0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
216 tayangan30 halaman
Makalah ini membahas tentang kehidupan masyarakat Suku Bajo di Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Secara garis besar membahas tentang latar belakang, letak, sejarah, sistem pengetahuan, bahasa, organisasi sosial, mata pencaharian, peralatan hidup, kepercayaan, dan kesenian masyarakat Suku Bajo tersebut.
Makalah ini membahas tentang kehidupan masyarakat Suku Bajo di Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Secara garis besar membahas tentang latar belakang, letak, sejarah, sistem pengetahuan, bahasa, organisasi sosial, mata pencaharian, peralatan hidup, kepercayaan, dan kesenian masyarakat Suku Bajo tersebut.
Makalah ini membahas tentang kehidupan masyarakat Suku Bajo di Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Secara garis besar membahas tentang latar belakang, letak, sejarah, sistem pengetahuan, bahasa, organisasi sosial, mata pencaharian, peralatan hidup, kepercayaan, dan kesenian masyarakat Suku Bajo tersebut.
Disusun Oleh : Kristina Sampeakung D12113305 Teknik Lingkungan FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014 KATA PENGANTAR Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah mengenai Kehidupan Masyarakat Suku Bajo dalam Konsep WSBM. Makalah ini selain untuk memenuhi tugas pengganti final Wawasan Sosial Budaya Maritim, juga bertujuan untuk memberikan informasi tentang budaya maritim suku bajo dalam konsep wawasan sosial budaya bahari. Ucapan terima kasih kami hanturkan kepada pihak-pihak yang berperan dalam penyelesaian makalah ini. Penulisan makalah itu tidak luput dari kesalahan, sehingga mesih perlu kritik dan saran untuk penyempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan lebih tentang sosial budaya maritim di Indonesia.
Gowa, 21 Mei 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............i DAFTAR ISI.......ii BAB I PENDAHULUAN...............1 1.1 Latar Belakang......1 1.2 Rumusan Masalah.................................2 1.3 Tujuan....2 BAB II PEMBAHASAN.........4 2.1 Suku Bajo .....4 2.2 Sejarah Suku Bajo ....5 2.3 Sistem Pengetahuan......6 2.4 Sistem Bahasa...7 2.5 Sistem Organisasi Sosial...8 2.6 Sistem Mata Pencaharian ...........10 2.7 Sistem Peralatan Hidup.......11 2.8 Sistem Kepercayaan ...........13 2.9 Sistem Kesenian..........14 BAB III PENUTUP....24 3.1 Kesimpulan.........24 3.2 Saran...24
DAFTAR PUSTAKA.......25
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara bahari, yang kebahariannya tidak perlu diragukan. data fisik kondisi alamiah meyenbutkan bahwa pulau di wilayah negara indonesia mencapa 17.499 buah, panjang pantai mencapai 80.791 km, dengan luas lautan mancapai 5,8 juta km persegi, dan luas daratan mencapai 2,9 km persegi. Adanya kondisi fisik seperti itu, menyebabkan sebagian pendudukanya hidup dalam lingkungan budaya perairan, seperti nelayan, pembuat perahu, pedangan. Sebagian besar dari mereka dikenal sebagai pelaut yang gagah berani. Indonesia juga merupakan Negara yang kaya akan adat dan budaya yang beragam, serta memiliki beberapa unsur kebudayaan sebagai indikator yang dapat berlaku bagi semua suku bangsa yang ada di Indonesia. Sebagai salah satu contohnya adalah masyarakat suku Bajo. Berdasarkan sejarahnya, masyarakat suku Bajo merupakan suatu komunitas yang hidup di atas perahu, dan biasa disebut dengan manusia perahu. Masyarakat suku bajo selalu membudayakan hal ini, sehingga kehidupan mereka selalu berpindah pindah. Setelah memanfaatkan satu daerah maka mereka akan berpidah pada daerah yang lain, barulah kemudian dimanfaatkan, dan begitu seterusnya. Hal ini sudah menjadi tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Masyarakat suku bajo percaya bahwa laut merupakan kehidupan mereka. laut adalah ombok lao, atau raja laut. Sehingga filosofi tersebut berakibat pada penggolongan manusia dalam suku Bajo. Suku Bajo, dalam menempatkan orang membaginya ke dalam dua kelompok, yaitu Sama dan Bagai. Sama adalah sebutan bagi mereka yang masih termasuk ke dalam suku Bajo sementara Bagai adalah suku di luar Bajo. Penggolongan tersebut telah memperlihatkan kehati-hatian dari suku Bajo untuk menerima orang baru. Mereka tidak mudah percaya sama pendatang baru. Masyarakat suku bajo memiliki suatu filosofis Papu Manak Ita Lino Bake isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana, artinya Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, kita sebagai manusia yang memikirkan bagaimana cara memperoleh dan mempergunakannya. Sehingga laut dan hasilnya merupakan tempat meniti kehidupan dan mempertahankan diri sambil terus mewariskan budaya leluhur suku Bajo. Walaupun suku Bajo selalu tinggal di daerah pinggiran laut dan jauh dari pengaruh kehidupan masyarakat modern pada umumnya karena terpisah dari komunitas masyarakat lainnya, bukan berarti suku Bajo tidak memiliki dan menjunjung tinggi hukum dan adat mereka, seperti yang terjadi pada masyarakat suku Bajo di Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, sebuah desa yang di huni mayoritas suku Bajo.
B. Rumusan Masalah 1. Jelaskan Letak Suku Bajo? 2. Jelaskan Sejarah Suku Bajo? 3. Bagaimana Sistem Pengetahuan Suku Bajo Bokori? 4. Bagaimana Sistem Bahasa Suku Bajo Bokori? 5. Bagaimana Sistem Organisasi Sosial Suku Bajo Bokori? 6. Bagaimana Sistem Mata Pencaharian Suku Bajo Bokori? 7. Bagaimana Sistem Peralatan Hidup Suku Bajo Bokori? 8. Bagaimana Sistem Kepercayaan Suku Bajo Bokori? 9. Bagaimana Sistem Kesenian Suku Bajo Bokori? C. Tujuan 1. Mengetahui Letak Suku Bajo 2. Mengetahui Sejarah Suku Bajo 3. Memahami Sistem Pengetahuan Suku Bajo Bokori 4. Mengenali Sistem Bahasa Suku Bajo Bokori 5. Mengerti Sistem Organisasi Sosial Suku Bajo Bokori 6. Mengetahui Sistem Mata Pencaharian Suku Bajo Bokori 7. Mengenali Sistem Peralatan Hidup Suku Bajo Bokori 8. Mengetahui Sistem Kepercayaan Suku Bajo Bokori 9. Mengenali Sistem Kesenian Suku Bajo Bokori
BAB II PEMBAHASAN 2.1 Letak Suku Bajo
2.1.1 Lokasi Masyarakat Suku Bajo Dahulu kala masyarakat Bajo kerap berpindah-pindah dari satu tempat ke temat lainnya mencari sumber kehidupan seperti masyarakat gipsy atau nomaden. Namun saat ini meskipun masih ada yang meneruskan tradisi berpindah tempat, sebagian lainnya memilih menetap di lokasi tertentu dengan pola hidup yang sangat sederhana. Salah satu lokasi menetap yang dipilih suku ini ada di Pulau Bokori yang sekarang dipindahkan ke daratan Bajo yang berada di Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe sekitar Tahun 1986. Belum lagi budaya masyarakat Suku Bajo, seperti perkawinan dan acara selamatan. Adat Perkawinan masyarakat Suku Bajo, saat malam pertama, biasanya pasangan suami istri baru, di lepas ke laut dengan perahu. Mereka menghabiskan malam pertama di atas perahu. Ini merupakan tradisi yang sangat unik. 2.1.2 Demografi Masyarakat Suku Bajo Suku Bajo (Bajau) tersebar di beberapa daerah di Sulawesi Tenggara, selain di pulau Kabaena populasi suku Bajo terdapat juga di pulau Bokori yang sekarang berada di daratan Soropia. Sejak lama, masyarakat suku Bajo telah menempati wilayah pesisir pulau Bokori ini, hidup dengan kearifan dan budaya mereka sendiri. Laut adalah tumpuan utama mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup ratusan orang anggota komunitas mereka dari tahun ke tahun. Walaupun suku Bajo tersebar di beberapa pulau sekitarnya, tapi hampir tidak terdapat perbedaan dengan suku-suku bajo di daerah lain, masyarakat Bajo di wilayah ini hidup berdampingan dalam satu komunitas mereka dan menempati wilayah yang sedikit terpisah dengan komunitas lain, meskipun mereka secara administrasi pemerintahan dalam satu kesatuan dengan penduduk asli masyarakat Kecamatan Soropia di desa ini. Rumah-rumah yang mereka huni secara keseluruhan berada di atas laut sehingga membuat komunitas suku lain agak sulit melakukan interaksi dengan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Belum bisa dipastikan apa yang menyebabkan mereka sedikit menutup diri dengan komunitas lain. Namun dalam makalah ini akan dibahas mengenai suku Bajo Bokori, di Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara 2.2 Sejarah Suku Bajo Bajo berasal dari nama seorang leluhur mereka. Yang sangat hebat dalam melaut, dan hebat juga dalam bercocok tanam. Kemudian kampung Karang Bajo adalah nama wilayah keturunan dari Bajo. Asal-usul suku Bajo sesungguhnya dari pulau Sulawesi. Selain menguasai bahasa daerah setempat, mereka juga berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Bajo, serumpun dengan bahasa Bugis Sulawesi Selatan. Di mana dua atau tiga warga Bajo berkumpul, mereka diwajibkan menggunakan bahasa Bajo. Kecuali kalau berada di antara atau bersama warga penduduk setempat. Mereka adalah orang pelaut yang tidak bisa hidup di gunung. Bajo, identik dengan air laut, perahu, dan permukiman dia atas air laut. Bajo artinya mendayung perahu dengan alat yang disebut bajo. Konon nenek moyang mereka berasal dari Johor, Malaysia. Mereka adalah keturunan orang-orang Johor yang dititahkan raja untuk mencari putrinya yang melarikan diri. Orang-orang tersebut diperintahkan mencari ke segala penjuru negeri hingga pulau Sulawesi. Menurut cerita, sang puteri memilih menetap di Sulawesi, sedangkan orang-orang yang mencarinya lambat laun memilih tinggal dan tidak lagi kembali ke Johor. Dan konon menurut satu versi, sang puteri yang menikah dengan pangeran Bugis kemudian menempatkan rakyatnya di daerah yang sekarang bernama Bajoe. dikenal sebagai pelaut ulung yang hidup matinya berada diatas lautan. Orang Bajo dikenal mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya, kendati tradisinya sendiri tetap berjalan. Masyarakat Suku Bajo Bokori Masyarakat suku Bajo Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara adalah masyarakat yang terbuka akan segala perubahan dalam kehidupan masyarakat. Namun, bukan berarti masyarakat tersebut sudah tidak memiliki nilai-nilai tradisi serta hukum adat yang dijunjung tinggi. 2.3 Sistem Pengetahuan Suku Bajo Bokori Masyarakat Bajo Bokori memiliki pengetahuan alamiah-kontekstual yang dibangun dari dan atas dasar pengalaman alamiah-kontekstual sehari-hari. Hal ini bermanfaat dalam menjalani kehidupan mereka sehari-hari sebagai nelayan. Beberapa pengetahuan itu, seperti peredaran bulan, musim dan peristiwa pasang surut air laut, termasuk ilmu perbintangan secara tradisional dan sistem penanggalan qamariah (yang dihitung berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi) dan penanggalam syamsiah (yang dihitung berdasarkan peredaran bumi mengelilingi matahari). Pengetahuan masyarakat Bajo Bokori dilihat dari perspektif sosial/budaya antara lain direfleksikan dalam sebuah pandangan yang sejalan dengan teori dan fenomena sosial dalam kehidupan sehari-hari, yaitu sama dan bagai. Selain itu, orang Bajo dapat diidentifikasi dari bahasanya, yaitu baong sama (bahasa Bajo) yang dapat menyatukan mereka dalam suatu komunitas besar masyarakat Bajo meskipun asal dan tempat tinggalnya berbada-beda daerah. Dahulu, masyarakat Bajo Bokori kurang memperhatikan pendidikan. Mereka hanya berorientasi di laut. Mereka menganggap sekolah itu tidak penting, tetapi apa gunanya sekolah sampai ke jenjang yang tinggi kalau toh harus kembali ke laut untuk mencari ikan. Selain itu, mereka menganggap nenek moyang mereka hanya mengenal bagaimana caranya mencari ikan saja, mereka tidak tahu bagaimana caranya jika harus mencari rejeki selain melaut. Namun, seiring perkembangan zaman, masyarakat Bajo yang awalnya tertutup akan pendidikan tersebut, sekarang sudah mulai terbuka dengan perubahan serta perkembangan yang ada terutama di bidang pendidikan. Hal ini terbukti dengan banyaknya generasi muda masyarakat Suku Bajo yang berhasil menempuh pendidikan bahkan sudah ada yang sarjana, bidan, tentara dan polisi. 2.4 Sistem Bahasa Dari segi bahasa, kendati orang Bajo mempunyai satu bahasa. Namun dialek mereka terpengaruh dengan bahasa-bahasa daerah tempat mereka bermukim. Seperti di kabupaten Lembata, mereka hanya berbahasa Bajo dengan kaumnya, sementara itu mereka berbahasa Lamaholot bila bertemu di pasar atau berinteraksi dengan penduduk luar kelompoknya. Dan bahasa bajo sudah mengalami perbedaan yang sangat jauh sebagai akibat pengaruh bahasa-bahasa lainnya. Dalam masyarakat suku Bajo, untuk penyebutan orang yang lebih tua laki- laki disebut Puto, sementara untuk penyebutan orang yang lebih tua perempuan disebut Aya. Dan untuk orang atau pemuka adat disebut Lolo Bajo 2.5 Sistem Organisasi Sosial Dalam masyarakat suku Bajo Bokori, ada persatuan pemuda Bajo yang namanya Kekar Bajo yang dilaksanakan setiap setahun sekali. Semua masyarakat Bajo berkumpul dan merayakannya di salah satu daerah pilihan. Dalam proses penyelenggaraan dan penegakan hukum, tidak terlepas dari keterkaitan Antara hukum dengan aspek kebudayaan serta organisasi social. Namun, apakah dalam masyarakat adat tertentu antara hukum dengan kebudayaan dan organisasi social merupakan tiga hal yang saling berkaitan, atau tidak ataukah juga saling berdiri sendiri tanpa ada hubungan atau keterkaitan diantara ketigatiga unsur tersebut Bicara tentang kebudayaan dalam masyarakat adat suku Bajo Bokori jika dikaitkan dengan hukum mempunyai kaitan yang erat, namun dengan organisasi social tidak terlalu mempunyai kaitan, karena tidak adanya fungsi organisasi social dalam mengawasi serta membantu penyelesaian masalah hukum yang terjadi. Organisasi social hanya berperan dalam kegiatan-kegiatan atau hubungan-hubungan yang terjadi antara komunitas suku Bajo didaerah lain atau komunitas masyarakat lain. Dalam masyarakat adat suku Bajo Bokori memiliki hukum yang tidak tertulis yang mereka yakini secara turun-temurun. Setiap penyelesaian selalu melibatkan tokoh adat dan pihak-pihak terkait tanpa adanya peran dari organisasi social. Dimana tampak dalam setiap penyelesaian masalah hukum yang terjadi di masyarakat selalu diselesaikan dengan cara musyawarah dan system kekeluargaan seperti dalam tradisi pasipupukang yang didalamnya terdapat tradisi Ningkolo dan Passala. Budaya musyawarah dan kekeluargaan dalam Pasipupukang yang membentuk hukum dalam kehidupan masyarakat adat Suku Bajo Bokori. Selain itu, unsur kebudayaan dalam penggunaan bendera adat Bajo dapat dilihat pada saat adanya perayaan perkawinan, ataupun acara-acara resepsi lainnya. Tidak semua masyarakat keturunan suku Bajo menggunakan acara pengibaran bendera adat Bajo ini, karena terdapat tatacara tertentu yang harus dipenuhi. Penggunaan simbol bendera adat Bajo itu sendiri memiliki kandungan asas persatuan, dalam hal ini mempersatukan anggota masyarakat suku Bajo ke dalam tradisi adat mereka; mengandung juga asas kedaulatan, dimana penggunaan bendera adat tersebut menunjukkan kedaulatan adat Bajo yang masih mendarah daging pada masyarakat adat Bajo yang masih menggunakan adat tersebut; mengandung juga asas kehormatan, dimana penggunaan bendera adat tersebut adalah sebagai jati diri yang menunjukkan eksistensi harga diri, dan kebesaran adat masyarakat Bajo; asas kebangsaan, disini berarti penggunaan bendera mencerminkan sifat patriotisme, kepahlawanan, dan nasionalisme yang tinggi untuk tetap setia kepada adat istiadat Suku Bajo; asas ketertiban, berarti bahwa penggunaan bendera harus dapat mewujudkan ketertiban dalam penggunaannya; asas kepastian hukum, berarti bahwa penggunaan bendera harus dapat memberikan kepastian hukum dalam penggunaannya; asas keseimbangan, berarti bahwa penggunaan bendera harus mencerminkan keseimbangan dalam hal pengadaan, penetapan, dan penggunaannya; asas keserasian berarti bahwa penggunaan bendera harus mencerminkan keserasian dalam hal pengadaan, penetapan, dan penggunaannya; dan asas keselarasan berarti bahwa penggunaan bendera harus mencerminkan keselarasan dalam hal pengadaan, penetapan, dan penggunaannya. simbol persatuan, kekeluargaan dan gotong-royong masyarakat Bajo. Dengan adanya aspek kebudayaan dan kepercayaan masyarakat adat suku Bajo Bokori melalui symbol penggunaan bendera adat Bajo tersebut dengan nilai- nilai filosofis yang dimiliki menunjukkan bahwa sebagian besar hukum adat dalam masyarakat suku Bajo Bokori lahir dari kebudayaan-kebudayaan dalam masyarakat itu sendiri.
2.6 Sistem Mata Pencaharian
Mata pencaharian utama suku Bajo adalah mencari ikan dengan cara yang masih terbilang tradisional, seperti memancing, memanah, dan menjaring ikan. Ikan-ikan tersebut nantinya dijual kepada penduduk sekitar pesisir atau pulau terdekat. Kehidupan Suku Bajo memang masih terbilang sangat sederhana. Mendirikan pemukiman tetap pun mungkin tak terpikir oleh mereka apabila tidak dihimbau oleh Pemerintah setempat. Kegiatan melaut untuk mencari ikan adalah rutinitas utama mereka setiap harinya. Dari subuh mereka telah berangkat melaut untuk mencari ikan sampai pada siang hari, sehingga apabila pagi hari pemukiman mereka terlihat sepi, hanya anak- anak yang berada di rumah. pemukiman ini nanti terlihat ramai ketika siang hari sampai sore hari, kerana mereka telah kembali dari melaut. Beberapa suku Bajo bahkan sudah mengenal teknik budidaya produk laut tertentu, misalnya lobster, ikan kerapu, udang, rumput laut, dan lain sebagainya. Mereka menyebut tempat budidaya sebagai tambak terapung yang biasanya terletak tak jauh dari pemukiman. Sebagian kecil masyarakat suku Bajo bahkan sudah membuat rumah permanen dengan menggunakan semen dan berjendela kaca. Anak- anak Suku Bajo juga sudah banyak yang bersekolah, bahkan ada yang sampai perguruan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran mereka tentang pentingnya pendidikan sudah mulai terbangun. 2.7 Sistem Peralatan Hidup Alat-alat tersebut selain untuk menangkap ikan juga digunakan untuk aktivitas sehari-hari, misalnya sampan kaloko. Setelah datangnya era modernisasi alat tangkap, alat-alat tersebut saat ini hanya tinggal cerita saja. Beberapa alat tangkap yang terlacak adalah Timbalu, Sampan Kaloko, Bagu, dan Ngambai. 1. Timbalu Ikan tuna atau yang dalam bahasa Bajo disebut bangkunes, merupakan hasil laut yang sudah sejak lama menjadi target nelayan Bajo. Dahulu, Suku Bajo menangkap ikan tuna menggunakan pancing ulur. Bersama dengan pancing, digunakan alat bantu yang disebut dengan timbalu. Timbalu adalah alat bantu nelayan dalam memancing ikan tuna. Konstruksi timbalu berupa bambu yang dipasang melintang dan diikat kuat di atas sampan. Senar dipasang pada bambu tersebut dengan jumlah antara 4-6 senar. Sedangkan pada masing-masing senar dipasang mata kail dengan jumlah bervariasi, antara 2-4 buah mata kail. Saat menggunakan timbalu, sampan biasanya dalam posisi diam atau dikayuh perlahan. 2. Sampan Kaloko
Sampan Kaloko merupakan alat utama yang membantu dalam kehidupan sehari-hari Suku Bajo, mulai dari transportasi hingga menangkap ikan. Sampan kecil tanpa layar dengan panjang tidak lebih dari 5 meter ini dahulu menjadi identitas Suku Bajo. Sampan ini lebih ramping dari sampan yang banyak dijumpai pada masa kini. Sampan Kaloko digunakan Suku Bajo untuk menangkap ikan cakalang dengan mengandalkan dayung dan kekuatan tangan untuk mengejar kumpulan burung yang dipercaya sebagai tanda berkumpulnya ikan cakalang. Konstruksi rumah Suku Bajo yang berada di atas laut dan tidak adanya jembatan penghubung antar rumah pada masa itu membuat sampan ini memiliki fungsi yang penting. 3. Bagu Bagu adalah tali pancing yang terbuat dari serat pohon bagu. Berdasarkan informasi yang dihimpun, pohon bagu banyak terdapat di daerah Buton. Pohon ini tinggi menjulang dan kaya manfaat. Kayunya bisa digunakan untuk bahan baku pembuatan rumah, daunnya bisa digunakan untuk sayur mayur, dan seratnya bisa digunakan untuk tali pancing. Saat ini, pohon ini sudah sangat langka dan sulit ditemukan. 4. Ngambai Ngambai adalah istilah bahasa Bajo untuk menggambarkan proses penangkapan ikan dengan sistem kerjasama menggunakan jaring. Target penangkapan adalah semua jenis ikan. Sekelompok nelayan harus dipecah dalam sistem ini, ada kelompok yang memasang jaring dan ada kelompok yang menggiring ikan. Modernisasi ternyata memiliki pengaruh pada suatu komunitas masyarakat. Salah satunya perubahan alat tangkap ikan yang yang ada di Suku Bajo. Alat-alat tangkap yang diuraikan di atas saat ini hanya menjadi cerita saja. Masuknya mesin membuat daya jelajah nelayan semakin luas, alat tangkap yang semakin maju membuat ikan lebih mudah tertangkap sehingga mereka meninggalkan alat-alat tangkap yang dianggap konvensional dan ketinggalan jaman.
2.8 Sistem Kepercayaan Pada awalnya, Suku Bajo memeluk kepercayaan animisme dan agama Hindu. Namun seiring ajaran agama Islam masuk yang dibawa oleh Sunan Prapen (cucu Sunan Giri), banyak masyarakat Bajo berpindah agama. Kerajaan Anak Agung Gedhe Agung yang menganut agama Hindu yang ketika itu berkuasa di pulau Lombok merasa eksistensinya terganggu, takut apabila banyak masyarakat Bajo memeluk Islam yang nantinya bisa dan mampu menggulingkan kekuasaan kerajaan. Filsafat kehidupan suku Bajo di Bayan menilai antara kebudayaan dan Agama Islam mempunyai korelasi inklusif. Tidak adanya perbedaan, antara kebudayaan dan Agama Islam, semua itu disingkronisasi oleh peradaban.Kebudayaan merupakan keseluruhan dari hasil budidaya manusia baik cipta, karsa dan rasa. Kebudayaan berwujud gagasan/ide, perilaku/ aktivitas dan benda-benda. Sedangkan peradaban adalah bagian-bagian dari kebudayaan yang tinggi, halus, indah dan maju Masyarakat suku Bajo Bayan memiliki filosofi yang sering disebut dengan Wetu Telu. Makna dari kata Wetu adalah Keluar, sedangkan Telu adalah Tiga. Jadi Wetu Telu adalah Keluarnya tiga Filosofi kehidupan suku Bajo, yaitu Beranak (diperuntukkan manusia, dan hewan mamalia), Bertelur (diperuntukkan unggas dan ikan) dan Tumbuh (diperuntukkan tumbuh-tumbuhan). Wetu Telu juga mempunyai tiga fase dari kehidupan makhluk hidup, yaitu fase pertama kelahiran, fase kedua adalah kehidupan, fase ketiga adalah kematian. Ketiga fase ini memiliki pola hubungan yang sama, dan setiap individu manusia memiliki perbedaan dinamika kehidupan yang berbeda. Khususnya manusia yang diberikan akal dan pikiran oleh Allah SWT akan mempertanggung jawabkan apa yang telah dilakukannya selama hidup Dari ketiga makna ini mempunyai arti bahwa manusia merupakan satu kesatuan dari alam, yang tersirat dari filsafat kosmologi kehidupan dan budaya. Seperti halnya masyarakat Jawa, suku Bajo juga mengenal adanya dewi padi. Jika orang Jawa mengenal Dewi Sri sebagai dewi kesuburan (dewi padi), maka orang Bajo mengenal dewi padi dengan sebutan Inak Sariti. Suku bajo hanya menanam varietas padi lokal dari golongan padi bulu. Hal ini dikarenakan varietas padi ini adalah varietas padi yang pertama kali ditanam di bangkat, sawah orang Bayan pertama kali. Selain itu, masyarakat percaya bahwa jika tidak menaman padi bulu, maka panen berikutnya akan gagal. Masyarakat setempat juga lebih menyukai varietas ini dikarenakan varietas padi ini menghasilkan nasi yang lebih pulen dan lebih enak Tradisi bertani di desa ini merupakan sebuah gambaran akan pentingnya menghargai makna dan nilai-nilai positif yang terkandung, untuk selalu dijaga dan dihormati tanpa berlebihan. Masyarakat desa hidup dan masih berpegang teguh pada aturan adat yang mengatur segala bentuk hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia maupun dengan makhluk yang lain serta lingkungan sekitar. Dan disisi lainnya sangat menghargai dan menjunjung tinggi atas nilai kehidupan. Demikianlah kearifan lokal yang dimiliki kampung adat Sasak. Sebagian kecil kearifan ini dapat kita refleksikan sebagai bentuk kekuatan bangsa kita 2.9 Sistem Kesenian 1. Rumah Bajo
Rumah Panggung yang berdiri diatas tonggak tonggak kayu diatas laut yang saling berhubungan. Rumah orang orang bajo sangat jarang dipenuhi perabot furniture seperti kursi meja kecuali memang mereka orang terpandang seperti kepala desa, pemilik warung atau pedagang. Umumnya mereka duduk di lantai kayu yang tidak terlalu rapat sehingga kita bisa melihat air laut dan segala kehidupannya di bawah sana.
Orang-orang Bajo enggan membangun rumah di darat karena banyak tradisi dan ritual hidup yang harus dilakukan di laut. Sejak dulu, setiap bayi orang Bajo harus dicelupkan ke laut untuk mengakrabkan mereka dengan laut yang dianggap sebagai saudara. Nilai-nilai konservasi dalam Tradisi Suku Bajo Duata Sangal : Ritual mengambil beberapa jenis ikan kecil yang terancam punah dan melepaskannya ke laut , ikan yang dilepas itu diharapkan bisa mengundang ikan-ikan lainnya untuk berkumpul dan hidup bersama. Parika : yaitu memberi ruang bagi ikan untuk bertelur dan beranak serta membatasi penangkapan berdasarkan ketentuan waktu tertentu yang disepakati oleh pemuka adat dan tokoh komunitas. Pamali : Daerah terlarang yang ditetapkan ketua adat Bajo untuk menangkap ikan di suatu kawasan. Biasanya disertai sanksi tertentu bagi yang melanggar. Maduai Pinah : Ritual yang dilakukan saat nelayan Bajo akan turun kembali melaut di lokasi pamali.
2. Kategori Melaut dalam tradisi Bajo Kegiatan melaut dibagi dalam empat kategori , yakni : Palilibu : melaut jarak dekat dalam sehari Pongka : melaut agak jauh dengan waktu 1-2 minggu Sakai : Melaut jauh dengan lama waktu minimal sebulan Lama : melaut sangat jauh hingga berbulan-bulan dan biasanya melintasi negeri asing.
3. Duata Sejumlah wanita berpakaian adat khas suku bajo menggelar tarian di atas perahu disertai dengan membuang berbagai sesajen di tengah laut. Tarian ini sebagai rangkaian prosesi tradisi Duata, sebuah tradisi pengobatan tradisional suku Bajo. Dalam keyakinan masyarakat Bajo, Duata adalah Dewa yang turun dari langit dan menjelma menjadi sosok manusia. Tradisi Duata adalah puncak dari segala upaya pengobatan tradisional suku bajo, ini dilakukan jika ada salah satu diantara mereka mengalami sakit keras dan tak lagi dapat disembuhkan dengan cara lain termasuk pengobatan medis.
4. Perkawinan Dalam masyarakat suku bajo, terdapat beberapa jenis perkawinan, yakni : Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan peminangan (Massuro) Perkawinan jenis ini berlaku secara turun-temurun bagi masyarakat Suku Bajo yang bersifat umum, baik dari golongan bangsawan maupun masyarakat biasa. Perbedaannya hanya dari tata cara pelaksanaannya. Bagi golongan bangsawan melalui proses yang panjang dengan upacara adat tertentu, sedangkan masyarakat awam berdasarkan kemampuan yang dilaksanakan secara sederhana. Perkawinan Silaiyang ( Kawin Lari) Perkawian yang dilaksanakan tidak berdasarkan peminangan akan tetapi kedua belah pihak melakukan mufakat untuk lari rumah penghulu atau kepala kampung untuk mendapat perlindungan dan selanjutnya diurus untuk dinikahkan. Dalam masyarakat Suku Bajo, peristiwa Silaiyang (melarikan diri untuk dinikahkan) adalah perbuatan yang mengakibatkan pakayya bagi keluarga perempuan. Dahulu peristiwa semacam ini bagi pihak perempuan yang disebut nggai ia selalu berusaha untuk menegakkan harga diri atau pakayya dengan cara membunuh lelaki yang melarikan anak gadisnya (anaknya). Namun, sekarang ini menurut ketentuan adat, apabila keduanya telah berada di rumah anggota adat atau penghulu (pemerintah) maka ia tidak bisa diganggu lagi. Penghulu atau anggota adat harus berusaha dan berkewajiban mengurus dan menikahkannya. Untuk maksud tersebut di atas diadakanlah komunikasi kepada orang tua perempuan untuk dimintai persetujuannya. Tetapi sering juga terjadi orang tua dan keluarga pihak perempuan tidak mau memberi persetujuannya, karena merasa dipermalukan (adipakaiya). Bahkan orang tua yang dipermalukan (dipakaiya) itu menganggap anaknya yang dilarikan itu telah meninggal dunia dan tidak lagi diakui sebagai anaknya. Apa bila hal ini terjadi maka jalan lain yang ditempuh adalah pihak adat atau penghulu menikahkannya dengan istilah Wali- Hakim. 5. Perkawinan yang Dilarang Sejak dahulu adat yang berlaku dalam masyarakat Suku Bajo melarang perkawinan antara dua orang (laki-laki dan perempuan) yang masih memiliki hubungan darah yang dekat, seperti : Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkannya (ibu/nenek) baik melalui ayah maupun ibu. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita yang menurun dirinya (anak/cucu/cicit) termasuk keturunan anak wanita. Seorang pria dilarang kawin dengan wanita dari keturunan ayah atau ibu (saudara kandung / anak dari saudara kandung). Seorang pria dilarang kawin dengan wanita saudara dari yang menurunkan (saudara kandung ayah/saudara kandung ibu/saudara kakek atau nenek baik dari ayah maupun dari ibu). 6. Perkawinan Duduk ( Sitingkoloang ) Perkawinan ini terjadi apabila salah satu pihak, baik laki-laki atau pihak perempuan pergi kerumah orangtua laki-laki atau perempuan guna menyerahkan dirinya kepada keluarga laki-laki atau perempuan.Karena laki-laki atau perempuan sangat cinta sehingga dia memberanikan diri untuk menyampaikan kedatanganya bahwa dia sangat sayang.Untuk maksud ini dari pihak orangtua memberikan saran agar masing-masing pihak dapat meluangkan waktunya untuk musyawarah (sitummu).Perkawinan ini masih berlaku di Masyarakat Bajo. 7. Upacara Sangal Upacara Sangal yang dilakukan saat musim paceklik ikan dan spesies laut lainnya. Pada upacara tersebut, mereka akan melepas spesies yang populasinya tengah menurun di saat bersamaan. Misalnya: melepas penyu saat populasi penyu berkurang, melepas tuna saat tuna berkurang, dll. Suku Bajo juga memiliki kearifan lokal dalam melaut dan mengambil hasil laut.. Di dalam masyarakat Bajo tumbuh suatu keyakinan terhadap adanya suatu mantra yang memberi peranan penting dalam kehidupan mereka, keyakinan tersebut berkaitan erat dengan kegiatan mereka sebagai nelayan. Tantangan yang dihadapi oleh Suku Bajo cukup banyak, antara lain: kurangnya akses menuju pendidikan, hak atas tempat tinggal, angka kematian pada ibu yang melahirkan dan bayi, kemiskinan, kelaparan, dan diskriminasi di beberapa lokasi tertentu. Selain itu, perubahan alam pun menjadi salah satu tantangan yang dihadapi oleh suku pengembara laut ini.
8. Tarian Umumnya tarian tradisional masyarakat suku Bajo hampir sama dengan tarian suku bugis,buton,mandar dan toraja.Ada dua tarian yang lumrah di kalangan Suku Bajo yakni : Tarian Manca Tarian Manca adalah salah satu tarian yang sangat populer dikalangan masyarakat Bajo.Tarian ini dilakukan pada saat ada pesta pernikahan yang resmi (Massuro). Biasanya tarian ini dibawakan oleh sepasang pamanca (tukang manca) terdiri dari dua orang yang masing-masing saling membawa peddah (pedang). Tarian ini sudah merupakan turun temurun dari nenek moyang mereka.Si pamanca sudah terlatih sejak kecil,sehingga gerak badannya sangat lentur sesuai dengan irama sarroni/sulleh (seruling) dan gandah (gendang). Manca bagi masyarakat suku bajo melambangkan kesatriaan sejati karena tarian ini dianggap sebagai bekal untuk menjaga diri. Para pamanca saling bergantian pabila salah satu dari sipamanca lelah yang lain dapat (nyamboh) istilahnya menyambung tarian. Umumnya manca dipentaskan saat pengantin laki-laki diantar kerumah wanita (lekka). Nah setelah pengantin laki-laki tiba dirumah perempuan,di depan pintu sudah berdiri salah satu anggota keluarga yang sudah dekat atau akrab dengan pengantin laki-laki atau perempuan istilah ini disebut nyambo'. Kalau pengantin laki-laki disebut nyambo' lille sedangkan pengantin perempuan disebut nyambo' dinde. Manca diiringi dengan alat musik seruling (sarroni),goh (gong),dan gandah (gendang).
Sile' kampoh ( silat kampung ) Silat kampung merupakan tradisi adat istiadat suku bajo. Ini bersinambungan dengan manca artinya semua jurus-jurus yang didapat dari silat kampung diterapkan dalam manca. Silat kampung ini tidak sembarangan orang untuk mempelajarinya. Syaratnya harus sudah cukup umur. Untuk mempelajari silat ini dibutuhkan empat minggu ini sudah sempurna. Prinsipnya silat adalah jalan hidup yang meliputi berbagai aspek kehidupan seorang manusia. Fungsi dari silat ini adalah untuk menjaga diri. Ada sebuah ungkapan yang menyatakan "Bukan orang Bajo yang meninggal dibunuh tanpa melawan". Makanya setiap pemuda yang berkeinginan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya tidak diperkenankan oleh orangtuanya sebelum dia mempelajari silat.
2.10 Hukum Adat dan Tradisi Dalam masyarakat suku Bajo Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara, dikenal sebuah tradisi yang bernama Pasipupukang, yang artinya perkumpulan masyarakat suku Bajo atau tradisi berkumpul masyarakat Bajo untuk mencari solusi-solusi dari permasalahan- permasalahan yang mereka hadapi. Apabila terdapat masalah diantara masyarakat adat tersebut, maka diadakanlah Pasipupukang untuk penyelesaiannya. Pasipupukang ini biasanya dilakukan dengan tata cara sebagai berikut: Apabila terjadi kasus perkelahian diantara sesama masyarakat Bajo, diadakanlah pertemuan di suatu tempat, misalnya dirumah tokoh adat atau di balai pertemuan di Desa. Pertemuan ini dinamakan Pasipupukang, dengan dihadiri oleh kedua belah pihak yang berseteru, tokoh adat, tokoh masyarakat, kepala desa. Pembicaraannya dilakukan dengan cara musyawarah untuk mencari titik terang. Sedangkan apabila kasus perkelahian tersebut melibatkan pihak lain yang berasal dari kampong lain atau masyarakat adat lain, penyelesaiannya tetap sama dengan diadakan pertemuan atau perkumpulan (Pasipupukang) namun, dihadiri oleh masing-masing ketua atau tokoh adat dari kedua masyarakat adat. Lalu dilakukan musyawarah, apabila ada kerugian yang ditimbulkan, maka ada namanya pemberian Passala atau biasa dikenal dengan denda. Setelah dilakukan Pasipupukang, namun masalahnya tetap berlanjut dan tidak menemui titik terang, maka diserahkan ke pihak kepolisian untuk ditindak lanjuti. Untuk mengetahui apakah dalam masyarakat suku Bajo Bokori memiliki hukum yang berlaku secara universal atau tidak, sebelumnya perlu diketahui apa itu yang dimaksud dengan universal. Adapun unsur-unsur dari hukum yang bersifat universal disini adalah sebagai berikut: Aturan tertulis dan tidak tertulis Bersifat mengatur dan mengikat Mempunyai sanksi Memiliki efek jera. Yang pertama mengenai aturan. Dalam masyarakat suku Bajo Bokori terdapat aturan tidak tertulis yang mereka yakini secara turun temurun yang dikenal dengan Pemali dan Pasipupukang. Hal ini ditaati dan berlaku bagi seluruh masyarakat Bajo secara keseluruhan. Kedua, bersifat mengatur dan mengikat. Aturan-aturan dalam suku Bajo Bokori bersifat mengikat bagi semua masyarakat suku bajo serta orang-orang diluar suku Bajo yang terdapat di wilayah suku Bajo. Misalnya, ketika terjadi perkelahian di wilayah Bajo yang melibatkan orang-orang didaerah Bajo dan orang setempat. Diberlakukan aturan yang berlaku di daerah Bajo, dengan diadakannya musyawarah atau Pasipupukang antara kedua belah pihak. Selanjutnya, mempunyai sanksi. Ketika terjadi kasus atau masalah di antara mereka, tidak serta merta dibawa langsung ke pihak berwajib. Namun, diselesaikan secara adat dulu misalnya musyawarah, kalau sudah tidak ada titik temu barulah dibawa ke pihak yang berwajib. Namun mengenai sanksi yang diberikan ada yang namanya Passala atau denda. Mengenai efek jera dalam masyarakat suku Bajo tidak terlalu berpengaruh besar, karena dalam setiap penyelesaian masalah dan kasus yang terjadi selalu diselesaikan dengan system kekeluargaan dan musyawarah. Misalnya kalau tentang muda-mudinya itu, dalam mereka menjalin hubungan jika tidak direstui oleh salah satu orang tua calon pemelai wanita baik pria, itu mereka menyelesaikannya juga dengan adat yang mereka yakini dan dipimpin juga oleh kepala adat melakukan Pasipupukang dengan cara: Ningkolo (duduk) sebagai simbol untuk mohon izin kepada keluarga calon mempelai yang tidak menyetujui pernikahan tersebut, kenapa suku Bajo memilih adat ningkolo, karna ningkolo itu seperti memberi kehormatan, kesopanan saat akan meminta izin dan sifat kekeluargaan. Pada upacara ini kepala adatnya yang akan menjadi penengah di antara dua keluarga tersebut. Dan di situ calon mempelai laki- laki menawarkan jumlah uang sebagai mas kawin untuk disetujui, jumlah nya itu Rp50.000, dan ditambah lagi pula untuk uang biaya pesta perkawinan, akan terus terjadi tawar-menawar sampai ada kesepakatan di antara dua keluarga tersebut. Kalo dilihat lihat upacara adatnya agak matrelialistis, tapi sebenarnya uang yang ada di upacara adat tersebut tidak terlalu penting, karena yang mereka maksud ialah adanya pertemuan kedua keluarga untuk mengenal satu sama lain keharusan untuk berbicara memberi alasan kenapa pernikahannya tidak disetujui, sekaligus memberi toleransi. Dan apabila ada seorang gadis yang hamil di luar nikah, maka laki-laki yang menghamili harus membayar denda sebesar Rp 10.000 diikuti dengan berlakunya hukum adat dan instansi agama yang mengharuskan mereka buat nikah. Bukan hanya itu saja, jika ada seorang pemuda dan gadis yang ditemuin ngobroll di malam hari, mereka diharuskan untuk menikah, ketatnya peraturan suku bajo dalam hal pergaulan pemuda pemudi nya, itu wujud betapa sakral nya nilai sebuah kehormatan keluarga.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Bajo berasal dari nama seorang leluhur mereka. Yang sangat hebat dalam melaut, dan hebat juga dalam bercocok tanam. Kemudian kampung Karang Bajo adalah nama wilayah keturunan dari Bajo. Suku Bajoe lahir dan hidup di laut. Mereka memiliki ketangguhan untuk mengarungi lautan sebagai bagian dari sejarah dan jati dirinya. Mata pencaharian utama suku Bajoe adalah mencari ikan dengan cara yang masih terbilang tradisional, seperti memancing, memanah, dan menjaring ikan Pada awalnya, Suku Bajo memeluk kepercayaan animisme dan agama Hindu. Namun seiring ajaran agama Islam masuk yang dibawa oleh Sunan Prapen (cucu Sunan Giri), banyak masyarakat Bajo berpindah agama. Masyarakat Bajo memiliki pengetahuan alamiah-kontekstual yang dibangun dari dan atas dasar pengalaman alamiah-kontekstual sehari-hari.
3.2 Saran Makalah ini dibuat sebagai bahan belajar pembaca khususnya mahasiswa dan memperluas wawasan mengenai masyarakat suku Bajo, khususnya suku Bajo Desa Bokori, Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe. Oleh karena itu sebaiknya makalah ini digunakan sebagaimana fungsi seharusnya.
DAFTAR PUSTAKA
Aslan, La Ode Muhamad dan Nadia, La Ode Abdul Rajak. 2009. Potret Masyarakat Pesisir Sulawesi Tenggara. Kendari : Unhalu Press. http://unj-pariwisata.blogspot.com/2012/05/kearifan-lokal-suku-bajo-uas.html http://ahmilanakwajo.blogspot.com/2010/03/jenis-perkawinan-suku-bajo.html http://protomalayans.blogspot.com/2012/11/suku-bajo-kabaena-sulawesi_15.html http://dimasadityo.wordpress.com/2008/08/20/suku-bajo-dan-%E2%80%9Cno-go- area%E2%80%9D/ Pramono,Djoko. 2005. Budaya Bahari. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama Tim Pengajar WSBM Univeritas Hasanuddin. 2011. Wawasan Sosial Budaya Maritim (WSBM). Makassar : UPT MKU.