Anda di halaman 1dari 5

ANGKRINGAN DAN NGOPI PENDIDKAN KARAKTER

Potret Budaya Mahasiswa dalam Berdisukusi Menumbuhkan Kesadaran dalam


Beragama
Oleh : Rizkiana Maulida
NIM :
Kota Salatiga meraih peringkat pertama sebagai kota paling toleran se-Indonesia
versi Setara Institute, mengungguli daerah lain di tanah air. Wakil Wali Kota Salatiga, Muh
Haris menyampaikan rasa syukur atas penghargaan yang diberikan oleh Setara Institute
untuk Kota Salatiga, berupa raihan peringkat pertama sebagai Kota paling toleran se-
Indonesia. Peringkat pertama ini diraih setelah tiga tahun sebelumnya secara berturut-turut
mendapat peringkat kedua. Hal ini akan banyak sekali memicu adanya bentuk interaksi
social yang tidak pandang kasata, tidak pandang agama, ras dan lain sebagainya sebai
aspek perbedaan. Dengan adanya gelar kota paling toleran ini menarik minat bagi kalangan
muda untuk menggali ilmu di kota salatiga, mencari pekerjaan dan lain sebagainya. Hal ini
memicu adanya pertumbuhan dan perkembangan bagi sumber daya manusia yang ada di
wilayah itu.
Di wilayah DIY dan Jawa Tengah tentu tidak asing dengan istilah angkringan.
Istilah ini berasal dari kata “angkring” dan mendapatkan akhiran “an”. Kata “angkring”
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan “pikulan” atau “alat (berupa
tongkat) untuk memikul”. Pengertian ini barangkali diambil karena angkringan awalnya
muncul dengan menggunakan (tongkat) pikulan sebagai alat pengangkat dan sekaligus
berfungsi sebagai center of interest.
Seiring perjalanan waktu, angkringan tidak lagi menggunakan pikulan, tetapi sudah
berubah menjadi sebuah gerobak dorong yang menjual makanan dan minuman tradisional.
Orang-orang di Solo mengenalnya sebagai “warung hik” (hidangan istimewa ala
kampung). Angkringan pada kurun waktu terakhir bahkan ada yang dimodifikasi dengan
sentuhan modern, sehingga wujudnya berubah menjadi semacam cafe. Banyak orang yang
berkunjung angkirngan semi café. Selain menikmati sajian makanan dan minuman, mereka
pada umumnya mencari suasana santai untuk sekadar ngobrol ringan hingga membahas
persoalan- persoalan hidup yang berat. Angkringan jenis konvensional sebagaimana
dimaksud di atas tentu sangatlah mudah dijumpai di hampir sepanjang jalan di kota
salatiga.

1
Angkringan merupakan kaki lima makanan khas di Yogyakarta. “Angkringan
merebak di Yogyakarta sebagai bentuk dari imbas krisis ekonomi yang melanda pada
tahun 1997-1998. Usaha ini termasuk dalam usaha informal, yang berjenis warung kaki
lima, menggunakan gerobak, dan bersifat bergerak atau mobile.
Angkringan merupakan salah satu bentuk variasi dari kaki lima. Penjual kaki lima
yang menggunakan pikulan juga dapat ditemui di daerah-daerah lain. Kaki lima pikulan
yang menjual makanan dengan harga murah seperti angkringan dapat pula ditemui di Solo
dan Klaten. Menurut Klara, “Masyarakat setempat menyebut kaki lima tersebut dengan
nama hik, (hidangan istimewa kampung). Istilah ini masih digunakan di Solo, tetapi istilah
yang populer di Yogyakarta adalah angkringan.”
Pada awalnya, penjual angkringan tidak menggunakan gerobak dorongan beroda
dua, melainkan pikulan yang terbuat dari belahan batang bambu. Di kedua ujungnya
digantungkan dua set perangkat, serta dilengkapi sebuah bangku untuk penjual. Satu set
angkringan dilengkapi alat dan bahan minuman yang akan diolah, termasuk anglo atau
tungku berbahan bakar arang. Sementara, set yang lain memuat bahan makanan siap saji
yang hanya perlu dibakar kembali di atas tungku. Perlengkapan kios berjalan ini masih
sangat sederhana mengingat frekuensi perpindahannya cukup tinggi.
Konsep angkringan yang kita kenal kini adalah gerobak dorong dari kayu dengan
tungku arang. Di atasnya ceret besar berjumlah tiga buah sebagai alat utama untuk
menghidangkan bahan minuman. Tak lupa yang menambah suasana remang-remang
eksotis adalah lampu minyak kaca semprong (lampu teplok) menerangi di tengahnya.
Tempat duduk menggunakan kursi kayu panjang mengelilingi sekitar gerobak yang
dinaungi terpal plastik gulung sebagai tenda. Perpaduan bersahaja ini menjadi estetika
angkringan yang terbentuk melawan waktu dan perkembangan jaman. Meski begitu, inilah
yang menjadi daya tarik luar biasa dari warung angkringan.
Suasana angkringan yang hangat menjadikan para pengunjung merasakan ingin
kembali datang ke angkringan. Interaksi yang terjadi di angkringan pun begitu berbeda dari
tempat-tempat makan pada umumnya. Di dalam angkringan pengunjung mendapat sensasi
yang berbeda meski dengan fasilitas yang sangat sederhana. Para pengunjung angkringan
merasakan ketika berada di dalam angkringan semua orang melebur menjadi satu, tidak
ada yang sibuk dengan kebiasaan bermain gadget masing-masing seperti yang seringkali di
temui bila berkunjung ke tempat makan modern. Keadaan ini berbanding terbalik dengan
keadaan yang ada di tempat makan modern saat ini. Para pengunjung yang datang ke

2
tempat seperti ini pada umunya datang dengan beberapa temannya kemudian mereka
hanya melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak melibatkan orang lain untuk berinteraksi.
Pengunjung yang datang sendirian ke tempat ini hanya akan makan lalu pergi, karena akan
terlihat aneh untuk seseorang yang datang sendirian lalu berlama-lama ditempat seperti ini.
Berdasarkan konsep kesederhanaannya angkringan menjadi salah satu ruang publik
baru yang dimanfaatkan oleh warga kota untuk melakukan interaksi sosial dengan
semangat kekeluargaan yang dimunculkan pedagang angkringan yang berasal dari Jawa
dengan menggunakan simbol-simbol kedaerahan sehingga pengunjung yang juga
kebetulan berasal dari Jawa dapat merasakan seperti berada di kampung halamannya.
Seringkali orang menggunakan simbol untuk mengkomunikasikan sesuatu tentang
diri mereka, begitupula dengan yang dilakukan oleh pedagang angkringan yang berada di
Jakarta. Mereka menggunakan batik, blangkon, dan peralatan makan serta minum yang
menunjukan bahwa mereka berasal dari Jawa. Selain simbol-simbol tersebut mereka juga
masih menggunakan bahasa daerah asal mereka. Maka dari itu muncul lah sebuah bentuk
interaksi yang terjadi bagi para mahasiswa, berdiskusi tentang wacana, tentang paradigm,
membahas agama, membahas konsep negara sampai urusan asmara pun dilibas menjadi
bentuk narasi yang di sampaikan dalam bentuk interaksi ini.
Menurut Basrowi, “salah satu sifat manusia adalah keinginan untuk hidup bersama
dengan manusia lainnya dan disitulah terjadi suatu hubungan untuk memenuhi kebutuhan
hidup. Melalui hubungan itu manusia ingin menyampaikan maksud, tujuan dan
keinginannya. Sedangkan untuk mencapai keinginan itu harus diwujudkan dengan tindakan
melalui hubungan timbal- balik.” Dengan demikian, hampir semua kegiatan manusia
dilakukan dengan orang lain. Landasan dari adanya hasrat tersebut adalah untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya. Jawaban ini terdapat dalam konsep angkringan yang senantiasa
menyajikan aspek-aspek yang di ajukan oleh basrowi.
Namun angkringan tidak lengkap jika hanya berdiam diri saja, perlu adanya Ngopi.
Ngopi ini menjadi agenda wajib yang harus ada ketiaka duduk melingkar di angkringan.
Dengan nyruput secangkir kopi panas, para mahasiswa merasa menemukan dan
menjadi diri saya sendiri. Bukannya berlebihan. yah, walau tiap orang emang beda, tidak
sama. Ada orang yang ngopi karena hobi, buat nemenin nonton bola, begadang jaga ronda
atau sebagai sarana menyambung silaturrahîm, cangkrukan sambil diskusi di angkringan.
Saat nyruput kopi, pemahaman-pemahaman agama dan kehidupan lebih mendalam.
Pemahaman hidup yang disajikan dengan aroma ketenangan tanpa ketergesa-gesaan.

3
Damai dan tenteram. Bahkan tidak jarang saya dapat munguti pelajaran-pelajaran agama
yang ternyata penuh kasih sayang, bukan yang ditampilkan di tipi-tipi itu. Ah, jauh
bangetlah pokoknya. Karena saat ngopi keadaan kita cenderung menjadi netral, damai,
tenang, tenteram dan slow. Sehingga pemahaman kita tentang ilmu agama pun ikut ngopi.
Maka seperti kata, Gus Mus, KH. Mustofa Bisri, bahwa atas nama Allâh banyak
orang ‘menghina’ Allâh. Atas nama agama, justru banyak yang melecehkan Allâh. Atas
nama kemanusiaan, banyak yang menindas manusia. Atas nama rakyat, banyak yang
mengkhianati rakyat. Lalu, atas nama siapa dan apa sebenarnya hidup kita?
Di negeri kita yang bukan Arab, khususnya di zaman pasca orde baru ini, penyakit
semacam ‘ashabiyah Jahiliyah itu rupanya juga mulai mewabah. Bukan kelompok suku
dan agama saja yang difanatiki berlebihan, bahkan kelompok politik pun sudah cenderung
difanatiki melebihi agama. Lebih celaka lagi – agaknya karena pemahaman soal politik dan
demokrasi yang masih cingkrang di satu pihak, dan pemahaman atau penghayatan agama
yang dangkal di lain pihak – fanatisme kelompok politik ini membawa-bawa agama. Maka
campur-aduklah antara kepentingan agama, kepentingan politik dan nafsu.
Tidak jelas lagi apakah kepentingan politik mendukung agama atau agama
mendukung kepentingan politik ataukah justru politik dan agama mendukung nafsu.
Bahkan banyak mubalig atau da’i – yang seharusnya meneruskan misi kasih sayang
Rasûlullâh shallallâhu ‘alaihi wa sallam. – entah sadar atau tidak, justru lebih mirip jurkam
atau malah provokator yang tidak merasa risi mengeluarkan kata-kata kotor yang sangat
dibenci oleh Nabi mereka sendiri.
Ngopi ini merupakan symbol dari (Ngobrol Pendidikan Islam). Dalam praktik
ngopi di angkringan tentu mewujudkan persepektif diskusi bagi kalangan mahasiswa yang
makin terasah pemikirannya seperti halnya pemikiran-pemikiran di atas yang merupakan
bentuk dari karrakter identity mahasiwa.
Menurut Michael Novak karakter merupakan “campuran kompatibel dari seluruh
kebaikan yang diidentifikasi oleh tradisi religius, cerita sastra, kaum bijaksana, dan
kumpulan orang berakal sehat yang ada dalam sejarah.” Sementara itu, Masnur Muslich
menyatakan bahwa karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan
dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan
yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

4
Karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu. Ciri khas
tersebut asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, dan merupakan
mesin yang mendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap, berujar, dan merespon
sesuatu. Selanjutnya, menurut Maksudin yang dimaksud karakter adalah ciri khas setiap
individu berkenaan dengan jati dirinya (daya qalbu), yang merupakan saripati kualitas
batiniah/rohaniah, cara berpikir, cara berperilaku (sikap dan perbuatan lahiriah) hidup
seseorang dan bekerja sama baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa maupun negara.
Maka dari angkringan dan ngopi antar mahasiswa ini menghasilkan satu bentuk
karakter mahaiswa Indonesia yang memiliki nilaia pemikiran kritis, pemikiran kritis
terhadap segala aspek bisa di latih dengan berdiskusi.

Anda mungkin juga menyukai