Anda di halaman 1dari 2

PROLOG

(NUA PUKAN dan BAFALOFE)

“Fajiges, anages, gok tifanga nua pukan ki, tak di lafa-lafa ale, neme tit pnuanes. Sode nua re
pereta di koda lafa, neme pida mara mio”.
Adik-adik dan anak-anakku, saya akan buka pembicaraan ini, sebelum kita berdiskusi lebih
lanjut. Dengar dan simak baik-baik pembicaraan sebelum menerimanya.

Nua Pukan dalam bahasa Boto sekarang artinya Kata2 Pengantar pembicaraan yang
umumnya dibuka orang yang paling dituakan. Pesan bernas tetua orang Boto yang diteruskan
dari generasi ke generasi di awal setiap pembicaraan atau diskusi menjadi inspirasi dan
“bafalofe” atau pintu masuk pagar bagi penulis mendekati ranah penulisan buku yang diberi
Judul Desa Labalimut dalam Bingkai Budaya Lamaholot dan NKRI,
yang sejatinya adalah sebuah paduan profil dan sejarah Desa Labalimut. Penulis mendengar
tuturan tetua Boto sekitar sejarah yang didengar sebelumnya dan diteruskan sebagai cerita
rakyat, menyimaknya, membandingkan dengan versi-versi lain dan mencoba menulisnya.
Labalimut adalah sebuah nama yang akan menyejarah, dalam arti bahwa sebelumnya,
tidak ada nama itu, namun pada suatu masa dalam perjalanan panjang orang-orang Boto, nama
itu dihadirkan untuk dilekatkan pada nama gabungan tiga desa: Boto, Kluang dan Belabaja, hasil
dari permenungan seorang tetua yang tergolong salah seorang terdidik pada masanya, diusulkan
dan diamini serta diterima masyarakat ketiga desa dengan antusias, tanpa ada pertanyaan setelah
dijelaskan muatan filosofis dan kultural nama Labalimut.
Muatan buku ini lebih banyak tentang kekinian Desa Labalimut, sedangkan sejarah
hadirnya orang Boto yang mendiami Desa Labalimut sekarang ini menjadi pewarna yang
diharapkan akan menjadi tonggak pertama pengingat tertulis tentang sejarah orang Boto, bagi
generasi seterusnya, dan bagi siapa saja yang membacanya. Karena itu, buku ini bukan buku
sejarah, tetapi buku profil desa yang dilengkapi sengan sejarah lahirnya desa Labalimut.
Seperti halnya sejarah asal usul suku, desa dan warga lain umumnya di Kabupaten
Lembata ini, riwayat perjalanan pengembaraan orang Boto berangkat dari malapetaka, berawal
dari bencana, bermula dari duka lara. Betapa bertahun-tahun bencana demi bencana, kesulitan
demi kesulitan melecut pengembaraan nenek moyang orang Boto dari tempat ke tempat hingga
akhirnya menetap, beranak-pinak dan bernegeri di desa yang dinamakan Labalimut sekarang ini.
Tidak banyak cendekiawan Boto yang menarh perhatian khusus untuk menelaah sejarah
asal usul orang Boto, tidak banyak orang tua generasi dulu yang menceritakan hal ini secara
detil, dan tidak banyak pula orang tua generasi berikutnya yang bertanya untuk mengetahui
sejarah asal usul nenek moyangnya. Hal ini mungkin dapat dimengerti karena suk-suku yang
sekarang ada di desa Labalimut, memiliki riwayat pelariannya sendiri, yang karena nasib atau
kuasa gaib dipertemukan di suatu titik hunian lalu bersatu, bersepakat menerima persamaan
nasib dan penanggungan ini dalam satu komunitas tinggal. Suku-suku yang bersama menghuni
kampung Belabaja, dan suku-suku di kampung Kluang, memiliki lintasan kembara yang berbeda
pula, dan nasib serta kuasa gaib yang dianuti pada zamannya, sebelum masuknya agama,
menuntun mereka memilih lokasi hunian yang pada saat itu, mungkin suatu kebetulan,
berdekatan. Dan pada tahun 1920-an, rasa senasib dan sepenanggungan pulalah yang menggiring
nenek moyang orang Boto memilih pindah dari kenyamanan “lefmolu” - kampung lama -
masing-masing, berpindah ke lokasi hunian baru berdampingan, di Boto yang sekarang ini.
Di suatu titik generasi, sejarah asal usul nenek moyang orang Boto nampaknya akan
segera lenyap dari laci pengetahuan dan ingatan orang Boto sendiri, apabila tidak ada orang
yang mulai menelusurinya, paling tidak garis besar sejarahnya sehingga memberi dasar pijakan
bagi penelitian sejarah dan kebudayaan orang Boto lebih lanjut ke depannya. Permenungan ini
yang akhirnya mendorong penulis

Anda mungkin juga menyukai