Anda di halaman 1dari 7

Kondisi Sosial dan Ekonomi Masyarakat di Berbagai Daerah Sejak

Reformasi - Tuntutan reformasi menghendaki adanya perubahan dan


perbaikan di segala aspek kehidupan yang lebih baik. Namun, pada
praktiknya tuntutan reformasi telah disalahgunakan oleh para petualang
politik hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Pada era reformasi, konflik yang terjadi di masyarakat makin mudah terjadi
dan sering kali bersifat etnis di berbagai daerah. Kondisi sosial masyarakat
yang kacau akibat lemahnya hukum dan perekonomian yang tidak segera
kunjung membaik menyebabkan sering terjadi gesekan-gesekan dalam
masyarakat. Beberapa konflik sosial yang terjadi pada era reformasi
berlangsung di beberapa wilayah, antara lain sebagai berikut.
1. Kalimantan Barat
Konflik sosial yang terjadi di Kalimantan Barat melibatkan etnik Melayu,
Dayak, dan Madura. Kejadian bermula dari tertangkapnya seorang pencuri di
Desa Parisetia, Kecamatan Jawai, Sambas, Kalimantan Barat yang kemudian
dihakimi hingga tewas pada tanggal 19 Januari 1999. Kebetulan pencuri
tersebut beretnis Madura, sedangkan penduduk Parisetia beretnis Dayak dan
Melayu. Entah isu apa yang beredar di masyarakat menyebabkan penduduk
Desa Sarimakmur yang kebanyakan dihuni etnis Madura melakukan aksi
balas dendam dengan menyerang dan merusak segala sesuatu di Desa
Parisetia.

Akibatnya, terjadi aksi saling balas dendam antaretnis tersebut dan


menjalar ke berbagai daerah di Kalimantan Barat. Pemerintah berusaha
mendamaikan konflik tersebut dengan mengajak tokoh masyarakat dari
masing-masing etnis yang ada untuk membentuk Forum Komunikasi
Masyarakat Kalimantan Barat. Dengan wadah tersebut segala permasalahan
dicoba diselesaikan secara damai.
2. Kalimantan Tengah
Konflik sosial di Kalimantan Barat ternyata terjadi juga di Kalimantan
Tengah. Pada tanggal 18 Februari 2001 pecah konflik antara etnis Madura dan
Dayak. Konflik itu diawali dengan terjadinya pertikaian perorangan antaretnis
di Kalimantan Tengah. Ribuan rumah dan ratusan nyawa melayang sia-sia
akibat pertikaian antaretnis tersebut. Sebagian pengungsi dari etnis Madura
yang diangkut dari Sampit untuk kembali ke kampung halamannya di Madura
ternyata juga menimbulkan masalah di kemudian hari. Kondisi Pulau Madura
yang kurang menguntungkan menyebabkan sebagian warganya menolak
kedatangan para pengungsi itu. Sampai sekarang pun pengungsi Sampit
masih menjadi masalah pemerintah.
3. Sulawesi Tengah
Konflik sosial di Sulawesi Tengah tepatnya di daerah Poso berkembang

menjadi konflik antaragama. Kejadian bermula dipicu oleh perkelahian antara


Roy Luntu Bisalembah (Kristen) yang kebetulan sedang mabuk dengan
Ahmad Ridwan (Islam) di dekat Masjid Darussalam pada tanggal 26
Desember 1998. Entah isu apa yang berkembang di masyarakat perkelahian
dua orang berbeda agama itu berkembang menjadi ketegangan antaragama di
Poso,SulawesiTengah.
Konflik tersebut juga menyebabkan ratusan rumah dan tempat ibadah
hancur. Puluhan, bahkan ratusan nyawa melayang akibat konflik tersebut.
Konflik sempat mereda, tetapi masuknya beberapa orang asing ke daerah
konflik tersebut menyebabkan ketegangan dan kerusuhan terjadi lagi.
Beberapa dialog digelar untuk meredakan konflik tersebut, seperti pertemuan
Malino yang dilakukan pada tanggal 1920 Desember 2001.
4. Maluku
Konflik sosial yang dipicu oleh konflik agama juga terjadi di Maluku. Kejadian
diawali dengan bentrokan antara warga Batumerah, Ambon, dan sopir
angkutan kota pada tanggal 19 Januari 1999. Namun, seperti konflik yang
terjadi di wilayah Indonesia lainnya, tanpa tahu isu apa yang beredar di
masyarakat, terjadi ketegangan antarwarga. Puncaknya terjadi kerusuhan
massa dengan disertai pembakaran Masjid Al-Falah.
Warga Islam yang tidak terima segera membalas dengan pembakaran dan
perusakan gereja. Konflik meluas menjadi antaragama. Namun, anehnya
konflik yang semula antaragama berkembang menjadi gerakan separatis.
Sebagian warga Maluku pada tanggal 25 April 2002 membentuk Front
Kedaulatan Maluku dan mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan
(RMS)

di

beberapa

tempat.

Upaya

menurunkan

bendera

tersebut

menimbulkan korban. Mereka gigih mempertahankannya. Sampai sekarang


konflik Maluku itu belum dapat diatasi dengan tuntas.
Dari beberapa kejadian itu terlihat betapa di era reformasi terjadi
pergeseran pelaku kekerasan. Di era orde baru, kekerasan lebih banyak
dilakukan oleh oknum ABRI daripada warga sipil. Namun, pada era reformasi
kekerasan justru diperlihatkan oleh sesama warga sipil. Masyarakat makin
beringas dan hukum seperti tidak ada. Banyak kejadian kriminal yang
pelakunya tertangkap basah langsung dihakimi bahkan sampai meninggal
oleh masyarakat. Kinerja para penegak hukum sepertinya sudah tidak dapat
dipercaya lagi. Masyarakat sudah muak melihat berbagai kasus besar yang
melibatkan pejabat negara dan oknum militer tidak tertangani sampai tuntas
meskipun mereka dinyatakan bersalah.
Sedangkan mengenai masalah ekonomi, selama masa tiga bulan kekuasaan
pemerintah B.J. Habibie, ekonomi Indonesia belum mengalami perubahan
yang berarti. Enam dari tujuh bank yang telah dibekukan dan dilikuidasi
pemerintah pada bulan Agustus 1998. Nilai rupiah terhadap mata uang asing
masih tetap lemah di atas Rp10.000,00 per dolar Amerika Serikat. Persediaan
sembilan bahan pokok di pasaran juga makin berkurang dan harganya
meningkatcepat.
Misalnya, pada bulan Mei 1998, harga satu kilogram beras rata-rata
Rp1.000,00, namun harga tersebut sempat naik menjadi di atas Rp3.000,00
per kilogram pada bulan Agustus 1998. Antrian panjang masyarakat membeli
beras dan minyak goreng mulai terlihat di berbagai tempat. Oleh karena
keadaan ekonomi yang parah menyebabkan rakyat Indonesia melakukan
segala tindakan untuk sekadar dapat mencukupi kebutuhan.

Penjarahan adalah pemandangan biasa yang dijumpai pada awal-awal


pemerintahan Presiden B.J. Habibie. Penjarahan mereka lakukan terhadap
tempat-tempat yang dapat membantu kelangsungan hidup. Kayu-kayu di
hutan lindung mereka tebangi, tambak udang dan ikan bandeng yang siap
panen mereka sikat, lahan-lahan tidur milik orang kaya terutama mantan para
penguasa orde baru mereka tempati. Mereka dengan mengatasnamakan
rakyat kecil atau wong cilik melakukan tindakan itu semua. Pemerintah yang
tidak berwibawa tidak mampu mengatasi semua itu. Aparat penegak hukum
pun tidak berkutik dibuatnya.
Pemerintah Indonesia pun sebenarnya berusaha memulihkan keadaan
ekonomi nasional dengan menjalin kerja sama dengan Bank Dunia (World
Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, kebijaksanaan
ekonomi pemerintah Indonesia atas saran dua lembaga keuangan dunia
malah memperburuk situasi ekonomi nasional. Dua lembaga keuangan dunia
itu menyarankan agar subsidi pemerintah untuk listrik, BBM, dan telepon
dicabut.
Akibatnya, terjadi kenaikan biaya pada ketiga sektor tersebut sehingga rakyat
makin terjepit. Atas desakan rakyat Indonesia, akhirnya pemerintah
memutuskan

hubungan

dengan dua lembaga keuangan pada masa

pemerintahan Presiden Megawati Sukarnoputri. Para pemilik bank (bankir) di


Indonesia juga ikut memperburuk keadaan dengan membawa lari dana
penyehatan bank (dana BLBI) yang mereka terima. Maksud pemerintah
sebenarnya baik, yaitu ikut membantu menyehatkan bank akibat krisis
keuangan yang menimpa. Akan tetapi, mental mereka memang sudah rusak
sehingga dana itu malah dipakai untuk hal lain sehingga mereka tidak bisa
mengembalikan.

Sungguhpun begitu, pemerintah tetap berusaha memulihkan keadaan


ekonomi Indonesia. Segala cara dilakukan agar rakyat segera terlepas dari
krisis ini. Partisipasi dari setiap warga negara sangat diharapkan untuk dapat
segera memulihkan keadaan mewujudkan masyarakat adil dan makmur
sesuai Pembukaan UUD 1945

Anda mungkin juga menyukai