Anda di halaman 1dari 5

Amnesty International (lebih dikenal dengan sebutan Amnesty atau AI) adalah sebuah organisasi

non-pemerintah internasionaldengan tujuan mempromosikan seluruh HAM yang terdapat


dalam Universal Declaration of Human Rights dan standar internasional lainnya.
Didirikan pada tahun 1961 oleh seorang pengacara Inggris bernama Peter Benenson, Amnesti
Internasional mengkampanyekan untuk membebaskan tawanan hati nurani (prisoner of conscience);
untuk memastikan keadilan dan mengadakan persidangan untuk tawanan politik; untuk
menghapuskan hukuman mati, penyiksaan, dan perlakuan tahanan lainnya yang dianggapnya
sebagai kekejaman; untuk menghilangkan pembunuhan politik dan pemaksaan penghilangan; dan
untuk menentang segala pelecehan seluruh hak asasi manusia, baik oleh pemerintah atau oleh grup
lainnya.

Pasal Isi Pasal


Pasal 28A Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan
hidup dan kehidupannya.
Pasal 28B (2) Setiap orang berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan
berkembang, serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
Pasal 28C (2) Setiap orang berhak memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa,
dan negaranya.
Pasal 28D (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan
hukum.
Pasal 28D (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Pasal 28D (3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan.
Pasal 28D (4)
Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Pasal 28E (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih
pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
Pasal 28E (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.
Pasal 28G (1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga,
kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi.
Pasal 28G (2)
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan
yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak
memperoleh suaka politik dari negara lain.
Pasal 28H (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat
serta memperoleh pelayanan kesehatan.
Pasal 28H (2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus
untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna
mencapai persamaan dan keadilan.
Pasal 28H (3)
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang
bermartabat.
Pasal 28I (1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbuat,
hak untuk diakui secara pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Pasal 28I (2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat
diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Pasal 28I (3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati
selaras dengan perkembangan zaman peradaban.
Pasal 28I (4) Perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah.
Pasal 28I (5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai
dengan prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan
hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam
peraturan perundang-undangan.
Pasal 28J (1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain
dalam tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Pasal 28J (2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib
tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-
undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan
serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,
nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.

Di era Daerah Operasi Militer (DOM), Rumoh Geudong menjadi kamp konsentrasi militer
sekaligus pos sattis (untuk pengawasan masyarakat) bagi pasukan Kopassus.

Setelah pencabutan DOM pada 7 Agustus 1998, terungkap fakta bahwa tentara juga menjadikan
Rumoh Geudong sebagai pos untuk melakukan tindakan di luar perikemanusiaan seperti
penyekapan, penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan terhadap rakyat Aceh atau yang diduga
sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Operasi militer Indonesia di Aceh 1990-1998


Operasi militer Indonesia di Aceh 1990-1998 atau juga disebut Operasi Jaring Merah adalah operasi kontra-
pemberontakan yang diluncurkan pada awal 1990-an sampai 22 Agustus 1998 melawan gerakan
separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Selama periode tersebut, Aceh dinyatakan sebagai “Daerah
Operasi Militer” (DOM), dimana Tentara Nasional Indonesiadiduga melakukan pelanggaran hak asasi
manusia dalam skala besar dan sistematis terhadap pejuang GAM maupun rakyat sipil Aceh. Operasi ini ditandai
sebagai perang paling kotor di Indonesia yang melibatkan eksekusi sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan
dan penghilangan, dan pembakaran desa. Amnesty International menyebut diluncurkannya operasi militer ini
sebagai “shock therapy” bagi GAM.

Desa yang dicurigai menyembunyikan anggota GAM dibakar dan anggota keluarga tersangka militan diculik
dan disiksa. Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan dan antara 9.000-
12.000 orang, sebagian besar warga sipil tewas antara tahun 1989 dan 1998 dalam operasi TNI tersebut.
Operasi ini berakhir dengan penarikan hampir seluruh personil TNI yang terlibat atas perintah Presiden BJ
Habibie pada tanggal 22 Agustus 1998 setelah jatuhnya Presiden Soeharto dan berakhirnya era Orde Baru.

Operasi militer Indonesia di Aceh 2003-2004

Operasi militer Indonesia di Aceh (disebut juga Operasi Terpadu oleh pemerintah Indonesia) adalah operasi yang
dilancarkan Indonesia melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dimulai pada 19 Mei 2003 dan berlangsung
kira-kira satu tahun. Operasi ini dilakukan setelah GAM menolak ultimatum dua minggu untuk menerima
otonomi khusus untuk Aceh di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Operasi ini merupakan
operasi militer terbesar yang dilakukan Indonesia sejak Operasi Seroja (1975), dan pemerintah mengumumkan
terjadinya kemajuan yang berarti, dengan ribuan anggota GAM terbunuh, tertangkap, atau menyerahkan
diri.Operasi ini berakibat lumpuhnya sebagian besar militer GAM, dan bersama dengan gempa bumi dan tsunami
pada tahun 2004 menyebabkan berakhirnya konflik 30 tahun di Aceh.

Pada 28 April 2003, pemerintah Indonesia memberikan ultimatum untuk mengakhiri perlawanan dan menerima
otonomi khusus bagi Aceh dalam waktu 2 minggu. Pemimpin GAM yang berbasis di Swedia menolak ultimatum
tersebut, namun Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa mendesak kedua pihak untuk menghindari konflik
bersenjata dan melanjutkan perundingan perdamaian di Tokyo.

Pada 16 Mei 2003, pemerintah menegaskan bahwa otonomi khusus tersebut merupakan tawaran terakhir untuk
GAM, dan penolakan terhadap ultimatum tersebut akan menyebabkan operasi militer terhadap GAM. Pimpinan
dan negosiator GAM tidak menjawab tuntutan ini, dan mengatakan para anggotanya di Aceh ditangkap saat
hendak berangkat ke Tokyo.

Selepas tengah malam pada 18 Mei 2003 Presiden Megawati Sukarnoputri memberikan izin operasi militer
melawan anggota separatis. Ia juga menerapkan darurat militer di Aceh selama enam bulan. Pemerintah
Indonesia menempatkan 30.000 tentara dan 12.000 polisi di Aceh.

Pada bulan Juni, pemerintah mengumumkan niat mereka untuk mencetak KTP baru yang harus dibawa semua
penduduk Aceh untuk membedakan pemberontak dan warga sipil. LSM-LSM dan lembaga bantuan
diperintahkan untuk menghentikan operasinya dan meninggalkan wilayah tersebut. Seluruh bantuan harus
dikoordinasikan di Jakarta melalui pemerintah dan Palang Merah Indonesia.

Pada bulan Mei 2004, darurat militer di Aceh diturunkan menjadi darurat sipil. Menko Polkam ad interim
Indonesia Hari Sabarno mengumumkan perubahan ini setelah rapat kabinet 13 Mei 2004. Pemerintah
mengumumkan terjadinya kemajuan yang berarti, dan ribuan anggota GAM terbunuh, tertangkap dan
menyerahkan diri.

Sekalipun darurat militer telah dihentikan, operasi-operasi militer terus dilakukan oleh TNI. Diperkirakan 2.000
orang terbunuh sejak Mei 2003. TNI mengatakan kebanyakan korban adalah tentara GAM, namun kelompok-
kelompok HAM internasional dan setempat, termasuk komisi HAM pemerintah, menemukan bahwa sebagian
besar korban adalah warga sipil. Bukti menunjukkan bahwa TNI sering tidak membedakan antara anggota GAM
dan non-kombatan. Penyelidikan-penyelidikan juga menemukan GAM turut bersalah atas kebrutalan yang
terjadi di Aceh.

Para pengungsi Aceh di Malaysia melaporkan adanya pelanggaran yang luas di Aceh, yang tertutup bagi
pengamat selama operasi militer ini. Pengadilan terhadap anggota militer Indonesia dianggap sulit dilakukan,
dan pengadilan yang telah terjadi hanyalah melibatkan prajurit berpangkat rendah yang mengklaim hanya
menjalankan perintah.

Bentuk Pelanggaran dalam Kasus DOM Aceh


1. Desa yang dicurigai menyembunyikan anggota GAM dibakar dan anggota keluarga tersangka
militan diculik dan disiksa. Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami
perkosaan dan antara 9.000-12.000 orang, sebagian besar warga sipil tewas antara tahun 1989 dan 1998
dalam operasi TNI tersebut.
2. Selain itu kasus-kasus yang disebutkan di atas, masih ada kasus-kasus lain yang merupakan
bagian dari peristiwa-peristiwa kekerasan yang berlangsung sehari-hari berdasarkan pemantauan
Kontras antara Juli hingga Desember 1999 sebagai berikut:
3. Antara 4 Juli 1999-25 Desember 1999 setidaknya ada 194 warga sipil yang menjadi korban
kekerasan “Aparat Keamanan”, 22 diantaranya tewas dan 172 luka-luka ringan dan berat;
4. Antara 19 Oktober-25 Desember 1999, setidaknya 290 korban pembunuhan misterius umunya
dengan pola petrus (penembak misterius), menelan korban sebanyak: 239 sipil tewas dan 10 luka-luka
dan sisanya sekitar 51 jiwa non-sipil;
5. Antara 16 April 1999-25 Desember 1999, setidaknya 902 unit bangunan terbakar, terdiri dari
Sekolah, kantor Camat dan gedung pemerintahan lainnya, dari sekian jumlah tersebut, sekitar 80 persen
atau 132 unit adalah bangunan sekolah dan sekitar 191 bangunan dibakar oleh “aparat keamanan” dalam
operasi sweeping;
6. Antara 5 Agustus-25 Desember 1999 setidaknya 128 orang (105 sipil dan sisanya militer)
hilang diculik dan sebagian dari mereka ditemukan dalam keadaan tewas yang mengenaskan;
7. 2001, operasi Rajawali melaporkan ada 1216 kasus pelanggaran HAM, operasi ini dilakukan
untuk menemukan langkah komperhensif dalam menyelesaikan masalah Aceh berdasarkan Inpres No
4/2001 di tengah-tengah Jeda Kemanusiaan;
8. 2003-2004 Darurat Militer I dan II ada 1.326 kasus pelanggaran HAM, Kegagalan perundingan
damai antara RI dan GAM direspon dengan kebijakan darurat militer, masa ini penyelesaian HAM
sejumlah anggota TNI rendah dihukum. Statusnya diturunkan menjadi Darurat Sipil sampai sekarang.
Upaya yang Sudah Dilakukan Pemerintah

Pertama, pada Juli 1998: Tim Gabungan Pencari Fakta DPR dibentuk. Pada bulan Oktober 1998 tim ini
mengumpulkan temuan sementaranya lebih dari 6.837 kasus pelanggaran HAM sejak 1989-1998.

Kedua, Agustus 1998: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan penyelidikan di Aceh.
Laporan pendahuluannya menyebutkan telah menemukan bukti-bukti adanya, paling tidak 781 orang meninggal,
163 orang hilang, 368 kasus penyiksaan, dan 102 kasus pemerkosaan yang terjadi antara tahun 1989 dan 1998.

Ketiga, Juli 1999: Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KIPTKA) dibentuk melalui
sebuah instruksi presiden (masa pemerintahan Presiden Habibie). Dilaporkan bahwa komisi ini telah
mengumpulkan keterangan mengenai 7000 kasus pelanggaran HAM di Aceh yang terjadi selama sepuluh tahun
terakhir, meliputi diantaranya berupa pembunuhan diluar jalur hukum, penyiksaan, penghilangan paksa,
penahanan sewenag-wenang, pemerkosaan dan tindak kekerasan seksual. Komisi tersebut merekomendasikan
agar lima kasus segera diajukan ke pengadilan.
Terakhir, Nopember 1999: kejaksaan Agung melakukan penyelidikan terhadap lima kasus yang
direkomendasikan untuk diadili oleh KIPTKA. Lima kasus tersebut masing-masing adalah kasus pemerkosaan
di Pidie yang terjadi pada bulan Agustus 1996; kasus penyiksaan dan penghilangan paksa yang terjadi antara
tahun 1997 dan 1998 disebuah tempat yang dikenal sebagai Rumoh Geudong di Pidie; pembunuhan diluar jalur
hukum terhadap tujuh warga sipil di Idi Cut, Aceh Timur pada bulan Pebruari 1999; pembunuhan diluar jalur
hukum terhadap 35 warga sipil di simpang KKA, Aceh Utara pada bulan Mei 1999; dan pembunuhan di luar
jalur hukum terhadap seorang ulama (Tgk. Bantaqiah) dan para pengikutnya di desa Blang Meurandeh, Beutong
Ateuh, Aceh Barat pada bulan Juli 1999.

Anda mungkin juga menyukai