Anda di halaman 1dari 10

Kerusuhan Mei 1998

Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan yang terjadi di Indonesia pada tanggal 1315 Mei 1998. Khususnya di ibu kota Jakarta, namun juga terjadi di beberapa daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh tragedi Trisakti dimana empat mahasiswa Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Pada kerusuhan ini banyak toko-toko dan perusahaan-perusahaan dihancurkan oleh amuk massa terutama milik warga Indonesia keturunan Tionghoa. Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi di Jakarta, Bandung, dan Surakarta. Terdapat ratusan wanita yang diperkosa dan mengalami pelecehan seksual dalam kerusuhan tersebut. Sebagian bahkan diperkosa beramai-ramai, dianiaya secara sadis, kemudian dibunuh. Dalam kerusuhan tersebut , banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis relawan kemanusiaan yang bergerak dibawah Romo Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, seorang siswi SMU yang masih berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa, lalul dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi bahwa kasus pemerkosaan dalam kerusuhan Mei 1998 ini digerakkan secara sistematis,jtak hanya sporadis. Para pelaku kerusuhan 1315 Mei 1998 terdiri dari tiga golongan, yakni pertama, masa pasif (massa pendatang) yang karena diprovokasi berubah menjadi massa aktif, massa yang memang aktif sejak awal , dan ketiga, provokator. Provokator umumnya bukan dari wilayah setempat, secara fisik tampak terlatih, sebagian memakai seragam sekolah seadanya (tidak lengkap), tidak ikut menjarah, dan segera meninggalkan lokasi setelah gedung atau barang terbakar. Para provokator ini juga yang membawa dan menyiapkan sejumlah barang untuk keperluan merusak dan membakar, seperti jenis logam pendongkel, bahan bakar cair, kendaraan, bom molotov, dan sebagainya (Jusuf,2005). Para pelaku kerusuhan dapat dibagi atas tiga kelompok sebagai berikut: 1. Massa Pasif Pada awalnya massa pasif lokal berkumpul untuk menonton dan ingin tahu apa yang akan terjadi. Sebagian dari mereka terlibat ikut-ikutan merusak dan menjarah setelah dimulainya kerusuhan, tetapi tidak sedikit pula yang hanya menonton sampai akhir kerusuhan. Sebagian dari mereka menjadi korban kebakaran. 2. Massa Aktif

Massa dalam jumlah puluhan hingga ratusan, yang mulanya adalah massa pasif pendatang, yang sudah terprovokasi sehingga menjadi agresif, melakukan perusakan lebih luas termasuk pembakaran. Massa ini juga melakukan penjarahan pada toko-toko dan rumah. Mereka bergerak secara terorganisir. 3. Kelompok Provakator Kelompok inilah yang menggerakkan massa, dengan memancing keributan, memberikan tandatanda tertentu pada sasaran, melakukan pengrusakan awal, pembakaran, mendorong penjarahan. Kelompok ini datang dari luar tidak berasal dari penduduk setempat, dalam kelompok kecil (lebih kurang belasan orang), terlatih (yang mempunyai kemampuan terbiasa menggunakan alat kekerasan), bergerak dengan mobilitas tinggi, menggunakan sarana transport (sepeda motor, mobil/Jeep) dan sarana komunikasi (HT/HP). Kelompok ini juga menyiapkan alat-alat perusak seperti batu, bom molotov, cairan pembakar, linggis dan lain-lain. Pada umumnya kelompok ini sulit dikenal, walaupun di beberapa kasus dilakukan oleh kelompok dari organisasi pemuda (contoh di Medan ditemukan keterlibatan langsung Pemuda Pancasila). Diketemukan fakta keterlibatan anggota aparat keamanan, seperti di Jakarta, Medan, dan Solo (data TGPF Kerusuhan Mei). Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota tersebut (Jakarta-Bandung) ketakutan dan menulisi toko mereka dengan tulisan Milik Pribumi atau Pro-reformasi. Sebagian masyarakat mengasosiasikan peristiwa ini dengan peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9 November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada pembunuhan massal yang sistematis atas mereka di hampir seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi. Pada asas mikro (massa) dapat dianalisis bahwa dari satuan unit wilayah (enam lokasi kota yang dipilih TGPF), terdapat beberapa kesamaan, kemiripan, maupun variasi pola kerusuhan. Pertama, di Jakarta pola umum kerusuhan terjadi dalam empat tahap, yaitu: (a) tahap persiapan/pra perusakan meliputi aktivitas memancing reaksi dengan cara membakar material tertentu (ban, kayu, tong sampah, barang bekas) dan atau dengan cara membuat perkelahian antar kelompok/pelajar juga dengan meneriakan yel-yel tertentu untuk memanasi massa/menimbulkan rasa kebencian seperti: mahasiswa pengecut, polisi anjing; (b) tahap perusakan meliputi aktivitas seperti: melempar batu, botol, mendobrak pintu, memecahkan kaca, membongkar sarana umum dengan alat-alat yang dipersiapkan sebelumnya;

(c) tahap penjarahan meliputi seluruh aktivitas untuk mengambil barang atau benda-banda lain dalam gedung yang telah dirusak; (d) tahap pembakaran yang merupakan puncak kerusuhan yang memberikan dampak korban dan kerugian yang paling besar. Kedua, di Solo, TGPF menemukan fakta yang selain memberi petunjuk jelas mengenai keterlibatan para preman termasuk organisasi pemuda setempat, juga dari kelompok yang berbaju loreng dan baret merah sebagaimana yang digunakan kesatuan Kopassus, dalam mengkondisikan terjadinya kerusuhan. Kasus-kasus Solo, mengindikasikan keterkaitan antara kekerasan massa di tingkat bawah dengan pertarungan elite di tingkat atas. Ketiga, Surabaya dan Lampung dan dikelompakkan menjadi satu kategori, karena beberapa ciri yang serupa. Di kedua kota ini, kerusuhan relatif berlangsung cepat dan segara dapat diatasi, skalanya relatif kecil dengan korban dan kerugian yang tidak begitu parah. Sekalipun pada kasus kedua kota ini juga didapati penumpang gelap (free rider) dan provokator lokal tetapi keduanya menunjukkan lebih menonjol sifat lokal, sporadis, terbatas, dan spontan. Keempat, kasus Palembang lebih tidak bersifat spontan dibanding Surabaya dan Lampung. Para penumpang gelap atau provokator lokal lebih berperan dan mengarah pada kerusuhan terencana dan terorganisir dalam skala yang lebih besar. Kelima, sedangkan kasus Medan, unsur-unsur penggerak lokal dengan ciri preman kota lebih menonjol lagi. patut diingat, bahwa kerusuhan di Medan sudah terjadi sepekan sebelum kerusuhan tanggal 13-15 Mei 1998 di lima kota lainnya, namun Medan merupakan titik awal rangkaian munculnya secara nasional. Dari uraian di atas, TGPF menemukan bahwa kerusuhan di Jakarta, Solo, Medan mempunyai kesamaan pola. Sedangkan kerusuhan di Palembang secara umum memiliki kesamaan dengan kerusuhan di Jakarta, Solo, Medan namun memiliki ciri spesifik di mana provokator dan penumpang gelap sukar dibedakan. Adapun kerusuhan yang terjadi di Lampung dan Surabaya, pada hakekatnya menunjukkan sifat-sifat yang lokal, sporadis, terbatas dan spontan. Sampai bertahun-tahun berikutnya pemerintah Indonesia belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama yang dianggap kunci dari peristiwa kerusuhan Mei 1998. Pemerintah

mengeluarkan penyataan yang menyebutkan bahwa bukti-bukti kongkret tidak dapat ditemukan atas kasus-kasus pemerkosaan tersebut, namun pernyataan ini dibantah oleh banyak pihak.

Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun demikian umumnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan setuju bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian (Genosida) terhadap warga keturuna Tionghoa, walaupun masih menjadi kontroversi apakah kejadian ini merupakan sebuah peristiwa yang disusun secara sistematis oleh pemerintah atau perkembangan provokasidi kalangan tertentu hingga menyebar ke masyarakat (http://semanggipeduli.com/tgpf/laporan.html). Tentang korban, selama ini dirasakan adanya kecenderungan dari pemerintah, masyarakat termasuk mass media memusatkan perhatian pada korban akibat kekerasan seksual semata-mata. Fakta menunjukkan bahwa yang disebut korban dalam kerusuhan Mei 1998 adalah orang-orang yang telah menderita secara fisik dan psikis karena hal-hal berikut, yaitu: kerugian fisik/material (rumah atau tempat usaha dirusak atau dibakar dan hartanya dijarah), meninggal dunia saat terjadinya kerusuhan karena berbagai sebab (terbakar, tertembak, teraniaya, dan lain-lain), kehilangan pekerjaan, penganiayaan, penculikan dan rnenjadi sasaran tindak kekerasan seksual. Dengan demikian, korban dalam kerusuhan Mei lalu dibagi dalam beberapa kategori sebagai berikut: 1. Kerugian Material: Adalah kerugian bangunan, seperti toko, swalayan, atau rumah yang dirusak, termasuk harta benda berupa mobil, sepeda motor, barang-barang dagangan dan barang-barang lainnya yang dijarah dan/atau dibakar massa. Temuan tim menunjukkan bahwa korban material ini bersifat lintas kelas sosial, tidak hanya menirnpa etnis Cina, tetapi juga warga lainnya. Namun yang paling banyak menderita kerugian material adalah dari etnis Cina. 2. Korban kehilangan pekerjaan: Adalah orang-orang yang akibat terjadinya kerusuhan, karena gedung atau tempat kerjanya dirusak, dijarah dan dibakar, membuat mereka kehilangan pekerjaan atau sumber kehidupan. Yang paling banyak kehilangan pekerjaan adalah anggota masyarakat biasa. 3. Korban meninggal dunia dan luka-luka: Adalah orang-orang yang meninggal dunia dan luka-luka saat terjadinya kerusuhan. Mereka adalah korban yang terjebak dalam gedung yang terbakar, korban penganiayaan, korban tembak dan kekerasan lainnya.

4. Korban Penculikan: Adalah mereka yang hilang/diculik pada saat kerusuhan yang dilaporkan ke YLBHI/Kontras dan hingga kini belum diketemukan, mereka adalah: - Yadin Muhidin (23 tahun) hilang di daerah Senen. - Abdun Nasir (33 tahun) hilang di daerah Lippo Karawaci; -Hendra Hambali (19 tahun), hilang di daerah Glodok Plaza; -Ucok Siahaan (22 tahun), hilang tidak diketahui di mana; Jumlah Korban dan Kerugian Sulit ditemukan angka pasti jumlah korban dan kerugian dalam kerusuhan. Untuk Jakarta, TGPF menemukan variasi jumlah korban meninggal dunia dan luka-luka sebagai berikut: (1) data Tim Relewan 1190 orang akibat ter/dibakar, 27 orang akibat senjata/dan lainnya, 91 lukaluka; (2) data Polda 451 orang meninggal, korban luka-luka tidak tercatat; (3) data Kodam 463 orang meninggal termasuk aparat keamanan, 69 orang luka-luka; (4) data Pemda DKI meninggal dunia 288 , dan luka-luka 101 . Untuk kota-kota lain di luar Jakarta variasi angkanya adalah sebagai berikut: (1) data Polri 30 orang meninggal dunia, luka-luka 131 orang, dan 27 orang luka bakar; (2) data Tim Relawan 33 meninggal dunia, dan 74 luka-luka. Opini yang selama ini terbentuk adalah bahwa mereka yang meninggal akibat kesalahannya sendiri, padahal ditemukan banyak orang meninggal bukan karena kesalahannya sendiri. Perbedaan jumlah korban jiwa antara yang ditemukan tim dengan angka resmi yang dikeluarkan pemerintah terjadi karena pada kenyataannya begitu banyak korban yang telah dievakuasi sendiri oleh masyarakat, sebelum ada evakuasi resmi dari pemerintah. Korban-korban ini tidak tercatat dalam laporan resmi pemerintah.

Kekerasan Seksual Dengan mengacu Deklarasi PBB tentang Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, kekerasan seksual didefinisikan sebagai setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang mengakibatkan kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang. Sementara bila dipakai rujukan dari hukum positif Indonesia maka semua peristiwa kekerasan seksual tak dapat dijelaskan secara memadai dan adil. Bentuk-bentuk kekerasan seksual yang ditemukan dalam kerusuhan Mei 1998 lalu, dapat dibagi dalam beberapa kategori, yaitu: perkosaan, perkosaan dengan penganiayaan, penyerangan seksual/penganiayaan dan pelecehan seksual. Jumlah Korban Dari hasil verifikasi dan uji silang terhadap data yang ada, menjadi nyata bahwa tidak mudah memperoleh data yang akurat untuk menghitung jumlah korban kekerasan seksual, termasuk perkosaan. TGPF menemukan adanya tindak kekerasan seksual di Jakarta dan sekitarnya, Medan dan Surabaya. Dari jumlah korban kekerasan seksual yang dilaporkan yang rinciannya adalah: 1. Yang didengar langsung: 3 orang korban 2. Yang diperiksa dokter secara medis: 9 orang korban; 3. Yang diperoleh keterangan dari orang tua korban: 3 orang korban; 4. Yang diperoleh melalui saksi (perawat, psikiater, psikolog): 10 orang korban; 5. Yang diperoleh melalui kesaksian rokhaniawan/pendamping (konselor): 27 orang korban; Korban perkosaaan dengan penganiayaan: 14 orang korban: 1. Yang diperoleh dari keterangan dokter: 3 orang korban; 2. Yang diperoleh dari keterangan saksi mata (keluarga): 10 orang korban; 3. Yang diperoleh dari keterangan konselor: 1 orang korban;

Korban penyerangan/penganiayaan seksual: 10 orang korban: 1. Yang diperoleh dari keterangan korban: 3 orang korban; 2. Yang diperoleh dari keterangan rohaniawan: 3 orang korban; 3. Yang diperoleh dari keterangan saksi (keluarga): 3 orang korban; 4. Yang diperoleh dari keterangan dokter: 1 orang korban; Korban pelecehan seksual: 9 orang korban: 1. Yang diperoleh dari keterangan korban; 1 orang korban; 2. Yang diperoleh dari keterangan saksi: 8 orang korban (dari Jakarta dan Surabaya) Kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 terjadi di dalam rumah, di jalan dan di tempat usaha. Mayoritas kekerasan seksual terjadi di dalam rumah/bangunan. TGPF juga menemukan bahwa sebagian besar kasus perkosaan adalah gang rape, di mana korban diperkosa oleh sejumlah orang secara bergantian pada waktu yang sama dan di tempat yang sama. Kebanyakan kasus perkosaan juga dilakukan di hadapan orang lain. Meskipun korban kekerasan seksual tidak semuanya berasal dari etnis Cina, namun sebagian besar kasus kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei l998 lalu diderita oleh perempuan dari etnis Cina. Korban kekerasan seksual ini pun bersifat lintas kelas sosial (Hamid,2005). Jelaslah bahwa kerusuhan Mei 1998 itu telah mengakibatkan banyak kerugian, telah berdampak terhadap ketahanan daerah (awalnya daerah Jakarta Barat, tepatnya seputar Universitas Trisakti), lalu merembet dan meluas hingga mengancam ketahanan nasional, sesuai dengan pengertiannya. Pengertian Ketahanan Nasional

Ketahanan Nasional adalah kondisi hidup dan kehidupan nasional yang harus senantiasa diwujudkan dan dibina secara terus-menerus secara sinergi. Hal demikian itu, dimulai dari lingkungan terkecil yaitu diri pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara dengan modal dasar keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan kekuatan nasional

(http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/03/pengertian-ketahanan-nasional-indonesia/). Dengan singkat dapat dikatakan bahwa ketahanan nasional ialah kemampuan dan ketangguhan suatu bangsa untuk dapat menjamin kelangsungan hidupnya, menuju kejayaan bangsa dan negara.

Hakekat Ketahanan Nasional Indonesia adalah keuletan dan ketangguhan bangsa yang mengandung kemempuan menggambarkan kekuatan nasional untuk dapat menjamin kelangsungan hidup bangsa dan negara dalam mencapai tujuan nasional. Kelangsungan hidupnya bermakna keberlangsungannya sistem pemerintahan yang semestinya, serta keadaan ekonomi yang stabil, dengan tujuan kehidupan rakyatnya tidak bergejolak. Ketahanan Nasional yang berlandaskan tiga hal yaitu: Pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nusantara, berfungsi antara lain: (a.) Sebagai Doktrin Nasional atau Doktrin Perjuangan, (b.) Sebagai Pola Dasar Pembangunan Nasional, (c.) Sebagai Metode Pembinaan Kehidupan Nasional, dan (d.) Sebagai Sistem Kehidupan Nasional Tekanan dan kesenjangan sosial ekonomi yang diperparah oleh kelangkaan bahan pokok yang dialami masyarakat, rawan terhadap pengeksploatasian sehingga melahirkan dorongan-dorongan destruktif untuk melakukan tindak-tindak kekerasan (perusakan, pembakaran, penjarahan dan lainlain). Sebagian besar mereka yang terlibat dalam kerusuhan pada dasarnya adalah korban dari keadaan serta struktur yang tidak adil. Mereka berasal dari lapisan rakyat kebanyakan. Hal diatas mengakibatkan Ketahanan Nasional sebagai pola dasar pembangunan nasional (poin B) menjadi tidak aktif, logikanya bagaimana akan tercipta iklim ekonomi yang stabil jika keadaan sosial dan keamanan tidak mendukungnya? Karena sebenarnya basis sistem ekonomi adalah kepercayaan. Tentu orang tidak akan memiliki kepercayaan yang sama dalam hal bekerjasama antara seorang gelandangan kumuh yang kondisinya mencerminkan keterpurukan namun dia mengatakan hidupnya baik-baik saja dengan seorang yang dandanannya rapi meskipun sebenarnya keadaan ekonomi keduanya adalah sama. Akibat dari segi ekonomi kerusuhan Mei 1998 ini adalah terjadi krisis moneter yang telah mengakibatkan membesarnya kesenjangan sosial ekonomi, menguatnya persepsi tentang ketikdakadilan yang semakin akut dan menciptakan dislokasi sosial yang luas yang amat rentan terhadap konflik vertikal (antarkelas) dan horizontal (antargolongan). Sebagaii gambaran, Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 miliar dolar, dan sektor bank yang baik.

Tapi banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Di tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut -- level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.

Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran floating teratur ditukar dengan pertukaran floating-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 miliar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody's menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond".

Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul pada neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi (Tarmidi,1998).

Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesia, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B.J. Habibie menjadi presiden. mulai dari sini krisis moneter indonesia memuncak. Tampak jelas bahwa Kerusuhan Mei 1998 telah membawa dampak terhadap ketahanan daerah, lalu berimbas kepada ketahanan nasional sebagaimana terlihat dari segi ekonomi yang mengalami krisis setelah peristiwa tersebut.

Daftar Pustaka

http://wartawarga.gunadarma.ac.id/2010/03/pengertian-ketahanan-nasional-indonesia/ diakses pada 24 Februari 2012 jam 23.40 WIB http://szlovely.wordpress.com/2011/07/16/sejarah-kerusuhan-mei-1998/ diakses pada 23 Februari 2012 jam 14.36 WIB http://www.kaskus.us/showthread.php?t=10205670 diakses pada 23 Februari 2012 jam 14.47 WIB http://id.wikipedia.org/wiki/Kerusuhan_Mei_1998 diakses pada 23 Februari 2012 jam 15.01 WIB 1. http://www.semanggipeduli.com/Sejarah/frame/kerusuhan.html 2. ^ Hamid, Usman. MENATAP WAJAH KORBAN. Solidaritas Nusa Bangsa, Jakarta, 2005 3. ^ http://groups.yahoo.com/group/bhinneka/message/2249 4. ^ Laporan Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Tanggal 13-15 Mei 1998, Situs SemanggiPeduli.com, 23 Oktober 1998. Diakses pada 15 Mei 2010. 5. ^ Ester Indahyani Jusuf, dkk. KERUSUHAN MEI 1998 FAKTA, DATA&ANALISA. 2005. Jakarta. Kerjasama Solidaritas Nusa Bangda, APHI, dan TIFA. 6. ^ Femi Adi Soempeno& AA Kunto A. PERANG PANGLIMA SIAPA MENGKHIANATI SIAPA?. 2009. GALANG PRESS, Yogyakarta. 7. ^ http://www.politikindonesia.com/readhead.php?id=14&jenis=itk 8. ^ Meicky Shoreamanis Panggabean. 2008. KEBERANIAN BERNAMA MUNIRMengenal Sisi-Sisi Personal Munir. Bandung: Mizan 9. ^ Komnas HAM Pertanyakan Kasus Mei 1998. Tempo Interaktif, 1 Maret 2004. Diakses pada 15 Mei 2010. 10. ^ Tempo Interaktif, Perempuan Korban Mei 1998 Butuh Amandeman KUHP http://www.bi.go.id/NR/rdonlyres/427EA160-F9C2-4EB0-9604C55B96FC07C6/3015/bempvol1no4mar.pdf diunduh pada 23 Februari 2012 14.43 WIB

Anda mungkin juga menyukai