Anda di halaman 1dari 16

ANALISIS KASUS PELANGGARAN HAM DI INDONESIA

“TRAGEDI RUMOH GEUDONG 1989-1998”

Wulan Mulya Ulfa


Hukum Ekonomi Syariah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry
(wulanmulyaulfa21@gmail.com)

Abstract
The Rumoh Geudong tragedy occurred in Aceh during the period of military operation
(DOM) from 1989-1998. The government through the ABRI Commander decided to carry out
Operation Red Net (Jamer) which made Korem 011/Lilawangsa the center of the operation. The
tragedy involved the kidnapping, torture, rape, and murder of Acehnese civilians or suspected
GAM members in Rumoh Gedong and other Sattis posts. After conducting an in-depth
investigation of 65 witnesses, Komnas HAM concluded that there was sufficient preliminary
evidence of crimes against humanity, such as rape or other forms of sexual violence equivalent to
torture, murder, arbitrary deprivation of liberty, or other arbitrary physical deprivation of
liberty that violated human rights. The case was handed over to the Attorney General’s Office for
further investigation and prosecution. The tragedy was recognized by the state as a gross
violation of human rights after 34 years. The purpose of this article is to analyze cases of human
rights violations that occurred in Indonesia, namely the Rumoh Geudong Tragedy.

Keywords : Human Rights, Rumoh Geudong Tragedy, Gross Human Right Violation.

Abstrak
Tragedi Rumoh Geudong terjadi di Aceh pada masa operasi militer ( DOM ) 1989-1998.
Pemerintah melalui Pangab memutuskan untuk melakukan Operasi Jaring Merah ( Jamer ) yang
menjadikan Korem 011/Lilawangsa sebagai pusat operasi. Tragedi tersebut meliputi penculikan,
penyiksaan, pemerkosaan, dan pembunuhan warga sipil Aceh atau tersangka anggota GAM di
Rumoh Gedong dan pos Sattis lainnya. Setelah melakukan pemeriksaan mendalam terhadap 65
saksi, Komnas HAM menyimpulkan bahwa terdapat cukup bukti awal adanya kejahatan terhadap
kemanusiaan, seperti pemerkosaan atau bentuk kekerasan seksual lainnya yang setara dengan
penyiksaan, pembunuhan, perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, atau perampasan
fisik secara sewenang-wenang lainnya. kebebasan yang melanggar hak asasi manusia. Kasus ini
diserahkan ke Kejaksaan Agung untuk penyelidikan dan penuntutan lebih lanjut. Tragedi itu
diakui oleh negara sebagai pelanggaran berat hak asasi manusia setelah 34 tahun. Tujuan artikel
ini adalah untuk menganalisis kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia yaitu Tragedi
Rumoh Geudong.

Kata Kunci : Hak Asasi Manusia, Tragedi Rumoh Geudong, Pelanggaran HAM Berat.

Latar Belakang
Pancasila, sebagai landasan hukum negara Indonesia, mengandung prinsip moral dan
kesetaraan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa membedakan ras, suku, dan agama. Pengaturan
Hak Asasi Manusia (HAM) pada dasarnya terkait dengan esensi dari sila kelima Pancasila, yaitu
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sila ini menyiratkan bahwa negara memiliki
kewajiban untuk melindungi hak-hak individu dengan memberikan perlindungan hukum yang
adil. Terutama dalam konteks ini, negara bertanggung jawab untuk memastikan keadilan dan
kepastian hukum bagi korban pelanggaran HAM berat di masa lalu.1

Dalam upaya penegakan HAM, untuk mencapai rasa keadilan dan perdamaian dalam
masyarakat, digunakan konsep Keadilan Transisional (Transitional Justice). Keadilan
transisional adalah pendekatan yang holistik dengan empat komponen utama, yaitu hak atas
kebenaran, hak atas keadilan, hak atas pemulihan, dan jaminan agar pelanggaran semacam itu
tidak terulang kembali. Pendekatan ini bertujuan untuk menyelaraskan upaya untuk mengungkap
kebenaran, mengadili pelaku, memulihkan korban, dan memastikan pencegahan pelanggaran
serupa di masa depan.2

Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat (Pelanggaran HAM berat) masa lalu, masih belum
terselesaikan, alhasil Pemerintah masih menangung beban kewajiban pada setiap korban/keluarga
pelanggaran HAM berat. Ragam instrumen hukum sudah dibentuk оleh Pembentuk Undang-

1
Herlinda Safira, Ulfah Sakinah SP, Almas Rioga Pasca P, Rekonstruksi KKR Sebagai Bentuk
Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Pelanggaran Ham Berat, Jurnal Studia Legalia, 1(1), 29–53, hlm 2
2
Administrator, “Keadilan Transisi”, https://asia-ajar.org/wpcontent/uploads/2018/10/Transitional-
JusticeFactsheet-Bahasa-Indonesia.pdf, diakses pada 4 Juni 2023
Undang, namun masih sulit untuk diterapkan. Ragam instrumen hukum mengenai penyelesaian
pelanggaran HAM Berat, sebagai berikut:3

1. Undang-Undang Nоmоr 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU
Pengadilan HAM);
2. Undang-Undang Nоmоr 27 tahun 2004 tentang Kоmisi Kebenaran dan Rekоnsiliasi (UU
KKR).

Keberadaan instrumen hukum tersebut, belum mampu menuntaskan pelanggaran HAM


berat dan memulihkan hak korban. Secara penerapan hukum, ternyata setiap kali Komnas HAM
melakukan penyelidikan terkait pelanggaran HAM berat, jaksa agung selalu mengembalikan
kasus tersebut.4 Contohnya adalah kasus Wasior dan Wamena yang terjadi antara tahun 2002
hingga 20035, kasus pelanggaran HAM berat di Aceh seperti kasus Jambu Kepok, kasus Simpang
KKA, dan kasus Rumah Geudong yang diserahkan pada tahun 2017 hingga 2018. 6 Jaksa Agung
selalu mengembalikan berkas penyelidikan yang diberikan oleh Komnas HAM dengan alasan
berkas tersebut tidak memenuhi persyaratan formil dan materiil.7
Seringkali setelah perang, langkah yang sering diabaikan adalah memulai proses
rekonsiliasi. Rekonsiliasi tersebut merupakan faktor penentu keberhasilan atau kegagalan dari
proses yang dilakukan setelah tercapainya kesepakatan. Di Aceh, banyak tragedi yang terjadi
tidak dapat diselesaikan hanya dengan jabat tangan antara pihak yang mewakili proses
kesepahaman. Ini berkaitan dengan harga diri manusia, terutama warga negara Republik
Indonesia yang tinggal di Aceh. Selama rentang waktu antara 1989 hingga 2005, terjadi puluhan
bahkan ratusan tragedi hampir setiap hari. Baik jumlah korban sedikit maupun banyak, tindakan
pembunuhan tetap merupakan kejahatan, meskipun dilakukan atas nama negara. Oleh karena itu,
penting untuk mengambil langkah-langkah yang memadai untuk memulai proses rekonsiliasi

3
Febriansyah Ramadhan, Xavier Nugraha, dan Patricia Inge Felany, Penataan Ulang Kewenangan
Penyidikan Dan Penuntutan Dalam Penegakan Hukum Pelanggaran Ham Berat, Veritas et Justitia Vol 6 No 1
Tahun 2020, hlm 2
4
Ibid, hlm 7
5
Komnas HAM, Jurnal HAM: Komisi Hak Asasi Manusia, Jurnal HAM, Volume 13, No. 8, 2016, hlm., 12.
Hal ini juga dapat dilihat dalam Putusan Putusan Nomor 75/PUU-XIII/2015
6
Ayomi Amindoni, “Kejaksaan Agung kembalikan berkas kasus pelanggaran HAM berat, bagaimana
komitmen Presiden Jokowi?”, https://www.bbc.com/indonesia/indonesia46822119, diakses 4 Juni 2023
7
Febriansyah Ramadhan, Xavier Nugraha, dan Patricia Inge Felany, Penataan Ulang Kewenangan
Penyidikan Dan Penuntutan Dalam Penegakan Hukum Pelanggaran Ham Berat, Veritas et Justitia Vol 6 No 1
Tahun 2020, hlm 8
yang mendalam dan berkelanjutan, yang melibatkan upaya memperbaiki hubungan,
menyembuhkan luka-luka, dan memastikan keadilan bagi korban.8
Sekian banyak tragedi itu, tiga diantaranya terjadi pasca Pemerintah Indonesia mencabut
status DOM dari Aceh pada tanggal 20 Agustus 1998. Tragedi Krueng Arakundoe di Aceh timur
(03 Februari 1999), tragedi Simpang KKA di Aceh Utara (03 Mei 1999) dan Tragedi Jambo
Keupok di Aceh Selatan (17 Mei 2003). Ketiga tragedi itu terjadi dengan pola yang hampir sama,
tentara menembaki kerumunan masyarakat secara membabi buta. Alasan para pasukan militer
melakukan penembakan juga masih diragukan kebenarannya. Korban atas tragedi itu, pada hari
ini tidak pernah mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah, selaku penanggung jawab atas
derita yang mereka alami. Langkah konkrit untuk memulai usaha rekonsiliasi belum tercium
baunya. pasca peperangan, pasca kesepahaman banyak hal masih misteri sebagai langkah
rekonsiliasi. Meminta maaf tanpa menarasikan mengapa maaf diminta tidaklah cukup, butuh
kemauan tinggi secara ikhlas terutama dari pihak yang memulai tragedi itu (negara).9
Proses rekonsiliasi di Aceh belum mampu membawa positive peace yang terdistribusi
secara adil dan penyebab konflik masih belum dapat dicabut dan dituntaskan secara menyeluruh.
Kebutuhan akan proses rekonsiliasi dengan upaya mewujudkan positive peace di Aceh menjadi
penting, mengingat potensi konflik bisa mengancam kedamaian dan kemanan nasional. Untuk itu
dibutuhkan usaha ekstra untuk menyukseskan proses rekonsiliasi di Aceh. Keberhasilan
mewujudkan proses rekonsiliasi di Aceh akan berdampak terhadap terwujudnya kehidupan yang
harmonis dan dapat menciptakan budaya damai.10

Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipakai pada penelitian ini yaitu :
1. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, dengan
menggunakan pendekatan statute approach. Pendekatan ini didasarkan pada analisis
peraturan hukum yang relevan dengan masalah yang sedang dibahas. Peraturan hukum
tersebut dianggap sebagai data sekunder, yang diperoleh secara tidak langsung dari
sumbernya atau merupakan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.
8
Dr. Phil. Abdul Manan, MSc, MA Dr. Abdul Hadi, MAg Iping Rahmat Saputra, MSc, From Fears to
Tears, (Yogyakarta: Pale Media Prima, 2022), hlm xiii
9
Ibid, hlm xiv
10
Adri Jernih Miko, M. Adnan Madjid, Nyoman Astawa, Peran Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi (KKR)
Aceh Dalam Membangun Positive Peace Di Aceh, Jurnal Damai dan Resolusi Konflik Volume 6 Nomor 2 Tahun
2020, hlm 173
2. Library Research (penelitian kepustakaan), mempelajari pustaka dan karya-karya ilmiah
lainnya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti guna memperoleh landasan
teori serta hukum yang berkaitan dengan pembahasan atau masalahmasalah yang diteliti.11

Pembahasan
Pos Sattis atau yang lebih dikenal sebagai Rumoh Geudong telah menjadi suatu tempat
yang mengerikan bagi masyarakat Pidie. Meledaknya pengungkapan kejahatan kemanusiaan
yang terjadi di rumah dengan luas tanah 150 x 180 meter, dekat dengan jalan raya Banda Aceh -
Medan, telah menyebabkan luka yang sangat dalam. Tidak hanya bagi masyarakat di Aceh, tetapi
juga bagi masyarakat di luar Aceh, kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat negara ini
melebihi batas pemahaman mereka yang sehat.
Pidie memang tergolong daerah paling mencekam. Sebab, daerah ini dikenal sebagai basis
GAM. Bahkan, Danrem 012/ Tengku Umar Letkol Syariffudin Tippe menyebut Pidie sebagai
‘daerah hitamnya paling pekat’. Dibanding daerah lain, rakyat Pidie tergolong sangat radikal
memperjuangkan keberadaan GAM, maka setiap kali menjelang HUT GAM pada bulan
Desember rakyat secara terang-terangan memasang bendera GAM diberbagai penjuru. Disisi
lain, TNI ini pada masa DOM membangun kamp konsentrasi militer yakni Rumoh Geudong
Kamp ini dijadikan tempat penyekapan, penyiksaan, pemerkosaan, pembunuhan dan kuburan
bagi rakyat Aceh yang dituduh GAM.12
Rumoh Geudong hanya merupakan salah satu dari banyak kamp penyiksaan militer yang
tersebar di Aceh selama masa DOM.13 Secara normatif, Rumoh Geudong adalah salah satu Pos
Satuan Taktis (Sattis) TNI dan Polri. Di rumah Aceh yang terhormat itu kedaulatan RI di Aceh
dipertahankan dan diagungkan. Para serdadu menyusun perencanaan aksi militeristik. Para
serdadu membawa pulang hasil akhirnya, baik berupa harta benda maupun manusia Aceh yang
dikorbankan sebagai anggota Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Para serdadu meniti karir
militer. Para serdadu memupuk kekayaan. Para serdadu mengklaim diri sebagai pahlawan
negara.14
11
A.Bazar Harapan, Nawangsih Sutardi, Hak Asasi Manusia dan Hukumnya, CV. Yani’s, Jakarta, 2006, hlm
33-34
12
Aceh, Damai Dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu. Jakarta : KontraS, 2006, hlm 36
13
Dr. Phil. Abdul Manan, MSc, MA Dr. Abdul Hadi, MAg Iping Rahmat Saputra, MSc, From Fears to
Tears, (Yogyakarta: Pale Media Prima, 2022), hlm 27
14
Otto Syamsuddin Ishak. Kata pengantar, dalam Dyah Rahmani (2001). Rumoh Geudong: Tanda Luka
Orang Aceh. Banda Aceh. Cordova, Institute for Civil Society Empowerment, hlm VIII-IX
Secara praktis, Rumoh Geudong adalah kamp penyiksaan bagi rakyat Aceh. Rakyat
diambil dan diperlakukan di luar batas kemanusiaan demi negara yang bernama Republik
Indonesia. Rakyat diambil secara sewenang-wenang. Rakyat disiksa. Rakyat diperkosa. Rakyat
diperlakukan secara hina dina, rakyat diperas. Rakyat dihilangkan. Dan rakyat tidak bisa
menuntut karena para serdadu menghilangkan sebagian bukti dan para jenderal memanipulasi
realitas yang sesungguhnya. 15

Tindakan penyiksaan yang melampaui batas kemanusiaan dan mengakibatkan kematian


seseorang merupakan bentuk pelanggaran serius terhadap hak perlindungan dari tindakan
sewenang-wenang. Para tahanan atau tersangka GPK-AM di Rumoh Geudong mengalami
berbagai metode atau bentuk penyiksaan yang mengerikan.
Sejumlah tindak penyiksaan itu diantaranya: pemukulan pada badan, anggota badan dan
kepala dengan menggunakan berbagai alat seperti kayu panjang, rotan, botol, dan batang besi;
menindih dengan kayu balok besar pada badan dan kaki; membentur-benturkan kepala pada tiang
balok; menyabet badan dengan rantai kendaraan, kabel listrik dan ekor ikan pari; distrum dengan
listrik diberbagai bagian tubuh termasuk mata dan kemaluan; disulut api rokok; diguyur dan
direndam dengan air comberan; digantung dengan kepala ke bawah sembari dipukul;
penganiayaan seksual (kemaluan dimasuki benda-benda, perempuan disuruh mencukur kemaluan
lakilaki, kemaluan dijepit tang) dan pemerkosaan; tidak diberikan beberapa hari; tidak boleh
tidur; dikubur hidup-hidup; diberi minum air panas; disuruh minum air kencing; ditelanjangi;
dipanggil dengan nama binatang; dijerat leher hingga lidah keluar; kuku dicabut; disayat-sayat
dengan pisau dan silet lalu dikucuri air jeruk.16
Representasi perempuan Aceh, juga rakyat Aceh, lebih dikenal sebagai korban kekerasan
bersenjata. Faktanya, ribuan perempuan terpaksa menjanda karena suami diculik atau dibunuh,
bahkan banyak yang menderita kekerasan seksual. Kekerasan bersenjata menyebabkan
perempuan menjadi tameng dari kekerasan militer ketika harus melindungi suami atau anak yang
dituduh menjadi simpatisan atau tentara GAM. Konflik bersenjata juga memiskinkan perempuan
petani sehingga semakin tidak leluasa bekerja di sawah atau kebun. Aparat berpatroli siang dan
malam di desa-desa, sehingga kaum pria tidak berani keluar untuk bekerja di sawah. Perempuan

15
Ibid, hlm VIII-IX
16
Dyah Rahmani (2001). Rumoh Geudong: Tanda Luka Orang Aceh. Banda Aceh. Cordova, Intitute for Civil
Society Empowerment, hlm 41-42
yang bekerja di sawah –meskipun dalam areal yang terbatas– makin kesulitan untuk mengontrol
sawah-sawah yang jauh letaknya, sebab sewaktu-waktu bisa terkena sweeping.17
Tindakan perkosaan dan kekerasan seksual terhadap perempuan sering kali terjadi dalam
berbagai situasi konflik. Kekerasan terhadap perempuan dalam situasi konflik bersenjata
umumnya didasarkan kepada pandangan tradisional bahwa perempuan merupakan hak milik
(property), dan seringkali dianggap sebagai objek seksual. Sejak lama perempuan diberi peran
sebagai penerus kebudayaan dan sebagai simbol bangsa atau komunitas. Oleh karena kekerasan
yang ditujukan terhadap mereka dianggap sebagai serangan terhadap mereka juga sebagai
serangan terhadap nilai-nilai atau kehormatan suatu masyarakat, maka kekerasan tersebut
dipandang berpotensi untuk menjadi alat perang.18
Dalam periode pemerintahan Soeharto 1965-1998, dia sebagai orang nomor satu di negara
ini merupakan penanggung jawab utama atas matinya hak hidup orang-orang yang tidak memiliki
kaitan apapun dengan permasalahan negara. DOM di Aceh termasuk ke dalam fase ketiga kasus
pelanggaran HAM yang menonjol setelah kasus Tanjung Priok, peristiwa Petrus, tragedi Pulau
Buru dan pembunuhan massal 1965.19 Akhirnya, pemerintah memutuskan untuk menerapkan
DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh sebagai upaya yang dianggap paling efektif untuk
mengatasi dan menghancurkan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) hingga akar-akarnya. Namun,
berlanjutnya kebijakan DOM tersebut menyebabkan munculnya berbagai bentuk kekacauan dan
pelanggaran terhadap kehidupan manusia, terutama warga sipil.20
Selama masa pemberlakuan DOM di Aceh, tidak hanya pihak militer pemerintah yang
terlibat dalam kekerasan terhadap warga sipil. GAM (Gerakan Aceh Merdeka) juga turut
melakukan tindakan serupa, seperti penjarahan, teror, dan kekejaman terhadap warga sipil non-
Aceh yang tinggal di Aceh. Kebencian yang ada di pikiran anggota TNI maupun anggota GAM
diekspresikan dengan cara yang sama terhadap warga yang tidak bersalah. Proses perjuangan
Aceh untuk merdeka dari Indonesia tidaklah mudah dan lancar. Upaya diplomasi yang dilakukan
17
Irine Gayatri (Oktober 2008). Jejak Negosiasi Perempuan Aceh,
https://www.researchgate.net/publication/305434363_Jejak_Negosiasi_Perempuan_Aceh/link/
578eb6c408aecbca4caad608/download, diakses 4 Juni 2023
18
Variena J.B. Rehatta (2014). Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan di Daerah Konflik (Kajian Hukum
Internasional dan Penerapannya di Indonesia). Dalam Jurnal Sasi Vol. 20, No. 2 Bulan Juli-Desember 2014, hlm
53-54
19
Asvi Warman Adam (2014). Penyelidikan Pelanggaran HAM berat Soeharto dalam Baskara Wardaya,
Luka Bangsa, Luka Kita: Pelanggaran HAM Masa Lalu dan Tawaran Rekonsiliasi. Yogyakarta: Galang Pustaka,
hlm 268
20
Dr. Phil. Abdul Manan, MSc, MA Dr. Abdul Hadi, MAg Iping Rahmat Saputra, MSc, From Fears to
Tears, (Yogyakarta: Pale Media Prima, 2022), hlm 32-33
oleh para aktor yang berpengaruh hanya mencapai dukungan moral dari negara-negara yang
mengikuti perkembangan situasi di Aceh.21
Sebelum diberlakukannya DOM pertumbuhan penduduk rata-rata di Pidie adalah 1,4
persen/ tahun, tetapi setelah diberlakunya DOM anjlok menjadi 0,4 persen setahun. Data statistik
pada akhir tahun 1990 menunjukkan kurang lebih 23.366 orang sebagai “janda” yang diduga ada
kaitannya dengan kasus-kasus DOM di Aceh secara umum dan Pidie secara khusus.22
Kegagalan pemerintah dalam merumuskan kebijakan yang mengandung banyak
kekerasan selama masa DOM dan ketidakpenanganan yang memadai terhadap tuntutan keadilan
masyarakat Aceh terkait HAM setelah jatuhnya pemerintahan Presiden Soeharto pada tahun
1998, kemudian penghapusan status DOM di Aceh pada tanggal 8 Agustus 1998, meninggalkan
dampak yang signifikan bagi masyarakat Aceh yang menjadi korban dalam pelaksanaan operasi
militer tersebut. Masyarakat Aceh berharap agar tindakan kekerasan yang pernah mereka atau
keluarganya alami tidak terulang lagi dan mereka dapat menjalani kehidupan normal. 23 Kebijakan
pemerintah Indonesia saat itu juga disertai dengan penarikan pasukan non-organik dari Aceh dan
pernyataan Panglima ABRI/Menteri Pertahanan dan Keamanan, Jenderal Wiranto, di Masjid
Baiturrahman Lhokseumawe pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie. Penghapusan DOM
di Aceh terjadi pada saat yang bersamaan dengan berlangsungnya reformasi di Indonesia.24
Setelah tahun 1998, memasuki fase ketiga yang ditandai dengan penggunaan kekerasan
oleh negara dalam menghadapi GAM dan rakyat Aceh yang semakin memiliki semangat
nasionalisme ke-Acehan. Selama fase ini, popularitas GAM di mata rakyat Aceh meningkat
karena hampir semua keluarga di Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur mengalami penderitaan
akibat DOM. Akhirnya, status DOM dicabut. Selama masa DOM, terjadi pelanggaran hak asasi
manusia yang massif di Aceh. Setelah masa DOM, gerakan di Aceh dikendalikan oleh mahasiswa
dengan salah satu tujuan mereka adalah menuntut kemerdekaan. Tuntutan kemerdekaan ini
sebenarnya digunakan sebagai strategi untuk menarik perhatian pemerintahan pusat, karena yang
sebenarnya mereka inginkan adalah pengadilan bagi korban-korban DOM. Namun, karena
tuntutan mereka tidak direspon dengan baik oleh pemerintahan pusat, gerakan ini semakin
meluas.25

21
Ibid, hlm 33
22
Aceh, Damai Dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu. Jakarta : KontraS, 2006, hlm 36-37
23
Ibid, hlm 71
24
Ibid, hlm 71
Meskipun terjadi reformasi sosial dan politik di Indonesia pada tahun 1998, namun tidak
ada perubahan signifikan dalam keadaan. Demokrasi yang sering digaungkan hanya menjadi
sekadar kata-kata yang terucap, dengan banyak janji-janji yang menipu dan mengabaikan
keadaan sebenarnya. Bahkan di Aceh, meskipun DOM dicabut sesuai dengan pernyataan, namun
nyawa manusia juga turut dicabut dan diseret. Meskipun terjadi reformasi sosial dan politik
secara nasional, namun di Aceh terjadi reformasi kekejaman dan kekejian, di mana segala hal itu
hancur dan dibantai habis oleh bencana gempa dan tsunami.26
Adalah tanggung jawab seluruh elemen masyarakat untuk berusaha dan memperbaiki
sistem hukum sebagai kekuatan suatu negara yang berdasarkan hukum. Suatu negara yang kuat
adalah negara yang menjadikan hukum sebagai landasan utama, dan sebuah bangsa yang mandiri
adalah bangsa yang mengedepankan prinsip keadilan. Pemikiran-pemikiran hukum merupakan
tantangan yang terus berkembang dalam sebuah negara, terutama dalam negara demokratis yang
memberikan kebebasan kepada warganya untuk mengaktualisasikan diri mereka sebagai individu
dan anggota masyarakat, dengan kebebasan yang teratur, terarah, dan sistematis berdasarkan
prinsip-prinsip peraturan yang ada di dalam diri setiap warga negara. Hukum tidak dapat berjalan
dengan baik tanpa adanya partisipasi yang baik dari seluruh elemen negara, termasuk warga
negara itu sendiri.27 Hukum harus dihormati dan ditegakkan secara penuh sebagai kekuatan yang
mendasar dalam menjaga keadilan. Hukum harus berperan sebagai pemimpin yang mengarahkan
untuk menciptakan sebuah bangsa yang kuat dan berkembang. Hukum harus menjadi kekuatan
utama dalam sistem pemerintahan, sebagai benteng pertahanan dan pintu gerbang utama bagi
negara.28

Kesimpulan
Dari hasil penelitian melalui literatur-literatur yang ada, yang berkaitan dengan
permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yakni mengenai salah satu kasus pelanggaran
HAM berat yaitu Tragedi Rumoh Geudong yang terjadi pada masa DOM 1989-1999, Rumoh
Geudong ini juga dikenal sebagai Pos Satuan Taktis (Sattis) TNI dan Polri, telah menjadi tempat
mengerikan bagi masyarakat Pidie. Kejahatan kemanusiaan yang terjadi di sana, termasuk
penyiksaan, pemerkosaan, pembunuhan, dan penghilangan orang-orang yang dituduh terlibat
dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM), telah menyebabkan luka yang dalam bagi masyarakat
Aceh dan masyarakat di luar Aceh. Rumoh Geudong hanya salah satu dari banyak kamp
penyiksaan militer yang tersebar di Aceh selama masa Daerah Operasi Militer (DOM).
Tindakan penyiksaan yang melampaui batas kemanusiaan dan tindakan kekerasan seksual
terhadap perempuan merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi manusia. DOM di Aceh
juga menyebabkan dampak sosial dan ekonomi yang signifikan, termasuk penurunan
pertumbuhan penduduk, jumlah janda yang meningkat, dan kemiskinan yang melanda
masyarakat.
Kegagalan pemerintah dalam menangani pelanggaran HAM selama DOM dan kurangnya
tindakan keadilan terhadap para korban telah meninggalkan luka yang dalam bagi masyarakat
Aceh. Meskipun DOM dicabut setelah reformasi politik pada tahun 1998, kekerasan dan
kekejaman tetap terjadi di Aceh, baik dalam bentuk konflik bersenjata antara TNI dan GAM
maupun dalam bentuk bencana alam seperti gempa dan tsunami.
Oleh karena itu, sangat penting bagi seluruh elemen masyarakat untuk berkomitmen
dalam memperbaiki sistem hukum dan menjunjung tinggi keadilan. Hukum harus menjadi
kekuatan yang mendasar dalam menjaga keadilan dan menjadi pijakan bagi sebuah bangsa yang
kuat dan berkembang. Partisipasi aktif dari semua elemen masyarakat diperlukan untuk
mewujudkan hal tersebut, dan pemerintah harus bertanggung jawab dalam menegakkan hukum
secara penuh.
DAFTAR PUSTAKA

Herlinda Safira, Ulfah Sakinah SP, Almas Rioga Pasca P, Rekonstruksi KKR Sebagai Bentuk
Pertanggungjawaban Negara Terhadap Korban Pelanggaran Ham Berat, Jurnal Studia
Legalia, 1(1).

Administrator, “Keadilan Transisi”,


https://asia-ajar.org/wpcontent/uploads/2018/10/Transitional-JusticeFactsheet-Bahasa-
Indonesia.pdf, diakses pada 4 Juni 2023

Febriansyah Ramadhan, Xavier Nugraha, dan Patricia Inge Felany, Penataan Ulang
Kewenangan Penyidikan Dan Penuntutan Dalam Penegakan Hukum Pelanggaran Ham
Berat, Veritas et Justitia Vol 6 No 1 Tahun 2020

Komnas HAM, Jurnal HAM: Komisi Hak Asasi Manusia, Jurnal HAM, Volume 13, No. 8, 2016.
Hal ini juga dapat dilihat dalam Putusan Putusan Nomor 75/PUU-XIII/2015

Ayomi Amindoni, “Kejaksaan Agung kembalikan berkas kasus pelanggaran HAM berat,
bagaimana komitmen Presiden Jokowi?”,
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia46822119, diakses 4 Juni 2023

Dr. Phil. Abdul Manan, MSc, MA Dr. Abdul Hadi, MAg Iping Rahmat Saputra, MSc, From
Fears to Tears, (Yogyakarta: Pale Media Prima, 2022)

Adri Jernih Miko, M. Adnan Madjid, Nyoman Astawa, Peran Komisi Kebenaran Dan
Rekonsiliasi (KKR) Aceh Dalam Membangun Positive Peace Di Aceh, Jurnal Damai dan
Resolusi Konflik Volume 6 Nomor 2 Tahun 2020

A.Bazar Harapan, Nawangsih Sutardi, Hak Asasi Manusia dan Hukumnya, CV. Yani’s, Jakarta,
2006
25
Moch. Nurhasim, dkk., Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan
dan Upaya Penyelesaian, hlm 29
26
Dr. Phil. Abdul Manan, MSc, MA Dr. Abdul Hadi, MAg Iping Rahmat Saputra, MSc, From Fears to
Tears, (Yogyakarta: Pale Media Prima, 2022), hlm 34
27
Ibid, hlm 35
28
Ibid, hlm 36
Aceh, Damai Dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu. Jakarta : KontraS, 2006

Otto Syamsuddin Ishak. Kata pengantar, dalam Dyah Rahmani (2001). Rumoh Geudong: Tanda
Luka Orang Aceh. Banda Aceh. Cordova, Institute for Civil Society Empowerment

Dyah Rahmani (2001). Rumoh Geudong: Tanda Luka Orang Aceh. Banda Aceh. Cordova,
Intitute for Civil Society Empowerment

Irine Gayatri (Oktober 2008). Jejak Negosiasi Perempuan Aceh,


https://www.researchgate.net/publication/305434363_Jejak_Negosiasi_Perempuan_Aceh/
link/578eb6c408aecbca4caad608/download, diakses 4 Juni 2023

Variena J.B. Rehatta (2014). Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan di Daerah Konflik
(Kajian Hukum Internasional dan Penerapannya di Indonesia). Dalam Jurnal Sasi Vol.
20, No. 2 Bulan Juli-Desember 2014

Asvi Warman Adam (2014). Penyelidikan Pelanggaran HAM berat Soeharto dalam Baskara
Wardaya, Luka Bangsa, Luka Kita: Pelanggaran HAM Masa Lalu dan Tawaran
Rekonsiliasi. Yogyakarta: Galang Pustaka

Moch. Nurhasim, dkk., Konflik Aceh: Analisis atas Sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik,
Kepentingan dan Upaya Penyelesaian

Anda mungkin juga menyukai