Anda di halaman 1dari 10

PAPER MATA KULIAH SOSIOLOGI

“Kebudayaan dan Masyarakat Multikulturalisme dalam Masyarakat Urban”

Dosen Pengampu: Ayu Riska Amalia., SH., MH.

Disusun oleh :

FIRA ISWARIK

D1A02310380

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM TAHUN AKADEMIK 2023


1. PENDAHULUAN
 Saya memilih Kota Banda Aceh
 Karena menurut saya di Kota Banda Aceh memiliki keragaman etnis, agama, dan
budaya yang signifikan. Juga merupakan salah satu wilayah yang memiliki ragam seni
yang sangat kaya. Mayoritas pemeluk agama Islam yang berjuluk Serambi Mekah.

KERANGKA KONSEPTUAL

Keragaman Etnis Keragaman Agama Keragaman Budaya

Memiliki etnis Jawa sejak Mayoritas Kota Banda Aceh 1. Rumah Adat Aceh Krong Bade.
tahun 1945- 2015 terus pemeluk agama Islam 2. Pakaian Adat peninggalan dari
berkembang pesat dalam (222.582 jiwa), namun ada sejarah Kerajaan Perlak dan
semua hal termasuk juga agama lainnya, seperti Kerajaan samudera Pasai.
alkuturasi budaya. Kristen Prostan (717 jiwa) 3. Upacara Adat Perkawinan Aceh
dan Kristen Katolik (538 dengan berbagai tahapan.
Memiliki etnis Tionghoa, jiwa), Budha (2.755), Hindu 4. Upacara Peusijuek memercikkan
mulai aktif berpartisipasi (39 jiwa), yang hidup air dicampur dengan tepung tawar
dalam mengirbarkan berdampingan dengan kepada seseorang yang
bendera merah putih, taat muslim. mempunyai hajat tertentu.
membayar pajak, memiliki 5. Tarian Adat Nanggroe Aceh
toleransi yang tinggi antar Darussalam.
umat beragama serta 6. Senjata Tradisional dikenal dengan
menjaga keamanan dan nama Rancong.
kerukunan. (tambahkan) 7. Makanan Adat memiliki corak yang
mirip dengan masakan India.
8. Suku Aceh, Alas, Tamiang. Gayo,
Ulu, Singkil, Simelu, lamee, dan
lain sebagainya.
9. Bahasa Daerah seperti Bahasa
Aceh, Bahasa Gayo, Bahasa Alas,
dan sebagainya.
10. Lagu Daerah Aceh seperti
Bungong Jeumpa, Tawar Sedenge,
Aceh Lon Sayang, Aneuk Yatim,
Sepakat Segenap, Lembah Alas dan
Piso Surit.
2. Identifikasi Keragaman Multikultural :
Masyarakat Kota Banda Aceh adalah contoh masyarakat multicultural di Indonesia.
Masyarakat multikultutal adalah masyarakat yang memiliki banyak suku bangsa,
agama, dan budaya dengan beragam adat istiadat. Seiring dengan berkembangnya Kota
Banda Aceh sebagai Provinsi Aceh sebagai pusat pemerintahan wilayahnya mengalami
pertumbuhan penduduk dari waktu ke waktu, khususnya Desa Keuramat, mengalami
perubahan akibat meningkatnya jumlah penduduk pendatang dari berbagai daerah, suku,
dan etnis. Pertambahan jumlah penduduk membawa akibat tertentu, seperti:
bertambahnya sarana dan prasarana, perubahan perilaku, hilangnya budaya asli,
keberagaman masyarakat perkotaan memerlukan kemampuan beradaptasi satu sama lain
guna menumbuhkan keharmonisan sosial.
Beberapa tahun terakhir pergolakan dan penolakan terhadap syariat Islam di Aceh
semakin gencar disuarakan, selain itu banyak pertikaian berbasis agama muncul dalam
masyarakat Aceh, ini menunjukkan ada masalah akut dalam penerapan syariat Islam di
Aceh. Tulisan ini diawali dengan uraian fakta bahwa multikultural merupakan konsep
klasik di dalam Islam yang telah ada sejak lama bahkan sejak negara Madinah lahir
sebagai negara Islam pertama di dunia. Sedangkan dalam konteks Aceh, multikultural
juga telah lama dikenal mengingat Aceh merupakan daerah pluralis dengan keragaman
identitas masyarakatnya. Tulisan ini merupakan hasil penelitian penulis yang
menunjukkan bahwa syariat Islam di Aceh seolah belum mampu memayungi aspek
multikultural masyarakat Aceh. Bahwa implementasi syariat Islam di Aceh
membutuhkan kepada pendekatan berbasis lokal dengan mengedepankan multikultural
sebagai muara dari penetapan kebijakan. Konflik multikultural di Aceh dapat
diselesaikan melalui pendekatan pendidikan melalui 2 (dua) substansi. Pertama,
Substansi Teoritis, yang berhubungan dengan kurikulum pendidikan, metode
pembelajaran, materi pelajaran dan lembaga pendidikan. Kedua, Substansi Praksis, yang
berhubungan dengan penelitian sosial, budaya, ekonomi dan agama yang akar
masalahnya bermuara pada multikulturalisme, selanjutnya dicari solusi praktis dan bijak
berbasis pendidikan. Penulis merumuskan konsep Islam persuasif melalui 4 (empat)
prinsip, yaitu:(1) dakwah berbasis kultur budaya, (2) mewujudkan partisipasi aktif umat,
(3) dakwah berbasis psikologis, dan (4) dakwah yang bernilai optimis. Keempat prinsip
tersebut diharapkan mampu menjadi solusi dalam upaya resolusi konflik agama yang
terjadi di Aceh.
Etnis Cina mulai pada awal abad ke-Xll-Xlll masehi melakukan aktivitas perdagangan
dengan masyarakat pribumi. Disebutkan dalam buku Aceh Sepanjang Abad. Letak Aceh
sangat strategi yakni di Selat Malaka memudahkan bangsa lain termasuk Cina memasuki
wilayah tanah renjau. Hal ini ditandai adanya peninggalan antik seperti keramik, dan
tembikar. Lonceng Cakra donya menjadi bukti bahwa kerajaan di Aceh dahulu sudah
memiliki hubungan baik dengan bangsa Cina. Sebuah buku bertajuk Etnis Cina
Perantauan di Aceh menyebutkan bahwa pada tahun 1875 terjadi kekacauan politik dan
pengangguran di Tiongkok peristiwa tersebut menyebabkan banyak orang-orang China
berhijrah ke Nanyan (wilayah selatan Tiongkok) dan wilayah yang didatangi adalah
Aceh. Berbagai pembangunan dilakukan oleh orang-orang Cina atas perintah Belanda
mereka membangun infrastuktur sepeti jalan dan gedung. Walaupun dipekerjakan
sebagai buruh oleh Belanda Etnis Cina ini mampu menguasai pasar perdagangan. Hal ini
dikarenakan oleh professionalisme atau ketekunan mereka di dalam berbagai bidang.
Hingga kini lintas dagang yang dilakukan kalangan minoritas ini menjadi salah satu
faktor penting bagi pembangunan perekonomian Banda Aceh. Ini menyebabkan
terjadinya kontak Aceh dengan Cina baik dalam perdagangan, pendidikan, dan
perkawinan. Aceh dikenal Serambi Mekkah, nafas Islam begitu menyatu dalam adat
budaya masyarakat Aceh. Sehingga aktivitas budaya kerap berasaskan Islam ditambah
lagi penetapan Kota Banda Aceh sebagai Kota Madani yang berlandaskan syariat Islam.
Kondisi ini tidak membuat etnis Cina yang menetap di Banda Aceh terusik, mereka tetap
bisa hidup berdampingan dengan warga pribumi. Peunayong adalah salah satu bukti
keharmonisan etnis Cina dan pribumi di Banda Aceh. Ini merupakan wilayah
terkonsentrasinya etnis Cina sejak masa kolonial Belanda. Hingga kini eksistensi
masyarakat ini masih dapat ditemukan. Bukti solidaritas antara etnis Cina dan Aceh
tampak pada berbagai kegiatan sosial budaya yang diselenggarakan oleh Yayasan Hakka
Aceh. Disamping itu, dibentuklah sebuah organisasi berupa Persodaraan Aceh Tionghoa.
Organisasi ini menjembatani hubungan baik Etnis Aceh dan Etnis Cina di Aceh.
Provinsi Aceh letaknya berada di bagian paling ujung dari rangkaian kepulauan
Nusantara. Aceh dikenal dengan Nanggroe Aceh Darussalam merupakan suku pribumi
yang memiliki akar sejarah istimewa bagi Indonesia. Aceh mendapat julukan serambi
Mekkah, ini dikarenakan Aceh memiliki nilai ideologis islam yang melekat dan begitu
kental dalam kehidupan masyarakatnya. Selain itu, Aceh juga memiliki banyak budaya
khas seperti 10 budaya Aceh yang akan dipaparkan di bawah ini. Tidak sedikit
masyarakat Aceh yang merupakan keturunan India, Arab, Persia maupun Turki. Hal ini
karena terjalinnya pernikahan dari para pedagang yang masuk ke tanah Aceh dan
menikah dengan penduduk Aceh tersebut. Kebudayaan-kebudayaan daerah yang ada di
Aceh merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan masyarakat
secara menyeluruh, sebagai warisan leluhur yang selalu dilestari secara turun menurun.
1. Rumah Adat Aceh Krong Bade
Rumah adat Aceh dikenal dengan Rumoh Aceh atau Krong Bade. Bentuk rumah
seperti panggung berjarak sekitar 2,5 sampai 3 meter dari atas tanah. Keseluruhan
bangunan rumah adat dibangun dengan menggunakan kayu. Sedangkan atapnya
berasal dari anyaman daun enau atau daun rubia. Bagian kolong rumah digunakan
sebagai tempat menyimpan bahan-bahan makanan sedangkan bagian atas atau
panggungnya digunakan tempat istirahat atau penerima tamu. Keunikan Rumah
Adat Aceh terletak pada jumlah anak tangga yang mengantarkan pada ruang utama
atau panggung. Anak tangga tersebut sengaja dibuat ganjil sebagai simbol nilai
religius Suku Aceh. Seuramoe Teungoh yang merupakan bagian ruangan depan
sebagai ruangan khusus keluarga, Seuramoe Keue yang difungsikan sebagai tempat
menerima tamu, serta Seurameo Likot yang difungsikan sebagai dapur untuk
kegiatan memasak keluarga.
2. Pakaian Adat Aceh
Pakaian adat Aceh merupakan peninggalan i sejarah Kerajaan Perlak dan Kerajaan
samudera Pasai. Pakaian adat pria dikenal dengan nama baju Linto Biro, sedangkan
untuk pakaian adat wanitanya dikenal dengan nama Daro Bur. Digunakan pada saat-
saat istimewa, seperti upacara adat atau acara-acara pemerintahan lainnya. Pakaian
adat pria sendiri merupakan perpaduan dari beberapa bagian. Mulai dari bagian atas
yang disebut Meukasah dan celana atau bagian bawahannya disebut cekak musang
atau ada juga yang menyebutnya dengan nama celana (sileuweu). Sedangkan untuk
pakaian adat wanitanya merupakan perpaduan dari baju atasan yang berbentuk baju
kurung berlengan panjang dengan kerah baju yang bergaya seperti kerah baju
pakaian China. Sedangkan bagian bawahnya juga mengenakan celana cekak musang.
3. Upacara Adat Perkawinan Aceh
Ada beberapa upacara adat yang merupakan tradisi masyarakat Aceh seperti upacara
perkawinan. Diselenggarakan dengan berbagai tahapan, mulai melamar calon
pengantin wanita, tunangan, pesta pelaminan, penjemputan mempelai wanita, hingga
penjemputan mempelai pria.
4. Upacara Peusijuek
merupakan tradisi memercikkan air yang dicampur dengan tepung tawar kepada
seseorang yang sedang mempunyai hajat tertentu.
5. Tarian Adat Nanggroe Aceh Darussalam
Tarian yang sangat terkenal adalah Tari Saman. Tarian ini ditampilkan dengan
mengandalkan gerakan tepukan pada tangan, dada tanpa diiringi alat musik lainnya.
Namun meski tanpa alunan musik yang mengiringi, kepiawian penari membuat tarian
ini menjadi pertunjukan yang indah dan menarik. Tarian Tradisional berasal Dari
Aceh antara lain, Tari Saman, Tari Laweut Aceh, Tari Tarek Pukat, Tari Bines, Tari
Didong, Rapai Geleng, Tari Ula ula lembing, Tari Ratoh Duek Aceh, Tari Pho.
6. Senjata Tradisional Aceh
Dikenal dengan nama Rancong. Ada juga Siwah dan Peudeung yang juga
merupakan senjata adat Suku Aceh. Senjata Tradisional Aceh yakni, rencong
meupucok, rencong meucugek, Rencong meukuree, Rencong pudoi.
7. Makanan Adat NAD
Corak yang mirip dengan masakan India. Seperti canai dan gulai atau kerambi
kering. Ada juga makanan yang berbahan dasar ikan atau yang dikenal nama eungkot
paya. Makanan Khas Aceh, Manisan pala, Sanger, Pisang Sale, Kembang loyang,
Lepat, Rujak Aceh Samalanga, Keumamah, Kue Bhoi, Bohromrom, Meuseukat,
Memek (Khas Simeulue).
8. Suku Adat Aceh.
Seperti Suku Aceh, Suku Alas, Suku Tamiang, Suku Gayo, Suku Ulu, Suku Singkil,
Suku Simelu, Suku Jamee, Suku Ulet dan lain sebagainya. Berbagai suku yang
mendiami Aceh ini hidup secara berdampingan dan mewarnai keindahan corak
budaya yang ada di Aceh tersebut. Suku di Aceh adalah, Suku Gayo, Suku Aneuk
Jamee, Suku Singkil, Suku Alas, Suku Tamiang, Suku Kluet, Suku Devayan, Suku
Sigulai, Suku Batak Pakpak, Suku Haloban.
9. Bahasa Daerah Aceh
Aceh mempunyai beberapa bahasa daerah yang biasa digunakan sebagai bahasa
keseharian seperti Bahasa Aceh, Bahasa Gayo, Bahasa Alas dan sebagainya.
10. Lagu Daerah Aceh
Macam macam lagu daerah Aceh, Bungong Jeumpa, Tawar Sedenge, Aceh Lon
Sayang, Aneuk Yatim, Sepakat Segenap, Lembah Alas.
3. Dinamika Sosial dan Pengaruh terhadap Kebudayaan
Belum hilang dari ingatan tragedi tsunami 2004, yang menewaskan ratusan ribu nyawa
dan hancurnya 60% bangunan di Kota Banda Aceh. Kini, duka itu telah berubah menjadi
senyum, seiring langkah maju Banda Aceh menuju kota madani yang bersendikan
kebudayaan. Yang dimaksud bersendikan kebudayaan adalah berkaitan erat dengan
museum, perpustakaan, maraknya kegiatan kebudayaan/festival, dan penguatan sumber
daya kebudayaan melalui budaya baca-tulis. Tentu saja tanpa mena kan sektor-sektor lain
yang memberikan kontribusi terhadap kemajuan pembangunan Banda Aceh. Semua itu
telah tumbuh dan berkembang sejak Wali Kota Illiza Sa’aduddin Djamal (2012-2017),
hingga saat ini Banda Aceh di bawah kepemimpinan wali kota yang baru, Aminullah
Usman (2017-2022). Menuju Banda Aceh madani yang dimaksudkan tak lain adalah
yang apa mereka sebut sebagai kota yang berwajah smart city, green city, dan liveable
city. Reformasi birokrasi, terutama soal modernisasi tata kelola pemerintahan—melalui
e-Government—telah menunjukkan hasil menggembirakan. Di dalam e-Government
terdapat banyak aplikasi, di antaranya aplikasi e-Kinerja yang memungkinkan wali kota
bisa menilai kinerja bawahannya dengan objektif. Juha apilkasi e-Absensi di bidang
pendidikan, sehingga kehadiran siswa bisa dipantau secara daring alias online. Hasilnya,
Banda Aceh banyak mendapat penghargaan terkait dengan tata kelola pemerintahan,
pelayanan, perizinan, presdikat WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari BPK) , Adipura,
tata tertib lalu lintas, pemberdayaan perempuan, tata nugraha, dan lain sebagainya.
Sebagai wadah ingatan masa lalu, yang berguna sebagai wahana belajar pada masa kini
dan menjadi bekal pengetahuan menyongsong masa depan, Banda Aceh punya Museum
Negeri Banda Aceh (Rumoh Aceh), Museum Ali Hasjmi, hingga Museum Tsunami.
Informasi perjalanan sejarah Banda Aceh sejak masa kesultanan yang ditandai dengan
berbagai artefak—mulai makam, meriam, hingga lonceng Cakra Donya hadiah Kaisar
China yang dibawa oleh Laksamana Cheng Ho untuk kerajaan Samudra Pasai—dalam
perspektif lokal, nasional, regional dan internasional. Monumen relatif baru adalah
Museum Tsunami, yang membawa ingatan kita terkait tragedi memilukan di penghujung
2004 tetapi sekaligus menggugah kewaspadaan bersama. Masih banyak peninggalan
sejarah yang telah masuk situs cagar budaya, yang selama ini telah menjadi sumber
ilham, pengetahuan dan penelitian, serta memperkuat identitas lokal. Dari 58 situs yang
ada, di antaranya Masjid Raya Baiturrahman (di bangun pada masa Sultan Iskandar
Muda, 1607-1639), saat ini dilengkapi payung-payung ala Masjid Nabawi. Masjid
Baiturrahim di Ulee Lheu dibangun Tuanku Teungoh tahun 1924 di tepi pantai Ulee
Lheu, yang ketika tsunami menerjang, gelombang dahsyat itu lewat dengan ‘membelah
diri’ (menurut saksi mata yang selamat) di sana. Juga ada Taman Sari Gunongan, tempat
bermain permaisuri Putri Kamaliah (Potroe Phang) yang dibangun saat pemerintah
Sultan Iskandar Muda pada abad ke-16. Tak ketinggalan, makam Sultan Iskandar Muda.
Budaya ngopi telah menjadi bagian hidup masyarakat Banda Aceh. Sehingga kota ini
dijuluki “Kota 1001 Warung Kopi”.
Kota yang terkenal dengan tarian Saman dan Seudati, hingga kuliner Mie Aceh ini dalam
perkembangan budayanya secara resmi dikawal oleh Majelis Adat Aceh, agar tidak
keluar dari akar tradisi (Islam). Meskipun dalam pratiknya, seperti diakui para
pengurusnya, itu tidak selalu mudah karena pengaruh dinamika global yang
digelontorkan oleh media massa dan media sosial. Berbagai upaya yang dilakukan Kota
Banda Aceh menuju masyarakat madani berhasil meredam praktik korupsi dan
kekerasan dalam masyarakat. Dan, pelestarian adat menjadi tiang penyangga syariat
Islam dan kebudayaan.
4. Dampak pada Masyarakat dan Kesimpulan

Dampak positif keragaman :

1. Keberagaman menjadikan sebuah negara kaya,

2. Keberagaman menjadi salah satu identitas bangsa yang membedakan dari bangsa lain
di dunia,

3. Keberagaman menjadikan interaksi di dalam masyarakat berjalan dinamis,

4. Keberagaman menjadikan hidup sebuah bangsa jauh lebih berwarna apabila


dibarengi dengan tolerasi,

5. Keragaman menjadikan sebuah bangsa jauh lebih maju sebab kreatifitas dan inovasi
lahir dan berkembang lebih baik dalam masyarakat yang majemuk,

6. Keberagaman menjadi kekuatan tersendiri sebab kekurangan kelompok satu bisa


ditutupi dengan kelebihan kelompok lainnya, demikian sebaliknya,

7. Melatih diri untuk bertenggang rasa dan bertoleransi.

Dampak negatif keragaman :

1. Munculnya anggapan pemeluk mayoritas lebih berkuasa atas Kota Banda Aceh
2. Mengadopsi budaya luar.

Kesimpulan :

Kebudayaan dan masyarakat multikulturalisme dalam masyarakat Kota Banda Aceh


telah membawa kemajuan yang pesat dalam berbagai hal. Diantarannya toleransi yang
tinggi antar agama, keberagaman etnis yang memacu pergerakan ekonomi dan kesenian
sejarah yang tinggi, dan terus melestarikan budaya leluhur yang memiliki nilai religius
yang apik.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.researchgate.net/publication/
348791205_Nasionalisme_Etnis_Tionghoa_Di_Kota_Banda_Aceh

https://bandaacehkota.go.id/p/agama.html#:~:text=Masyarakat%20Kota%20Banda%20Aceh
%20mayoritas,yang%20hidup%20berdampingan%20dengan%20Muslim.

https://www.ksinews.id/2022/02/03/ragam-budaya-dalam-kehidupan-masyarakat-provinsi-
aceh/#:~:text=Aceh%20terdiri%20dari%20berbagai%20suku,Suku%20Ulet%20dan%20lain
%20sebagainya.

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/ditwdb/kota-banda-aceh-bersendi-kebudayaan-menuju-
kota-madani/

https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=keragaman+Multikultural+kota+banda+aceh&btnG=#d=gs_qabs
&t=1696659703513&u=%23p%3DVQixP-bdNAkJ

https://scholar.google.com/scholar?
hl=id&as_sdt=0%2C5&q=keragaman+Multikultural+kota+banda+aceh&btnG=#d=gs_qabs
&t=1696660878391&u=%23p%3DONf9SwLkEBEJ

Abdul, Husman Rani. 2009. Etnis Cina Perantauan Di Aceh. Jakarta: Yayasan

Pustaka Obor Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai