Di era Daerah Operasi Militer (DOM), Rumoh Geudong menjadi kamp konsentrasi militer
sekaligus pos sattis (untuk pengawasan masyarakat) bagi pasukan Kopassus.
Setelah pencabutan DOM pada 7 Agustus 1998, terungkap fakta bahwa tentara juga menjadikan
Rumoh Geudong sebagai pos untuk melakukan tindakan di luar perikemanusiaan seperti
penyekapan, penyiksaan, pembunuhan, dan pemerkosaan terhadap rakyat Aceh atau yang diduga
sebagai Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Desa yang dicurigai menyembunyikan anggota GAM dibakar dan anggota keluarga tersangka militan diculik
dan disiksa. Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami perkosaan dan antara 9.000-
12.000 orang, sebagian besar warga sipil tewas antara tahun 1989 dan 1998 dalam operasi TNI tersebut.
Operasi ini berakhir dengan penarikan hampir seluruh personil TNI yang terlibat atas perintah Presiden BJ
Habibie pada tanggal 22 Agustus 1998 setelah jatuhnya Presiden Soeharto dan berakhirnya era Orde Baru.
Operasi militer Indonesia di Aceh (disebut juga Operasi Terpadu oleh pemerintah Indonesia) adalah operasi yang
dilancarkan Indonesia melawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dimulai pada 19 Mei 2003 dan berlangsung
kira-kira satu tahun. Operasi ini dilakukan setelah GAM menolak ultimatum dua minggu untuk menerima
otonomi khusus untuk Aceh di bawah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Operasi ini merupakan
operasi militer terbesar yang dilakukan Indonesia sejak Operasi Seroja (1975), dan pemerintah mengumumkan
terjadinya kemajuan yang berarti, dengan ribuan anggota GAM terbunuh, tertangkap, atau menyerahkan
diri.Operasi ini berakibat lumpuhnya sebagian besar militer GAM, dan bersama dengan gempa bumi dan tsunami
pada tahun 2004 menyebabkan berakhirnya konflik 30 tahun di Aceh.
Pada 28 April 2003, pemerintah Indonesia memberikan ultimatum untuk mengakhiri perlawanan dan menerima
otonomi khusus bagi Aceh dalam waktu 2 minggu. Pemimpin GAM yang berbasis di Swedia menolak ultimatum
tersebut, namun Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa mendesak kedua pihak untuk menghindari konflik
bersenjata dan melanjutkan perundingan perdamaian di Tokyo.
Pada 16 Mei 2003, pemerintah menegaskan bahwa otonomi khusus tersebut merupakan tawaran terakhir untuk
GAM, dan penolakan terhadap ultimatum tersebut akan menyebabkan operasi militer terhadap GAM. Pimpinan
dan negosiator GAM tidak menjawab tuntutan ini, dan mengatakan para anggotanya di Aceh ditangkap saat
hendak berangkat ke Tokyo.
Selepas tengah malam pada 18 Mei 2003 Presiden Megawati Sukarnoputri memberikan izin operasi militer
melawan anggota separatis. Ia juga menerapkan darurat militer di Aceh selama enam bulan. Pemerintah
Indonesia menempatkan 30.000 tentara dan 12.000 polisi di Aceh.
Pada bulan Juni, pemerintah mengumumkan niat mereka untuk mencetak KTP baru yang harus dibawa semua
penduduk Aceh untuk membedakan pemberontak dan warga sipil. LSM-LSM dan lembaga bantuan
diperintahkan untuk menghentikan operasinya dan meninggalkan wilayah tersebut. Seluruh bantuan harus
dikoordinasikan di Jakarta melalui pemerintah dan Palang Merah Indonesia.
Pada bulan Mei 2004, darurat militer di Aceh diturunkan menjadi darurat sipil. Menko Polkam ad interim
Indonesia Hari Sabarno mengumumkan perubahan ini setelah rapat kabinet 13 Mei 2004. Pemerintah
mengumumkan terjadinya kemajuan yang berarti, dan ribuan anggota GAM terbunuh, tertangkap dan
menyerahkan diri.
Sekalipun darurat militer telah dihentikan, operasi-operasi militer terus dilakukan oleh TNI. Diperkirakan 2.000
orang terbunuh sejak Mei 2003. TNI mengatakan kebanyakan korban adalah tentara GAM, namun kelompok-
kelompok HAM internasional dan setempat, termasuk komisi HAM pemerintah, menemukan bahwa sebagian
besar korban adalah warga sipil. Bukti menunjukkan bahwa TNI sering tidak membedakan antara anggota GAM
dan non-kombatan. Penyelidikan-penyelidikan juga menemukan GAM turut bersalah atas kebrutalan yang
terjadi di Aceh.
Para pengungsi Aceh di Malaysia melaporkan adanya pelanggaran yang luas di Aceh, yang tertutup bagi
pengamat selama operasi militer ini. Pengadilan terhadap anggota militer Indonesia dianggap sulit dilakukan,
dan pengadilan yang telah terjadi hanyalah melibatkan prajurit berpangkat rendah yang mengklaim hanya
menjalankan perintah.
Pertama, pada Juli 1998: Tim Gabungan Pencari Fakta DPR dibentuk. Pada bulan Oktober 1998 tim ini
mengumpulkan temuan sementaranya lebih dari 6.837 kasus pelanggaran HAM sejak 1989-1998.
Kedua, Agustus 1998: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan penyelidikan di Aceh.
Laporan pendahuluannya menyebutkan telah menemukan bukti-bukti adanya, paling tidak 781 orang meninggal,
163 orang hilang, 368 kasus penyiksaan, dan 102 kasus pemerkosaan yang terjadi antara tahun 1989 dan 1998.
Ketiga, Juli 1999: Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KIPTKA) dibentuk melalui
sebuah instruksi presiden (masa pemerintahan Presiden Habibie). Dilaporkan bahwa komisi ini telah
mengumpulkan keterangan mengenai 7000 kasus pelanggaran HAM di Aceh yang terjadi selama sepuluh tahun
terakhir, meliputi diantaranya berupa pembunuhan diluar jalur hukum, penyiksaan, penghilangan paksa,
penahanan sewenag-wenang, pemerkosaan dan tindak kekerasan seksual. Komisi tersebut merekomendasikan
agar lima kasus segera diajukan ke pengadilan.
Terakhir, Nopember 1999: kejaksaan Agung melakukan penyelidikan terhadap lima kasus yang
direkomendasikan untuk diadili oleh KIPTKA. Lima kasus tersebut masing-masing adalah kasus pemerkosaan
di Pidie yang terjadi pada bulan Agustus 1996; kasus penyiksaan dan penghilangan paksa yang terjadi antara
tahun 1997 dan 1998 disebuah tempat yang dikenal sebagai Rumoh Geudong di Pidie; pembunuhan diluar jalur
hukum terhadap tujuh warga sipil di Idi Cut, Aceh Timur pada bulan Pebruari 1999; pembunuhan diluar jalur
hukum terhadap 35 warga sipil di simpang KKA, Aceh Utara pada bulan Mei 1999; dan pembunuhan di luar
jalur hukum terhadap seorang ulama (Tgk. Bantaqiah) dan para pengikutnya di desa Blang Meurandeh, Beutong
Ateuh, Aceh Barat pada bulan Juli 1999.