Anda di halaman 1dari 3

Nama : Kadek Dwi Oktariani

Kelas : IX-E
No. Absen : 19

CONTOH KONFLIK-KONFLIK SARA YANG TERJADI DI INDONESIA

1. KERUSUHAN ANTAR ETNIS ( 1998 )


Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi
di Indonesia pada 13 Mei- 15 Mei 1998, khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga
terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu
oleh Tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan
terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Hal inipun mengakibatkan penurunan jabatan
Presiden Soeharto , serta pelantikan B.J. Habibie. Pada kerusuhan ini banyak toko dan
perusahaan dihancurkan oleh amukan massa—terutama milik warga Indonesia
keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Medan
dan Surakarta. Dalam kerusuhan tersebut, banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa
yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan
yang bergerak di bawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang
masih seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, dan dibunuh
karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam
Kerusuhan ini digerakkan secara sistematis, tak hanya sporadis.
Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut ketakutan dan
menulisi muka toko mereka dengan tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi" karena
penyerang hanya fokus ke orang-orang Tionghoa. Beberapa dari mereka tidak
ketahuan, tetapi ada juga yang ketahuan bukan milik pribumi. Sebagian masyarakat
mengasosiasikan peristiwa ini dengan peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9
November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-
orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal yang sistematis atas mereka di
hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.
Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan
apapun terhadap nama-nama yang dianggap kunci dari peristiwa kerusuhan Mei 1998.
Pemerintah mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa bukti-bukti konkret
tidak dapat ditemukan atas kasus-kasus pemerkosaan tersebut, tetapi pernyataan ini
dibantah oleh banyak pihak.
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi
sampai hari ini. Namun umumnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan setuju
bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara
beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan
pembasmian (genosida) terhadap orang Tionghoa, walaupun masih menjadi kontroversi
apakah kejadian ini merupakan sebuah peristiwa yang disusun secara sistematis oleh
pemerintah atau perkembangan provokasi di kalangan tertentu hingga menyebar ke
masyarakat. Tidak lama setelah kejadian berakhir dibentuklah Tim Gabungan Pencari
Fakta (TGPF) untuk menyelidiki masalah ini. TGPF ini mengeluarkan sebuah laporan
yang dikenal dengan "Laporan TGPF".
Mengenai pelaku provokasi, pembakaran, penganiayaan, dan pelecehan seksual, TGPF
menemukan bahwa terdapat sejumlah oknum yang berdasar penampilannya diduga
berlatar belakang militer. Sebagian pihak berspekulasi bahwa Pangab saat itu (Wiranto)
dan Pangdam Jaya Mayjen Sjafrie Sjamsoeddin melakukan pembiaran atau bahkan
aktif terlibat dalam provokasi kerusuhan ini.
Pada bulan Mei 2010, Andy Yentriyani, Ketua Subkomisi Partisipasi Masyarakat di
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), meminta
supaya dilakukan amendemen terhadap Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Menurut
Andy, Kitab UU Hukum Pidana hanya mengatur tindakan perkosaan berupa penetrasi
alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan. Namun pada kasus Mei 1998, bentuk
kekerasan seksual yang terjadi sangat beragam. Sebanyak 85 korban saat itu (data Tim
Pencari Fakta Tragedi Mei 1998) mengalami pemerkosaan anal, oral, dan/atau disiksa
alat kelaminnya dengan benda tajam. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut belum diatur
dalam pasal perkosaan Kitab UU Hukum Pidana.

2. KONFLIK SAMPIT
Konflik Sampit atau Perang Sampit atau Tragedi Sampit adalah sebuah peristiwa
Kerusuhan antar-etnis yang terjadi di pulau Kalimantan pada tahun 2001. bermula sejak
18 Februari 2001, Konflik ini berlangsung sepanjang tahun tersebut. Konflik ini pecah di
kota Sampit, Kalimantan Tengah sebelum pada akhirnya meluas ke
seluruh provinsi di Kalimantan, termasuk ibu kota Palangkaraya.Konflik ini melibatkan
dua buah etnis antara suku Dayak asli dan warga Imigran Madura dari pulau Madura.
Konflik tersebut pecah pada 18 Februari 2001 ketika dua warga Madura diserang oleh
sejumlah warga Dayak. Konflik ini mengakibatkan lebih dari 500 kematian, dengan lebih
dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal di Kalimantan. Dari laporan data,
tidak sedikit warga Madura yang juga ditemukan dipenggal kepalanya oleh masyarakat
Dayak dalam konflik ini.
Konflik Sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang terisolasi, karena telah terjadi
beberapa insiden sebelumnya antara warga Dayak dan Madura. Konflik besar terakhir
terjadi antara Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas.
Penduduk Madura pertama tiba di Kalimantan tahun 1930 di bawah program
transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh
pemerintah Indonesia. Tahun 2000, transmigran membentuk 21% populasi Kalimantan
Tengah. Suku Dayak merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari
warga Madura yang semakin agresif. Hukum-hukum baru telah memungkinkan warga
Madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial di provinsi ini seperti
perkayuan, penambangan dan perkebunan.
Ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun 2001. Satu versi
mengklaim bahwa ini disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah Dayak.
Rumor mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian
sekelompok anggota suku Dayak mulai membakar rumah-rumah di permukiman
Madura. K.M.A. Usop dari Asosiasi Masyarakat Dayak mengklaim bahwa pembantaian
oleh suku Dayak dilakukan demi mempertahankan diri setelah beberapa anggota
mereka diserang. Selain itu, juga dikatakan bahwa seorang warga Dayak disiksa dan
dibunuh oleh sekelompok warga Madura setelah sengketa judi di desa Kerengpangi
pada 17 Desember 2000. Versi lain mengklaim bahwa konflik ini berawal dari
percekcokan antara murid dari berbagai ras di sekolah yang sama.
Skala pembantaian membuat militer dan polisi sulit mengontrol situasi di Kalimantan
Tengah. Pasukan bantuan dikirim untuk membantu pasukan yang sudah ditempatkan di
provinsi ini. Pada 18 Februari, suku Dayak berhasil menguasai Sampit. Polisi menahan
seorang pejabat lokal yang diduga sebagai salah satu otak pelaku di belakang serangan
ini. Orang yang ditahan tersebut diduga membayar enam orang untuk memprovokasi
kerusuhan di Sampit. Polisi juga menahan sejumlah perusuh setelah pembantaian
pertama. Kemudian, ribuan warga Dayak mengepung kantor polisi di Palangkaraya
sambil meminta pelepasan para tahanan. Polisi memenuhi permintaan ini dan pada 28
Februari, militer berhasil membubarkan massa Dayak dari jalanan, namun kerusuhan
sporadis terus berlanjut sepanjang tahun. Karena hal ini, seharusnya kita selalu saling
menghargai dan menghormati orang lain dimanapun kita berada.

Anda mungkin juga menyukai