setahun kemudian, teks tesebut disebarluaskan dalam
versi tiga bahasa; Inggris Indonesia, dan Aceh. Penyebaran naskah teks
proklamasi GAM ini, terungkap ketika salah seorang anggotanya ditangkap oleh
polisi dikarena pemalsuan formulir pemilu di tahun 1977. Sejak itulah,
pemerintahan orde baru mengetahui tentang pergerakan bawah tanah di Aceh.
Pada awalnya, gerakan ini terdiri dari sekelompok intelektual yang merasa
kecewa atas model pembangunan di Aceh. Hal ini terkait dengan penyelenggaraan
pemerintahan di bawah orang-orang Jawa. Kelompok intelektual ini berasumsi
bahwa telah terjadi kolonialisasi Jawa atas masyarakat dan kekayaan alam di
Aceh. Untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat, kalangan pemuda, serta
tokoh-tokoh agama di Aceh, Hasan Tiro mereproduksi gagasan anti-kolonialisasi
Jawa. Gagasan-gagasan Hasan Tiro ini semakin memuncak setelah pemerintah
orde baru meng-eksplorasi kekayaan gas alam dan minyak bumi di Aceh Utara
sejak awal 1970-an.
Sebab lain terjadinya gerakan separatisme GAM di Aceh, di perkuat oleh
dukungan yang datang dari para tokoh Darul Islam (DI) di Aceh yang belum
diselesaikan secara tuntas di era orde lama. Tokoh-tokoh DI/TII yang gagal
melakukan pemberontakan di Aceh, merasa bahwa dukungan mereka kepada
GAM akan dapatmembantu Aceh memperoleh kemerdekaannya sendiri.
Munculnya kelompok GAM ditanggapi oleh pemerintahan orde baru
dengan cara yang represif. GAM dipandang sebagai gerakan pengacau liar
sehingga harus dibasmi. Dimasa orde baru, tidak ada toleransi bagi kaum
pemberontak yang dapat menyebabkan instabilitas politik. Hampir tidak ada
kebijakan orba yang mencoba untuk mengintegrasikan pihak-pihak yang
memberontak, bahkan terhadap keluarga mereka sekalipun. Pendekatan militer
menyebabkan terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM di Aceh, seperti
penghilangan orang, pembunuhan, pemerkosaan, dan penculikan. Sedangkan
Hasan Tiro, sebagai ketua kelompok GAM, diasingkan di Swiss dan baru saja
kembali ke tanah air pada tahun 2008 kemarin.
Separatisme di Aceh justru semakin berkembang setelah tindakan represif
dari pemerintahan orde baru. Dengan munculnya generasi baru yang mendukung
GAM yang terdiri dari para korban Daerah Operasi Militer. Generasi ke-2
kelompok GAM ini melakukan eksodus keluar dan melakukan perjuangan dari
luar Aceh, melalui Malaysia, Libya, dan Jenewa.
Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, menandakan berakhirnya era
orde baru. Berbagai upaya untuk meredam pemberontakan di Aceh masih terus
diusahakan oleh presiden-presiden RI berikutnya. Sejak era presiden B.J. Habibie
sampai dengan presiden Megawati telah mengupayakan berbagai kebijakan.
Namun sayangnya kebijakan-kebijakan tidak berjalan secara efektif. Sampai
akhirnya, pemerintah kembali menggunakan pendekatan militeristik untuk
menyelesaikan masalah di Aceh.
Pada era Abdurrahman Wahid, jalur diplomasi sudah mulai diterapkan
untuk mendamaikan hubungan antara Indonesia dan Aceh. Gusdur menggunakan
upaya dialog damai, yang bernama Jeda Kemanusiaan I dan II. Namun jalur ini
kembali tidak efektif, karena Gusdur terpaksa turun dari kursi pemerintahan
sebelum masa jabatannya usai. Pada era Megawati Soekarnoputri, pemerintah
kembali menggunakan pendekatan militeristik yang membuat semakin banyaknya
korban-korban sipil yang berjatuhan dengan menjadikan Aceh sebagai daerah
darurat militer. Dan sekali lagi pendekatan militer membuat Indonesia menjadi
semakin jauh dengan GAM. Yang akhirnya membuat masalah separatisme ini
menjadi semakin berlarut-larut.
Perundingan Helsinki
Ide untuk menyelesaikan konflik dengan jalur perdamaian baru tercetus
ketika Indonesia berada dibawah pemerintahan Presiden Yudhoyono. Sejak dari
akhir Januari hingga Juli 2005, SBY-JK mulai melakukan empat babak
pembicaraan informal dengan pihak GAM untuk melakukan perundingan sebagai
cara damai menyelesaikan separatisme di Aceh. Pembicaaan informal ini
difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI), yaitu sebuah lembaga yang
dipimpin oleh seorang mantan pesiden Finlandia, Martti Ahtisaari. Jusuf Kalla
menamakan jalur yang dilakukan saat ini sebagai sebuah pendekatan baru, kerena
Kalla mempunyai supervisi yang konsisten dan terus menerus untuk
menyelesaikan konflik Aceh dengan jalur perdamaian.
Langkah pertama untuk dapat mendekati jalur perdamaian, adalah
dengan mempertemukan kedua belah pihak yang bersengketa. Dan untuk dapat
membuat GAM bersedia berdialog dengan pihak Indonesia, diperlukannya rasa
kepercayaan satu sama lain. Rasa kepercayaan inilah yang cukup sulit diperoleh
sehingga membuat putaran pertama pertemuan informal ini menjadi gagal. Karena
itu diperlukannya pihak ketiga yang dapat dipercaya oleh kedua belah pihak
sebagai penengah. Dan untuk pihak ketiganya, Indonesia memilih Martti
Ahtisaari. Alasan dipilihnya Ahtisaari ialah; pertama, karena hampir selama satu
tahun lamanya, Jusuf Kalla telah berkomunikasi via telepon dengan Ahtisaari
untuk membahas konflik di Aceh ini.
Kedua, karena Martti Ahtisaari memiliki kesepahaman dengan pihak RI,
bahwa dalam menyelesaikan konflik di Aceh, konsep yang mungkin digunakan
adalah konsep otonomi khusus. Ketiga, karena reputasi Martti sebagai mantan
presiden yang terbilang sangat baik. Dan Yang keempat, adalah karena
keberadaan pihak GAM yang ada di Swedia diharapkan dapat ditemui dan dilobi
oleh Martti, sehingga adanya kepercayaan pihak GAM terhadap negosiator.
Dalam perundingan Helsinki terdapat lima putaran. Pada putaran pertama
dan kedua, memberikan hasil yang tidak memuaskan, karena keadaan kedua pihak
menjadi kritis, khususnya pada putaran kedua, karena terjadi dead lock, atau tidak
adanya titik temu, karena posisi kedua belah pihak yang berbeda. Namun peran
CMI dalam mencari alternatif rumusan perundingan berhasil menjadi faktor
penentu keberhasilan dalam perundingan antar RI-GAM. perundingan Helsinki
sangat berbeda dengan perundingan-perundingan RI-GAM yang pernah terjadi
sebelumnya. Martti tidak hanya berhasil menembus batas second track diplomacy,
khususnya dengan pihak GAM dan Jusuf Kalla, tetapi Martti memiliki
kemampuan menembus first track Diplomacy ditingkat Uni Eropa maupun PBB
dan Amerika Serikat. Akhirnya, perundingan Helsinki behasil ditandatangani oleh
kedua belah pihak pada tanggal 15 Agustus 2005. Perundingan Helsinki ini
merupakan simbol berakhirnya gerakan separatisme di Aceh.

Sumber referensi:
Mochamad Nurhasim, Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka,
2008,

Anda mungkin juga menyukai