Anda di halaman 1dari 17

Kebudayaan

Nanggroe Aceh
Darusalam
(Suku Aceh)
Suku Aceh
– Suku Aceh (bahasa Aceh: Ureuëng Acèh) adalah nama sebuah suku penduduk asli yang mendiami wilayah pesisir
dan sebagian pedalaman Provinsi Aceh, Indonesia. Suku Aceh mayoritas beragama Islam. Suku Aceh mempunyai
beberapa nama lain yaitu Lam Muri, Lambri, Akhir, Achin, Asji, A-tse dan Atse. Bahasa yang dituturkan adalah
bahasa Aceh, yang merupakan bagian dari rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat dan berkerabat dekat dengan
bahasa Cham yang dipertuturkan di Vietnam dan Kamboja. Suku Aceh sesungguhnya merupakan keturunan
berbagai suku, kaum, dan bangsa yang menetap di tanah Aceh. Pengikat kesatuan budaya suku Aceh terutama
ialah dalam bahasa, agama, dan adat khas Aceh.
– Berdasarkan perkiraan terkini, jumlah suku Aceh mencapai 3.526.000 jiwa, yang sebagian besar bertempat tinggal
di Provinsi Aceh, Indonesia. Sedangkan menurut hasil olahan data sensus BPS 2010 oleh Aris Ananta dkk., jumlah
suku Aceh di Indonesia adalah sebanyak 3.404.000 jiwa. Selain di Indonesia, terdapat pula minoritas diaspora yang
cukup banyak di Malaysia, Australia, Kanada, Amerika Serikat, dan negara-negara Skandinavia.
– Suku Aceh pada masa pra-modern hidup secara matrilokal dan komunal. Mereka tinggal di permukiman yang
disebut gampong. Persekutuan dari gampong-gampong membentuk mukim. Masa keemasan budaya Aceh
dimulai pada abad ke-16, seiring kejayaan kerajaan Islam Aceh Darussalam, dan kemudian mencapai puncaknya
pada abad ke-17. Suku Aceh pada umumnya dikenal sebagai pemegang teguh ajaran agama Islam, dan juga
sebagai pejuang militan dalam melawan penaklukan kolonial Portugis dan Belanda.
Asal Keturunan Suku Aceh
• Menurut bukti-bukti arkeologis, awalnya penghuni Aceh adalah dari masa pasca
Plestosen, di mana mereka tinggal di pantai timur Aceh (daerah Langsa dan Tamiang),
dan menunjukkan ciri-ciri Australomelanesid. Mereka terutama hidup dari hasil laut,
terutama berbagai jenis kerang, serta hewan-hewan darat seperti babi dan badak.
Pada saat itu mereka sudah menggunakan api dan menguburkan mayat dengan
upacara tertentu.

• Selanjutnya pembentukan suku-suku Aceh terjadi ketika perpindahan suku-suku asli


Mantir dan Lhan (proto Melayu), serta suku-suku Champa, Melayu, dan Minang
(deutro Melayu) yang datang dan membentuk penduduk pribumi Aceh. Selain itu
bangsa asing, seperti bangsa India selatan, serta sebagian kecil bangsa Arab, Persia,
Turki, dan Portugis juga merupakan bagian komponen pembentuk suku Aceh. Posisi
strategis Aceh di bagian utara pulau Sumatra, selama beribu tahun telah menjadi
tempat persinggahan dan percampuran berbagai suku bangsa, yaitu dalam jalur
perdagangan laut dari Timur Tengah hingga ke Cina. Sehingga rakyat aceh banyak
merupakan campuran dari bangsa-bangsa lain.
Bahasa Aceh

 Bahasa Aceh termasuk dalam kelompok bahasa Aceh-Chamik, cabang dari rumpun bahasa
Melayu-Polinesia, cabang dari rumpun bahasa Austronesia. Bahasa-bahasa yang memiliki
kekerabatan terdekat dengan bahasa Aceh adalah bahasa Cham, Roglai, Jarai, Rhade, Chru,
Utset dan bahasa-bahasa lainnya dalam rumpun bahasa Chamik, yang dipertuturkan di
Kamboja, Vietnam, dan Hainan. Adanya kata-kata pinjaman dari bahasa bahasa Mon-Khmer
menunjukkan kemungkinan nenek-moyang suku Aceh berdiam di Semenanjung Melayu atau
Thailand selatan yang berbatasan dengan para penutur Mon-Khmer, sebelum bermigrasi ke
Sumatera. Kosakata bahasa Aceh banyak diperkaya oleh serapan dari bahasa Sanskerta dan
bahasa Arab, yang terutama dalam bidang-bidang agama, hukum, pemerintahan, perang, seni,
dan ilmu. Selama berabad-abad bahasa Aceh juga banyak menyerap dari bahasa Melayu.
Bahasa Melayu dan bahasa Minangkabau adalah kerabat bahasa Aceh-Chamik yang
selanjutnya, yaitu sama-sama tergolong dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia Barat.
Senjata Tradisional Suku Aceh
1. Rencong
Rencong adalah senjata tradisional milik masyarakat Aceh yang merupakan simbol identitas diri, keberanian dan
ketangguhan suku aceh. Rencong merupakan senjata tradisional yang mulai dipakai pada zaman kesultanan Aceh,
yaitu sejak pemerintahan Sultan Ali Mughayat Syah (Sultan Pertama Aceh). Rencong ini selalu ada dan diselipkan
dipinggan Sultan Aceh, para Ulee Balang dan masyarakatpun menggunakan Rencong sebagai senjata pertahanan diri.
Rencong dikenakan oleh Sultan dan para bangsawan lainnya, biasanya terbuat dari emas dan sarungnya terbuat dari
gading. Sedangkan rencong yang digunakan oleh masyarakat biasa terbuat dari kuningan atau besi putih, sedangkan
sarungnya terbuat dari kayu atau tanduk kerbau.

Secara umum rencong sebagai senjata tradisional aceh terdiri dari 4 macam, yaitu :
- Rencong Meucugek (Meucungkek). Meucugek / Cugek merupakan istilah perekat, bentuk gagang rencong yang
dibuat penahan dan memiliki perekat berfungsi untuk memudahkan penggunanya ketika menikamkan senjata
tradisional ini kebadan lawan/musuh.
- Rencong Meupucok. Rencong ini memiliki pucuk yang terbuat dari ukiran logal emas diatas gagangnya. Rencong ini
biasanya dipergunakan untuk hiasan pada acara resmi yang berhubungan dengan adat dan kesenian.
- Rencong pudoi, disebut pudoi karena rencong ini memiliki gagang yang pendek dan lurus. Sehingga terkesan belum
selesai. Pudoi di Aceh merupakan istilah untuk sesuatu yang dianggap kurang sempurna.
- Rencong Meukuree, yaitu rencong yang memiliki hiasan pada matanya. Hiasan tersebut bisa berupa gambar ular,
lipan, bunga dan lainnya.
2. Siwah
Siwah adalah senjata tajam sejenis dengan rencong yang juga merupakan senjata untuk menyerang.
Bentuknya hampir sama dengan rencong, tetapi siwah ukurannya (baik besar maupun panjang) melebihi
dari rencong. Siwah sangat langka ditemui, selain harganya mahal, juga merupakan bahagian dari
perlengkapan raja-raja atau ulebalang-ulebalang. Namun demikian untuk siwah yang telah diberikan
hiasan emas dan permata pada sarung dan gagangnya lebih berfungsi sebagai perhiasan dari pada
sebagai senjata.
3. Peudeung
Peudeung dalam bahasa Aceh berarti pedang. Peudeung sebagai senjata tradisional Aceh
digunakan sebagai senjata untuk menyerang. Jika rencong digunakan untuk menikam, maka
pedang digunakan beriringan dengan itu, yaitu sebagai senjata untuk mentetak atau mencincang.
Berdasarkan daerah asal pedang, di Aceh dikenal beberapa macam pedang yaitu peudeung
Habsyah (dari Negara Abbesinia), Peudeung Poertugis (dari Eropa Barat), Peudeung Turki berasal
dari raja-raja Turki.
Senjata Tradisional Aceh ini memiliki macam-macam bentuk gagang yang dibedakan menjadi :
- Peudeung Tumpang Jingki (Gagang pedang yang menyerupai mulut terbuka)
- Peudeung Ulee Meu-apet, pada gagangnya terdapat apet atau penahan untuk tidak mudah
terlepas
- Peudeueng Ulee Tapak Guda, gagangnya menyerupai telapak kaki kuda.
Tarian Tradisional Aceh
Tarian tradisional yang terdapat di Aceh menggambarkan warisan adat, agama, dan cerita rakyat
setempat. Umumnya tarian Aceh dibawakan secara berkelompok, di mana sekelompok penari berasal
dari jenis kelamin yang sama, dan posisi menarikannya ada yang berdiri maupun duduk. Bila dilihat dari
musik pengiringnya, tari-tarian tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu yang diiringi
dengan vokal dan perkusi tubuh penarinya sendiri, serta yang diiringi dengan ensambel alat musik.
Beberapa tarian tradisional yang ada di Aceh:
a. Tari Seudati, berasal dari arab dengan latar belakang agama islam. Sebuah tarian dinamis penuh
keseimbangan dengan suasana keagamaan. Tarian ini sangat disenangi dan terkenal di Aceh.
b. Tarian Saman Meuseukat, dilakukan dalam posisi duduk berbanjar dengan ajaran kebajikan,
terutama ajaran agama islam.
c. Tarian Pukat, adalah tarian yang melambangkan kehidupan para nelayan dari pembuatan pukat
hingga mencari ikan.
d. Tari Rebana, merupakan tari kreasi yang menekankan pada keterampilan memainkan alat musik
"rebana" dalam mengiringi gerak-gerak lincah khas Aceh. Tari ini biasa ditampilkan dihadapan tamu-
tamu agung.
Makanan Khas Aceh

Masakan Aceh terkenal banyak menggunakan kombinasi rempah-rempah sebagaimana yang biasa terdapat pada
masakan India dan Arab, yaitu jahe, merica, ketumbar, jintan, cengkeh, kayu manis, kapulaga, dan adas. Berbagai
macam makanan Aceh dimasak dengan bumbu gulai atau bumbu kari serta santan, yang umumnya dikombinasikan
dengan daging, seperti daging kerbau, sapi, kambing, ikan, dan ayam. Beberapa resep tertentu secara tradisional ada
yang memakai ganja sebagai bumbu racikan penyedap; hal mana juga ditemui pada beberapa masakan Asia Tenggara
lainnya seperti misalnya di Laos, namun kini bahan tersebut sudah tidak lagi dipakai. Contoh makanan khas Aceh:
– Ayam Tangkap
– Nasi Guri
– Eungkot Paya
– Kuwah Eungkôt Yèë
– Kuah Beulangong
– Mie Aceh
Rumah Adat Aceh
Rumah adat Aceh dinamakan Rumoh Aceh. Rumah adat Aceh dibuat dari kayu
meranti dan berbentuk panggung. Mempunyai 3 serambi yaitu Seuramoe Keu
(serambi depan), Seuramoe Inong (serambi tengah) dan Seuramoe Likot (serambi
belakang). Selain itu ada pula rumah adat berupa lumbung padi yang dinamakan
Krong Pade atau Berandang.
Pakaian Adat Aceh

– Pakaian adat yang dikenakan pria Aceh adalah baju jas dengan leher tertutup
(jas tutup), celana panjang yang disebut cekak musang dan kain sarung yang
disebut pendua. Kopiah yang dipakainnya disebut makutup dan sebilah rencong
terselip di depan perut.
– Wanitanya memakai baju sampai kepinggul, celana panjang cekak musang serta
kain sarung sampai lutut. Perhiasan yang dipakai berupa kalung yang disebut
kula, pending atau ikat pinggang, gelang tangan dan gelang kaki. Pakaian ini
dipergunakan untuk keperluan upacara pernikahan.
Adat Istiadat Budaya Aceh
1. Upacara Perkawinan
Suatu kebiasaan bagi masyarakat Aceh, sebelum pesta perkawinan dilangsungkan, terlebih
dahulu tiga hari tiga malam diadakan upacara meugaca atau boh gaca (berinai) bagi pengantin
laki-laki dan pengantin perempuan di rumahnya masing-masing. Tampak kedua belah tangan
dan kaki pengantin dihiasi dengan inai. Selama upacara meugaca/boh gaca pada malamnya
diadakan malam pertunjukan kesenian seperti tari rabana, hikayat, pho, silat, dan meuhaba
atau kaba (cerita dongeng).
Pada puncak acara peresmian perkawinan, maka diadakan acara pernikahan. Acara ini
dilakukan oleh kadli yang telah mendapat wakilah (kuasa) dari ayah dara baro. Qadli
didampingi oleh dua orang saksi di samping majelis lainnya yang dianggap juga sebagai saksi.
Kemudian jinamai (mahar) diperlihatkan kepada majelis dan selanjutnya kadli membaca do’a
(khutbah) nikah serta lafadz akad nikah, dengan fasih yang diikuti oleh linto baro dengan fasih
pula. Apabila lafadz sudah dianggap sempurna, kadli mengangguk minta persetujuan kedua
saksi tadi. Bila saksi belum menyetujui, maka linto harus mengulangi lagi lafadz nikah tersebut
dengan sempurna.
Setelah selesai acara nikah, linto baro dibimbing ke pelaminan persandingan, di mana dara baro telah terlebih dahulu duduk menunggu.
Sementara itu dara baro bangkit dari pelaminan untuk menyembah suaminya. Penyembahan suami ini disebut dengan seumah teuot
linto. Setelah dara baro seumah teuot linto, maka linto baro memberikan sejumlah uang kepada dara baro yang disebut dengan
pengseumemah (uang sembah).
Selama acara persandingan ini, kedua mempelai dibimbing oleh seorang nek peungajo. Biasanya yang menjadi peungajo adalah seorang
wanita tua. Kemudian kedua mempelai itu diberikan makan dalam sebuah pingan meututop (piring adat) yang indah dan besar
bentuknya. Selanjutnya, kedua mempelai tadi di peusunteng (disuntingi) oleh sanak keluarga kedua belah pihak yang kemudian diikuti
oleh para jiran (tetangga). Keluarga pihak linto baro menyuntingi (peusijuk/menepung tawari) dara baro dan keluarga pihak dara baro
menyuntingi pula linto baro. Tiap-tiap orang yang menyuntingi selain menepung tawari dan melekatkan pulut kuning di telinga
temanten, juga memberikan sejumlah uang yang disebut teumentuk. Acara peusunteng ini lazimnya didahului oleh ibu linto baro, yang
kemudian disusul oleh orang lain secara bergantian.
Apabila acara peusunteng sudah selesai, maka rombongan linto baro minta ijin untuk pulang ke rumahnya. Linto baro turut pula dibawa
pulang. Ada kalanya pula linto baro tidak dibawa pulang, ia tidur di rumah dara baro, tetapi pada pagi-pagi benar linto baro harus sudah
meninggalkan rumah dara baro. Karena malu menurut adat, bila seorang linto baro masih di rumah dara baro sampai siang.
2. Upacara Peutron Tanoh (Turun Tanah)
Upacara turun tanah (peutron tanoh) diadakan setelah bayi berumur tujuh hari atau 2 tahun. Dalam jangka
waktu yang cukup untuk mempersiapkannya, lebih-lebih anak pertama yang sering diadakan upacara cukup
besar, dengan memotong kerbau atau lembu. Pada upacara ini bayi digendong oleh seseorang yang
terpandang, baik perangai dan budi pekertinya. Orang yang menggendong memakai pakaian yang bagus-
bagus. Waktu turun dari tangga ditundungi dengan sehelai kain yang dipegang oleh empat orang pada setiap
sisi kain itu. Di atas kain tersebut dibelah kelapa agar bayi tadi tidak takut terhadap suara petir. Belahan
kelapa dilempar dan sebelah lagi dilempar kepada wali karong. Salah seorang keluarga dengan bergegas
menyapu tanah dan yang lain menampi beras bila bayi itu perempuan, sedangkan bila bayi itu laki-laki salah
seorang keluarga tersebut mencangkul tanah, mencencang batang pisang atau batang tebu. Kemudian
sejenak bayi itu dijejakkan di atas tanah dan akhirnya dibawa berkeliling rumah atau mesjid sampai bayi itu
dibawa pulang kembali ke rumah.
3. Tradisi Makan dan Minum
Makanan pokok masyarakat Aceh adalah nasi. Perbedaan yang cukup menyolok di dalam tradisi makan dan
minum masyarakat Aceh dengan masyarakat lain di Indonesia adalah pada lauk-pauknya. Lauk-pauk yang
biasa dimakan oleh masyarakat Aceh sangat spesifik dan bercitra rasa seperti masakan India. Lauk-pauk
utama masyarakat Aceh dapat berupa ikan, daging (kambing/sapi). Di antara makanan khas Aceh adalah
gulai kambing (Kari Kambing), sie reboih, keumamah, eungkot paya (ikan Paya), mie Aceh, dan Martabak.
Selain itu, juga ada nasi gurih yang biasa dimakan pada pagi hari. Sedangkan dalam tradisi minum pada
masyarakat Aceh adalah kopi.
Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila pada pagi hari kita melihat warung-warung di Aceh penuh
sesak orang yang sedang menikmati makan pagi dengan nasi gurih, ketan/pulut, ditemani secangkir kopi atau
pada siang hari sambil bercengkrama dengan teman sejawat makan nasi dengan kari kambing, dan
sebagainya.
Pola Hidup dan Golongan
Masyarakat Aceh
– Bentuk kesatuan hidup setempat yang terkecil disebut gampong (kampung atau desa) yang dikepalai
oleh seorang geucik atau kecik. Dalam setiap gampong ada sebuah meunasah (madrasah) yang
dipimpin seorang imeum meunasah. Kumpulan dari beberapa gampong disebut mukim yang
dipimpin oleh seorang uleebalang, yaitu para panglima yang berjasa kepada sultan.Kehidupan sosial
dan keagamaan di setiap gampong dipimpin oleh pemuka-pemuka adat dan agama, seperti imeum
meunasah, teungku khatib, tengku bile, dan tuha peut (penasehat adat).
– Sedangkan Golongan Masyarakat aceh, pada masa lalu masyarakat Aceh mengenal beberapa lapisan
sosial. Di antaranya ada empat golongan masyarakat, yaitu golongan keluarga sultan, golongan
uleebalang, golongan ulama, dan golongan rakyat biasa. Golongan keluarga sultan merupakan
keturunan bekas sultan-sultan yang pernah berkuasa. Panggilan yang lazim untuk keturunan sultan
ini adalah ampon untuk laki-laki, dan cut untuk perempuan. Golongan uleebalang adalah orang-
orang keturunan bawahan para sultan yang menguasai daerah-daerah kecil di bawah kerajaan.
Biasanya mereka bergelar Teuku. Sedangkan para ulama atau pemuka agama lazim disebut Teungku
atau Tengku.

Anda mungkin juga menyukai