Anda di halaman 1dari 2

Jadilah Penulis, Bukan Penyusun!

Status Facebook pak Anang Yb : Dapat kiriman naskah utk (minta) diterbitkan. Bab I full copy paste dari internet lengkap dengan live link yang menunjukkan dari situs apa artikel itu dia copy.... [lain kali, menjiplaklah dengan smart]. He, dulu di Facebook saya juga pernah membuat status, bahkan pesan saya kirim ke anggota grup Sekolah Menulis Gratis (SMG di http://www.facebook.com/group.php?gid=92260586658). Saya infokan waktu itu, Wah, saya baru dapat naskah minta diterbitkan, tapi isi naskahnya copy paste dari internet! Lha, piye iki? Memang, teknologi internet seakan sudah menjadi perpustakaan digital. Semua orang bisa mengakses dengan mudah, termasuk calon penulis. Cuma ya itu, sangking lengkapnya internet, semua informasi bisa diakses, jadi siapa pun bisa copy lan paste tulisan. Ada yang bilang kalau copy lan paste itu nggak masalah jika disebutkan sumbernya. Iya sich, tapi kalau menulis buku dengan cara seperti itu, ya namanya bukan menulis donk, tapi menyusun. Jadi menyusun seperti kliping. Mengumpulkan dan merangkai tulisan orang lain untuk dijadikan satu sajian. Seakan-akan kumpulan tulisan itu saling menyatu. Tapi, ada yang tidak bisa dibohongi, yaitu gaya bahasa (style). Benar, tulisan banyak orang itu dirangkai jadi satu, masih saja terasa aneh kalau dibaca karena setiap tulisan memiliki gaya bahasa dari penulis aslinya. Semakin banyak yang dicopy, maka semakin banyak gaya bahasa yang muncul. Waduh, pokoknya campur aduk nggak karuan dech! Bisa gawat kalau kumpulan tulisan orang lain itu diakui karya pribadi, bisa dicap plagiat tuch! Nah, penulis jelas berbeda dengan penyusun. Kalau penyusun itu seperti orang beli masakan di warung lalu disajikan jadi satu di meja makan. Sedangkan penulis itu beli bahan sendiri, diracik sendiri, kasih bumbu sendiri, lalu dimasak sendiri. Jadi, seperti ahli masak bisa menentukan kadar rasa dalam masakannya. Penulis jelas iya, mampu mengelola gagasan dalam pikiran, lalu menuliskan apa yang sudah ia pahami, sehingga hasil tulisannya sangat khas. Tulisan mencerminkan penulisnya. Kalau toh memaksa meracik tulisan orang lain dengan cara terlalu banyak mengutip, tetap nilai rasa bahasanya kurang terasa. Kutipan bisa digunakan untuk mendukung tulisan kita, tapi tetap ingat bahwa kadar ilmiah tulisan tidak sekedar ditentukan oleh banyaknya kutipan lho. Sudahlah, jangan nekad copy lan paste dari internet. Para editor sudah paham kok teknik itu, pembaca juga demikian pintarnya. Jangan pertaruhkan nama baik kita sebagai penulis tercoreng gara-gara nyusun buku cuma copy paste. Bila toh kepepet nggak punya bahan menulis, gunakan Google untuk cari info. Kalau sudah dapat infonya, pahami dan tuliskan pemahaman kita itu dengan gaya bahasa kita sendiri. Jadi, seperti yang sudah saya tulis dalam buku saku Cara Kreatif Menjadi Penulis Produktif halaman 48 : 1. BACA dulu bacaan yang hendak dikutip. 2. pahami MAKSUD tulisan. 3. tuliskan PEMAHAMAN kita tentang maksud tulisan itu.

So, jadilah diri sendiri. Yakin saja dalam menuliskan setiap uneg-uneg yang ada di pikiran kita. Jujur saja saat menulis. Bila tulisan kita masih terasa mentah, ya perbanyak membaca. Percaya dirilah kalau tulisan kita bisa semakin berbobot, bergizi tinggi, bernilai layak jual, dan tentu tetap menggunakan gaya bahasa kita sendiri. Bagaimana, masih mau copy paste tulisan orang lain?

Anda mungkin juga menyukai