Anda di halaman 1dari 10

ANTROPOLOGI

ETNOGRAFI

MENIKMATI ANGKRINGAN MODERN KOTA SEMARANG

DISUSUN OLEH

Septiana Ekklesia Adhina Putri

18081114 / 11B1

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MERCUBUANA YOGYAKARTA 2019


A. PENDAHULUAN
Semarang merupakan sebuah ibu kota provinsi jawa tengah, kota ini memiliki
banyak sekali tempat-tempat peninggalan sejarah, tidak hanya itu namun juga
sangat nikmat untuk dijadikan wilayah tempat tinggal yang nyaman. Pada
umumnya masyarakat kota semarang merupakan masyarakat yang tingkat
mobilitas yang cukup tinggi, sehingga memungkinkan masyarakatnya mendamba
sebuah tempat yang nyaman untuk menghilangkan segala kepenatan yang ada
dengan fasilitas yang cukup, seperti taman kota dan juga tempat yang sekedar
untuk meminum secangkir kopi hangat yaitu layaknya angkringan.
Angkringan secara harafiah berasal dari bahasa Jawa yaitu ‘angkring’ yang
berarti gerobakjualan yang dipanggul (angkring) atau bisa juga berarti
malangkring berarti duduk santai, biasanya dengan melipat satu kaki ke kursi.
Angkringan adalah sebuah gerobag dorong yang menjual berbagai macam
makanan dan minuman yang biasa terdapat di setiap pinggir ruas jalan.
Di Solo atau Surakarta dikenal sebagai warung HIK yang merupakan
kependekan dari Hidangan Istimewa Kampung. Gerobag angkringan biasa
ditutupi dengan kain terpal plastik dan bisa memuat sekitar 8 orang pembeli.
Beroperasi mulai sore hari dan mengandalkan penerangan tradisional yaitu
senthir, dan juga dibantu oleh terangnya lampu jalan.
Sedangkan di daerah Semarang, nama yang lebih terkenal adalah
Angkringan. Selain nama tersebut diatas, dikenal juga istilah “Lesehan”. Hal ini
dikarenakan para pembeli biasanya duduk diatas sebuah tikar (lesehan) sambil
menikmati hidangan dengan mengobrol.
Melihat kesuksesan angkringan inilah angkringan-angkringan yang lain mulai
berdiri di Semarang. Kini tidak sulit menemukan angkringan di Semarang karena
hampir di tiap ujung gang kota, bisa ditemukan angkringan.
Akan tetapi pada zaman ini, angkringan semakin maju dan berkembang dan
juga mengolah lokasinya menjadi lebih baik, ada angkringan yang menyediakan
tempat yang luas, untuk bersantai dengan teman ataupun keluarga dan juga
memberikan konsep yang sangat diminati saat-saat ini seperti konsep rumah
kuno yang hanya terbuat dari anyaman bambu dan sebagainya, saat ini pun
angkringan sudah menjadi tempat semua kalangan baik itu menengah, ataupun
kalangan atas, dan juga tentunya angkringan mempunyai kenangan tersendiri
untuk para pengunjung yang merindukan kesederhanaan, namun ada juga
angkringan saat ini yang memberikan menu yang tidak jauh kalah seperti cafe-
cafe yang sedang populer saat ini.
Maka dari itu keeksistensian angkringan saat ini sudah semakin maju dan
juga menjadi tempat rekomendasi para kawula muda dan juga tidak jarang
menjadi tempat berkumpul sekedar quality time bersama teman dan keluarga.

I. KAJIAN PUSTAKA
Angkringan(berasal dari bahasa jawa angkring yang berarti alat dan
tempat jualan makanan keliling yang pikulannya berbentuk melengkung
keatas) adalah sebuah gerobak dorong untuk menjual berbagai macam
makanan dan minuman dipinggir jalan dijawatengah dan Yogyakarta.
Di Solo angkringan dikenal sebagai warung HIK ( Hidangan Istimewa
Kampung) atau wedangan. Gerobag angkringan biasa ditutupi dengan kain
terpal plastik dan bisa memuat sekitar 8 pembeli. Beroperasi mulai sore hari,
ia mengandalkan penerangan tradisional yaitu senthir (wikipedia)
Angkringan bukan hanya sekedar Nasi Kucing,Ternyata angkringan
memiliki makna filosofis yang mendalam. Bukan hanya sebagai penawar
lapar yang murah meriah, tapi kandungan filosofi dari angkringan memang
tidak biasa. Dilansir dari beberapa sumber sejarah angkringan, kedai
makanan ini pertama kali diperkenalkan oleh seseorang yang bernama Mbah
Pairo. Beliau adalah orang asli Klaten yangkemudian merantau ke
Yogyakarta. Sekiatar dekade 1950-an Kearifan Angkringan sudah
berkembang sejak lama Angkringan, sudah berusia seabad lebih bercokol di
Kota Bengawan, jauh sebelum merebak di telatah Yogyakarta. Sebagai
buktinya, jurnalis Djawi Hiswara pada edisi 28 Januari 1918 menyurat
terminologi "angkring" dalam pemberitaannya. Koran lawas terbitan Surakarta
yang saya temukan di Perpustakaan Nasional Jakarta itu menjelaskan bahwa
angkring adalah keranjang pikulan untuk mewadahi panganan dan air kopi
(yang tergeletak di samping jalan). Menjamurnya angkringan di kampung
halaman Presiden Jokowi itu merupakan buntut dari kehadiran listrik yang
menerangi paras kota di malam hari pada permulaan abad XX.
Angkringan, seakan sudah tidak bisa dipisahkan dari Yogyakarta.
Tidak hanya sekedar tempat menjual makanan yang murah, angkringan
adalah tempat bersosial yang paling digemari masyarakat Yogyakarta.Semua
kalangan masyarakat, dari beragam latar belakang, bisa bertemu di tempat
ini dan membicarakan apa pun.Mengusung konsep angkringan, tempat
sederhana yang nyaman untuk kumpul-kumpul
Perubahan Budaya menurut Parsudi Suparlan“Kebudayaan
didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk
sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan
lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya.
Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan,
petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas
serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan
digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya
sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya.” (Hlm.
2-18 alinea I)
https://etnobudaya.net/2008/09/11/definisi-kebudayaan-menurut-parsudi-
suparlan-alm/

II. PROBLEMATIK
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka paper ini akan membahas
beberapa permasalahan sebagai berikut,
1. Bagaimana angkringan dapat selalu berkembang seiring perkembangan
zaman?
2. Bagaimana angkringan dapat memberikan rasa nyaman pada
masyarakat kota yang tingkat mobilitas nya tinggi?
3. Apa motivasi pengunjung memilih berkunjung ke angkringan?

III. PENDEK ATAN METODOLOGIS


Paper ini ditulis berdasarkan penelitian lapangan dan pustaka.
Untuk mendapatkan data yang komprehensif maka peneliti
menggunakan metode penelitian kualitatif. Pengumpulan datanya
menggunakan metode wawancara dan observasi. Wawancara
dilakukan terhadap beberapa pengunjung Angkringan Sekrikil yang
terletak di daerah kota Semarang. Sedangkan Sedangkan observasi
dilakukan gamping, sedayu, bantul. Selain itu pengumpulan data juga
dilakukan dengan memanfaatkan jejaring sosial internet. Sesuai
dengan jenis datanya, maka untuk analisis data dilakukan dengan
analisis deskriptif. Untuk memperdalam dan memperoleh hasil analisis
yang komprehensif maka dalam analisis data penelitian ini juga
didukung dengan studi pustaka yang relevan dengan tema penelitian.

IV. PEMBAHASAN
Perkembangan angkringan saat ini memang cukup baik, karena tetap
menjaga ke eksistensiannya dan tetap pada cirri khas nya, zaman dulu
angkringan hanyalah tempat untuk memenuhi kebutuhan pangan yang
sangat digemari oleh rakyat golongan menengah, karena harga yang sangat
terjangkau serta sudah cukup memuaskan.
Tapi seiring perkembangan zaman angkringan berevolusi mengikuti
perkembangan zaman dengan mengubah konsep tempat yang lebih modern
dan semain bertambahnya menu yang terdapat pada Angkringan seperti
Angkringan Sekrikil, angkringan ini merupakan angkringan modern yang
terletak di kota semarang, seorang pemilik bernama Ando (35th) menyatakan
bahwa bisnis saat ini yang cukup menguntungkan yaitu dengan bisnis
angkringan modern seperti ini, walaupun dengan modal yang tidak sedikit,
tetapi dapat menjadi investasi masadepan, tuturnya.
Jika membahas soal kenyamanan ada seorang informan kami
Novia(19) angkringan sangat nyaman, karena dapat dinikmati banyak
kalangan, dengan harga terjangkau dan menyenangkan karena, harga yang
ditawarkan dalam menu di angkringan cukup murah dan pas dikantong
mahasiswa, tuturnya.
Kegiatan angkringan Sekrikil ini, dilakukan tidak hanya oleh para
pemuda, tetapi juga oleh orang-orang dewasa. Hal ini terbukti adanya
informan kami
Ibu Shinta (58 tahun). Motivasi para pengunjung pun bervariasi, mulai
dari hanya sekedar berkumpul dengan teman-teman hingga datang untuk
melepas lelah atau menghilangkan jenuh karena seharian beraktifitas.
Angkringan bukan lagi sebagai tempat makan melainkan tempat ngangkring,
tempat berbagi, sumber inspirasi, bahkan bisa juga sebagai tempat
refreshing.
Motivasi lain yang cukup mengesankan dari para pengunjung di
angkringan ini adalah dijadikannya angkringan sebagai tempat diskusi dan
berkumpulnya orang-orang dengan berbagai kepentingannya. Di
sanabermula ide-ide segar, rencana aksi demonstrasi disusun oleh para
aktivis kampus, tempat munculnya ide skripsi dan penelitian, diskusi politik,
maupun sekadar ngobrol dan bersantai.
Angkringan adalah ruang bersama, yang merangkai komunitas dari
berbagai latar belakang.Parsudi Suparlan dalam konsepsinya tentang
perubahan budaya mengungkapkan bahwa perubahan kebudayaan adalah
perubahan yang terjadi dalam kaitannya dengan sistem ide yang dimiliki oleh
masyarakat yang tersangkutan mencakup hal-hal seperti nilai, selera, cipta
dan rasa. Berkaitan dengan konsep tersebut dalam gambaran etik penulis,
Angkringan bukan lagi milik mahasiswa atau orang-orang yang berkantong
“cekak”, namun mulai jadi sebuah life style baru. Rasanya belum ke
Semarang kalau belum merasakan bagaimana makan di angkringan, terlebih
lagi orang Semarang merasa belum afdol sebelum ikutan “ngangkring”.
Fenomena ini misalnya, bisa dilihat dari banyaknya mobil dan motor yang
berjajar di depan angkringan Sekrikil tiap malam.
V. KESIMPULAN
Berdasarkan penjelasan yang telah dijabarkan, maka tahap yang terakhir
adalah pengambilan kesimpulan secara terintegratif. Dengan demikian dapat
ditarik kesimpulan bahwa
1. Angkringan adalah suatu sarana tempat yang kompleks. Karena,
didalamnya kita dapat memenuhi kebutuhan pangan dengan harga
terjangkau dan juga kebutuhan otak untuk merefresh pikiran dari segala
persoalan.
2. Angkringan dapat memberikan rasa nyaman dengan keunikan dan
kesederhanaan nya yang tetap konsisten.
3. Angkringan tetap eksis seiring perkembangan zaman.
4. Angkringan memiliki banyak penggemar, dari kalangan menengah tanpa
terkecuali kalangan atas pun turut berkunjung ke angkringan.
5. Angkringan merupakan cirri khas kita, walaupun sederhana tetapi terlahir
sudah sangat lama.

VI. Saran

Berkaitan dengan kesimpulan diatas, ada suatu makna yang terkandung,


yaitu kesederhanaan dan apa adanya akan tetap membawa kenyamanan daripada sebuah
kemewahan yang hanya mengikuti keinginan manusia yang tidak ada habisnya. Maka dari
itu, mari kita lestarikan dan jaga budaya dan juga ciri khas bangsa dan juga kita dapat
membantu sesama jika kita terus menghargai adanya Angkringan yang terus berkembang.
VII. LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA

Aditya, Leonardus. 2017. Filosofi Angkringan.


https://www.kompasiana.com/leonardusaditya/filosofi-angkringan (Online, diakses
19, Januari 2018)

Priyatmoko, H 2018 Kearifan Angkringan


https://repository.usd.ac.id/24882/1/4338_Kearifan+Angkringan.pdf
(Online,pdf,diunduh pada 19, januari 2018)

Anda mungkin juga menyukai