Anda di halaman 1dari 32

MAKALAH SEJARAH INDONESIA

10 SUKU YANG ADA DI INDONESIA

Guru Pengajar :
Juwita Sari S.Pd

Disusun Oleh :
Muhammad Dzikri Ramadhan

X IPS 1
MAN 2 KOTA BANJARMASIN
2020/2021

1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur hanyalah milik Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Kepada-Nya kita memuji dan bersyukur, memohon pertolongan dan
ampunan. Kepada-Nya pula kita memohon perlindungan dari keburukan diri dan syaiton yang selalu menghembuskan kebatilan.
Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Alloh Subhanahu wa Ta’ala, maka tak seorang pun dapat menyesatkannya dan barangsiapa
disesatkan oleh-Nya maka tak seorang pun dapat memberI petunjuk kepadanya. Shalawat serta salam semoga dilimpahkan kepada
Nabi Muhammad Shallallahu‘alaihiwasallam, keluarga, sahabat, juga pada orang-orang yang senantiasa mengikuti sunnah-
sunnahnya. Dengan rahmat dan pertolongan-Nya Alhamdulillah makalah yang berjudul 10 Suku yang Ada di Indonesia ini dapat
diselesaikan dengan baik. Banyak sekali kekurangan saya sebagai penyusun makalah ini, baik menyangkut isi atau yang lainnya.
Mudah-mudahan semua itu dapat menjadikan pelajaran bagi saya agar lebih meningkatkan kualitas makalah ini di masa yang akan
datang.

Banjarmasin, 20 Oktober 2021

Muhammad Dzikri Ramadhan

2
DAFTAR ISI

Cover........................................................................................................................................................................1

Kata Pengantar........................................................................................................................................................2
Daftar Isi..................................................................................................................................................................3

BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................................................................4

1. Suku Banjar.........................................................................................................................................................5

2. Suku Jawa...........................................................................................................................................................7
3. Suku Dayak........................................................................................................................................................13

4. Suku Madura.....................................................................................................................................................14
5. Suku Minangkabau............................................................................................................................................18

6. Suku Bugis.........................................................................................................................................................20
7. Suku Batak.........................................................................................................................................................23

8. Suku Melayu......................................................................................................................................................25

9. Suku Baduy................................................................................................................ ........................................27

10. Suku Sunda.......................................................................................................................... ............................28

Daftar Pustaka.......................................................................................................................................................31

3
BAB I
Pendahuluan

Menurut data Badan Pusat Statistik, Sensus Penduduk 2010 menyebut ada 1.331 kelompok suku di Indonesia. Jumlah ini
terus berubah seiring berjalannya waktu.
Kategori itu merupakan kode untuk nama suku, nama lain/alias suatu suku, nama subsuku, bahkan nama sub dari
subsuku.

Untuk jumlah bahasa, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
memverifikasi 652 bahasa daerah di Indonesia.

Jumlah ini diperoleh dari proses verifikasi sejak 1991-2017.

Meski begitu, jumlah ini bisa terus berubah seiring berjalannya waktu.

4
1.Suku Banjar

Suku Banjar atau biasa disebut Urang Banjar, berasal dari wilayah Kalimantan Selatan. Sebagian dari mereka
juga berada di Kalimantan Tengah dan sebagian di Kalimantan Timur.

Populasi suku Banjar dalam jumlah besar juga dapat ditemui di wilayah Riau, Jambi, Sumatera Utara, dan
Semenanjung Malaysia. Hal ini terjadi karena banyaknya migrasi orang Banjar ke Kepulauan Melayu pada abad
ke-19.

Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, orang suku Banjar berjumlah 4,1 juta jiwa. Sekitar 2,7 juta orang
Banjar tinggal di Kalimantan Selatan, 1 juta orang Banjar tinggal di wilayah Kalimantan lainnya, serta 500 ribu
orang Banjar lainnya tinggal di luar Kalimantan.

Sejak dahulu, orang Banjar mulai menempati beberapa daerah di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur,
terutama kawasan dataran rendah dan hilir dari kawasan arus sungai wilayah tersebut.

Mereka berasal dari daerah Banjar yang merupakan pembauran masyarakat beberapa daerah aliran sungai
seperti DAS bahan, DAS Barito, DAS Martapura, dan DAS Tabanio.

Baca juga:
Asal-Usul Suku Dayak dari Pulau Kalimantan

Dari sini, suku Banjar bergerak melakukan migrasi secara meluas ke berbagai daerah Nusantara, bahkan
hingga ke Madagaskar di Afrika.

Suku Banjar terbentuk dari suku-suku Bukit, Maanyan, Lawangan, dan Ngaju yang banyak juga dipengaruhi
oleh Melayu dan Jawa. Maka, dapat ditarik kesimpulan bahwa asal usul suku Banjar berasal dari campuran
beberapa suku, meskipun yang dominan adalah suku Dayak.

Suku ini umumnya terbagi lagi menjadi 3 sub suku, yaitu Banjar Pahuluan, Banjar Batang Banyu, dan Banjar
Kuala.

5
Banjar Pahuluan, pada dasarnya adalah penduduk daerah lembah sungai atau cabang sungai Bahan yang
berhulu ke pegunungan Meratus. Kelompok ini terdiri dari campuran orang Melayu-Hindu dan orang Dayak
Meratus yang bercakap bahasa Melayik.

Lalu, orang Banjar Batang Banyu mendiami lembah sungai Bahan. Mereka adalah campuran orang Pahuluan,
orang Melayu-Hindu/Buddha, orang Keling-Gujarat, orang Dayak Maanyan, orang Dayak Lawangan, orang
Dayak Bukit, dan orang Jawa-Hindu Majapahit.

Sedangkan orang Banjar Kuala menghuni daerah sekitar Banjarmasin dan Martapura. Kelompok ini merupakan
campuran orang Kuin, orang Batang Banyu, orang Dayak Ngaju, orang Kampung Melayu, orang Kampung
Bugis-Makassar, orang Kampung Jawa, orang Kampung Arab, dan beberapa orang Cina Parit yang masuk
Islam.

Hingga saat ini, proses amalgamasi masih berlangsung di dalam kelompok masyarakat suku Banjar Kuala.

Kebudayaan Suku Banjar

Umumnya, adat kebudayaan masyarakat Banjar berakar dari suku Dayak Kaharingan. Namun, setelah
pengislaman massal, adat Dayak Kaharingan tadi disesuaikan dengan keyakinan baru mereka yaitu Islam.

Ada beberapa ciri khas yang bisa ditemukan dari orang Banjar. Pertama, mereka memiliki keterampilan
mengolah area pasang surut. Pasalnya kehidupan suku banjar terutama kelompok Banjar Kuala dan Batang
Banyu sangat dekat dengan sungai.

Sebagai sarana transportasi, orang Banjar mengembangkan beragam Jukung atau perahu sesuai fungsinya.
Mereka memanfaatkan kondisi geografis Kalimantan Selatan yang memiliki banyak sungai dengan sebaik
mungkin.

Sehingga, rata-rata menjadi ahli dalam mengolah lahan pasang surut menjadi kawasan permukiman dan budi
daya pertanian.

Lalu, suku Banjar memiliki rumah tradisional mereka sendiri yaitu Rumah Banjar. Ciri-ciri arsitekturnya yaitu
memiliki perlambang, penekanan pada atap, ornamen, serta dekoratif dan simetris. Diantara semua jenis
rumah Banjar, tipe Bubungan Tinggi adalah yang paling dikenal sebagai identitas suku ini.

Suku banjar juga memiliki tradisi lisan yang dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi lisan
Banjar yang menjadi kesenian ini berkembang pada abad ke-18, diantaranya seperti Madihin dan Lamut.

Madihin adalah puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar
dengan bentuk fisik dan mental tertentu, yang disesuaikan dengan khasanah folklor Banjar.

Sedangkan Lamut merupakan tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan,
sosial, serta budaya Banjar.
6
Kebudayaan lainnya adalah seni teater tradisional yang disebut Mamanda. Mamanda hampir mirip dengan
Lenong, namun tokoh-tokoh yang dimainkan lebih baku seperti raja, perdana menteri, panglima, permaisuri,
dan sebagainya.

Suku Banjar yang berasal dari Kalimantan Selatan ini juga memiliki musik tradisional khas bernama musik
Panting. Disebut Panting, karena berbentuk seperti gambus yang memakai senar atau panting.

2. Suku Jawa

Suku Jawa adalah suku terbesar yang mendiami Indonesia. Keberadaan suku Jawa memang
hanya di pulau Jawa saja, tetapi telah menyebar merata di seluruh wilayah Indonesia. Suku ini
dikenal dengan kehalusan dan keramahtamahannya. Karena wilayah Indonesia yang luas, maka
adat istiadat Jawa pun sangat banyak dan beragam.

Asal Usul Suku Jawa :


Besarnya Suku Jawa pasti tidak bisa dilepaskan dengan sejarah yang panjang. Peradaban Suku
Jawa menghasilkan kebudayaan yang paling maju dibandingkan dengan suku lainnya. Hal
tersebut dibuktikan dengan banyaknya kerajaan-kerajaan adidaya yang berdiri di tanah Jawa
beserta berbagai warisan yang dapat dilihat hingga saat ini.

Asal-usul adanya Suku Jawa pun menemukan banyak versi dikarenakan banyaknya penemuan –
penemuan bersejarah yang mendukung. Berikut ini sejarah Suku Jawa dari pendapat beberapa
Sumber :

1. Babad Tanah Jawa.


Suku Jawa menurut Babad Tanah Jawa berasal dari kerajaan Keling dimana kerajaan dalam
situasi kacau karena terjadi perbuatan kekuasaan. Kerajaan Keling atau Kalingga berada di
daerah India Selatan. Ada salah satu pangeran yang kerajaan Kling yang tersisih dan pergi
meninggalkan kerajaan bersama pengikut yang setia.

Pangeran Kling bersama pengikut setianya mengembara hingga pangeran menemukan sebuah
pulau terpencil yang belum berpenghuni. Mereka saling bahu membahu dalam membangun
pemukiman. Selain pemukiman, mereka juga mendirikan kerajaan dengan diberi nama Java
Cekwara. Nah, keturunan pangeran tersebut dianggap sebagai nenek moyang suku Jawa
menurut Babad Tanah Jawa.
7
2. Surat Kuno Keraton Malang.

@youtube
Asal-usul Jawa berdasarkan surat kuno keraton Malang yaitu penduduk Jawa berasal dari
kerajaan Turki tepatnya pada tahun 450 SM. Raja Turki mengirim surat untuk perjalanan jauh
dan membentuk daerah kekuasaan seperti daerah/wilayah yang belum pernah dihuni. Migrasi
yang dilakukan oleh kerajaan secara bertahap selama beberapa waktu.

Dalam melakukan pengembaraan, utusan raja sampai di daerah dengan tanah yang subur dan
banyak ditemukan aneka bahan pangan. Utusan bersama prajurit pun tidak mengalami
kesulitan ketika beradaptasi dan membantun pemukiman di sana. Migrasi yang dilakukan
semakin lama semakin banyak yang datang. Karena banyak ditemukannya tanaman Jawi, maka
tanah atau daerah tersebut diberi nama Tanah Jawi oleh orang-orang yang datang.

3. Tulisan Kuno India.


Tulisan kuno India yang ditemukan menyebutkan bahwa zaman dulu ada banyak pulau di
Kepulauan Nusantara pernah menyatu dengan benua Australia dan Asia. Pada suatu waktu
terjadi musibah yang menyebabkan meningkatnya permukaan air laut. Beberapa daratan
terendam air sehingga pulau-pulau tersebut terpisah dengan daratan utama.

Tulisan kuno India tersebut menyebutkan seorang pengembara yang bernama Aji Saka. Ia
berhasil mengembara ke beberapa penjuru hingga menemukan pulau Jawa. Tulisan tersebut
juga mengungkapkan bahwa Aji Saka adalah orang pertama yang menginjakkan kaki di tanah
Jawa. Ia bersama pengikutnya dianggap sebagai nenek moyang suku Jawa.

4. Menurut Arkeolog.
Asal usul penduduk Jawa juga diteliti oleh ahli arkeolog. Menurut mereka, penduduk Jawa tidak
terlepas dari asal-usul orang Indonesia sendiri. Mereka meyakini bahwa nenek moyang Jawa

8
asalnya dari penduduk pribumi. Pendapat tersebut diperkuat dengan sebuah penemuan fosil
manusia purba Pithecanthropus Erectus dan Homor Erectus.

Menurut Eugene Dubois yang merupakan seorang ahli anatomi asal Belanda menemukan fosil
Homo Erectus. Fosil ditemukan di Trinil pada tahun 1981. Fosil tersebut pun lebih dikenal
dengan sebutan manusia Jawa. Untuk menguatkan pendapatnya, maka dilakukan perbandingan
DNA fosil manusia kuno dengan manusia zaman sekarang. Hasilnya pun cukup menarik bahwa
DNA yang dilakukan tidak memiliki perbedaan yang jauh antara satu sama lain. Dengan
penelitian yang dilakukan, beberapa ahli arkeologi pun perca dan dijadikan sebagai teori asal-
usul keberadaan suku Jawa.

5. Menurut Sejarawan.
Berbeda lagi dengan pendapat para sejarawan. Von Hein Geldern menyebutkan bahwa suku
Jawa hadir karena terjadi migrasi penduduk Tiongkok bagian selatan atau Yunan di kepulauan
Nusantara. Proses migrasi tersebut dimulai sejak zaman Neolitikum sekitar 2000 SM hingga
zaman Perunggu pada tahun 500 SM. Migrasi yang dilakukan pun secara besar-besaran dan
bertahap menggunakan perahu cadik.

Pada tahun 1899, Dr. H. Kern mengungkapkan penelitian yang dilakukannya. Ia menyebutkan
bahwa bahasa daerah di Indonesia mirip satu sama yang lainnya. Sehingga dr. Kern
menyimpulkan bahwa jika bahasa tersebut berasal dari akar yang sama, maka rumpun tersebut
adalah Austronesia. Pernyataan Dr. H. Kern berhasil menguatkan Geldern tentang teori
mengenai asal-usul suku Jawa dan bangsa Indonesia.

Kebudayaan Suku Jawa :

@youtube
Meskipun asal-usul tentang Suku Jawa banyak sekali versinya, tetapi suku ini tetap memiliki
kebudayaan yang beragam dan menarik untuk dipelajari. Berbagai jenis kebudayaan Suku Jawa

9
mungkin sudah banyak diketahui. Mengingat bahwa suku Jawa menjadi suku terbesar yang
mendiami Indonesia.

1. Wayang Kulit
Warisan budaya ini menjadi ikon suku Jawa dimana pertunjukan yang dilakukan selama
semalaman suntuk. Pertunjukan wayang kulit yang dimainkan memiliki cerita khas suku Jawa,
seperti Ramayana, Mahabharata dan lain-lain. Cerita wayang tersebut berkisah mengenai
pelajaran dalam kehidupan. Berbagai cerita yang ditunjukkan di wayang kulit telah melalui
banyak perubahan sesuai dengan kultur Jawa.

Setiap tokoh yang ada dalam pewayangan memiliki karakter dan ciri khas yang berbeda-beda.
Agar wayang kulit semakin meriah, pertunjukan ini dimainkan oleh dalang dengan diiringi musik
gamelan khas Jawa. Tidak ketinggalan ada sinden untuk menyanyikan lagu-lagu Jawa. Beberapa
alat yang digunakan lainnya yaitu wayang, kain putih, lampu sorot dan batang pisang yang
digunakan untuk menancapkan wayang kulit tersebut.

Wayang kulit dipercaya sebagai ciptaan dan disebarkan oleh walisongo untuk membantu
menyebarkan agama Islam. Wali songo merupakan tokoh ulama yang menyebar Islam di pulau
Jawa. Wayang kulit menjadi salah satu media dakwah untuk menjangkau seluruh kalangan.
Karena pada zaman dulu, wayang kulit sangat populer dan terkenal di kalangan suku Jawa.

2. Senjata Adat Suku Jawa.


Suku Jawa juga dikenal dengan senjata yang dimilikinya. Tidak hanya bentuknya yang unik,
setiap macam senjata tradisional memiliki makna tersendiri. Misalnya keris yang merupakan
alat pusaka penting dan dipercaya memiliki kesaktian. Keris sengaja dibuat oleh para mpu yang
ditempa dan diberi mantra-mantra.

Keris merupakan senjata yang tidak sembarangan dimana sebagian keris selalu dikaitkan
dengan dunia mistis. Percaya tidak percaya, senjata keris ini banyak penunggunya sehingga
orang yang memiliki harus merawatnya dengan sangat teliti. Ada beberapa keris yang hingga
saat ini pun rutin dimandikan dan dibersihkan. Misalnya dengan memandikan keris bersama
bunga 7 rupa, wewangian dan disimpan dalam kain mori maupun peci khusus.

Keris yang melegenda yaitu Keris Mpu Gandring yang ada dalam kisah Ken Arok. Dengan
bantuan keris tersebut, Ken Arok Berhasil menjadi penguasa Singasari. Mpu Gandring mampu
menciptakan keris yang sakti dimana membawa malapetaka bagi keturunan Raja-raja Singasari.

3. Seni Musik.

10
@youtube
Alat musik tradisional yang dimiliki oleh Suku Jawa yaitu gamelan. Gamelan dapat menghasilkan
bunyi yang beraneka ragam. Gamelan merupakan seni yang beasal dari gabungan bermacam
macam alat musik meliputi gong, kendang, kenong, selentem,bonang, kempul, gambang dan
alat musik lainnya.

Meskipun bentuk gamelan cukup sederhana, tetapi daya tarik dari gamelan sangat luar biasa.
Orang yang memainkan gamelan disebut wiyaga. Wiyaga merupakan nama pemain dari
gamelan yang selalu ada dalam pagelaran campur sari, wayang kulit dan kesenian suku Jawa
lainnya. Gamelan juga digunakan oleh Wali Songo untuk menyebarkan agama Islam.

Ketika Wali Songo hadir di Jawa dan menyebarkan ajaran Islam, seni musik Jawa yaitu gamelan
digunakan sebagai salah satu media dakwah. Sehingga tanpa mengurangi atau menyuruh suku
Jawa berhenti dengan adat istiadatnya, Islam tetap bisa diterima dengan baik oleh suku Jawa.
Tidak heran jika penyebaran agama Islam di tanah Jawa sangat cepat dan diterima dengan baik.

4. Seni Tari
Suku Jawa memiliki tari tradisional yang sangat banyak. Seluruh bagian Jawa memiliki tarian
khas masing-masing, seperti sintren, bedaya, reog, jaipong, kuda lumping dan lain-lain. Setiap
tarian memiliki gerakan yang beraneka ragam baik yang lemah gemulai maupun gerakan yang
cepat.

Tari tradisional Jawa biasanya tidak terlepas dari unsur-unsur magic . Tarian ini dimainkan
ketika ada upacara adat atau kegiatan lain seperti penyambutan tamu penting. Tetapi dengan
perkembangan zaman sekarang, tari tradisional sering digelar untuk berbagai acara yang ada di
wilayah tersebut.

5. Bahasa dan Aksara Jawa.


Suku Jawa telah memiliki bahasa dan aksara sejak ratusan tahun yang lalu. Bahasa Jawa sendiri
mempunyai beberapa level untuk berkomunikasi sehari-hari yaitu ngoko, krama madya dan

11
kromo inggil. Tingkatan ngoko merupakan tingkatan bahasa yang sedikit kasar dimana orang
Jawa menggunakannya untuk orang yang lebih muda atau tingkatan berada di bawah.

Krama madya atau bahasa Jawa alus yaitu bahasa yang digunakan kepada orang yang sederajat.
Sedangkan untuk krama inggil adalah bahasa yang digunakan kepada orang yang dihormati
maupun orang yang lebih tua.
Aksara Jawa terdiri dari 20 huruf yaitu ha, na, ca, ra, ka, da, ta, sa, wa, la dan seterusnya. Arti
dari aksara Jawa yang berjumlah 20 adalah ada dua utusan yang setia tetapi mereka saling
bertarung dengan kesaktian yang sama. Kemudian dua utusan tersebut juga sama-sama
meninggal.

6. Falsafah Hidup.
Suku Jawa juga kental dengan falsafah hidup atau pedoman hidup bagi masyarakat. Misalnya
“mangan ora mangan sing penting kumpul” artinya kebersamaan menjadi hal yang sangat
penting dibanding yang lainnya. Ada juga “urip kui urup” artinya seseorang yang hidup harus
bermanfaat bagi sesamanya maupun lingkungannya.

Salah satu karakter suku Jawa yaitu menjalani hidup dengan filosofi seperti air mengalir. Filosofi
ini pun meliputi pemikiran sederhana seperti hidup itu yang penting bisa beribadah, makan,
menghidupi keluarga dan lain-lain. Suku Jawa juga memiliki sikap “nrima ing pandum” yang
artinya menerima apapun pemberian dari Sang Pencipta.

7. Budaya Kejawen.
Budaya kejawen sangat melekat pada suku Jawa. Budaya ini pun cukup terkenal dimana budaya
kejawen mengajarkan tentang budaya, adat istiadat, pandangan sosial dan filosofis orang Jawa.
Hingga saat ini pun budaya kejawen masih ada dan melekat pada orang Jawa. Ajaran kejawen
mirip dengan agama yang mengajarkan spiritual masyarakat Jawa kepada Penciptanya.

8. Rumah tradisional Suku Jawa.


Rumah adat yang ada di Pulau Jawa sebenarnya banyak seperti Rumah Kebaya yang merupakan
rumah adat Betawi, rumah Badui yang merupakan rumah khas suku Baduy dari Provinsi Banten
serta Rumah adat Kasepuh yang berasal dari Cirebon. Namun yang khas dan umum untuk
Rumah adat suku Jawa adalah rumah Joglo.

 Rumah Joglo.
Bangunan ini merupakan tempat tinggal suku Jawa sejak dahulu, namun dengan
seiringnya perkembangan teknologi, rumah ini sangat jarang dijumpai apalagi di wilayah
perkotaan.

9. Mata Pencaharian.
Sebelum perkembangan teknologi yang seperti saat ini Mayoritas Mata pencaharian Suku Jawa
adalah di bidang:

 Pertanian.
 Perkebunan.
 Perdagangan.
 Perikanan.

12
Selain keramahan dan kesederhanaan Suku Jawa, Salah satu karakter yang sangat melekat yaitu
lebih suka mengalah dibanding mencari masalah. Banyak orang yang beranggapan bahwa Suku
Jawa itu luwes. Karena keramahan dan kesederhanaannya menjadikan orang Jawa mudah
bergaul dan memiliki teman dari berbagai suku.

3. Suku Dayak

Suku Dayak adalah penduduk asli Pulau Kalimantan yang terdiri atas beragam budaya dan
subsuku. Istilah Dayak pertama kali digunakan oleh seorang ilmuwan Belanda bernama August
Kaderland pada 1895. Arti kata Dayak sendiri sebenarnya masih menjadi bahan perdebatan para
ahli.

Ada yang menyebut artinya adalah manusia, pedalaman, hingga orang yang tinggal di hulu
sungai. Sementara sebagian lainnya mengklaim istilah Dayak menunjuk pada karakteristik
personal yang diakui oleh orang-orang Kalimantan, yakni kuat, gagah, berani, dan ulet. Terlepas
dari perbedaan itu, penduduk asli Kalimantan sendiri umumnya tidak mengenal istilah Dayak.
Orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebutnya sebagai Suku Dayak. Lantas,
bagaimana asal-usul Suku Dayak di Kalimantan? Nenek moyang Suku Dayak Sebagian ahli
berpendapat bahwa Dayak adalah salah satu kelompok suku asli terbesar dan tertua yang
mendiami Pulau Kalimantan. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan
email Gagasan ini didasarkan pada teori migrasi penduduk, di mana nenek moyang orang Dayak
diperkirakan berasal dari beberapa gelombang migrasi.

Gelombang pertama terdiri dari ras Australoid, yang kemudian disusul oleh ras Mongoloid.
Gelombang migrasi ini terus berlanjut, hingga menyebabkan Suku Dayak memiliki begitu banyak
bahasa dan karakteristik budaya. Suku Dayak memiliki 268 sub-suku yang dibagi ke dalam enam
rumpun, yaitu Rumpun Punan, Rumpun Klemantan, Rumpun Apokayan, Rumpun Iban, Rumpun
Murut, dan Rumpun Ot Danum. Suku Dayak Punan adalah suku yang paling tua mendiami Pulau
Kalimantan. Sedangkan rumpun lainnya merupakan hasil asimilasi dengan bangsa Melayu. Baca
juga: Sifat dan Corak Hukum Adat Dayak Terpecahnya Suku Dayak Suku Dayak berasal dari
seluruh Kalimantan, baik yang masuk dalam wilayah Indonesia, ataupun yang masuk ke wilayah
Malaysia dan Brunei.

Di daerah selatan Kalimantan, Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi
lisan Dayak di daerah itu sering disebut Nansarunai Usak Jawa, yakni Kerajaan Nansarunai dari
Dayak Maanyan yang dihancurkan Majapahit. Peristiwa itu mengakibatkan Suku Dayak Maanyan
terdesak dan terpencar, sebagian masuk pedalaman ke wilayah Dayak Lawangan. Arus besar
berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam, tepatnya Kesultanan Demak, bersama masuknya

13
pedagang Melayu. Setelah itu, sebagian besar Suku Dayak di wilayah selatan dan timur
Kalimantan mulai memeluk Islam dan tidak mengakui dirinya sebagai orang Dayak. Orang Dayak
yang tidak masuk Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, dan bermukim di Kayu
Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas, dan Watang Balangan. Sedangkan
sebagian lainnya yang masih mempertahankan adat budayanya terus terdesak masuk ke hutan
rimba.

4. Suku Madura

Suku Madura merupakan suku bangsa yang mendiami wilayah pulau madura dan pulau-
pulau kecil disekitarnya. Letak pulau Madura sendiri berada di ujung utara wilayah Jawa Timur.
Antara pulau Madura dan Jawa sekarang ini telah terhubung dengan adanya jalan tol jembatan
Suramadu. Suku Madura merupakan salah satu suku bangsa Indonesia yang memiliki populasi
cukup besar dan tersebar tidak hanya di pulau Madura melainkan di wilayah-wilayah lain
Indonesia karena budaya perantauannya. Kebudayaan suku Madura merupakan salah satu
yang paling terkenal di Indonesia, pakaian adatnya yang bercorak garis horizontal warna merah
dan putih merupakan yang familiar dikenal oleh kebanyakan orang.

Suku Madura mendiami 4 kabupaten di pulau Madura yakni Bangkalan, Sampang, Pamekasan
dan Sumenep. Sumenep merupakan wilayah yang dipercaya sebagai pusat kerajaan Madura
pada zaman dahulu. Oleh sebab itu dialek bahasa Madura yang dijadikan bahasa pemersatu
adalah dialek Sumenep. Suku Madura memiliki beberapa produk budaya yang masih mirip
dengan kebudayaan suku Jawa, selain karena faktor kedekatan geografis adalah karena faktor
ekspansi kerajaan Majapahit pada zaman dulu yang juga memasuki wilayah Madura dan
akhirnya terjadi percampuran budaya. Namun, beberapa bentuk kebudayaan masih
menunjukkan ciri khas dari pribumi suku Madura sendiri. Inilah beberapa bentuk kebudayaan
dan kebiasaan dari Suku Madura yang terkenal :

1. Pesa’an

Pesa’an merupakan sebutan bagi pakaian tradisional khas suku Madura. Pesa’an pada pakaian
pria terdiri dari kaos yang bermotif garis dengan warna merah dan putih yang dipadu-padankan
dengan baju dan celana longgar berwarna hitam. Sebagai pelengkap digunakan ikat kepala yang
disebut odheng dan juga senjata tradisional clurit yang diselempangkan. Sedangkan pada

14
wanita lebih sederhana dan lebih mirip dengan pakaian suku Jawa dengan atasan kebaya dan
bawahan kain Jarit.
Pada zaman dahulu, pesa’an biasa digunakan oleh para guru agama atau biasa disebut
dengan molang. Warna dan motif garis yang ada pada kaos pesa’an memiliki makna ketegasan
dan keberanian serta semangat kerja keras. Oleh sebab itu suku Madura dikenal sebagai
masyarakat yang memiliki pribadi berani, keras, tegas serta memiliki etos kerja keras yang
tinggi.
Pelajari juga pakaian adat suku lain pada artikel : Kebudayaan suku baduy, kebudayaan
minangkabau, kebudayaan sumatera selatan.

2. Clurit

Suku Madura memiliki senjata tradisional yang sangat khas yang


disebut clurit. Bentuk Clurit mirip dengan arit pada suku Jawa yang biasa digunakan untuk
bertani dan berkebun. Perbedaannya, bentuk clurit lebih ramping dengan lingkar lengkung yang
lebih tipis serta memiliki ujung yang lebih lancip. Clurit dilengkapi dengan gagang yang terbuat
dari besi atau kayu.
Keberadaan clurit pada masyarakat Madura tidak dapat dilepaskan dari legenda Pak Sakera.
Konon pada zaman dahulu, Pak Sakera merupakan seorang mandor kebun yang selalu
membawa clurit ketika bekerja dan mengawasi pegawai perkebunannya. Pada masa penjajahan
Belanda, Pak Sakera merupakan sosok pejuang rakyat yang dengan cluritnya berani melawan
para jagoan (biasa disebut Blater) yang sudah dibeli oleh Belanda untuk menguasai tanah
Madura. Beliau merupakan sosok pemberontak dari kalangan santri yang sangat tegas menolak
penjajahan Belanda. Sejak saat itu clurit menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari identitas
Suku Madura. Clurit merupakan simbol perjuangan dan keberanian rakyat Madura.

3. Saronen

Saronen merupakan alat musik tradisonal khas suku Madura. Saronen memiliki bentuk kerucut
memanjang menyerupai terompet dan dimainkan dengan cara ditiup. Saronen awal mulanya
lebih dikenal dengan nama Sennenan yang artinya hari Senin. Sejarah Saronen berawal dari Kyai
Khatib Sendang yang merupakan cicit dari Sunan Kudus menggunakan alat ini sebagai media
dakwahnya untuk menyebarkan Islam di Madura. Setiap hari Senin Kyai Khatib menggunakan
alat musik tiup ini untuk mengumpulkan masyarakat Madura yang tengah berbelanja di pasar
dan sekaligus menghibur mereka. Selepas mereka berkumpul dan terhibur Kyai Khatib
menyelinginya dengan dakwah nilai-nilai Islam. Oleh sebab itu alat musik tiup ini awal mulanya
lebih dikenal dengan Sennenan. Bentuk alat musik Sennenan atau Saronen serta bunyi khas
yang dikeluarkannya mirip dengan alat musik Selompret yang digunakan pada kesenian Reog
pada kebudayaan Ponorogo dan biasa juga dipakai dalam kesenian Kuda Lumping.
Dalam perkembangannya Saronen kemudian menjadi tradisi kesenian musik tersendiri. Tidak
lagi hanya berbicara alat musik tiup, Saronen dimainkan dengan diiringi beberapa alat musik
lain, diantaranya kendang, gong besar, gong kecil, kenong besar, kenong kecil serta kempul.
Kesenian saronen biasa dimainkan ketika ada pesta adat pernikahan, pesta adat rakyat ataupun
ketika penyelenggaraan turnamen karapan sapi.

Pelajari juga kesenian khas suku lain pada artikel : Kebudayaan suku banjar, kebudayaan sunda

4. Keraban Sapeh

15
Keraban Sapeh atau lebih familiar disebut dengan karapan sapi, merupakan kebudayaan suku
Madura yang sangat khas dan terkenal. Karapan sapi merupakan kesenian pesta adat rakyat
berupa perlombaan dengan menggunakan semacam gerobak yang ditarik oleh dua ekor sapi
dan terdapat satu joki sebagai pengendali laju sapi. Sejarah karapan sapi berawal dari Syeh
Ahmad Baidawi yang memperkenalkan kepada masyarakat Madura tentang cara bercocok
tanam sawah dengan menggunakan alat dari sepasang bambu disebut ‘nanggala’ atau ‘salaga’.
Nanggala atau salaga ini ditarik oleh dua ekor sapi yang kemudian digunakan untuk membajak
persawahan. Karapan sapi pada awal mulanya digunakan untuk menyeleksi sapi-sapi terbaik
yang bisa digunakan untuk membajak sawah. Namun kemudian hal ini berkembang menjadi
tradisi dan kesenian tersendiri.
Masyarakat Madura biasa mengadakan perlombaan karapan sapi pada sekitar bulan-bulan
Agustus dan September dan finalnya biasa dilaksanakan pada bulan Oktober. Tradisi tahunan
karapan sapi ini cukup bergengsi di kalangan suku Madura karena sapi yang menjadi juara pada
perlombaan ini selain meningkatkan status daya jualnya, juga dapat meningkatkan status sosial
pemilik sapi. Karapan sapi biasa dilaksanakan pada areal persawahan dengan panjang lintasan
sekitar 100 meter. Joki-joki karapan sapi harus berusaha memacu sapi-sapi mereka untuk dapat
mencapai garis finish terlebih dahulu, yang tercepatlah yang dinyatakan sebagai pemenang.

5. Bhubu’an

Tradisi bhubu’an dikembangkan oleh masyarakat suku Madura yang mendiami wilayah
Bangkalan. Tradisi bhubu’an merupakan tradisi memberi kado pada hajat pernikahan. Pada
zaman dahulu, bhubu’an berupa bahan pangan dan sembako, namun seiring perkembangan
zaman, sekarang sudah lebih banyak menggunakan uang.

Pada tradisi bhubu’an, para tamu undangan biasanya menyerahkan kado pemberian mereka
kepada para penerima tamu. Para penerima tamu ini lantas kemudian mencatat nama dan
besaran pemberian atau barang-barang apa saja yang diberikan sebagai kado pemberian.
Fungsi pencatatan ini nantinya sebagai administrasi bagi tuan rumah yang memiliki hajat untuk
mengembalikan kembali kado pemberian tersebut kepada pemberinya. Maksudnya ketika nanti
si pemberi kado sedang ada hajat, maka tuan rumah tadi akan membawa bhubu’an yang senilai
dengan yang diberikan atau bisa lebih. Tradisi ini menunjukkan sikap sosial suku Madura yang
tolong menolong.

6. Carok

Carok berasal dari bahasa kawi kuno yang artinya perkelahian. Tradisi carok merupakan tradisi
pertarungan atau perkelahian antara dua orang atau dua keluarga besar dengan menggunakan
senjata tradisional clurit. Pertengkaran ini biasanya berkaitan dengan harga diri, baik diri pribadi
maupun keluarga. Lebih banyak biasanya dipicu masalah perebutan wanita. Terkadang tradisi
carok ini bisa membawa pada munculnya korban jiwa.

Suku Madura memegang prinsip hidup “ Lebbhi bagus pote tolang etembheng pote mata “,
yang artinya lebih baik putih tulang (mati) daripada putih mata (menahan malu). Oleh sebab itu
bila terjadi permasalahan yang menyangkut harkat dan martabat diri suku Madura, maka carok
merupakan solusi jalan keluarnya. Filosofis inilah yang sempat memunculkan konflik budaya
dengan kebudayaan suku dayak ketika suku Madura bermigrasi ke tanah Kalimantan.
Tradisi carok mulai berkembang pesat ketika Belanda pada saat ingin menguasai tanah Madura,
menggunakan para jawara yang disebut Blater untuk menantang dan beradu duel dengan
16
masyarakat pribumi. Tujuannya adalah untuk menimbulkan rasa takut. Pak Sakera merupakan
salah satu orang Madura yang sangat keras memberontak penjajahan Belanda, Pak Sakera
dengan cluritnya melakukan perjuangan melawan para Blater Belanda. Belanda sendiri juga
sering menggunakan carok untuk mengadu domba masyarakat Madura. Bila ada perselisihan
dan persengketaan, Belanda selalu mengajukan carok sebagai jalan, dan sejak saat itu carok
dan clurit sangat kental dalam kebiasaan suku Madura. Hingga hari ini tradisi carok masih
dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Madura.

7. Mondok

Keseluruhan suku Madura merupakan penganut Islam yang kuat. Madura sendiri merupakan
bagian dari wilayah tapal kuda yang dikenal dengan adat kyai dan pesantren. Di Madura
terdapat lebih dari 200an pondok pesantren Islam. Orang Madura biasanya lebih menyukai
menyekolahkan anak-anaknya ke pondok pesantren yang biasa disebut dengan
istilah mondok daripada menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah umum. Bagi
mereka ilmu agama lebih penting daripada ilmu dunia. Keluarga suku Madura sudah terbiasa
melepas anak-anak mereka untuk mondok sejak usia kecil. Biasanya mereka mondok tidak
hanya di sekitaran pulau Madura tetapi bisa hingga ke wilayah-wilayah Jawa Timur yang
memiliki basis pondok pesantren Islam.
Kebiasaan mondok dan keteguhannya pada nilai-nilai Islam ini menjadikan orang suku Madura
memiliki ketundukan dan kepatuhan yang tinggi terhadap para kyai Islam yang dipandang
memiliki kelebihan ilmu agama. Kyai merupakan sosok yang sangat dihormati oleh orang suku
Madura. Kepatuhan ini hingga menjadi sebuah jargon bagi suku Madura bahwa sejahat-
jahatnya atau sebengis-bengisnya orang Madura, mereka akan tetap patuh dan tidak berani
melawan guru dan Kyainya.
Pelajari juga adat hidup suku lain pada artikel : kebudayaan Batak, kebudayaan
papua, kebudayaan nusa Tenggara Timur.

8. Haji sebagai Tujuan Hidup

Orang suku Madura yang terkenal dengan kerja keras dan keteguhannya dalam memegang
nilai-nilai Islam, memiliki tujuan hidup yang sama yakni naik Haji. Pergi berhaji bagi masyarakat
Madura selain sebagai bentuk penyempurna ibadah sebagaimana yang ada dalam ajaran Islam,
juga merupakan salah satu bentuk menunjukkan status sosial di kalangan masyarakat. Predikat
haji bagi suku Madura memiliki prestise tersendiri.
Mereka yang telah berhasil menunaikan ibadah haji, maka lingkungan sosialnya akan
memanggil mereka dengan sebutan ‘abah’ untuk pria dan ‘umi’ untuk wanita. Secara tidak
langsung sebutan ini seperti meningkatkan kasta sosial mereka dibandingkan dengan orang-
orang yang belum berhaji. Bagi orang Suku Madura, pergi berhaji terkadang tidak cukup hanya
sekali, selagi mereka memiliki kemampuan secara ekonomi maka mereka akan terus pergi
berhaji, dan otomatis status sosialnya pun akan terus merangkak naik. Oleh sebab itu, berhaji
bagi suku Madura menjadi sebuah nilai budaya tersendiri.
Itulah beberapa bentuk kebudayaan suku Madura yang mencerminkan filosofis kehidupan
mereka. Indonesia memang negara dengan suku bangsa yang kaya akan budaya, warisan
kekayaan budaya merupakan hal yang patut untuk terus dilestarikan. Untuk Jawa Timur pelajari
juga kebudayaan Pacitan yang juga memiliki keunikan tersendiri.

17
5. Suku Minangkabau

Minangkabau (Minang) adalah kelompok etnis Nusantara yang berbahasa dan menjunjung
adat Minangkabau. Wilayah kebudayaannya Minang meliputi daerah Sumatera Barat, separuh
daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai barat Sumatera Utara, barat
daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia.

Sebutan orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, hal ini merujuk pada nama
ibu kota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan
menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak, yang bermaksud sama dengan orang
Minang itu sendiri.

Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Pembacaan Teks Proklamasi 17 Agustus 1945

Etnis Minang juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan
adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip
adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syarak, syarak basandi
Kitabullah(Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur’an) yang berarti adat
berlandaskan ajaran Islam.

Etnis ini juga sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka
merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar
berdagang dan dinamis. Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada
dalam perantauan.

Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu
legenda khas Minang yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo yang diterima secara turun
temurun, menceritakan bahwa nenek moyang mereka berasal dari keturunan Iskandar
Zulkarnain.

Walau tambo tersebut tidak tersusun secara sistematis dan lebih kepada legenda berbanding
fakta serta cendrung kepada sebuah karya sastra yang sudah menjadi milik masyarakat banyak.
Namun kisah tambo ini sedikit banyaknya dapat dibandingkan dengan Sulalatus Salatin yang juga
menceritakan bagaimana masyarakat Minangkabau mengutus wakilnya untuk meminta Sang
Sapurba salah seorang keturunan Iskandar Zulkarnain tersebut untuk menjadi raja mereka.

Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro Melayu (Melayu Muda) yang
melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau Sumatera sekitar 2.500–2.000 tahun yang
lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri
18
aliran sungai Kampar sampai ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman
orang Minangkabau.

Beberapa kawasan darek ini kemudian membentuk semacam konfederasi yang dikenal dengan
nama luhak, yang selanjutnya disebut juga dengan nama Luhak Nan Tigo, yang terdiri dari Luhak
Limo Puluah, Luhak Agam, dan Luhak Tanah Data. Pada masa pemerintahan Hindia-Belanda,
kawasan luhak tersebut menjadi daerah teritorial pemerintahan yang disebut afdeling, dikepalai
oleh seorang residen yang oleh masyarakat Minangkabau disebut dengan nama Tuan Luhak.

Awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang Melayu, namun sejak abad
ke-19, penyebutan Minang dan Melayu mulai dibedakan melihat budaya matrilineal yang tetap
bertahan berbanding patrilineal yang dianut oleh masyarakat Melayu umumnya. Kemudian
pengelompokan ini terus berlangsung demi kepentingan sensus penduduk maupun politik.

Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Isi Trikora ( Tri Komando Rakyat ) : Tujuan,
Latar Belakang, Sejarah Awal Hingga Akhir

Kebudayaan Suku Minangkabau


1. Pakaian Adat Suku Minangkabau
 Pakaian Bundo Kanduang atau Limpapeh Rumah Nan Gadang
Yang pertama adalah Pakaian Limpapeh Rumah Nan Gadang atau sering pula disebut
pakaian Bundo Kanduang. Pakaian ini merupakan lambang kebesaran bagi para wanita
yang telah menikah. Pakaian tersebut merupakan simbol dari pentingnya peran seorang
ibu dalam sebuah keluarga. Limapeh sendiri artinya adalah tiang tengah dari bangunan
rumah adat Sumatera Barat.

Peran limapeh dalam mengokohtegakan bangunan adalah analogi dari peran ibu dalam
sebuah keluarga. Jika limapeh rubuh, maka rumah atau suatu bangunan juga akan rubuh,
begitupun jika seorang ibu atau wanita tidak pandai mengatur rumah tangga, maka
keluarganya juga tak akan bertahan lama. Secara umum, pakaian adat Bundo Ka nduang
atau Limpapeh Rumah Nan Gadang memiliki desain yang berbeda-beda dari setiap nagari
atau sub suku. Akan tetapi, beberapa kelengkapan khusus yang pasti ada dalam jenis-jenis
pakaian tersebut. Perlengkapan ini antara lain tingkuluak (tengkuluk), baju batabue,
minsie, lambak atau sarung, salempang, dukuah (kalung), galang (gelang), dan beberapa
aksesoris lainnya.

 Baju Tradisional Pria Minangkabau Pakaian adat Sumatera Barat


untuk para pria bernama pakaian penghulu. Sesuai namanya, pakaian ini hanya digunakan
oleh tetua adat atau orang tertentu, dimana dalam cara pemakaiannya pun di atur
sedemikian rupa oleh hukum adat. Pakaian ini terdiri atas beberapa kelengkapan yang di
antaranya Deta, baju hitam, sarawa, sesamping, cawek, sandang, keris, dan tungkek.

 Pakaian Adat Pengantin Padang

19
Selain baju bundo kanduang dan baju penghulu, ada pula jenis pakaian adat Sumatera
Barat lainnya yang umum dikenakan oleh para pengantin dalam upacara pernikahan.
Pakaian pengantin ini lazimnya berwarna merah dengan tutup kepala dan hiasan yang
lebih banyak. Hingga kini, pakaian tersebut masih kerap digunakan tapi tentunya dengan
sedikit tambahan modernisasi dengan gaya atau desain yang lebih unik.

6. Suku Bugis

Suku Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu. Masuk ke Nusantara
setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata "Bugis" berasal dari
kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina
yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La
Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki
dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah
ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La
Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman
folio.

Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam
karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam
tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
Komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan. Masyarakat ini kemudian
mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, dan pemerintahan mereka sendiri. Beberapa
kerajaan Bugis klasik antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa, Sawitto, Sidenreng dan
Rappang. Meski tersebar dan membentuk suku Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan
adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam
beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah
peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene
Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang.
Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak
menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene
Kepulauan) Masa Kerajaan Kerajaan Bone Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh
generasi, yang kemudian muncul seorang To Manurung yang dikenal Manurungnge ri Matajang.
Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama
Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah ade pitue.

20
Kerajaan Makassar Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo,
yang diawali dengan krisis sosial, dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan Makassar
kemudian terpecah menjadi Gowa dan Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan kembar ini
kembali menyatu menjadi kerajaan Makassar. Kerajaan Soppeng Di saat terjadi kekacauan, di
Soppeng muncul dua orang To Manurung. Pertama, seorang wanita yang dikenal dengan nama
Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. dan kedua, seorang laki-laki
yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang memerintah di Soppeng ri Lau.
Akhirnya dua kerajaan kembar ini menjadi Kerajaaan Soppeng. Kerajaan Wajo Sementara
kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari berbagai arah yang berkumpul di sekitar danau
Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural yang disebut
puangnge ri lampulung.
Sepeninggal beliau, komune tersebut berpindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang
juga memiliki kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke seorang pangeran dari kerajaan
Cina (Pammana) beberapa lama setelahnya, kemudian membangun kerajaan Cinnotabi. Selama
lima generasi, kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo. Konflik antar Kerajaan Pada abad
ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan Soppeng serta Wajo mulai muncul,
maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan.
Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah Gowa di Bulukumba.
Sementara, di utara, Bone bertemu Luwu di Sungai Walennae. Sedang Wajo, perlahan juga
melakukan perluasan wilayah. Sementara Soppeng memperluas ke arah barat sampai di Barru.
Perang antara Luwu dan Bone dimenangkan oleh Bone dan Luwu kemudian mempersaudarakan
kerajaan mereka. Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari Danau Tempe dan Danau
Sidenreng menuju Teluk Bone. Untuk mempertahankan posisinya, Luwu membangun aliansi
dengan Wajo, dengan menyerang beberapa daerah Bone dan Sidenreng. Berikutnya wilayah
Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai Wajo melalui penaklukan ataupun penggabungan.
Wajo kemudian bergesek dengan Bone. Invasi Gowa kemudian merebut beberapa daerah Bone
serta menaklukkan Wajo dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone,
Wajo dan Soppeng membuat aliansi yang disebut “tellumpoccoe”.
Penyebaran Islam Pada awal abad ke-17, datang penyiar agama Islam dari Minangkabau atas
perintah Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Mereka adalah Abdul Makmur (Datuk ri Bandang) yang
mengislamkan Gowa dan Tallo, Suleiman (Datuk Patimang) menyebarkan Islam di Luwu, dan
Nurdin Ariyani (Datuk ri Tiro) yang menyiarkan Islam di Bulukumba.[2] Kolonialisme Belanda
Pertengahan abad ke-17, terjadi persaingan yang tajam antara Gowa dengan VOC hingga terjadi
beberapa kali pertempuran. Sementara Arumpone ditahan di Gowa dan mengakibatkan
terjadinya perlawanan yang dipimpin La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka. Arung Palakka
didukung oleh Turatea, kerajaaan kecil Makassar yang tidak sudi berada dibawah Gowa.
Sementara Sultan Hasanuddin didukung oleh menantunya La Tenri Lai Tosengngeng Arung
Matowa Wajo, Maradia Mandar, dan Datu Luwu. Perang yang dahsyat mengakibatkan benteng
Somba Opu luluh lantak. Kekalahan ini mengakibatkan ditandatanganinya Perjanjian Bongaya
yang merugikan kerajaan Gowa.
Pernikahan Lapatau dengan putri Datu Luwu, Datu Soppeng, dan Somba Gowa adalah sebuah
proses rekonsiliasi atas konflik di jazirah Sulawesi Selatan. Setelah itu tidak adalagi perang yang
besar sampai kemudian di tahun 1905-6 setelah perlawanan Sultan Husain Karaeng Lembang
Parang dan La Pawawoi Karaeng Segeri Arumpone dipadamkan, maka masyarakat Bugis-
Makassar baru bisa betul-betul ditaklukkan Belanda. Kosongnya kepemimpinan lokal
mengakibatkan Belanda menerbitkan Korte Veklaring, yaitu perjanjian pendek tentang
pengangkatan raja sebagai pemulihan kondisi kerajaan yang sempat lowong setelah penaklukan.
21
Kerajaan tidak lagi berdaulat, tapi hanya sekedar perpanjangan tangan kekuasaaan pemerintah
kolonial Hindia Belanda, sampai kemudian muncul Jepang menggeser Belanda hingga berdirinya
NKRI. Masa Kemerdekaan Para raja-raja di Nusantara bersepakat membubarkan kerajaan mereka
dan melebur dalam wadah NKRI. Pada tahun 1950-1960an, Indonesia khususnya Sulawesi
Selatan disibukkan dengan pemberontakan.
Pemberontakan ini mengakibatkan banyak orang Bugis meninggalkan kampung halamannya.
Pada zaman Orde Baru, budaya periferi seperti budaya di Sulawesi benar-benar dipinggirkan
sehingga semakin terkikis. Sekarang generasi muda Bugis-Makassar adalah generasi yang lebih
banyak mengkonsumsi budaya material sebagai akibat modernisasi, kehilangan jati diri akibat
pendidikan pola Orde Baru yang meminggirkan budaya mereka. Seiring dengan arus reformasi,
munculah wacana pemekaran. Daerah Mandar membentuk propinsi baru yaitu Sulawesi Barat.
Kabupaten Luwu terpecah tiga daerah tingkat dua. Sementara banyak kecamatan dan
desa/kelurahan juga dimekarkan. Namun sayangnya tanah tidak bertambah luas, malah semakin
sempit akibat bertambahnya populasi dan transmigrasi.
Mata Pencaharian masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka
kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang
diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi
pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan. Bugis Perantauan Kepiawaian suku Bugis-
Makasar dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun
hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di
pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar,
sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka. Penyebab
Merantau Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada
abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini
menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya
merantau juga didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis
hanya dapat diraih melalui kemerdekaan. Bugis di Kalimantan Selatan Pada abad ke-17 datanglah
seorang pemimpin suku Bugis menghadap raja Banjar yang berkedudukan di Kayu Tangi
(Martapura) untuk diijinkan mendirikan pemukiman di Pagatan, Tanah Bumbu. Raja Banjar
memberikan gelar Kapitan Laut Pulo kepadanya yang kemudian menjadi raja Pagatan.
Kini sebagian besar suku Bugis tinggal di daerah pesisir timur Kalimantan Selatan yaitu Tanah
Bumbu dan Kota Baru. Bugis di Sumatera dan Semenanjung Malaysia Setelah dikuasainya
kerajaan Gowa oleh VOC pada pertengahan abad ke-17, banyak perantau Melayu dan
Minangkabau yang menduduki jabatan di kerajaan Gowa bersama orang Bugis lainnya, ikut serta
meninggalkan Sulawesi menuju kerajaan-kerajaan di tanah Melayu. Disini mereka turut terlibat
dalam perebutan politik kerajaan-kerajaan Melayu. Hingga saat ini banyak raja-raja di Johor yang
merupakan keturunan Bugis.

22
7. Suku Batak

merupakan suku yang tinggal di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara. Suku ini tersebar
hampir di seluruh wilayah provinsi Sumatera Utara. Dilansir dari Suku-suku Bangsa di
Summatera karya Giyanto, nenek moyang Suku Batak merupakan kelompok Proto Melayu atau
Melayu Tua. Kelompok ini berasal dari Asia Selatan dan bermigrasi ke Nusantara melalui Pulau
Sumatera. Dari semenanjung Malaya, mereka menyeberang ke Pulau Sumatera dan akhirnya
menetap di sekitar Danau Toba, Sumatera Utara. Baca juga: Suku Gayo, Suku Terbesar Kedua di
Aceh Mengenal Suku Bawean yang Suka Merantau Mengenal Suku Tengger di Kawasan Bromo,
Peradaban sejak Zaman Majapahit Kelompok Proto Melayu kemudian membangun sebuah
permukiman di Sianjur Mula-Mula. Pemukiman tersebut berkembang dan menyebar ke wilayah
sekitarnya

"Ada beberapa versi tentang nenek moyang suku bangsa Batak. Salah satu versi
menyebutkan bahwa nenek moyang suku bangsa Batak adalah si Raja Batak," tulis Giyanto.
Menurut buku Tarombo Borbor Marsada yang dikutip Giyanto, Raja Batak memiliki tiga orang
putra. Ketiga anak tersebut yang menjadi awal mula marga di suku Batak. Dapatkan informasi,
inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Sebelas subsuku Batak Menurut Giyanto,
Suku Batak memiliki sebelas subsuku yang tercatat. Subsuku tersebut meliputi, Batak Karo, Batak
Toba, Batak Papa, Batak Simalungun, Batak Angkola, Batak Mandailing, Batak Dairi, Batak Nias,
Batak Alas, Batak Gayo, dan Batak Kluet. "Dari subsuku bangsa tersebut ,ada lima subsuku bangsa
yang menjadi subetnis utama Batak, yaituu Toba, Pakpak, Simalungun, Karo, dan Mandailing,"
terang Giyanto. Lihat Foto Ilustrasi suku Batak Toba, di Desa Huta Tinggi, Samosir, Sumatera Utara
DOK.Shutterstock/Intansin(Shutterstock/Intansin) Subsuku lainnya diketahui memisahkan diri
dan membentuk identitas baru menjadi suku berbeda. Misalnya saja subsuku Gayo yang menjadi
Suku Gayo dan subsuku Nias yang menjadi Suku Nias. Suku Batak menyebar hampir di seluruh
Provinsi Sumatera Utara dan sebagian wilayah Aceh. Sebagian besar dari mereka masih tinggal
di sekitar Danau Toba. Baca juga: Mendalami Kehidupan Suku Batak Toba di Desa Wisata Huta
Tinggi Menurut Giyanto, Suku Batak hidup secara berkelompok dalam satu kampung yang
disebut huta atau kuta dalam bahasa Karo. Setiap huta biasanya didiami beberapa keluarga yang
masih memiliki ikatan kekerabatan. Bahasa Batak Suku Batak menggunakan bahasa Batak untuk
berkomunikasi sehari-hari. Setiap subetnis memiliki logat atau dialek tersendiri dalam
mengucapkan bahasa Batak. Dilansir dari Warisan Leluhur karya Uli Kozok, ahli bahasa
membedakan bahsa batak ke dalam dua cabang. Perbedaan dari kedua cabang tersebut terlalu
besar, sehingga tidak memungkinkan adanya komunikasi antara kedua kelompok bahasa
tesebut. Lihat Foto Tari Sipitu khas Batak DOK. Shutterstock/Maulana
Image(Shutterstock/Maulana Image) Batak Angkola, Mandailingi, dan Toba membentuk rumpun
selatan. Sedangkan Batak Karo dan Pakpak-Dairi termasuk ke dalam rumpun utara. Baca juga: Mi
23
Gomak sampai Dali Ni Horbo, Kuliner Khas Batak di Desa Huta Tinggi Batak Simalungun sering
digolongkan ke dalam rumpun ke tiga yang berada di antara utara dan selatan. Namun menurut
ahli bahasa Adelaar, dialek Simalungun sebenarnya berasal dari rumpun selatan. "Semua bahasa
Batak berasal dari satu bahasa purba (proto language) yang sebagian kosa katanya dapat
direkonstruksi," tulis Kozok dalam buku tersebut. Agama Suku Batak Ada satu nama penting yang
berhubungan dengan keyakinan masyarakat Batak yaitu Debeta Mula Jadi Na Bolon. Sosok ini
dipercaya sebagai pencipta alam semesta dan tinggal di atas langit. Menurut Nelita Br
Situmorang dalam jurnalnya yang berjudul Eksistensi Agama Lokal Parmalim, agama yang dianut
Suku Batak awalnya disebut Parmalim atau Ugamo Malim. "Pemeluk Agama Pamalim bersikeras
dengan keyakinan yang kukuh bahwa Malim adalah sebuah agama yang mereka yakini sebagai
kepercayaan yang turun temurun dari keturunan pertama darah batak," tulis Situmorang. Lihat
Foto Suku Batak di Pulau Samosir, Danau Toba, Sumatera Utara DOK. Shutterstock/Lenisecalleja
Photograhy(Shutterstock/Lenisecalleja Photograhy) Dalam keyakinan tersebut, Mulajadi Na
Bolon dipercaya sebagai Tuhan Yang Maha Besar tempat semua makhluk berasal. Penganut
Ugamo Malim beribadah di Bale Parsaktian atau disebut juga Bale Pasogit. Menurut masyarakat
Batak, agama ini pertama kali berdiri pada 497 Masehi (M) atau 1450 tahun Batak. Mereka
menggunakan kitab suci yang bernama Pustaha Habonoron. Ajaran Agama Kristen mulai masuk
ke Suku Batak pada tahun 1863. Ajaran agama ini dibawa para misionaris yang datang ke
Sumatera. "Namun kini mayoritas suku bangsa Batak memluk agama Kristen. Ada juga yang
memeluk Agama Islam, tetapi persentasenya masih cukup kecil," imbuh Giyanto.

Baca juga: Homestay Unik Desa Huta Tinggi Pulau Samosir, Menginap di Rumah Adat
Batak Gereja pertama yang berdiri di wilayah tersebut adalah Huria Kristen Batak Protestan
(HKBP). Gereja ini dibangun di Huta Dame, Tarutung. Agama Kristen masuk dan berkembang ke
wilayah pelosok, termasuk Samosir, Dairi, Karo, dan Simalungun pada tahun 1920-an. Dilansir
dari Adat dan Iman Kristen di Tanah Batak karya Togar Nainggolan, penyebaran ajaran agama
Katolik oleh para misionaris pada tahun 1930 sampai 1970 sangat berhasil. Jumlah pemeluk
agama Katolik meningkat secara drastis dalam kurun waktu 9 tahun. Antara tahun 1950 sampai
tahun 1959, jumlah penduduk beragama Katolik di Medan tercatat mencapai 101.550 orang yang
awalnya hanya sekitar 35.524 orang. Rumah adat Suku Batak Rumah adat Suku Batak berbentuk
rumah panggung dengan bahan dasar berupa kayu. Rumah adat ini disebut Rumah Bolon di
kalangan Batak Toba. Dilansir dari Analisis Arsitektur pada Rumah Tradisional Batak Toba di
Kabupaten Toba Samosir, Balinge karya Yunita Syafitri Rambe, Rumah batak memiliki oranamen
berupa ukiran dinding yang khas. Ornamen di rumah adat Suku Batak memiliki makna yang
berkaitan dengan kesejahteraan, keselamatan, serta perlindunga penghuni dan desanya. Lihat
Foto Rumah adat Batak Toba, Samosir, Sumatera Utara DOK. Shutterstock/Julius
Bramanto(Shutterstock/Julius Bramanto) Motif yang banyak ditemukan, antara lain gorga, singa-
singa, dan gajah dumpak. "Rumah tradisional Batak Toba di Balige ada dua jenis, yaitu ruma dan
sopo," tuis Rambe. Baca juga: 14 Jenis Ulos, Kain Kebanggaan Suku Batak Rumah merupakan
bangunan tradisional Suku Batak yang digunakan sebagai tempat tinggal.

24
8. Suku Melayu

Ras Melayu datang pertama kali ke daerah Riau sekitar tahun 2.500 SM. Mereka datang
dari daratan Asia bagian tengah dan menyeberang dari Semenanjung Malaysia. Gelombang
kedatangan kedua terjadi pada tahun 1.500 SM, dan gelombang kedatangan ketiga sekitar tahun
300 SM. Suku bangsa Melayu di daerah Riau adalah salah satu keturunan para migran dari
daratan Asia tersebut. Dalam sejarah kebudayaannya mereka juga telah mengalami beberapa
pengaruh peradaban, seperti Hindu, Islam, dan juga peradaban Cina dan Barat (Belanda,
Inggris dan Portugis).

Pada abad-abad yang dulu mereka sempat mempunyai beberapa kerajaan, seperti Kesultanan
Bintan atau Tumasik, Kandis atau Kuantan, Gasib atau Siak, Kriteng atau Inderagin, Lingga,
Malaka, Rokan, Siak Sri Inderapura, Kampar, Pelalawan dan Singingi. Pada masa sekarang
populasi mereka diperkirakan berjumlah sekitar 1 juta jiwa, tersebar terutama di Provinsi Riau
maupun kepulauannya dan disekitar daerah aliran sungai-sungai besar di daratan Sumatera
bagian Timur.

Bahasa Melayu Riau


Bahasa Melayu ini tidak jauh berbeda dengan bahasa Indonesia sekarang, malah dianggap
sebagai salah satu dasar bahasa Indonesia. Disebut juga bahasa Melayu Tinggi, karena awalnya
25
digunakan sebagai bahasa sastra oleh masyarakat Indonesia pada akhir abad yang lalu. Sebelum
mengenal tulisan latin, masyarakat ini menuliskan gagasan mereka dalam tulisan arab-melayu
atau arab gundul.

Mata Pencaharian Suku Melayu Riau


Orang Melayu di Riau ini amat sedikit yang bertanam padi di sawah, karena keadaan alamnya
yang tidak memungkinkan untuk itu, namun sebagian kecil ada juga yang berladang. Pada masa
dulu mungkin mereka lebih mengandalkan mata pencaharian mengolah sagu, mengumpulkan
hasil hutan, menangkap ikan, berladang dan berdagang. Tanaman mereka biasanya padi ladang,
ubi, sayuran dan buah-buahan. Kemudian mereka juga menanam tanaman keras yang sempat
melambung harganya yaitu karet.

Baca juga Sejarah Suku Melayu Jambi

Sebagai masyarakat yang berdiam di wilayah perairan mereka juga banyak mengembangkan alat
transportasi di laut, seperti lancang (perahu layar dua tiang dengan sebuah pondok di atasnya),
penjajab (kapal kayu penjelajah), jung (perahu layar kecil), sampan balang (perahu layar kecil
untuk menangkap ikan). Untuk di sungai mereka menggunakan sampan kolek, sampan kotak dan
belukang, ketiganya tergolong perahu lesung yang ramping bentuknya. Kemudian ada pula yang
disebut perahu jalur, yaitu perahu panjang yang digunakan untuk berlomba di sungai.
Masyarakat Melayu Riau
Setiap keluarga inti berdiam di rumah sendiri, kecuali pasangan baru yang biasanya lebih suka
menumpang di rumah pihak isteri sampai mereka punya anak pertama. Karena itu pola menetap
mereka boleh dikatakan neolokal. Keluarga inti yang mereka sebut kelamin umumnya
mendirikan rumah di lingkungan tempat tinggal pihak isteri. Prinsip garis keturunan atau
kekerabatan lebih cenderung parental atau bilateral.

Hubungan kekerabatan dilakukan dengan kata sapaan yang khas. Anak pertama dipanggil long,
anak kedua ngah, dibawahnya dipanggil cik, yang bungsu dipanggil cu atau ucu. Biasanya
panggilan itu ditambah dengan menyebutkan ciri-ciri fisik orang yang bersangkutan, misalnya cik
itam jika cik itu orang hitam, ngah utih jika Ngah itu orangnya putih, cu andak jika Ucu itu
orangnya pendek, cik unggal jika si buyung itu anak tunggal dan sebagainya.

Pada masa dulu orang Melayu juga hidup mengelompok menurut asal keturunan yang mereka
sebut suku. Kelompok keturunan ini memakai garis hubungan kekerabatan yang patrilineal
sufatnya. Tetapi orang Melayu Riau yang tinggal di daratan Sumatera dan dekat dengan
Minangkabau sebagian menganut faham suku yang matrilineal. Ada pula yang menyebut suku
dengan hinduk (induk atau cikal bakal). Setiap suku dipimpin oleh seorang penghulu. Kalau suku
itu berdiam di sebuah kampung maka penghulu langsung pula menjadi Datuk Penghulu Kampung
(Kepala Kampung). Setiap penghulu dibantu pula oleh beberapa tokoh seperti batin, jenang, tua -
tua dan monti. Di bidang keagamaan dikenal pemimpin seperti imam dan khotib.

26
Baca juga Sejarah Suku Minangkabau

Pelapisan sosial dalam kehidupan masyarakat Melayu Riau ini tidak lagi tajam seperti di zaman
kesultanan dulu. Walaupun begitu masih ada golongan-golongan tertentu yang dianggap
mempunyai ciri keturunan sendiri, misalnya golongan bangsawan yang terdiri dari keturunan
sultan dan raja, golongan datuk-datuk kepala suku, atau penghulu kepala kampung, kemudian
ada lagi golongan pemuka masyarakat yang disebut cerdik pandai, orang tua-tua, golongan ulama
dan orang-orang kaya.
Kesenian Suku Melayu Riau
Kesenian orang Melayu Riau kebanyakan bernafaskan budaya Islam. Disini berkembang seni
sastra keagamaan yang dinyanyikan pula dengan iringan musik rebana, berdah, kerompang atau
kompang dan sebagainya. Tari-tarian Melayu pernah populer pada awal kemerdekaan Indonesia.
Di lingkungan masyarakat ini pernah pula lahir teater rakyat seperti mak yong, dul muluk, dan
mendu. Musik Melayu dianggap sebagai dasar dari perkembangan musik dangdut yang populer
sekarang.

Agama Dan Kepercayaan Suku Melayu Riau


Masyarakat Melayu Riau memeluk agama Islam sejak abad kesebelas Masehi. Tetapi dalam
masyarakat ini juga masih dapat ditemui tokoh-tokoh yang menguasai ilmu gaib dan keyakinan
animistis yang disebut bomo (dukun). Mereka percaya bahwa ada makhluk-makhluk halus yang
bisa berubah wujud menjadi buaya putih, gajah memo, ular bidai, harimau tengkis dan lain-lain.

9. Suku Baduy

Dirangkum dari laman Indonesia.go.id, asal muasal sebutan "Baduy" adalah pemberian dari
para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang
merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain asal sebutan Baduy
adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah
tersebut. Selain itu, Suku Baduy juga dikenal dengan Urang Kanekes atau Orang Kanekes. Orang
Kanekes merupakan kelompok etnis masyarakat adat suku Banten di wilayah Kabupaten Lebak,
Banten. Populasi Urang Kanekes ini diperkirakan 26.000 orang, dan mereka merupakan salah satu
suku yang mengisolasi diri mereka dari dunia luar. Sehingga, mereka sendiri lebih suka menyebut
diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan
yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo. Baca Juga: Mahoni Bangun
Sentosa, taman wisata terbaru di Kota Serang Suku Baduy Luar dan Baduy Dalam Sementara
dirangkum dari laman resmi Dinas Pariwisata Provinsi Banten, Suku Baduy sendiri terdiri dari 2

27
macam, yakni suku Baduy Luar dan suku Baduy Dalam. Secara penampilan, suku Baduy Dalam
memakai baju dan ikat kepala serba putih. Sedangkan Suku Baduy Luar memakai pakaian hitam dan
ikat kepala berwarna biru. Dilihat dari jumlah penduduknya, masyarakat Baduy Luar atau urang
penamping memiliki kelompok besar berjumlah ribuan orang yang menempati puluhan kampung di
bagian utara Kanekes seperti daerah kaduketuk, cikaju, gajeboh, kadukolot, Cisagu, dsb. Sementara
di bagian selatan yang terletak di pedalaman hutan ditempati masyarakat Baduy Dalam atau Urang
Dangka yang hanya berpenduduk ratusan jiwa serta tersebar di tiga daerah, yaitu kampong Cibeo,
Cikeusik, dan Cikartawana. Baca Juga: Pemerintah dukung pembatasan wisatawan ke Baduy, ini
alasannya Hingga saat ini masyarakat Baduy Dalam masih memegang kuat konsep pikukuh (aturan
adat yang isi terpentingnya mengenai keapaadaan) secara mutlak dalam kesehariannya sehingga
banyak pantangan yang masih sangat ketat diberlakukan. Hal ini berbeda dengan cara hidup
masyarakat Baduy Luar yang secara garis besar sudah sedikit terkontaminasi budaya modern.
Masyarakat Baduy Luar juga mengenali teknologi berupa alat-alat elektronik, walaupun sesuai
pantangan adat yang berlaku mereka sama sekali tidak mempergunakannya, dan bahkan menolak
penggunaan listrik. Namun, hingga kini masyarakat Baduy tidak mempergunakan transportasi
apapun dan hanya berjalan kaki untuk berpergian. Mereka juga memilih tidak menggunakan alas
kaki, tidak bepergian lebih dari 7 hari ke luar Baduy, membangun segala kebutuhan seperti rumah,
jembatan, dsb, dengan bantuan alam, memanfaatkan alam, dan untuk alam, serta memenuhi
kebutuhan sandang, pangan, dan papannya sendiri dengan menenun atau bercocok tanam.

10. Suku Sunda

Suku Sunda merupakan salah satu suku yang menempati wilayah Indonesia bagian barat seperti
Banten, Jakarta, Jawa Barat, hingga Lampung. Suku Sunda merupakan suku kedua terbesar di
Indonesia.
Sebagian besar suku Sunda beragama Islam, tetapi juga ada yang memeluk agama lain hingga
menganut kepercayaan Sunda Wiwitan seperti masyarakat Baduy. Lalu apa saja ciri khas dari
suku Sunda lainnya? Simak selengkapnya berikut ini.
Tarian Khas Sunda

28
Tari Jaipong. Foto: Instagram/@soebiantorohenkym
Suku Sunda memiliki berbagai tari tradisional khas. Tiga di antaranya cukup populer di
Indonesia, yakni Tari Jaipong, Tari Topeng, dan Tari Rampak Gendang.

Seni Musik Sinden

Apabila mendengar kata sinden, yang muncul di kepala adalah penyanyi sunda. Biasanya sinden
diperankan oleh perempuan, tapi tidak sembarang orang bisa menyanyikannya karena nada
dan ritme yang sulit dipelajari.
Rumah Adat yang Beragam

Rumah Adat Sunda. Foto: budayajawa.id


Rumah adat suku Sunda adalah rumah panggung dengan tinggi sekitar 1 meter di atas
permukaan tanah. Tangga pada rumah adat suku Sunda dinamakan golodog. Umumnya, kolong
rumah dijadikan tempat untuk mengikat hewan peliharaan.

29
Di sisi lain, rumah suku Sunda ini memiliki nama atap yang beragam, seperti Jolopong, Tagong
Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg Nangkub, Capit Gunting, dan Buka Pongpok.
Yang paling banyak dijumpai adalah rumah adat dengan jenis atap Jolopong.
Dialek Bahasa yang Berbeda-beda
Bahasa Sunda memiliki beberapa dialek yang berbeda-beda, mulai dari dialek Sunda-Banten,
Cirebonan, hingga Sunda-Jawa Tengahan yang sudah tercampur dengan bahasa Jawa.
Alat Musik Khas dari Bambu

Alat musik tradisional dari Jawa Barat adalah Calung dan Angklung. Alat musik ini terbuat dari
bambu yang cara memainkannya dengan dipukul dan dibenturkan. Angklung merupakan alat
musik idiofon yang menghasilkan suara dari getaran dari alat musik itu sendiri.
Sistem Kekerabatan
Sistem kekerabatan suku Sunda itu bilateral, yaitu garis keturunan bisa ditarik dari sisi Ibu dan
Bapak. Selain itu, suku Sunda juga mengenal tujuh generasi ke atas dan ke bawah.
Tujuh generasi ke atas adalah orang tua, embah, buyut, bao, jangga wareng, dan udeg-udeg.
Sedangkan tujuh generasi ke bawah adalah anak, incu (sebutan untuk cucu), buyut, bao, jangga
wareng, dan gantung siwur.

30
Daftar Pustaka

Sumber: Google, Chrome

https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5560911/sejarah-dan-kebudayaan-khas-suku-
banjar-dari-kalimantan-selatan

https://perpustakaan.id/suku-jawa/

https://www.kompas.com/stori/read/2021/10/13/150000579/asal-usul-suku-dayak-di-
kalimantan?page=all

https://ilmuseni.com/seni-budaya/kebudayaan-suku-madura
https://www.gurupendidikan.co.id/suku-minangkabau/

https://wajokab.go.id/page/detail/sejarah_bugis

https://travel.kompas.com/read/2021/08/23/073100227/suku-batak-di-sumatera-utara-
nenek-moyangnya-dari-asia-selatan?page=all#

http://suku-dunia.blogspot.com/2014/12/sejarah-suku-melayu-riau.html

https://regional.kontan.co.id/news/mengenal-suku-baduy-suku-asli-dari-provinsi-
banten?page=all

https://kumparan.com/berita-hari-ini/mengenal-ciri-khas-suku-sunda-mulai-dari-tarian-
bahasa-dan-alat-musik-1uB9uSCHvYY

31
32

Anda mungkin juga menyukai