Anda di halaman 1dari 3

Nama: Rhamadhan Ardhi Wiranata

NIM: 22407141034
Kelas A
Mata Kuliah: Teori Budaya

UJIAN TENGAH SEMESTER

Lapo Tuak: Analisis Kebudayaan Melalui Pendekatan Emik dan Etik

Di nusantara sendiri banyak budaya miras yang memiliki berbagai istilah seperti sopi,
arak, ciu, anding, swansrai, tuo mbanua, tuo nifaro, tuak, brem atau berem. Pada umumnya
budaya miras ini berawal dari lingkungan pertanian. Kehadiran miras tradisional ini
umumnya dipengaruhi oleh aspek sosial hingga spiritual. Diantara banyaknya miras
tradisional yang merupakan warisan leuhur bangsa indonesia di masa lampau, salah satu yang
paling terkenal ialah tuak. Tuak merupakan sadapan yang diambil dari mayang enau atau aren
yang lebih dikenal sebagai nira yang rasanya manis. Tuak sendiri memiliki 2 jenis
berdasarkan rasanya, yaitu tuak yang manis dan yang pahit. Keberadaan tuak sendiri tentunya
tidak bisa dipisahkan dari lapo tuak, yaitu semacam kedai makan yang menyuguhkan kuliner
khas suku batak. Kata lapo berakar dari kata lepau yang artinya bagian belakang rumah yang
berfungsi sebagai dapur. Oleh karena itu lapo bisa dibilang tempat makan khas suku batak.
Lapo tuak merupakan istilah yang sering digunakan oleh masyarakat Batak Toba yang
merujuk pada kedai tempat meminum tuak.1.
Sebelum adanya lapo tuak, minuman tuak diberikan gratis bagi masyarakat.
Masyarakat Batak pada masa lampau memiliki lahan yang luas dan bermata pencaharian
sebagai petani, khususnya enau atau aren. Masyarakat yang lelah bekerja seharian kemudian
melepas penatnya sembari disuguhi minuman tuak khas batak yang memiliki kadar alkohol
rendah dan menghangatkan badan oleh pihak keluarganya. Para pekerja ini pun kemudian
marnonang (berbincang-bincang) sembari menegak minuman tuak yang memberi tenaga
mereka yang seharian lelah bekerja di ladang. Namun semakin wilayah pertanian menyusut
dan dibarengi oleh bertambahnya populasi, suguhan tuak pun tidak lagi menjadi gratis.
Dalam menjawab darimana sebenarnya asal muasal tuak, terdapat cerita rakyat yang
berkembang di suku batak untuk menjawab hal tersebut, yaitu cerita tentang Tare Iluh dan
Beru Sibou. Cerita ini berkisah tentang pengorbanan seorang adik yang ingin melunasi utang
kakaknya dengan mengorbankan dirinya dengan menjadi pohon enau atau aren. Dikisahkan
rambut sang adik menjelma menjadi ijuk yang dapat dimanfaatkan untuk atap rumah.
Tubuhnya menjelma menjadi pohon enau yang dapat menghasilkan buah kolangkaling untuk
dimanfaatkan sebagai bahan makanan atau minuman 2. Oleh karena itu masyarakat Tanah
Karo meyakini bahwa pohon enau adalah penjelmaan si Beru Sibou. Untuk mengenang
1
Martin Sitompul, “Lapo Tuak, Restonya Orang Batak”, Historia, 1 Mei 2020, diakses melalui
https://historia.id/kultur/articles/lapo-tuak-restonya-orang-batak-vo1ON/page/1
peristiwa tersebut, penduduk Tanah Karo pada jaman dahulu setiap ingin menyadap nira,
mereka menyanyikan lagu enau.
Budaya lapo tuak memiliki perannya di tengah-tengah masyarakat batak. Masyarakat
yang datang ke lapo tuak tidak hanya ingin menikmati minuman tuak, melainkan untuk
berbincang dengan temannya juga. Pada umunya perilaku pengunjung lapo tuak ini sekedar
untuk menghibur diri setelah lelahnya melakukan aktivitas mereka dengan mengobrol,
bernyanyi, bermain judi, serta tentunya meminum tuak. Selain itu lapo tuak menjadi tempat
dimana seseorang dapat belajar melelaui pengalaman orang lain dari percakapan yang ada di
lapo tuak yang seiras dengan falsafah Batak, berbunyi “mata guru roha sisean”, artinya,
pengalaman guru yang terbaik. Kemudian Lapo tuak menjadi ruang penyegaran dengan
meluangkan waktu melakukan berbagai aktivitas, di antaranya ngobrol, nyanyi bersama,
main catur, berbagi pengalaman dan informasi terhadap berbagai hal dan lain sebagainya
kemudian dengan adanya lapo ini, kebudayaan batak ikut terpelihara dengan adanya nyanyian
khas batak yang sering dilantunkan sekaligus penggunaaan bahasa batak dalam
berkomunikasi di tempat tersebut.3
Jika dilihat melalui pendekatan etik, lapo tuak memiliki beberapa fungsi bagi
masyarakatnya.
 Lapo tuak menjadi sarana komunikasi sosial dari berbagai kalangan dengan
menjadi ruang publik. Dari petani hingga pegawai negeri. Rentang umur
pengunjung lapo sendiri mulai dari kalangan remaja hingga lansia yang
berumur sekitar 50-an. Dengan lapo yang menjadi ruang publik bagi semua
kalangan, maka akan berpotensi terjadinya diskusi dengan melihat dari
berbagai perspektif dari latar belakang masyarakat yang berbeda-beda. Lapo
tuak pun menjadi sarana adu diskusi rasional, dimana tempat berkumpul
orang-orang dari berbagai tingkatan dan golongan. Informasi dapat tersalur
dari seseorang ke orang lain tanpa biaya yang banyak.
.
 Selain menjadi sarana interaksi sosial, lapo tuak juga menjadi sarana hiburan.
Setelah stres yang menumpuk akan lelahnya pekerjaan sepanjang hari,
suguhan tuak yang manis-pahit sungguh segar bagi laki-laki dari kalangan
suku batak. Bercengkrama dengan teman sembari menenggak tuak dan
diramaikan dengan gelak tawa dan bernyanyi bersama membuat stres mereka
menurun karena hiburan tersebut.

 Lapo tuak pun hadir sebagai penggerak ekonomi masyarakat Pada masa
lampau, tuak umumnya disuguhkan para anggota keluarga kepada para pekerja
ladang yang lelah bekerja seharian secara gratis. Tuak dinikmati sembari
bercengkrama, bernyanyi, serta interaksi sosial lainnya. Karena lahan
2
Ira Aprillah Siringo-Ringo, dkk, “Parafrasa Legenda “Tuak (Aren)” Menjadi Naskah Drama Sebagai Bahan Ajar
Di SMA”, ResearchGate, diakses melalui
https://www.researchgate.net/profile/Dian-Syahfitri/publication/345413020_Parafrasa_Legenda_Tuak_Aren_
Menjadi_Naskah_Drama_Sebagai_Bahan_Ajar_Di_Sma/links/61084b441ca20f6f86f67c04/Parafrasa-Legenda-
Tuak-Aren-Menjadi-Naskah-Drama-Sebagai-Bahan-Ajar-Di-Sma.pdf

3
Waldemar Simamora, “Lembaran Budaya : Mencermati Obrolan di Lapo Tuak Mencermati Obrolan di Lapo
Tuak”, Dinas Perpustakaan Kabupaten Tapanuli Utara Propinsi Sumatera Utara, 4 Juni 2014, diakses melalui
https://perpustakaantarutung.wordpress.com/2014/06/04/lembaran-budaya-mencermati-obrolan-di-lapo-
tuak/
pertanian yang semakin menyusutlah yang membuat tuak menjadi tidak gratis
lagi, akan tetapi dapat dinikmati dengan membayar harga yang terjangkau.
Selain itu lapo tuak pun membantu menyediakan masyarakat yang memiliki
riwayat pendidikan yang tidak terlalu tinggi untuk dapat bekerja dan
mengurangi angka pengangguran

 Lapo tuak juga menjadi sarana pengkokohan nilai-nilai yang terdapat dalam
masyarakat batak. Hal ini ditunjukkan dengan adanya lagu-lagu khas batak
yang sering dinyanyikan, penggunaan bahasa batak, interaksi sosial yang
menstransfer pengetahuan dari berbagai kalangan dengan perspektif yang
berbeda, serta dengan adanya kuliner khas batak yang dijual di lapo tuak

DAFTAR PUSTAKA
Sitompul, M. (2020, 1 Mei). Lapo Tuak, Restonya Orang Batak. Historia , diakses melalui
https://historia.id/kultur/articles/lapo-tuak-restonya-orang-batak-vo1ON/page/1
Siringo-Ringo, I.A. dkk, Parafrasa Legenda “Tuak (Aren)” Menjadi Naskah Drama Sebagai Bahan Ajar
Di SMA, ResearchGate, diakses melalui
https://www.researchgate.net/profile/Dian-Syahfitri/publication/345413020_Parafrasa_Legenda_Tu
ak_Aren_Menjadi_Naskah_Drama_Sebagai_Bahan_Ajar_Di_Sma/links/
61084b441ca20f6f86f67c04/Parafrasa-Legenda-Tuak-Aren-Menjadi-Naskah-Drama-Sebagai-Bahan-
Ajar-Di-Sma.pdf
Simamora, W. (2014, 4 Juni). Lembaran Budaya : Mencermati Obrolan di Lapo Tuak Mencermati Obrolan di
Lapo Tuak. Dinas Perpustakaan Kabupaten Tapanuli Utara Propinsi Sumatera Utara, diakses melalui
https://perpustakaantarutung.wordpress.com/2014/06/04/lembaran-budaya-mencermati-obrolan-di-lapo-
tuak/

Anda mungkin juga menyukai