I. Identitas Cerpen
1. Judul : Cinta Di Atas Perahu Cadik
2. Nama Pengarang : Seno Gumira Adjidarma
3. Penerbit : Kompas Gramedia
4. Tahun penerbit : 27 Juni 2007
5. Tempat penerbit : Jakarta
6. Tebal halaman : 8 halaman
3.1.7 Amanat
1. Ibu akan selalu peduli terhadap nasib anaknya
2. Peselingkuhan akan menyakiti perasaan semua orang (suami, istri, anak, mertua, dan masyarakat
sekitar.
3. Harus menerima segala cobaan yang Tuhan berikan dengan penuh kesabaran.
4. Jangan menyelesaikan masalah dengan kekerasan tapi harus dengan kebijaksanaan.
5. Kebahagiaan yang kita perjuangkan tidak boleh mengakibatkan penderitaan orang lain.
3.2 Analisis Unsur Ekstrinsik
3.2.1 Biografi penulis
Nama penulis : SENO GUMIRA ADJIDARMA
Lahir : Boston, 19 Juni 1958
Pendidikan Formal :
1994 – Sarjana, Fakultas Film & Televisi, Institut Kesenian Jakarta
2000 – Magister Ilmu Filsafat, Universitas Indonesia
2005 – Doktor Ilmu Sastra, Universitas Indonesia
Aktivitas dan kesibukan : Wartawan, Fotografer, Dosen, dan tentu saja Penulis
Seno telah menghasilkan puluhan cerpen yang dimuat di beberapa media massa. Cerpennya Pelajaran
Mengarang terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas 1993. Buku kumpulan cerpennya, antara lain:
Manusia Kamar (1988), Penembak Misterius(1993), Saksi Mata (1994), Dilarang Menyanyi di Kamar
Mandi (1995), sebuah Pertanyaan Untuk Cinta (1996), Iblis Tidak Ppernah Mati (1999). Karya lain
berupa novel Matinya Seorang Penari Telanjang (2000). Pada tahun 1987, Seno mendapat Sea Write
Award. Berkat cerpennya Saksi Mata, Seno menperoleh Dinny O’Hearn Prize for Literary, 1997.
3.2.2 Faktor Sosial
1. Kisah perselingkuhan dalam rumah tangga yang sekarang banyak terjadi.
2. Keadaan perekonomian nelayan yang sangat miskin dan tidak layak.
3.2.3 Faktor Budaya
1. Kehidupan nelayan yang sangat keras dan penuh risiko.
2. Kehidupan pesisir pantai yang tenang dan penuh pesona.
3.3 Analisis Unsur Bahasa
3.3.1 Majas (Gaya Bahasa)
1. Majas Personifikasi : majas yang memanusiakan benda mati.
Contoh : Angin yang selalu berebutan
2. Majas Hiperbola : majas yang mengungkapkan sesuatu secara berlebihan.
Contoh : Giginya tambah gemelutuk dalam perputaran roda mesin malaria
3. Majas Eufemismi: majas penghalus atau memberi kesan lebih sopan, tidak merendahkan/ menghina
orang lain, dan untuk menghindari kesan tabu, jorok, atau fulgar.
Contoh: Umur lima tahun belum bisa berbicara
4. Majas anafora : majas yang mengulang kata yang sama pada bagian awal.
Contoh: Gerak ombak adalah hidup para nelayan. Gerak ombak adalah semangat pengabdianku. Gerak
ombak adalah desakkan cintaku padamu.
3.3.2 Idiom/Ungkapan
1. Mabuk cinta = terlena oleh cinta
2. Bibir pantai = pinggiran pantai
3. Senja menggelap = menjelang malam, matahari terbenam
4. Api cinta = rasa cinta yang sangat besar
3.3.3 Peribahasa
1. Kasih anak sepanjang galah kasih ibu sepanjang jalan.
Ibu Sukab berusaha menyadarkan anak dan menantunya yang jelas-jelas melakukan perbuatan yang
tidak baik dan menyakiti hatinya.
2. Sudah jatuh tertimpa tangga
Walleh mengalami cobaan yang bertubi-tubi : anaknya bisu, hidup miskin, dan suaminya selingkuh
3. Malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih.
Suka dan duka yang kita alami sudah ada yang mengatur dan tidak dapat kita hindari.
4. Jikalau kasihkan padi, buanglah rumputnya.
Jikalau sudah menyatakan cinta pada istri/suami maka jangan memberi cinta pada orang lain.
5. Hitam mata itu tidak boleh bercerai pada putihnya.
Kalau sudah cinta akan sulit dipisahkan
IV. Apresiasi Cerpen
1. Segi Sosial
Segi sosial cerpen ini sangat baik, karena mengangkat segi sosial warga pesisir pantai yang penuh dengan
ketenangan dan keindahan yang membuat pembaca membayangkan suasana yang hangat di pantai.
2. Segi Kebudayaan
Segi budaya cerpen ini sangat bagus, karena sangat menjunjung nilai kebudayaan masyarakat pesisir pantai
dan menjunjung tinggi nilai moral.
3. Segi Keagamaan
Segi keagamaan cerpen ini kurang bagus karena seolah-olah membenarkan tindakan perselingkuhan. Nasib
pelaku perselingkuhan tidak diakhir dengan hukuman, tapi justru didukung oleh suami dan istri pelaku. Pada
akhir cerita digambarkan pelaku perselingkuhan justru mendapatkan kebahagiaan.
4. Segi Pendidikan
Cerpen ini juga kurang mendidik dari segi pendidikan, karena bila yang membaca cerpen adalah siswa di
bawah umur 17 tahun atau belum dewasa seolah-olah mengajari bahwa perilaku perselingkuhan itu
diperbolehkan asalkan disetujui oleh pasangan hidupnya.
V. Ramalan Cerita
Hayati dan Sukab melanjutkan proses perceraian mereka. Setelah itu, Hayati dan Sukab tetap menerima
hukuman dari masyarakat karena perbuatan yang telah mereka lakukan, mereka diusir dari kampung nelayan tersebut.
Walleh mendapatkan program bedah rumah dan bantuan modal usaha dari pemerintah setempat sehingga dapat
merawat anaknya secara layak. Dulah menyadari kemalasannya sebagai kepala rumah tangga yang harusnya bekerja
keras memenuhi kebutuhan hidup keluarganya dan mulai mau jadi nelayan. Dalam masa-masa yang sulit tersebut,
mereka tetap mempertahankan cinta mereka yang sangat kuat, dengan mengembara jauh, mereka menata kembali
kehidupan mereka berdua dengan penuh kebebasan dan kebahagiaan.
VI. Cerpen “Cinta di Atas Perahu Cadik”