Anda di halaman 1dari 8

Cornelius Fabianus Tibo menjadi semakin terkenal.

Pemimpin pasukan kelompok Kelelawar


Hitam itu bakal menjalani hukuman mati. Dia dituduh biang Kerusuhan Kabupaten Poso,
Sulawesi Tengah Mei-Juni tahun silam. Dalam peristiwa kerusuhan konflik horisontal bernuansa
suku, agama, ras, dan antargolongan itu, Tibo melakukan kesalahan besar. Dia bersama
Dominggus da Silva dan Marinus Riwu telah menjadi otak kematian ratusan orang dan
pembakaran ribuan bangunan milik warga.

Puncak kerusuhan terjadi pada Senin (28/12). Bentrokan itu melibatkan sekitar 8.000 massa
dalam bentrokan fisik. Sedikitnya 55 bangunan rusak dan sekitar 79 orang terluka, terkena
lemparan benda keras. Selain itu, tujuh buah sepeda motor dan empat mobil dikabarkan hangus
ikut dibakar massa. Dalam bentrokan itu, petugas keamanan tak mampu membendung amukan
massa, karena jumlah personel yang sedikit.

Kerusuhan dipicu oleh kedatangan massa sebanyak tiga truk dari Tentena yang dipimpin Herman
Parimo, tokoh Gerakan Pemuda Sulawesi Tengah. Padahal sehari sebelumnya sudah
ditandatangani kesepakatan antara tokoh agama Islam dan Kristen, dan tokoh pemuda untuk
saling menahan diri.

Di beberapa tempat di dalam kota, kobaran api dan asap tebal dari puing-puing kebakaran
tampak di sejumlah wilayah. Ribuan orang yang terkonsentrasi pada setiap kelurahan,
mempersenjatai diri dengan tombak, parang panjang, atau samurai. Mereka berjaga-jaga di
hampir setiap sudut jalan dengan barikade drum serta palang kayu. Untunglah tak satu pun
rumah ibadah, baik gereja atau masjid dan kantor instansi pemerintah yang dirusak massa.

Rabu, 30 Desember 1998, dibentuklah kesepakatan untuk mengatasi situasi genting di Kota
Poso. Keputusan itu dihasilkan dalam pertemuan ke sekian kali pada hari Selasa sebelumnya
antara Musyawarah Pimpinan Daerah Poso dan Muspida Sulteng dengan sejumlah tokoh agama,
masyarakat Poso, dan daerah sekitarnya, termasuk pendatang dari luar kota. Dalam pertemuan
itu, setiap warga diminta menahan diri dan mafhum bahwa ada orang yang sengaja mengarahkan
persoalan ke masalah pertentangan agama. Herman Parimo, yang dianggap dalang kerusuhan
diminta segera dibekuk. Poso kembali tenang.

Menjelang pertengahan April 2000, Poso digoyang lagi. Dalam peristiwa itu, dua warga
dilaporkan tewas dan sedikitnya 11 orang luka parah akibat kerusuhan di Kecamatan Tojo,
sekitar 12 kilometer arah timur laut Kota Poso. Insiden bermula dari aksi saling serang antara
sekelompok massa dari Desa Batugencu dan Desa Sepe (Kecamatan Lage) dengan warga Desa
Toyado (Kecamatan Tojo), sekitar pukul 06.00 waktu setempat.
Kota Poso kembali diblokir perusuh. Korban yang berjatuhan kali ini tak tanggung-tanggung.
Menurut data resmi yang disampaikan Panglima Kodam VII/Wirabuana Mayor Jenderal TNI AD
Slamet Kirbiantoro, kala itu, korban tewas berjumlah 112 jiwa. Termasuk ribuan warga luka-
luka dan ratusan bangunan terbakar. Penduduk yang masih tersisa di Poso pun tinggal sekitar
delapan persen (sekitar 3.200 jiwa) dari 41.000 jiwa penduduk Kecamatan Poso Kota. Tercatat
sekitar 7.000 orang mengungsi di Markas Kompi Senapan B/711, 2.500 orang di Markas Kodim,
dan sebagian besar mengungsi ke luar kabupaten. Dalam peristiwa ini delapan orang tersangka
ditahan di Mapolda Sulteng. Tiga di antaraya yakni Yen (25), Raf (20), dan Leo (21). Mereka
diduga sebagai provokator dan pemimpin kelompok aksi. Sementara lima orang lainnya adalah
pelaku lapangan yang ditahan di Polres Poso.

Sumber https://m.liputan6.com/news/read/10914/poso-dengan-darah-riwayatmu-
dicoreng?utm_expid=.t4QZMPzJSFeAiwlBIOcwCw.0&utm_referrer=
Sumber https://www.kompasiana.com/rizkirulya/550066458133115318fa7607/sekilas-tentang-
konflik-aceh
Sumber
https://www.kompasiana.com/www.nabilahfirda.com/54f93a22a33311b77f8b4912/sampit-oh-
sampit
Sumber https://www.voaindonesia.com/a/papua-dan-14-tahun-pembunuhan-theys-
eluay/3052962.html
Sumber https://tirto.id/pembunuhan-munir-lewat-14-tahun-apa-maknanya-bagi-generasi-kini-
cXlV
GERAKAN ACEH MERDEKA

Pada awalnya, GAM adalah sebuah organisasi yang diproklamirkan secara terbatas. Deklarasi
GAM yang dikumandangkan oleh Hasan di Tiro dilakukan secara diam-diam disebuah kamp
kedua yang bertempat di bukit Cokan, Pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Setahun kemudian, teks
tesebut disebarluaskan dalam versi tiga bahasa; Inggris Indonesia, dan Aceh. Penyebaran naskah
teks proklamasi GAM ini terungkap ketika salah seorang anggotanya ditangkap oleh polisi
dikarena pemalsuan formulir pemilu di tahun 1977. Sejak itulah, pemerintahan orde baru
mengetahui tentang pergerakan bawah tanah di Aceh.

Serangan pertama GAM pada tahun 1977 dilakukan terhadap Mobil Oil Indonesia yang
merupakan pemegang saham PT Arun NGL, dimana PT Arun NGL adalah operator ladang gas
Arun yang berlokasi di Lhokseumawe, Aceh Utara. Pada saat itu jumlah pasukan yang
dimobilisasi oleh GAM sangatlah terbatas. Meskipun sudah ada ketidakpuasan cukup besar di
Aceh namun hal tersebut tidak mengundang partisipasi aktif massa untuk mendukung GAM.
Dalam pengakuan Hasan di Tiro sendiri, pada awalnya hanya 70 orang yang bergabung
dengannya dan mereka kebanyakan berasal dari kabupaten Pidie, terutama dari desa di Tiro
sendiri, yang bergabung karena loyalitas pribadi kepada keluarga Hasan di Tiro, sementara
sisanya bergabung karena faktor kekecewaan pada pemerintah pusat

Pada akhir tahun 1979, tindakan penekanan yang dilakukan militer Indonesia telah memukul telak
GAM, para komandan GAM banyak yang berakhir di dibunuh, pengasingan, atau dipenjara.
pengikut GAM lantas tercerai berai, bersembunyi dan melarikan diri. Para pemimpinnya seperti
Dr Husaini M. Hasan (menteri pendidikan GAM), Malik Mahmud (menteri luar negeri GAM) dan
Di Tiro, Zaini Abdullah (menteri kesehatan GAM) sudah kabur ke luar negeri dan kabinet GAM.
Langkah Pemberlakuan DOM di Aceh ini meskipun secara taktik sukses menghancurkan kekuatan
gerilya GAM, namun telah menyebabkan korban di kalangan penduduk sipil lokal di Aceh dan
rakyat Aceh merasa terasing dari Republik Indonesia. Karena merasa terasing dari Republik
Indonesia setelah operasi militer tersebut, penduduk sipil Aceh kemudian mendukung dan
membantu GAM membangun kembali organisasinya saat militer Indonesia hampir seluruhnya
ditarik dari Aceh atas perintah presiden B.J. Habibie pada akhir era 1998 setelah kejatuhan
Soeharto, saat itu Jakarta dilanda kerusuhan dan terjadi ketidak stabilan pemerintahan dan politik
di indonesia.

Turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, menandakan berakhirnya era orde baru. Berbagai
upaya untuk meredam pemberontakan di Aceh masih terus diusahakan oleh presiden-presiden RI
berikutnya. Sejak era presiden B.J. Habibie sampai dengan presiden Megawati telah
mengupayakan berbagai kebijakan. Namun sayangnya kebijakan-kebijakan tersebut tidak berjalan
secara efektif.
Pada tahun 1999 saat terjadi kekacauan di Jawa dan pemerintah pusat yang tidak efektif hal
tersebut memberikan kesempatan bagi GAM untuk melancarkan pemberontakan kembali di Aceh,
namun kali ini dengan dukungan yang besar dari masyarakat Aceh. Sebenarnya pada tahun 1999
diumumkan penarikan pasukan, namun karena situasi keamanan yang memburuk di Aceh
kemudian menyebabkan pengiriman ulang tentara dalam jumlah yang besar ke Aceh. pada
pertengahan 2002 GAM dikatakan telah menguasai 70 persen pedesaan di penjuru Aceh.

Memburuknya kondisi keamanan di Aceh menyebabkan tindakan pengamanan keras dilakukan


pada tahun 2001-2002. Pemerintah Megawati pada tahun 2003 juga meluncurkan operasi militer
untuk mengakhiri konflik dengan GAM untuk selamanya dan keadaan darurat diberlakukan di
Provinsi Aceh. Pada November 2003 darurat militer diperpanjang lagi selama 6 bulan karena
GAM belum dapat dihancurkan sepenuhnya. Menurut laporan Human Rights Watch akibat dari di
adakannya darurat militer di Aceh menyebabkan sekitar 100.000 orang mengungsi pada 7 bulan
pertama darurat militer dan beberapa pelanggaran HAM.

Konflik ini sebenarnya masih berlangsung pada akhir 2004, namu saat itu tiba-tiba bencana
Tsunami terjadi pada 24 Desember 2004 dan memporakporandakan segala infrastruktur di provinsi
Aceh, sehingga secara tidak langsung bencana alam terbesar dalam sejarah Indonesia tersebut
berhasil membekukan konflik yang terjadi di Aceh.

SAMPIT OH SAMPIT

Konflik perang sampit adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di Indonesia. Konflik ini berawal
pada Februari 2001 dan berlangsung sepanjang tahun itu. Bermula di Kalimantan Tengah dan
meluas ke seluruh provinsi, termasuk ibu kota Palangka Raya. Konflik ini terjadi antara suku
Dayak asli dan warga migran Madura dari pulau Madura. Konflik tersebut pecah pada 18
Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh sejumlah warga Dayak.

Sebelumnya telah terjadi beberapa insiden sebelumnya antara warga Dayak dan Madura, ini yang
membuat konflik Sampit tahun 2001 bukan menjadi suatu insiden yang terisolasi. Konflik besar
terakhir terjadi pada Desember 1996 dan Januari 1997 mengakibatkan 600 korban tewas.
Penduduk Madura pertama tiba di Kalimantan tahun 1930 di bawah program transmigrasi yang
dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda lalu dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia. Tahun
2000, transmigran membentuk 21% populasi Kalimantan Tengah. Suku Dayak merasa tidak puas
dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura yang semakin agresif.
Konflik perang sampit ini berawal dari percekcokan antara murid dari berbagai ras di sekolah
yang sama. Sedikitnya 100 warga Madura dipenggal kepalanya oleh suku Dayak selama
terjadinya konflik ini. Pemenggalan kepala yang sangat kejam ini tidak mengenal usia. Baik usia
tua, remaja, anak anak, laki laki ataupun perempuan. Suku Dayak memiliki sejarah praktik
ritual pemburuan kepala (Ngayau), meski praktik ini dianggap musnah pada awal abad ke-20.

Tanggal 10 November selalu diingat masyarakat Papua sebagai tanggal kepergian salah satu
pemimpin mereka, Theys Hiyo Eluay. Tetapi, aktivitas untuk mengenang Theys hampir selalu
tidak bisa dilakukan dengan mudah.

Sekitar sepuluh aktivis anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) datang ke makam Theys
Hiyo Eluay, pada Selasa 10 November siang. Mereka bermaksud mengecat makam tokoh Papua
itu, sekaligus melakukan ibadah singkat memperingati 14 tahun kematiannya. Namun, belum
sempat kegiatan itu berlangsung, aparat kepolisian telah melarang aktivitas tersebut.

Kegiatan di makam Theys Eluay pada hari Selasa hanyalah satu dari berbagai kegiatan yang
dilakukan untuk mengenang pemimpin rakyat Papua itu. Sejak peristiwa pembunuhan yang
dilakukan anggota Kopassus TNI terhadap Theys Eluay, rakyat Papua selalu mengingat
pemimpinnya dengan berbagai cara. Sayang, seperti disampaikan Latifah Anum Siregar dari
Aliansi Demokrasi untuk Papua, pemerintah melalui aparat keamanan selalu melarang aktivitas
terkait Theys Eluay maupun pemimpin rakyat Papua yang lain.

“Beberapa waktu belakangan ini, memang aparat keamanan, pemerintah sangat membatasi
ruang-ruang kebebasan berekspresi. Apalagi kemudian jika hal itu terkait dengan kasus-kasus
pelanggaran HAM masa lalu, yang kemudian tidak mampu diungkapkan secara maksimal, maka
pemerintah caranya adalah dengan menghalang-halangi, membatasi, hal-hal yang dilakukan oleh
masyarakat untuk meminta lebih jelas kasusnya, membuat lebih terang kasusnya, itu yang kami
lihat yang terjadi di Papua,” kata Latifah Anum Siregar.

Latifah Anum Siregar adalah pengacara yang membela Theys Eluay dalam kasus makar tahun
2000. Latifah berhasil membebaskan Theys dan beberapa tokoh Papua lain dari tuduhan makar,
hingga kemudian dibebaskan oleh pengadilan. Menurut Latifah, Theys Eluay adalah salah satu
tokoh yang pengaruhnya sangat besar bagi rakyat Papua. Namun karena pengaruh besar itu
pulalah, Theys kemudian dibunuh.
“Menurut saya, Pak Theys, dan seperti juga tokoh-tokoh lain yang ada di Papua, saya pikir
mereka selalu punya kesan yang kuat, meninggalkan sejarah yang kuat dan juga memiliki pesan
yang kuat buat masyarakat Papua, untuk bagaimana mereka berjuang, bagaimana mereka protes
terhadap ketidakadilan, dan itu yang ditakutkan karena ada semakin banyak orang terlibat. Dan
juga Pak Theys memang tokoh yang cukup kuat yang memberikan semangat itu buat rakyat
Papua," kata Latifah Anum Siregar.

Aktivis Hak Asasi Manusia Papua, Yan Chrstian Warinussy menilai, pembunuhan terhaday
Theys 14 tahun lalu adalah bentuk ketakutan negara terhadap aktivitas rakyat Papua dalam
menuntut haknya. Lebih disayangkan lagi, setelah sekian lama, aparat keamanan masih bertindak
berlebihan, misalnya melarang aktivitas terkait peringatan kematian Theys. Apalagi, bagi rakyat
Papua, Theys tidak tergantikan sampai saat ini.

“Kematian beliau itu sungguh merupakan satu kehilangan yang luar biasa. Sepeninggal Theys
hingga saat ini kita belum memperoleh satu figur pemimpin yang bisa menjadi tokoh yang bisa
dikatakan mempersatukan seluruh elemen yang ada. Theys muncul itu memang sebagai
pemimpin yang benar-benar diharapkan, dia muncul ditengah kesunyian, dimana orang Papua
tidak memiliki pemimpin,” kata Yan Christian Warinussy.

Pada tahun 1992, Theys Eluay mendirikan dan kemudian memimpin Lembaga Musyarawah
Adat. Ini adalah lembaga yang menaungi 250 suku di Papua. Pada tahun 1999, Theys Eluay
mencetuskan dekrit Papua Merdeka dan mengibarkan bendera Bintang Kejora.

Setahun kemudian, dia menyelenggarakan Konggres Nasional II Rakyat Papua Barat dan
kemudian berujung pada tuduhan makar. Dia terbebas dari tuduhan makar, tetapi tidak dapat
menghindar dari pembunuhan oleh anggota Kopassus, pada 10 November 2001.

Pembunuhan Munir

Munir Said Thalib lahir di Malang, 8 Desember 1965. Ia merupakan anak keenam dari tujuh
bersaudara Said Thalib dan Jamilah. Munir sempat berkuliah di Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya dan mendapat gelar sarjananya. Munir mewujudkan keseriusannya dalam bidang
hukum dengan cara melakukan pembelaan-pembelaan terhadap sejumlah kasus, terutama
pembelaannya terhadap kaum tertindas. Ia juga mendirikan dan bergabung dengan berbagai
organisasi, bahkan juga membantu pemerintah dalam tim investigasi dan tim
penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU).
Beberapa kasus yang pernah ia tangani yaitu pada kasus Araujo yang dituduh sebagai pemberontak
melawan pemerintahan Indonesia untuk memerdekakan Timor timur dari Indonesia
pada 1992, kasus Marsinah (seorang aktivis buruh) yang dibunuh oleh militer pada tahun 1994,
menjadi penasehat hukum warga Nipah, Madura, dalam kasus pembunuhan petani-petani oleh
militer pada tahun 1993, menjadi penasehat hukum mahasiswa dan petani di Pasuruan, dalam
kasus kerusuhan di PT.Chief Samsung, dengan tuduhan sebagai otak kerusuhan pada tahun 1995,
Penasehat hukum Muhadi (sopir) yang dituduh melakukan penembakan terhadap seorang polisi di
Madura, Jawa Timur pada 1994, penasehat hukum para korban dan keluarga Korban Penghilangan
Orang secara paksa 24 aktivis politik dan mahasiswa di Jakarta pada tahun 1997 hingga 1998,
penasehat hukum korban dan keluarga korban pembantaian dalam tragedi Tanjung
Priok 1984 hingga 1998, penasehat hukum korban dan keluarga korban penembakan mahasiswa
di Semanggi I (1998) dan Semanggi II (1999), penasehat hukum dan koordinator advokasi kasus-
kasus pelanggaran berat HAM di Aceh, Papua, melalui Kontras. Termasuk beberapa kasus di
wilayah Aceh dan Papua yang dihasilkan dari kebijakan operasi Militer. Munir juga aktif di
beberapa kegiatan advokasi dalam bidang perburuhan, pertanahan, Lingkungan, Gender dan
sejumlah kasus pelanggaran hak sipil dan politik.Pada Tahun 2003, Munir bersikeras untuk ikut
dengan sejumlah aktivis senior dan aktivis pro demokrasi mendatangi DPR paska penyerangan
dan kekerasan yang terjadi di kantor Tempo, padahal ia masih diharuskan beristirahat oleh dokter.

Pada tahun 2004, Munir juga bergabung dengan Tim advokasi SMPN 56 yang digusur oleh Pemda.
Selain itu, ia juga seorang yang aktif menulis di berbagai media cetak dan elektronik yang
berkaitan dengan tema-tema HAM, Hukum, Reformasi Militer dan kepolisian, Politik dan
perburuhan. Munir adalah sosok pemberani dan tangguh dalam meneriakkan kebenaran. Ia adalah
seorang pengabdi yang teladan, jujur, dan konsisten. Berkat pengabdiannya itulah, ia mendapatkan
pengakuan yang berupa penghargaan dari dalam negeri dan luar negeri. Di dalam negeri, ia
dinobatkan sebagai Man Of The Year 1998 versi majalah UMMAT, penghargaan Pin Emas
sebagai Lulusan UNIBRAW yang sukses, sebagai salah seorang tokoh terkenal Indonesia pada
abad XX, Majalah Forum Keadilan. Sementara di luar negeri, ia dinobatkan menjadi As Leader
for the Millennium dari Asia Week pada tahun 2000, The Right Livelihood Award (Alternative
Nobel Prizes) untuk promosi HAM dan kontrol sipil atas militer, Stockholm pada Desember 2000,
dan An Honourable Mention of the 2000 UNESCO Madanjeet Singh Prize atas usaha- usahanya
dalam mempromosikan toleransi dan Anti Kekerasan, Paris, November 2000.
Tiga jam setelah pesawat GA-974 take off dari Singapura, awak kabin melaporkan kepada pilot
Pantun Matondang bahwa seorang penumpang bernama Munir yang duduk di kursi nomor 40 G
menderita sakit. Munir bolak balik ke toilet. Pilot meminta awak kabin untuk terus memonitor
kondisi Munir. Munir pun dipindahkan duduk di sebelah seorang penumpang yang kebetulan
berprofesi dokter yang juga berusaha menolongnya pada saat itu. Penerbangan menuju Amsterdam
menempuh waktu 12 jam. Namun dua jam sebelum mendarat 7 September 2004, pukul 08.10
waktu Amsterdam di bandara Schipol Amsterdam, saat diperiksa, Munir telah meninggal dunia.
Pada tanggal 12 November 2004 dikeluarkan kabar bahwa polisi Belanda (Institut Forensik
Belanda) menemukan jejak-jejak senyawa arsenikum setelah otopsi. Hal ini juga dikonfirmasi oleh
polisi Indonesia. Belum diketahui siapa yang telah meracuni Munir, meskipun ada yang menduga
bahwa oknum-oknum tertentu memang ingin menyingkirkannya.
Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara
atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda
yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik
pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus
menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior,
tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden SBY juga membentuk tim investigasi
independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik. Jenazahnya
dimakamkan di taman makam umum kota Batu. Ia meninggalkan seorang istri
bernama Suciwati dan dua orang anak, yaitu Sultan Alif Allende dan Diva. Sejak tahun 2005,
tanggal kematian Munir, 7 September, oleh para aktivis HAM dicanangkan sebagai Hari Pembela
HAM Indonesia.

Pada 20 Desember 2005 Pollycarpus Budihari Priyanto dijatuhi vonis 14 tahun hukuman penjara
atas pembunuhan terhadap Munir. Hakim menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda
yang sedang cuti, menaruh arsenik di makanan Munir, karena dia ingin mendiamkan pengkritik
pemerintah tersebut. Hakim Cicut Sutiarso menyatakan bahwa sebelum pembunuhan Pollycarpus
menerima beberapa panggilan telepon dari sebuah telepon yang terdaftar oleh agen intelijen senior,
tetapi tidak menjelaskan lebih lanjut. Selain itu Presiden SBY juga membentuk tim investigasi
independen, namun hasil penyelidikan tim tersebut tidak pernah diterbitkan ke publik.

Pada 19 Juni 2008, Mayjen (purn) Muchdi Purwoprandjono, ditangkap dengan dugaan kuat bahwa
dia adalah otak pembunuhan Munir Beragam bukti kuat dan kesaksian mengarah padanya. Namun,
pada 31 Desember 2008, Muchdi divonis bebas. Vonis ini sangat kontroversial dan kasus ini
tengah ditinjau ulang, serta 3 hakim yang memvonisnya bebas kini tengah diperiksa.

Anda mungkin juga menyukai