Anda di halaman 1dari 3

ASAL USUL DESA JATIPECARON

Melihat percekcokan yang sering terjadi di pedukuhan Kuwaron, menyebabkan


Mbah Lebai tidak betah tinggal di pedukuhan itu. Pada suatu hari beliau mengutarakan
maksudnya kepada Mbah Dermo, bahwa akan pergi mencari tempat tinggal baru.
Tentu saja Mbah Dermo keberatan, karena Mbah Lebai sudah dianggap seperti adik
sendiri. Dibujuknya juga para pengikutnya, untuk tidak meninggalkan pedukuhan
Kuwaron. Tetapi niat Mbah Lebai sudah bulat. Dengan disertai sanak famili dan
pengikutnya, beliau pergi meninggalkan pedukuhan Kuwaron. Rombongan berjalan ke
utara, untuk mencari tempat yang cocok untuk tempat tinggal. Namun ketika
rombongan sampai di pinggir sungai Tuntang, ternyata sungai sedang banjir besar
Rombongan tidak berani menyeberang, dan berhenti di pinggir sungai menunggu
banjir surut. Seharian rombongan di pinggir sungai, tetapi banjir tidak juga surut.
Kemudian mereka mencari tempat agak tinggi, untuk mendirikan gubug tempat
beristirahat. Walau berhari-hari menunggu banjir surut, tetapi tidak juga kunjung tiba.
Mbah Lebai kemudian mengambil keputusan, untuk mendirikan pedukuhan baru di
pinggir sungai.

Konon setelah Mbah Lebai dan rombongan pergi, hati Mbah Dermo sangat
sedih sekali. Apalagi melihat warganya sulit diatur, menyebabkan Mbah Dermo
menjadi putus asa. Pada suatu hari beliau mempunyai niat, akan menyusul Mbah Lebai
di pedukuhan baru. Dengan diiringi sanak keluarga, pergilah Mbah Dermo
meninggalkan pedukuhan Kuwaron. Setelah tiba di pedukuhan baru, diutarakan
maksud kedatangannya itu. Dikatakan pula bahwa dirinya tidak mampu menjadi
pemimpin pedukuhan Kuwaron, karena penduduknya sulit diatur. Tentu saja Mbah
Lebai terkejut mendengar permintaan Mbah Dermo, karena pedukuhan yang dulu
pernah dipimpinnya berdua harus ditinggalkan. Beliau juga prihatin terhadap
pedukuhan Kuwaron, karena tidak ada pemimpinnya. Dengan halus beliau menolak
permintaan itu dengan ucapan : ”Balio maneh menyang dukuh Kuwaron, podo wae
wong dukuh iki sejatine uga pecahane dukuh Kuwaron”. (Kembalilah ke pedukuhan
Kuwaron, sama saja desa ini sebenarnya adalah pecahan pedukuhan Kuwaron).

Tetapi Mbah Dermo sudah bertekad, tidak akan kembali ke dukuh Kuwaron.
Beliau akan mencari tempat baru, bila tidak diizinkan tinggal di pedukuhan itu. Karena
merasa kasihan, beliau berkata : ”Yo wis yen pancen koyo ngono karepmu, kowe
manggono ono sisih kidul dene aku tak manggon ana sisih lor” (Ya sudah kalau
memang seperti itu kehendakmu, kamu tinggal di sebelah selatan sedang saya tinggal
di sebelah utara).

Akhirnya Mbah Dermo dan sanak keluarga menetap di pedukuhan itu, dan
tinggal di sebelah selatan atau tepatnya di dekat sungai Tuntang. Sedangkan Mbah
Lebai tetap di tempat semula, di daerah yang terletak di sebelah Utara. Setelah Mbah
Lebai berkata bahwa pedukuhan baru itu sebenarnya pecahan Kuwaron, maka
pedukuhan itu kemudian diberi nama ”Jatipecaron”. Konon nama itu sebenarnya
kependekan dari kata ”Sejatine Pecahane Kuwaron”.

Hingga akhir hayatnya kedua tokoh itu tinggal di pedukuhan Jatipecaron.


Setelah keduanya wafat, jenazah Mbah Lebai dimakamkan di pekuburan Kauman
sedangkan Mbah Dermo dimakamkan di pekuburan dekat tanggul sungai Tuntang.
Makam Mbah Dermo sering kebanjiran, sehingga kayu nisannya lapuk dan hilang
terbawa banjir. Karena dikenal sebagai makam wingit, tidak ada yang berani
mengganti kayu nisan beliau. Tetapi karena makam beliau berada di bawah pohon
preh, dengan hilangnya kayu nisan maka pohon preh itu dianggap pengganti nisan
beliau.

Untuk menghormati Mbah Dermo sebagai tokoh yang berjasa mendirikan dan
memimpin dukuh Kuwaron dulu, pada setiap bulan Apit perangkat desa Kuwaron
datang berziarah ke makam beliau di dukuh Polaman desa Jatipecaron. Di tempat itu
mereka mengadakan selamatan, minta kepada Allah SWT agar desa Kuwaron dan
penduduknya diberi keselamatan.

Membahas tentang Mbah Lebai, yang dimakamkan di desa Jatipecaron. Bila


menyebut nama Lebai, akan muncul pertanyaan tentang siapakah nama asli beliau.
Hingga sekarang tidak ada seorangpun yang tahu, tentang siapa nama asli beliau.
Tetapi bila kita pelajari, bahwa lebai adalah merupakan nama jabatan perangkat desa
Modin atau Kaur Kesra. Bahkan sampai sekarang masyarakat masih terbiasa menyebut
nama seorang perangkat desa, dengan panggilan jabatannya (misalkan pak Lurah, pak
Modin, pak Carik). Hal seperti itu yang menyebabkan nama aslinya pudar, dan
berubah menjadi nama jabatannya. Demikian juga beliau, yang kemungkinan juga
perangkat desa dengan jabatan lebai (Modin/Kaur Kesra). Karena warga sering
memanggil beliau dengan jabatannya, sehingga nama asli beliau pudar dan ganti
dengan nama ”Mbah Lebai”.

Di desa Jatipecaron terdapat sebuah makam kuno, yang dipercaya penduduk


setempat sebagai makam Mbah Sutabaya atau Mbah Cikal Bakal. Menurut cerita
bahwa beliau merupakan cikal bakal, atau pendiri dukuh Jatipecaron jaman dulu.
Benarkah pendiri desa Jatipecaron adalah Mbah Sutabaya atau Mbah Cikal Bakal ?.

Pertanyaan itu memang sulit dibuktikan, karena penduduk sudah terlanjur


percaya bahwa pendiri desa Jatipecaron adalah Mbah Sutabaya atau Mbah Cikal
Bakal. Tetapi bila kita perhatikan nama Jatipecaron, yang konon merupakan singkatan
dari ”sejatine pecahane Kuwaron”. Tentu saja dapat kita duga, bahwa pendiri dukuh itu
adalah Mbah Lebai. Dengan melihat makam Mbah Sutabaya atau Mbah Cikal Bakal
terletak di dukuh Kaloran, tidak menutup kemungkinan tempat itu dulu merupakan
petilasan Mbah Lebai. Hal itu diperkuat adanya pesan yang pernah disampaikan Mbah
Lebai kepada Mbah Dermo, bahwa beliau akan bertempat tinggal di pedukuhan
sebelah Utara (Jawa = Lor) dan Mbah Dermo disuruh bertempat tinggal di sebelah
Selatan (jawa = kidul). Kemungkinan besar dari perkataan di sebelah Lor, akhirnya
sekarang pedukuhan dekat makam Mbah Sutoboyo atau Mbah Cikal Bakal menjadi
dukuh Kaloran. Mana yang benar tentang pendapat tersebut, wa llahu a’lam bish
shawab.

Anda mungkin juga menyukai