Anda di halaman 1dari 15

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1.LATAR BELAKANG MASALAH


Asal Usul Suku Aceh - Suku Aceh adalah suatu suku bangsa yang berada di Provinsi Nangroe Aceh
Darussalam, sebuah provinsi paling ujung sebelah barat Indonesia dan paling ujung utara pulau Sumatera.
Bahasa yang digunakan oleh suku Aceh sehari-hari adalah bahasa Aceh. Bahasa Aceh masih berkerabat
dengan bahasa Mon Khmer (Champa) suatu bangsa yang berada di kawasan Indochina.

Asal Usul Suku Aceh

Nenek moyang suku Aceh diduga berasal dari keturunan berbagai suku-bangsa, seperti Cham, Arab,
Melayu dari Semenanjung Malaysia, dan India. Dahulu sebelum suku Aceh memeluk agama Islam,
budaya Hindu pernah berada dalam masyarakat Aceh, terlihat dari beberapa tradisi budaya Aceh
mengandung unsur Hindu dan India. Selain itu banyak kosakata dalam bahasa Aceh yang menggunakan
bahasa dasar India atau Sanskerta. Tradisi asli suku aceh pun banyak berubah sejak mereka memeluk
agama Islam dan disesuaikan dengan budaya agama Islam.
Suku Aceh adalah suku pertama di Indonesia yang memeluk agama Islam. Mereka mendirikan Kerajaan
Islam pertama di Indonesia.Pada masa dahulu tanah Aceh banyak disinggahi oleh suku-bangsa
asing. Pedagang India yang berasal dari Gujarat dan Tamil datang melakukan hubungan dagang,
kemudian banyak yang menetap dan melakukan kawin-campur dengan penduduk asli Aceh, itu terlihat
dari banyak orang Aceh yang berpenampilan wajah seperti orang India dan Tamil, berkulit gelap dan
rambut keriting. Serta jenis makanan (kari) yang merupakan warisan kebudayaan India-Hindu (nama desa
yang diambil dari bahasa Hindi, contoh: Indra Puri). Lalu pedagang dari negeri Yaman yang berasal dari
provinsi Hadramaut banyak juga melakukan hubungan dagang di wilayah Aceh, mereka juga kebanyakan
menetap serta melakukan kawin-campur dengan penduduk asli Aceh. Terbukti dari keturunan-keturunan
orang Yaman dengan marga al-Aydrus, al-Habsyi, al-Attas, al-Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier dan
lain lain.

Keturunan India tersebar di seluruh Aceh. Karena letak geografis yang berdekatan berseberangan dengan
wilayah India, maka keturunan India cukup dominan di Aceh. Kemudian pedagang Tiongkok juga pernah
memiliki hubungan yang erat dengan bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan Laksamana Cheng Ho,
yang pernah singgah dan menghadiahi Aceh dengan sebuah lonceng besar, yang sekarang dikenal dengan
nama Lonceng Cakra Donya, tersimpan di Banda Aceh.

Ada juga dari Persia (Iran/Afghan) dan Turki, mereka pernah datang atas undangan Kerajaan Aceh untuk

1
menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh, dan saat ini
keturunan keturunan mereka kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar. Hingga saat ini bangsa Aceh
sangat menyukai nama-nama warisan Persia dan Turki. Bahkan sebutan Banda, dalam nama kota Banda
Aceh pun adalah warisan bangsa Persia (Bandar arti: pelabuhan).

Di samping itu ada pula keturunan bangsa Portugis, di wilayah Kuala Daya, Lam No (pesisir barat Aceh).
Mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan nakhoda Kapten Pinto, yang
berlayar hendak menuju Malaka (Malaysia), dan sempat singgah dan berdagang di wilayah Lam No, dan
sebagian besar di antara mereka tetap tinggal dan menetap di Lam No sekitar tahun 1492-1511. Saat ini
dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa yang kental.

Oleh karena itu banyak masyarakat Aceh yang mengartikan ACEH adalah singkatan dari kata A=arab,
C=china
E=eropa, dan
H=hindustan

Aceh juga memiliki banyak seni budaya, seperti tari-tarian, yaitu: Tari Rabbani Wahed, Tari Ranup
Lampuan, Tari Seudati, Tari Rateb Meuseukat, dan Tari Likok Pulo

1.2.RUMUSAN MASALAH
A.Bagaimana sesungguhnya Budaya Aceh ?
B.Apa saja persoalan yang terjadi di Aceh setelah konflik dan tsunami melanda ?
C.Apakah masih sama Budaya Aceh pasca Konflik dan Tsunami ?

1.3.TUJUAN PENELITIAN
Untuk mengetahui sejauh mana Budaya Aceh mengalami perubahan,dan pandangan masyarakat aceh
terhadap petuah dan kebiasaan-kebiasaan yang telah turun menurun berlaku dalam masyarakat, petuah
atau kebiasaan yang disebut adapt istiadat di nanggroe aceh yang mulai dikesampingkan oleh generasi
muda, yang bersifat negatif yang terjadi pasca konflik dantsunami.

1.4.MANFAAT PENALITIAN
Supaya kita menyadari pentingnya menjaga adat Budaya Aceh agar tidak terpengaruhi oleh budaya asing.
Karena kita tanpa sadari dan secara tidak langsung kita telah merusak badaya kita sendiri. Dan terjerumus
kepada perilaku yang tidak baik, kita sudah menginjak-injak warisan endatu kita. Seperti kita katakan
VCD yang tidak senonoh yang seharusnya tidak kita tonton tetapi telah menjadi tontonan umum. Maka
dari itu kita harus menjaga budaya kita agar kembali seperti dulu sebelum pasca konflik dan tsunami.

2
BAB 2
LANDASAN TEORITIS

2.1.PENGERTIAN BUDAYA ACEH


Budaya aceh adalah budaya yang dijalani oleh masyarakat yang adapt istiadatnya sangat berkaitan dengan
islam. Kebiasaan-kebiasaanyang berlaku dalam masyarakat aceh tidak bertentangan dengan ajaran agama
islam. Budaya yang islam ini kita harapkan dapat tercermin dalam semua tingkah laku dan kehidupan
orang aceh.

2.2.CIRI KHAS BUDAYA ACEH


Budaya aceh mempunyai prinsip yang disebut adab dan agama itu tidak ubahnya seperti zat dan sifat
yang tidak dapat dipisahkan. Contoh: dari segi berbusana, idealnya busana aceh sangat sederhana yakni
busana yang menutup aurat, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Dalam budaya aceh bagi anak laki-
laki yang memakai anting disebut tidak waras (pungoe) karena anting itu adalah perhiasan bagi wanita.

3
BAB 3
PEMBAHASAN

3.1.ACEH
Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki aneka ragam budaya yang menarik
khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan dan perayaan. Di Provinsi Aceh terdapat empat suku utama
yaitu: Suku Aceh, Suku Gayo, Suku Alas dan Tamiang

Suku Aceh merupakan kelompok mayoritas yang mendiami kawasan pesisir Aceh. Orang Aceh yang
mendiami kawasan Aceh Barat dan Aceh Selatan terdapat sedikit perbedaan kultural yang nampak nya
banyak dipengaruhi oleh gaya kebudayaan Minangkabau. Hal ini mungkin karena nenek moyang mereka
yang pernah bertugas diwilayah itu ketika berada di bawah protektorat kerajaan Aceh tempo dulu dan
mereka berasimilasi dengan penduduk disana.
Suku Gayo dan Alas merupakan suku minoritas yang mendiami dataran tinggi di kawasan Aceh Tengah
dan Aceh Tenggara. Kedua suku ini juga bersifat patriakhat dan pemeluk agama Islam yang kuat.
Setiap suku tersebut memiliki kekhasan tersendiri seperti bahasa, sastra, nyanyian, arian, musik dan adat
istiadat. Kebudayaan Aceh sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Tarian, kerajinan, ragam hias, adat
istiadat, dan lain-lain semuanya berakar pada nilai-nilai keislaman. Contoh ragam hias Aceh misalnya,
banyak mengambil bentuk tumbuhan seperti batang, daun, dan bunga atau bentuk obyek alam seperti
awan, bulan, bintang, ombak, dan lain sebagainya. Hal ini karena menurut ajaran Islam tidak dibenarkan
menampilkan bentuk manusia atau binatang sebagai ragam hias. Aceh sangat lama terlibat perang dan
memberikan dampak amat buruk bagi keberadaan kebudayaannya. Banyak bagian kebudayaan yang telah
dilupakan dan benda-benda kerajinan yang bermutu tinggi jadi berkurang atau hilang.

3.2.UPACARA PERKAWINAN ADAT ACEH


1.TAHAPAN MELAMAR (BA RANUB)
Untuk mencarikan jodoh bagi anak lelaki yang sudah dianggap dewasa maka pihak keluarga akan
mengirim seorang yang bijak dalam berbicara (disebut theulangke) untuk mengurusi perjodohan ini. Jika
theulangke telah mendapatkan gadis yang dimaksud maka terlabih dahulu dia akan meninjau status sang
gadis. Jika belum ada yang punya, maka dia akan menyampaikan maksud melamar gadis itu. Pada hari
yang telah di sepakati datanglah rombongan orang2 yang dituakan dari pihak pria ke rumah orang tua
gadis dengan membawa sirih sebagai penguat ikatan berikut isinya seperti gambe, pineung reuk, gapu,
cengkih, pisang raja, kain atau baju serta penganan khas Aceh. Setelah acara lamaran iini selesai, pihak
pria akan mohon pamit untuk pulang dan keluarga pihak wanita meminta waktu untuk bermusyawarah
dengan anak gadisnya mengenai diterima-tidaknya lamaran tersebut.

2.TAHAPAN PERTUNANGAN (JAKBA TANDA)


Bila lamaran diterima, keluarga pihak pria akan datang kembali untuk melakukan peukeong haba yaitu
membicarakan kapan hari perkawinan akan dilangsungkan, termasuk menetapkan berapa besar uang
mahar (disebut jeunamee) yang diminta dan beberapa banyak tamu yang akan diundang. Biasanya pada
acara ini sekaligus diadakan upacara pertunangan (disebut jakba tanda). Acara ini pihak pria akan
mengantarkan berbagai makanan khas daerah Aceh, buleukat kuneeng dengan tumphou, aneka buah-
buahan, seperangkat pakaian wanita dan perhiasan yang disesuaikan dengan kemampuan keluarga pria.
Namun bila ikatan ini putus ditengah jalan yang disebabkan oleh pihak pria yang memutuskan maka
tanda emas tersebut akan dianggap hilang. Tetapi kalau penyebabnya adalah pihak wanita maka tanda
emas tersebut harus dikembalikan sebesar dua kali lipat.

3.PERSIAPAN MENJELANG PERKAWINAN


Seminggu menjelang akad nikah, masyarakat aceh secara bergotong royong akan mempersiapkan acara
pesta perkawinan. Mereka memulainya dengan membuat tenda serta membawa berbagai perlengkapan
atau peralatan yang nantinya dipakai pada saat upacara perkawinan. Adapun calon pengantin wanita

4
sebelumnya akan menjalani ritual perawatan tubuh dan wajah serta melakukan tradisi pingitan. Selam
masa persiapan ini pula, sang gadis akan dibimbing mengenai cara hidup berumah tangga serta diingatkan
agar tekun mengaji.

4.UPACARA AKAD NIKAH DAN ANTAR LINTO


Pada hari H yang telah ditentukan, akan dilakukan secara antar linto (mengantar pengantin pria). Namun
sebelum berangkat kerumah keluarga CBD, calon pengantin pria yang disebut Calon Linto Baro (CLB)
menyempatkan diri untuk terlebih dahulu meminta ijin dan memohon doa restu pada orang tuanya.
Setelah itu CLB disertai rombongan pergi untuk melaksanakan akad nikah sambil membawa mas kawin
yang diminta dan seperangkat alat solat serta bingkisan yang diperuntukan bagi CDB.
Sementara itu sambil menunggu rombongan CLB tiba hingga acara ijab Kabul selesai dilakukan, CLB
hanya diperbolehkan menunggu di kamarnya. Selain itu juga hanya orangtua serta kerabat dekat saja yang
akan menerima rombongan CLB. Saat akad nikah berlangsung, ibu dari pengantin pria tidak
diperkenankan hadir tetapi dengan berubahnya waktu kebiasaan ini dihilangkan sehingga ibu pengantin
pria bisa hadir saat ijab kabul. Keberadaan sang ibu juga diharapkan saat menghadiri acara jamuan besan
yang akan diadakan oleh pihak keluarga wanita.
Setelah ijab kabul selesai dilaksanakan, keluarga CLB akan menyerahkan Jeunamee yaitu mas kawin
berupa sekapur sirih, seperangkat kain adat dan paun yakni uang emas kuno seberat 100 gram. Setelah itu
dilakukan acara menjamu besan dan Seleunbu Linto/Dara Baro yakni acara Suap-suapan di antara kedua
pengantin. Makna dari acara ini adalah agar keduanya dapat seiring sejalan ketika menjalani biduk rumah
tangga.

5.UPACARA PEUSIJEUK (TAMPUNG TAWAR)


Yaitu dengan melakukan upacara tepung tawar, memberi dan menerima restu dengan cara memerciki
pengantin dengan air yang keluar dari daun seunikeuk, akar naleung sambo, maneekmano, onseukee
pulut, ongaca dan lain sebagainya minimal harus ada tiga yang pakai. Acara ini dilakukan oleh beberapa
orang yang dituakan (sesepuh) sekurangnya lima orang.
Tetapi saat ini bagi masyarakat Aceh kebanyakan ada anggapan bahwa acara ini tidak perlu dilakukan
lagi karena dikhawatirkan dicap meniru kebudayaan Hindu. Tetapi dikalangan Ureung Chik (orang yang
sudah tua dan sepuh) budaya seperti ini merupakan tata cara adat yang mutlak dilaksanakan dalam
upacara perkawinan. Namun kesemuanya tentu akan berpulang lagi kepada pihak keluarga selaku pihak
penyelenggara, apakah tradisi seperti ini masih perlu dilestarikan atau tidak kepada generasi seterusnya.

3.3.UPACARA KELAHIRAN ADAT ACEH

1. Peralatan Upacara
Peralatan dan perlengkapan yang diperlukan untuk menyelenggarakan upacara kelahiran pada masyarakat
Aceh adalah: idang atau kating, sebilah bambu (sembilu), ramuan obat, sebuah periuk, alat cukur, madu
lebah, buah limau, dan pakaian sesalin, sejumlah uang, beras dua bambu, padi segantang, pulut kuning,
ayam panggang, dan seekor ayam.

Idang dan kating adalah tempat nasi beserta lauk-pauknya yang dibuat mak tuan. Sembilu digunakan
untuk memotong tali pusar. Sedangkan, ramuan obat yang terbuat dari arang, kunyit dan air ludah
digunakan untuk mengobati tali pusat. Periuk digunakan sebagai wadah atau tempat adoi (ari-ari). Alat
cukur, sesuai namanya, digunakan mencukur rambut bayi. Madu lebah digunakan untuk mengoles bibir
bayi. Sedangkan, buah limau digunakan sebagai campuran air mandi ibu bayi ketika selesai menjalani
masa pantang. Dan, pakaian sesalin, sejumlah uang, beras dua bambu, padi segantang, pulut kuning, ayam
panggang dan seekor ayam untuk mablien sebagai ungkapan rasa terima kasih.

5
2. Jalannya Upacara
Persiapan Kelahiran
Dalam Masyarakat Aceh ketika usia kehamilan seorang perempuan sudah mencapai 4--5 bulan, mak
tuan-nya (mertuanya) akan membuat nasi yang dibungkus daun pisang dengan bentuk piramid beserta
lauk-pauknya dan buah. Nasi beserta lauk-pauknya dan buah tersebut dimasukkan dalam suatu wadah
yang disebut idang atau kating. Selanjutnya, diantar ke pihak menantu perempuan melalui kawon
(kerabat) atau jiran (tetangga) yang rumahnya berdekatan. Di sana nasi beserta lauk-pauknya dimakan
bersama-sama. Tentunya orang yang sedang hamil dan suaminya menjadi pusat perhatian keluarga kedua
belah pihak.

Kegiatan pengantaran idang itu disebut “upacara bahu”. Besar dan kecilnya atau “mewah” dan
sederhananya upacara bergantung pada kemampuan mertuanya (ada yang membuatnya sampai 5 atau 6
idang besar, dan ada juga yang hanya I idang kecil saja). Ketika usia kehamilan menantu sudah mencapai
7--8 bulan, upacara bahu juga diadakan lagi. Selain itu, pada saat-saat kehamilan menginjak usia 7--8
bulan, mak tuan bersama besannya (ibu menantu) mendatangi seorang yang ahli dalam membantu
kelancaran kelahiran, yaitu mablien (bidan). Mereka membawa nasi beserta lauk-pauknya sebagai simbol
tentang penyerahan perawatan anak-menantunya yang tidak lama lagi akan melahirkan kepada mablien.
Penyerahan perawatan ini oleh masyarakat Aceh disebut peunulang. Setelah peunulang disetujui
(diterima) oleh mablien, maka disusul dengan pemberian: sirih setapak, sesalin (satu stel pakaian), dan
sejumlah uang. Sejak itu, Sang mablian tidak hanya setiap saat datang menjenguknya, tetapi juga
membuat seunangkal3 agar yang hamil bebas dari gangguan setan.

Proses Kelahiran
Dalam suatu kelahiran, peranan seorang mablien sangatlah besar karena berkat pertolongan Beliau, suatu
kelahiran dapat berjalan dengan lancar dan selamat, baik yang melahirkan maupun yang dilahirkan (bayi).
Ketika bayi keluar dari rahim seorang ibu, maka bayi tersebut disambut oleh Sang mablien. Kemudian,
daerah pangkal pusarnya (pusatnya) diikat. Jumlah ikatan bergantung pada jenis kelamin sang jabang
bayi. Jika jenis kelaminnya laki-laki, maka jumlah ikatannya ada 7 ikat. Sedangkan, jika jenis kelaminnya
perempuan, maka jumlah ikatannya ada 5 ikat. Selanjutnya, tali pusar dipotong dengan sebilah bambu
(sembilu), lalu ditempeli (diobati) dengan ramuan yang terbuat dari arang, kunyit, dan air ludah,
kemudian sang bayi dibersihkan (dimandikan). Ketika bayi sudah bersih, maka diserahkan kepada
ayahnya atau kakeknya. Jika bayi itu laki-laki, maka ayah atau kakeknya akan memperdengarkan adzan
ke telinganya. Akan tetapi, jika bayi itu perempuan, maka cukup dengan memperdengarkan iqamah.
Makna simbolik yang ada di balik adzan dan iqamah itu adalah penyambutan atas hadirnya seorang
muslim atau muslimat. Sedangkan, pesan yang terselubung di dalamnya adalah agar kelak menjadi
seorang penganut agama Islam yang taqwa (menjalani aturan-aturan agama (Islam) dan menghindari
larangan-larangannya). Setelah itu, bayi dibaringkan di samping ibunya. Sementara itu, adoi (teman
bayi/ari-ari) dimasukkan pada sebuah periuk, kemudian diberi bebungaan dan wewangian, lalu ditanam di
halaman rumah. Makna simbolik yang terkandung dalam bebungaan dan wewangian tersebut adalah
kebersihan dan kecantikan. Jadi, pesan yang terkandung di dalamnya adalah agar bagi kelak dapat
menghargai kebersihan dan kecantikan.

Sebagai catatan, ketika kelahiran sudah berlangsung selama 6 hari, maka pada hari ke-7 ada upacara
menyangke rambut budak (cukur rambut) dan peucicap. Biasanya kedua upacara tersebut dibarengi
dengan pemberian nama sang jabang bayi. Pencukuran rambut dilakukan oleh mablien. Demikian juga
pengolesan madu lebah pada bibir bayi (peucicap4). Pengolesan diawali dengan ucapan: “Bismillah
Hirrohman Nirrohim”. Kemudian, dilanjutkan dengan “Mansilah lidahmu, panjanglah umurmu, mudah
rezekimu, taat dan beriman, terpandang dan kawom”.

6
Sejak kelahiran hingga bayi berusia 44 hari, ibu bayi harus menjalani berbagai pantangan, antara lain:
harus selalu ada di kamar (tidak boleh berjalan-jalan, apalagi keluar rumah); tidak boleh minum terlalu
banyak; tidak boleh makan yang pedas-pedas; dan tidak boleh makan dengan lauk-pauk kecuali hanya
dengan garam dan teri gongseng. Masa berpantang ini oleh masyarakat Aceh disebut “du dapu”. Ada juga
yang menyebutnya sebagai masa madeung karena selama masa itu berlangsung (44 hari) di dekat atau di
bawah tempat tidur ibu bayi diberi bara api.

Setelah selesai menjalani masa berpantang, maka mablien memandikannya dengan air yang dicampur
dengan irisan limau parut. Kegiatan ini oleh masyarakat setempat disebut sebagai “manao peut ploh
peut”. Pada saat kegiatan ini dilaksanakan, mak tuan datang dengan membawa: nasi pulut kuning, ayam
panggang, dan bahan-bahan yang dibutuhkan ketika melahirkan (peusijuk5).

Dengan berakhirnya manao peut ploh peut ini, maka berakhirlah rangkaian upacara kelahiran. Dan,
sebagai ungkapan terima kasih, maka mablien diberi: pakaian sesalin, sejumlah uang, uang penebus
cincin suasa, beras dua bambu, padi segantang, pulut kuning, ayam panggang, dan seekor ayam.

3. Nilai Budaya
Upacara kelahiran yang digelar oleh masyarakat Aceh, jika dicermati secara seksama, di dalamnya
mengandung nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam kehidupan. Nilai-nilai itu antara lain:
kebersihan, tanggung jawab, keselamatan, keramah-tamahan, ketaqwaan, dan kemaruahan.

Nilai kebersihan tercermin dalam pemberian bebungaan (bunga-bunga) dan wewangian pada adoi yang
ditanam di halaman rumah. Bebungaan dan wewangian, sebagaimana telah disebut di bagian depan,
adalah simbol kebersihan dan kecantikan. Artinya, kelak sang bayi diharapkan dapat menghargai
kebersihan dan kecantikan. Nilai kebertanggung-jawaban tercermin pada diri mak tuan yang membuat
dan mengirim nasi beserta lauk-pauknya kepada keluarga menantunya ketika usia kehamilan menginjak
4--5 bulan dan 7--8 bulan (pada upacara bahu). Nilai keselamatan dan juga kebertanggung-jawaban
tercermin pada diri mablien yang setiap saat menjenguk orang yang hamil dan membuat seunangkal agar
yang hamil bebas dari gangguan setan. Nilai keramah-tamahan tercermin dari makna simbolik dalam
pengolesan madu lebah pada bibir bayi (peucicap). Dengan pengolesan tersebut diharapkan kelak sang
jabang bayi dapat bertutur santun, lembut dan manis, semanis madu lebah. Nilai ketaqwaan tercermin
dalam perkataan ketika madu lebah dioleskan pada bibir bayi. Dan di sana ada kata-kata yang berbunyi
“taat dan beriman”. Ini artinya, sang jabang bayi kelah diharapkan dapat menjadi orang yang bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dan, nilai kemaruahan juga tercermin dalam perkataan ketika madu lebah
dioleskan pada bibir bayi. Di sana ada kata-kata yang berbunyi “terpandang dalam kawon”. Ini artinya,
kelak sang jabang bayi diharapkan dapat menjaga nama baik (maruah) orang tua dan kerabatnya. (gufron)

3.4.UPACARA KEMATIAN ADAT ACEH


Refungsionalisasi dan Reinterpretasi Budaya (Upacara Kematian pada Masyarakat Aceh)
Oleh: Sudirman, S.S.

Setiap kebudayaan yang dibicarakan seiring dengan agama, bermakna bahwa kebudayaan adalah
sesuatu yang berkaitan dengan manusia sebagai makhluk, sedangkan agama adalah sesuatu yang
diberikan Allah. Perbedaan konseptual yang sebenarnya belum dapat dikompromikan, meskipun dapat
saja dikatakan bukankah yang percaya kepada Tuhan itu juga manusia.

7
Apabila agama dan kebudayaan berada dalam analisis yang berbeda, maka kebudayaan dan masyarakat
adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Dengan demikian, harus disadari bahwa masyarakat adalah

hasil konseptualisasi, bukan realitas sesungguhnya. Secara konseptual masyarakat muncul karena
kumpulan individu-individu dan masyarakat kemudian menghasilkan simbol-simbol.

Kebudayaan Islam mempunyai dua aspek. Pertama, simbol-simbol yang terpancarkan dari ajaran agama
yang abadi dan universal kepada para penganutnya.. Agama yang abadi dan universal itu kemudian
memberikan jembatan antara ajaran dengan kesadaran dan membebaskan manusia secara spiritual dan
intelektual dari keterikatannya pada tempat, waktu, dan struktur objektif yang mengitarinya. Dengan
demikian, kebudayaan Islam adalah usaha penterjemahan agama ke dalam konteks zaman dan lokalitas.
Aspek kedua, agama adalah sebagai inspirasi kultural dan estetik. Ajaran agama yang diwahyukan adalah
wilayah intelektual dan spiritual yang terbatas. Ada wilayah yang menjadi rahasia Tuhan dan wilayah
yang dapat dimasuki oleh manusia. Dari inspirasi kultural dan estetik itu muncul berbagai budaya.

Berkaitan dengan studi yang berkaitan dengan masyarakat Islam, dapat didekati dari tiga sudut
pendekatan yang setiapnya menampilkan wujud Islam dalam gambar yang berbeda. Ketika pendekatan itu
dikenal dengan Islam Normative, Islam Interpretatif, dan Islam Practice. Islam normative adalah
sebagaimana yang dirinci dalam Alquran dan Hadist. Islam interpretative yang difahami dan
diinterpretasikan oleh para ulama Islam terhadap Alquran dan Hadist. Sementara Islam practice
sebagaimana terwujud dalam dalam bentuk prilaku umat Islam, baik aktivitas sehari-hari maupun
aktivitas budaya umat Islam.

Dalam kerangka metodologi Antropologi melihat prilaku ritual dan aktivitas budaya umat Islam. Apa
makna yang dapat difahami dari seluruh simbol-simbol dari upacara budaya umat Islam. Data-data yang
diperoleh diinterpretasikan dan mengkonstruksikan data tersebut ke dalam makna-makna khusus.

Demikian halnya yang terjadi pada salah satu upacara masyarakat Islam di Aceh terutama di pantai
selatan dan barat, yaitu upacara kematian. Secara normativ, upacara itu hanya meliputi empat hal, yaitu
memandikan, menkafankan, mensalatkan, dan menguburkan. Namun kemudian berkembang menurut
zaman, situasi dan kondisi. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba melihat, sejauhmana pengaruh
interpretatif dan praktis terhadap upacara tersebut. Selanjutnya berusaha melihat kemungkinan-
kemungkinan yang dapat dilakukan untuk memaknai dan interpretasi terhadap upacara tersebut. Masih
relevankah dengan situasi dan kondisi masa kini serta adakah melakukan refungsionalisasi terhadapnya.

Deskripsi dan Analisis Upacara


Upacara kematian adalah seperangkat upacara yang dilakukan mulai orang meninggal hingga proses
penguburan. Kegiatan-kegiatan itu mulai dari meninggal, membuat keranda, membuat kafan,
memandikan mayat, dan penguburan mayat di kuburan.

Suatu kebiasaan pada masyarakat Aceh apabila seseorang sedang mengalami sakit parah maka semua
kerabat diberitahukan supaya dapat menjenguknya sebelum ia meninggal. Apabila tidak diberitahukan
akan terjadi ketidakharmonisan dalam hubungan keluarga, karena seakan-akan oleh keluarga yang
mengalami musibah itu tidak menghiraukan kerabatnya.

Apabila orang sakit parah itu sedang menghadapi maut (sakratul maut), ahli famili yang duduk di
sekelilingnya geu peu entat (mengantarkan) dengan membisikkan ucapan Lailahaillallah pada telinga
orang yang sedang menghadapi maut. Hal itu dilakukan karena masyarakat Aceh menganggap bahwa
kalimat itu didengar dan diikuti oleh orang yang sedang menghadapi mati walaupun tidak kedengaran.
Apabila seseorang yang mati dengan mengucapkan kalimat Lailahaillallah maka ia mati sebagai seorang

8
muslim dan masuk surga, sehingga geu peu entat itu merupakan keharusan bagi masyarakat Aceh. Selain
dengan kalimat Lailahaillallah, kadang kala juga dilakukan dengan dengan pembacaan Surat Yasin dalam
Alquran. Hal itu dimaksudkan apabila yang sakit itu belum ajal maka akan disegerakan sembuhnya dan
sebaliknya apabila yang sakit itu sudah ajalnya maka akan disegerakan dan meninggal dengan selamat.
Setelah seseorang diyakini meninggal, maka mayat tersebut diletakkan di atas suatu tempat dan ditutup
dengan kain panjang.

Selanjutnya, salah seorang dari keluarganya datang memberitahukan yang pertama-tama kepada teungku
imam yang ada di kampung kemudian kepada semua kerabat baik yang dekat maupun yang jauh.
Pemberiatuan kepada masyarakat gampong dilakukan oleh teungku meunasah atau orang lain dengan
memukul tambur sesuai dengan irama dan jumlah pukulan menurut kebiasaan. Bunyi tambur untuk orang
yang meninggal biasanya pukulan tambur sampai 7 ronde, yaitu ronde pertama sebanyak tiga kali pukul,
kemudian berhenti, kemudian dipukul lagi tiga kali sampai dengan pukulan yang ketujuh. Apabila
masyarakat gampong mendengar yang demikian, mereka berbondong-bondong datang ke rumah di
tempat orang yang mati tersebut.

Setelah mereka berkumpul, seakan-akan aktivitas diambil alih oleh teungku meunasah dan geucik. Tuan
rumah hanya bertanggung jawab di bidang material yang dibutuhkan dalam kegiatan itu. Pada saat itulah
teungku meunasah dan geucik mendistribusikan pekerjaan kepada warga gampong. Anak-anak muda
dikerahkan menggali kuburan, anak-anak perempuan dikerahkan mengangkut air mandi mayat, orang
yang lebih tua dikerahkan untuk membuat keureunda (peti mayat) dan kafan.
Persiapan-persiapan yang dibutuhkan terutama kain kafan, papan keureunda, kikisan kayu cendana,
kemeyan, kapur barus, minyak wangi, dan jenis bunga-bungaan yang harum. Hal itu dimaksudkan supaya
mayat tersebut menjadi wangi dan harum, yang akan menghadap sang penciptanya. Acara memandikan
mayat, buat keureunda, dan kafan sering dilakukan serentak dengan cara pembagian tugas pada warga
gampong. Masyarakat Aceh berkeyakinan bahwa mempercepat penguburan mayat adalah lebih utama.

Mandi Jenazah
Acara mandi mayat dilakukan di rumah orang yang meninggal, walaupun berjauhan dengan sumur atau
sungai untuk mengambil air. Kalau acara mandi tidak dilaksanakan di rumah, suatu keayiban pada
kerabat yang ditinggalkan, seakan-akan tidak begitu perhatian terhadap orang yang meninggal. Bagi
rumah yang berjauhan dengan sungai atau sumur maka dikerahkan tenaga anak-anak muda untuk
mengangkut air, biasanya pekerjaan ini dilakukan oleh anak-anak perempuan. Akan tetapi rumah-rumah
di gampong pada umumnya mempunyai sumur dekat rumah.

Setelah persiapan-persiapan mandi disiapkan, maka teungku membaca doa sambil meremas-remas air
ramuan yang disebut dengan air sembilan. Kemudian air diambil dengan baskom, lalu dituangkan oleh
teungku kepada mayat dengan sangat perlahan-lahan, agar tubuh mayat tidak terasa sakit atau terkejut.
Sebagian masyarakat Aceh beranggapan walaupun mayat sudah meninggal tetapi ia masih merasa, selain
itu juga diyakini bahwa menyakiti orang yang sudah meninggal sama dengan menyakiti ketika ia masih
hidup.

Anggota yang memandikan mayat terdiri atas kaum kerabat ditambah dengan teungku. Apabila yang
meninggal itu seorang perempuan maka yang memandikan mayat itu semuanya perempuan. Setelah
mayat dimandikan dengan air biasa, kemudian teungku mengambil air sembilan yang berisi ramuan-
ramuan terutama jeruk purut dan lain-lain ramuan yang wangi lalu disiram pada tubuh mayat sebanyak
sembilan kali. Oleh sebab itu disebut dengan air sembilan. Setelah itu mayat kembali disiram dengan air
biasa.
Apabila kematian terjadi pada malam hari, dengan sendirinya orang berjaga sampai pagi hari, dalam hal
itu yang meninggal itu diberi senjata untuk melawan jin-jin jahat berupa sebuah pisau kecil diletakkan di

9
bawah bantalnya, dan orang-orang yang berjaga di dekatnya, sementara sebuah lampu dinyalakan di
dekatnya. Penjagaan itu juga dimaksudkan untuk mencegah jangan sampai mayat disentuh oleh seekor
kucing, sebagian masyarakat menganggap, apabila mayat tersentuh kucing, roh yang mati akan menjelma
menjadi hantu.

Kafan
Apabila mayat sudah dimadikan, kafan pun sudah disiapkan. Bagi orang yang mampu kain kafan itu
sampai tujuh lapisan, dan bagi yang biasa hanya sampai tiga lapis saja. Kafan itu terdiri atas baju, celana,
dan kain pinggang, kemudian ditambah dengan tiga buah bantal yang diisi dengan daun belimbing. Bantal
itu diletakkan di kepala, pinggang dan di bagian lutut. Bantal itu berfungsi sebagai penahan agar mayat
dalam keureunda tidak goyang atau terbalik.

Bentuk atau model kafan yang dipotong itu, tidak dijahit seperti menjahit celana biasa, melainkan dengan
cara membentuk saja menyerupai celana, baju dan kain pinggang dengan cara memotong dengan gunting
pada ujungnya, kemudian dikoyak dengan tangan. Pengoyakan dengan tangan itu memang suatu
kebiasaan membuat kafan bukan berarti tidak dapat dipotong dengan gunting. Setelah kafan dikenakan
pada tubuh mayat, lalu diikat dengan tali. Tali pengikat itu khusus dirobek dari pinggiran kain kafan tadi,
bukan dengan tali lain.

Salat Jenazah
Setelah mayat selesai dibungkus dengan kain kafan, seterusnya mayat itu dimasukkan ke dalam
keureunda (peti mayat). Keureunda yang telah berisi mayat, kemudian dibungkus dengan kain panjang.
Setelah peti mayat itu dibungkus dengan kain, lalu peti mayat itu diusung bersama-sama ke meunasah
atau mesjid untuk disalatkan, apabila jauh dengan meunasah atau mesjid, akan disalatkan di rumah.
Anggota pengusung itu biasanya oleh kaum kerabat dari orang yang meninggal. Selain itu, dibantu pula
oleh warga gampong, sedangkan yang lainnya mengikuti dari belakang.

Setelah sampai ke mesjid atau ke meunasah, mayat diletakkan di muka sekali dengan posisi kepala mayat
ke sebelah utara dan kaki ke sebelah selatan.
Acara shalat jenazah dipimpin oleh teungku imeum dan diikuti oleh para jamaah lainnya. Kadang-kadang
oleh teungku menanyakan terlebih dahulu pada keluarga yang meninggal, kalau ada di antara anggota
keluarga itu untuk menjadi imam. Setelah shalat mayat selesai adakalanya memberi sedekah kepada
orang yang ikut shalat mayat dan terkadang hanya kepada teungku saja.

Penguburan
Setelah jenazah siap untuk dikuburkan, maka pelaksanaannya harus segera dilakukan. Mayat diusung
bersama-sama ke kuburan. Orang-orang yang mengusung terdiri atas keluarga yang meninggal, biasanya
mengusung bagian kepala dan kaki, kemudian dibantu oleh para warga gampong. Pengunjung yang lain
mengikuti dari belakang hingga ke kuburan. Di kuburan telah ditunggu oleh mereka yang menggali
kuburan tadi. Mereka itu terdiri atas anak-anak muda gampong, yang dipinpin oleh seorang tua.

Setelah sampai ke lokasi kuburan, usungan mayat diletakkan di pinggir lubang kubur. Kemudian mayat
diangkat dengan perlahan-lahan sambil dipayungi, terus dimasukkan ke dalam kubur. Semua ikatan
bungkusan mayat tadi dilepaskan. Tindakan itu dilakukan karena ada di antara masyarakat beranggapan
bahwa apabila mayat tidak dibuka ikatannya maka roh dari mayat itu akan menjadi burong punyot
(syaitan berbalut).

Setelah mayat dimasukkan ke dalam kubur dan ikatan dari bungkus mayat yang diikat dari kafan tadi
dilepas semua maka teungku dengan mengucapkan bissmillah... sambil mengambil tanah satu genggam
kemudian menjatuhkan ke dalam kuburan dengan perlahan-lahan sekali. Kemudian baru diikuti oleh

10
orang lain untuk menimbun lubang kuburan itu dengan cara perlahan-lahan pula. Hal itu dilakukan
demikian sebagai penghormatan kepada mayat. Selain itu, juga agar tubuh mayat jangan terasa sakit
dengan benturan tanah.

Setelah kuburan ditimbun dengan baik dan rapi dengan sedikit gundukan tanah, lalu diberi tanda di kepala
dan bagian kaki dengan pohon tertentu, biasanya pohon jarak dan pohon pudeng atau yang lainnya,
sebagai tanda bahwa di tempat itu sudah ada kuburan atau sebagai tanda jangan bertukar dengan kuburan
lain, tanda itu masih bersifat sementara sebelum diganti dengan batu nisan.

Selanjutnya, di atas kuburan disiram dengan air campur bunga dan jeruk purut oleh teungku sebanyak tiga
kali dari posisi kepala ke kaki. Penyiraman itu dilakukan sebagai isyarat bahwa mayat itu sangat haus dan
perlu diberi minum, dan isyarat lain sebagai komando untuk membangunkan roh agar si mati tahu bahwa
ia telah mati. Kemudian teungku menyuruh hadirin untuk duduk berdekatan atau berkeliling kuburan, lalu
teungku membaca doa talkin.

Kemudian teungku membaca talkin, lalu teungku melanjutkan dengan membaca doa selamat dan
penutupan atas penguburan mayat dan kepada hadirin diminta untuk menadahkan tangan ke atas sambil
menyebut dengan sahutan amiin. Setelah itu mereka pun pulan ke rumah masing-masing.

Setelah selesai acara penguburan mayat, keluarga yang ditinggalkan biasanya menyiapkan suatu tempat
khusus yang dihiasi dengan belbagai perangkat tidur yang diperuntukkan kepada roh orang yang sudah
meninggal. Sebagian masyarakat beranggapan bahwa roh orang yang sudah meninggal itu masih kembali
dan mengunjungi rumahnya, sehingga perlu disiapkan tempat seperti itu sebagai perlambang juga bahwa
ia telah meninggal.

Geumunjong
Suatu kebiasaan bahkan sudah menjadi suatu keharusan bagi masyarakat, apabila seseorang meninggal,
maka orang lain akan berkunjung ke rumah orang yang meninggal tersebut. Hal itu dilkakukan sebagai
rasa kebersamaan dan ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh orang yang terkena musibah.
Dalam kunjungan tersebut, biasanya orang memberi uang, atau beras menurut kemampuan masing-
masing. Acara geumunjong itu juga dimanfaatkan sebagai ajang ukhuwah untuk saling mengunjungi.
Tuan rumah biasanya hanya memberi air minum berupa teh manis, kopi atau air putih.

Kenduri
Setelah selesai upacara penguburan mulai dari hari pertama sampai dengan hari keenam mayat dalam
kuburan, upacara-upacara yang dapat digolongkan besar tidak diadakan. Dalam waktu-waktu itu acara
hanya sekedar dilakukan untuk memberi makan seorang atau beberapa orang pengikut teungku yang
melakukan samadiah setelah salat maghrib selama enam hari. Pemberian makan itu dilakukan sebagai
ganti memberikan makan kepada orang yang telah meninggal, karena sebelum hari ketujuh dianggap roh
orang mati itu masih tetap di rumah, bersama keluarganya.

Adakalanya dalam waktu-waktu sebelum hari ketujuh itu diadakan pula samadiah, tergantung permintaan
dari keluarga yang meninggal. Pada malam pertama sering dihidangkan dengan ie bu puteh (air nasi
putih) semacam dodol yang putih warnanya dibuat dari tepung. Pada malam ketiga dengan kue pampi
(kue bugis), malam keempat dengan cingkhui sejenis lontong, dan malam kelima dengan kue putro
manou (tepung bentuk bulat).

Sebelum kenduri ketujuh tiba, keluarga yang meninggal sudah tampak sibuk menyediakan persiapan-
persiapan. Persiapan itu dapat dibagi atas dua macam, yaitu persiapan ringan berupa kue-kue dan
persiapan untuk makan. Apabila kenduri tujuh dilakukan secara besar terutama bagi orang yang mampu

11
biasanya ia menyembelih kambing bahkan kerbau pada siang harinya. Apabila pada hari ketujuh itu tidak
dilakukan upacara kenduri, masyarakat banyak membincang bahwa seakan-akan keluarga orang yang
meninggal tidak menghiraukan orang yang sudah meninggal bahkan dianggap sama seperti hewan yang
mati.

Pada malam yang ketujuh semua kerabat dan tetangga yang berdekatan datang menghadiri upacara
malam ketujuh. Para kerabat biasanya membawa bahan-bahan mentah berupa beras, kelapa, dan sayur-
sayuran, gula, uang, dan lainnya. Kerabat biasanya sudah terlebih dahulu datang sebelum malam ketujuh,
untuk membantu pelaksanaan upacara. Sedangkan tetangga dan masyarakat lainnya membawa aneka kue
bagi perempuan dan gula oleh orang laki-laki.

Setelah semua tamu datang, teungku mulai memimpin upacara yang didahului dengan samadiah.
Biasanya upacara itu berlangsung dalam waktu yang lama samapai dua atau tiga jam. Semua peserta turut
mengikuti pembacaan samadiah. Mula-mula dibaca oleh teungku, kemudian diikuti oleh peserta. Peserta
mengikuti upacara itu dengan penuh khidmat sambil mengharapkan agar pembacaan samadiah diterima
oleh Allah dan berpahala, juga dapat mengampuni dosa-dosa yang pernah diperbuat selama yang
meninggal masih hidup di dunia.

Setelah pembacaan samadiah selesai, upacara dilanjutkan dengan acara makan kenduri. Adakalanya
makan kenduri itu dilakukan sebelum pembacaan samadiah, hal itu tergantung kepada kesepakatan antara
tamu dengan keluarga orang yang meninggal. Kalau acara makan kenduri diadakan sebelum pembacaan
samadiah, maka setelah pembacaan samadiah disajikan dengan acara minum dan makan kue-kue.

Selesai acara pembacaan samadiah, acara terus dilangsungkan dengan pembacaan Alquran. Peserta terdiri
atas orang-orang yang sanggup membaca Alquran dengan lafal dan irama yang baik. Acara dipimpin oleh
teungku, setelah teungku membaca pertama, kemudian diikuti oleh peserta lainnya yang duduk di sebelah
kanan teungku, dan terus bergiliran menurut tempat duduk. Posisi duduk biasanya melingkar maka acara
pembacaan pun terus berlingkar hingga selesai acara. Adakalanya, pembacaan ayat Alquran terlebih
dahulu, kemudian dilanjutkan dengan samadiah.

Apabila acara pembacaan Alquran sudah selesai, maka teungku menutup acara dengan pembacaan doa.
Para peserta lainnya menadah tangan ke atas sambil menyebutkan amiiin. Ketika pembacaan doa hampir
selesai, salah seorang anggota keluarga bangun memberikan sedekah, biasanya dimasukkan ke dalam
kantong baju peserta. Banyaknya jumlah uang yang disedekahkan itu tergantung pada kemampuan
keluarga yang meninggal.
Kenduri dan sedekah yang diberikan kepada tamu itu mempunyai tujuan agar mendapat pahala dan
sebagai pemberian kepada roh yang meninggal. Karena ada di antara masyarakat yang beranggapan
bahwa roh orang yang meninggal itu sebelum 40 hari masih selalu mengunjungi rumahnya. Oleh sebab
itu kepada roh itu perlu diberi makan. Jadi semua pemberian kepada tamu sebagai ganti memberikan
kepada orang yang sudah meninggal.

Pula batee
Pada hagi harinya, anggota keluarga bersama seorang teungku mengunjungi kuburan dengan maksud
melakukan upacara pula batee (menanam batu nisan) dan menabur batu putih di atas kuburan. Setelah itu,
dilakukan upacara siraman, yaitu menyiram di atas kuburan sebanyak tiga kali dengan air ramuan
wewangian yang sudah disiapkan. Upacara menanam batu nisan dan siraman dipimpin oleh teungku,
setelah teungku menanam batu nisan, lalu membaca doa, bagi orang yang mampu akan memberi sedekah
seadanya. Selain itu, juga sudah disiapkan nasi ketan untuk dibagikan di kuburan termasuk kepada
teungku.

12
Setelah selesai upacara kenduri ketujuh, upacara baru dilakukan lagi pada hari keempatbelas yang disebut
dengan kenduri duaseun tujuh, kenduri keempat puluh dan seterusnya, tergantung kemampuan keluarga
yang ditinggalkan. Maksud upacara itu sama seperti upacara-upacara sebelumnya, yaitu untuk
menghormati roh orang yang sudah meninggal karena dianggap roh orang yang sudah meninggal masih
mengunjungi rumah bersama keluarganya.

Refungsionalisasi dan Reinterpretasi Upacara Tradisional


Pengembangan kebudayaan harus diarahkan untuk memberikan wawasan budaya dan makna pada
pembangunan dalam segenap dimensi kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara serta ditujukan
untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia serta memperkuat jati diri dan kepribadian bangsa.

Kebudayaan lokal di daerah harus dikembangkan dan diberdayakan guna menunjang pembangunan
daerah. Pengembangan kebudayaan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup manusia
baik yang bersifat materi, etis, maupun estetis. Pengembangan kebudayaan merupakan bagian dari upaya
bangsa dalam menghadapi globalisasi dan mengantisipasi masa depan dengan segala masalah dan
tantangannya. Warisan budaya masa lalu tetap penting dan bermakna, namun harus ditambah dengan
nilai-nilai baru secara kreatif dan disesuaikan relevansi zaman. Pengembangan kebudayaan juga
diarahkan pada keutuhan pandangan guna membentung munculnya perpecahan dan kontradiksi di
kalangan masyarakat yang pluralistik.

Nilai-nilai budaya yang perlu dipertahankan dalam pembangunan adalah nilai budaya yang berorientasi
ke masa depan, seperti hidup hemat, berhati-hati, bersih, dan bersemangat. Nilai budaya yang berhasrat
untuk mengeksplorasi lingkungan dan kekuasaan alam, misalnya inovasi teknologi sesuai dengan
lingkungan dan potensi alam. Nilai budaya yang memandang tinggi hasil karya manusia, yaitu motivasi
untuk berbudaya kreatif dan produktif, serta berkarya sendiri. Nilai budaya yang mendorong pada
kemandirian, percaya diri, untuk mencapai sesuatu keberhasilan yang tinggi. Nilai budaya yang
mengembangkan tanggung jawab bersama sehingga mau berpartisipasi, bergotong royong, toleransi, dan
mau hidup berdampingan. Selanjutnya, nilai-nilai dasar yang perlu dikembangkan adalah nilai-nilai yang
menitikberatkan pada perjuangan kelayakan hidup, yaitu pengemban nilai-nilai ekonomi agar terlepas
dari kemiskinan. Nilai-nilai yang mempertahankan jati diri atau mempertahankan keberadaan, yaitu ingin
menciptakan masyarakat yang makmur dan adil. Nilai yang berhubungan dengan wawasan kebangsaan,
terutama dalam menghadapi dunia yang semakin terbuka, budaya inovatif, kreatif, dan produktif. Nilai
yang melindungi kehidupan yang bersama yang plural, yaitu solidaritas, keadilan dan pemerataan. Nilai
ekonomi yang mengimbau terjadinya persaingan yang sehat dalam dunia global, inovatif, menciptakan
nilai-nilai baru. Nilai aman, damai, tentram, yang menciptakan kondisi membangun yang cepat dan
terkenal kembali. Nilai berinteraksi dengan lingkungan, demi kelestarian potensi alam sehingga ada rasa
bertanggung jawab terhadap generasi yang akan datang.

Untuk itu, budaya daerah khususnya upacara kematian yang ada di masyarakat perlu ditinjau kembali,
apakah upacara itu masih relevan dengan zaman yang semakin kompleks, seperti dari segi waktu, tenaga,
hemat dan kebersihan. Hal itu dapat kita perhatikan, misalnya upacara kenduri yang dilakukan selama
beberapa hari ; sangat menyita waktu dan tenaga, serta biaya. Bagi orang yang tidak mampu sekalipun
kadangkala memaksakan diri untuk melakukan upacara kenduri bahkan dengan meminjam sana-sini
bahkan dengan menjual harta yang ada. Setelah acara itu selesai, selain hartanya sudah habis juga harus
menanggung beban hutang. Padahal biaya dan harta tersebut dapat digunakan sebagai modal usaha dan
biaya hidup keluarga yang ditinggalkan.

Pelaksanaan upacara yang menghabiskan waktu berhari-hari juga sangat merugikan, yang mestinya dapat
melakukan sesuatu kegiatan atau pekerjaan yang lebih bermanfaat. Oleh karena itu, upacara yang
menghabiskan biaya dan waktu secara berlebihan sudah perlu dipikirkan, apalagi pada zaman yang sangat

13
menghargai waktu tentu sangat sia-sia menghabiskan waktu pada kegiatan yang tidak begitu esensial.
Begitu juga halnya dengan nilai hidup bersih, dapat kita perhatikan bahwa makanan yang diolah di tempat
upacara kematian itu masih kurang memperhatikan segi kebersihan dan kesehatan.
Prosesi acara yang dianggap skral tersebut sebenarnya dapat direfungsi dan interpretasi dengan tidak
merubah nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, seperti halnya yang terjadi pada masyarakat Bali. Di
Bali, sesuatu yang dianggap sakral dapat dipropan dan disemipropankan untuk dikonsumsikan sebagai
hiburan kepada masyarakat umum.

Penutup
Upacara adalah tata nilai yang diyakini, namun nilai-nilai itu tidak berarti bersifat tetap, tetapi dinamis.
Nilai-nilai upacara dapat dikembangkan dan ditafsirkan sesuai dengan realitas yang dihadapi. Upacara
yang merupakan bagian dari tata cara kehidupan sosial yang merujuk pada realitas sosial masa lalu. Tentu
gambaran dan penafsiran yang dilakukan saat itu belum tentu dapat diterapkan lagi untuk kondisi sosial
saat ini yang berbeda dan jauh lebih kompleks karena perkembangan masyarakat. Proses reinterpretasi
adalah sebuah keharusan tanpa harus meninggalkan nilai-nilai fundamental. tetapi dinamis dan dapat
diinterpretasi terus-menerus tanpa kehilangan maknanya yang konstan. Tanpa reinterpretasi, upacara akan
menempati posisi yang sama dan selalu terlibat ketegangan dengan perkembangan zaman.
Setiap fenomena sosial dan individual dapat dilacak akar permasalahannya, memang patut dipertanyakan
kembali posisi dan fungsi upacara dalam kehidupan masyarakat. Apabila agama telah menjadi standard
dan sumber pandangan hidup pemeluknya, tetapi mengapa fenomena sosial dan individual yang dijumpai
banyak yang tidak mencerminkan nilai-nilai agama karena belum tentu juga bahwa fenomena sosial dan
individual tersebut merupakan pencerminan religius masyarakat.

Arus perubahan tetap berjalan, upacara tradisional hanya menjadi tempat pelarian yang perkembangannya
kemudian memposisikan diri berhadapan dengan perkembangan kebudayaan. Kondisi seperti itu tidak
mungkin terus dibiarkan berlangsung karena akan mengakibatkan kerugian kemanusiaan dalam
kehidupan beragama dan berbudaya. Tanpa adanya perubahan upacara akan mengasingkan manusia dan
ditinggalkan manusia dari kenyataan hidup yang semakin kompleks.

14
BAB 4
PENUTUP

4.1.KESIMPULAN
Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki aneka ragam budaya yang menarik
khususnya dalam bentuk tarian, kerajinan dan perayaan. Kebudayaan Aceh sangat dipengaruhi oleh
kebudayaan Islam. Tarian, kerajinan, ragam hias, adat istiadat, dan lain-lain semuanya berakar pada nilai-
nilai keislaman. Contoh ragam hias Aceh misalnya, banyak mengambil bentuk tumbuhan seperti batang,
daun, dan bunga atau bentuk obyek alam seperti awan, bulan, bintang, ombak, dan lain sebagainya.
Kesehatan ibu hamil harus terus di perhatikan. Hal ini dapat dilihat dari pelayanan keluarga terhadap
kebutuhan ibu dari saat hamil sampai melahirkan, baik dari segi makanan, ramuan, obat–obatan,  thet
batee (bakar batu), salee (diasapi), dan lain-lain.
Fenomena syariat Islam di Aceh hari ini cendrung mengarah kepada pendistorsian syariat itu sendiri. Di
satu sisi budaya masyarakat Aceh adalah budaya yang sangat mendukung pelaksanaan syariat Islam, tapi
pada prosesnya mengalami hambatan di tingkatan atas, yaitu elite-elite politik yang cenderung
menjadikan syariat Islam itu sebagai komoditas politik yang berorientasi pada kekuasaan. Indikasinya
ditandai dengan lambannya proses pembuatan kanun-kanun (UU).

4.2.SARAN
Maka dari itu kita harus memahami faham tentang adapt dan budaya kita. Kita juga harus memahami
seberapa penting adat, budaya  bagi kehidupan masyarakat, guna tercapai hidup yang lebih baik,
sebagaimana orang-orang sebelum kita kita menjaga adapt budaya, maka dari itu marilah sama-sana kita
menjaganya.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat untuk kita, agar kita lebih memahami dan mengerti permasalahan
Adat dan Kebudayaan Aceh.

4.3.DAFTAR PUSTAKA

mayaismaini.blogspot.com/.../makalah-adat-dan-budaya-aceh.html

15

Anda mungkin juga menyukai