Anda di halaman 1dari 10

Sub Tema: Kebudayaan

Kontroversi Budaya Karapan Sapi Menurut


Pandangan Agama (Kitab Fathul Qorib dan Q.S Al-Anaam:
138) dan Hukum Negara (Pasal 302 ayat 1 dan ayat 2
KUHP)

Indonesia mempunyai penduduk berjumlah lebih dari dua ratus lima puluh
juta, dengan seribu seratus dua puluh delapan suku bangsa, lebih dari seribu tiga
ratus bahasa, serta salah satu negara kepulauan terbesar didunia dengan lebih dari
tiga belas ribu pulau yang terhampar dari Sabang sampai Merauke. Hal tersebut
menjadikan Indonesia sebagai negara yang sangat kaya akan budaya.

Bahkan dunia mengakui, negara Indonesia adalah negara dengan


keanekaragaman suku, budaya, dan bahasa. Hal tersebut dapat dibuktikan dalam
perlindungan UNISCO, bahwa negara ini mempunyai kebudayaan yang harus
dilindungi. Salah satu budaya tersebut adalah wayang kulit, batik, reog Ponorogo
serta masih banyak budaya lainnya.

Namun dari sekian banyaknya budaya yang ada di Indonesia, menjadikan


para ulama ataupun tokoh masyarakat menganalisa lebih dalam apakah budaya
tersebut telah sesuai dengan syariat dan hukum yang sudah tertera dalam sunah
dan firman Allah SWT.

Salah satu budaya yang masih dipertimbangkan boleh atau tidak adanya
budaya tersebut untuk terus dibudayakan di negara ini adalah budaya karapan
sapi. Memang karapan sapi terdengar biasa, dengan sapi sebagai salah satu hewan
yang diperlombakan dalam sebuah arena perlombaan balapan.

Namun jikalau karapan sapi tidak diperkenankan oleh agama dan menjadi
salah satu budaya yang harus dihapuskan, akankah negara ini menjadi lebih baik?
setelah banyaknya budaya yag hilang bahkan ada sejumlah budaya yang diakui
oleh negara lain.
Akankah kita sebagai bangsa ini harus merelakan budaya ini menghilang
bahkan sampai direbut negara lain? Apakah tidak ada cara lain untuk mengubah
hilangnya budaya ini? Akankan agama menyarankan untuk menghapus sejumlah
budaya tanpa sejumlah alasan yang kuat? Hal tersebut akan berusaha penulis
jawab dalam essay ini.

1.1 Sejarah Budaya Karapan Sapi

Karapan sapi atau kerapan sapi adalah suatu istilah dalam bahasa Madura
yang digunakan untuk menamakan suatu perlombaan pacuan sapi. Lahirnya
kerapan sapi di Madura dilatar belakangi oleh kondisi tanah pertanian yang luas di
Madura. Tanah-tanah pertanian itu dikerjakan dengan bantuan binatang-binatang
peliharaan seperti sapi dan kerbau. Karena banyaknya penduduk yang memelihara
ternak, maka lama kelamaan muncullah pertunjukan kerapan sapi.

Namun Ada yang berpendapat bahwa kerapan sapi sudah ada


di Madura sejak abad ke 13. Hal tersebut dimulai olah salah satu tokoh di Madura
yang bernama Syeh Ahmad Baidawi (Pangeran Katandur). Beliaulah yang
memperkenalkan cara bercocok tanam dengan menggunakan sepasang bambu
yang ditarik dengan dua ekor sapi, yang kemudian oleh masyarakat Madura
dikenal dengan sebutan nanggala atau salaga. Maksud awal diadakannya
Karapan Sapi adalah untuk memperoleh sapi-sapi yang kuat untuk membajak
sawah. Gagasan ini kemudian menimbulkan adanya budaya karapan sapi.
Karapan sapi memang menjadi kegiatan rutin setiap tahunnya khususnya setelah
menjelang musim panen habis. Karapan sapi sendiri didahului dengan mengarak
pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi
musik saronen.

Budaya karapan sapi bagi masyarakat Madura adalah salah satu budaya
yang dijadikan sebagai pertunjukan pada pesta rakyat Madura dan sangat berperan
penting di berbagai bidang dalam kehidupan dan kebiasaan masyarakat Madura.
Contohnya dalam bidang ekonomi, menjadikan salah satu kesempatan bagi bagi
masyarakat Madura untuk berjualan dan memenuhi kebutuhan. Dalam bidang
seni, menjadikan budaya ini salah satu budaya yang memperlihatkan ciri khas
keindahan Indonesia yang dilihat dari peralatan dan musik pengiring budaya
karapan sapi. Oleh karena itu, budaya karapan sapi sangat berperan penting bagi
kehidupan dan kebiasaan masyarakat Madura.

1.2 Masalah Yang Ada Dalam Budaya Karapan Sapi

Budaya karapan sapi lambat laun mengalami perubahan yang signifikan,


hal itu dikarenakan adanya tuntutan zaman dan keadaan, sehingga kesalahan yang
terjadi pada penerapan budaya karapan sapi kian menyentuh ranah yang
melenceng dari bentuk asli jiwa budaya itu sendiri. Sampai di sini, timbulah
nuansa baru antara pro dan kontra mengiringi eksistensi karapan sapi yang
disebabkan adanya perubahan bentuk yang kadangkala menyalahi norma dan
agama.

Bahkan pada saat ini budaya


karapan sapi banyak disorot oleh para Karapan sapi sudah dikritik
berbagai pihak seperti Majelis Ulama
ulama serta tokoh masyarakat Indonesia dan pemerintah daerah di
disebabkan banyaknya problematika Madura karena adanya praktek kekerasan
pada budaya karapan sapi yang dilakukan
yang ada dalam budaya karapan sapi.
pemilik atau pemacu sapi karapan. MUI
Diantara problematika tersebut adalah Pamekasan sudah memfatwakan haram
menjadikan budaya karapan sapi mengenai budaya karapan sapi karena
dinilai menyakiti sapi, dan Gubernur Jawa
sebagai salah satu tempat praktek Timur melalui Instruksi Gubernur sudah
perjudian atau lahan mencari uang. menyatakan pelarangan budaya karapan
sapi.. Namun budaya ini masih berlanjut di
Hal tersebut sangat bertolak belakang kalangan pelaku karapan sapi.
dengan tujuan dan fungsi budaya
karapan sapi bagi masyarakat zaman
dulu, yang hanya sebagai salah satu
budaya untuk merayakan hasil panen serta menjadi hiburan rakyat Madura.

Problematika yang ke dua adalah adanya beberapa pemilik karapan


sapi juga melengkapi kehebatan sapinya dengan menggunakan mantra-mantra
serta sajian tertentu. Sehingga akan memunculkan sifat syrik dalam kegiatan
perlombaan karapan sapi. Namun pada saat ini problematika ini sudah mulai
dihilangkan karena masyarakat Madura mulai mengerti akan syariat agama, dan
dibeberapa perlombaan adanya peraturan yang mengharuskan para panitia
penyelenggara lomba untuk melakukan pengecekan terlebih dahulu apakah ada
unsur syirik yang terdapat pada sapi karapan.

Problematika yang ketiga adalah terdapatnya penyiksaan terhadap sapi


karapan oleh pemilik atau pemacu sapi karapan. Hal ini dilakukan bertujuan Agar
laju sapi maksimal dan bahkan melebihi biasanya. Contoh perilaku penyiksaan
pada sapi karapan diantaranya pemilik atau pemacu karapan sapi yang memasang
barang-barang panas seperti cabai pada qubul sapi, kemudian melukai pantatnya
hingga kulitnya berdarah dengan paku yang berukuran besar dengan alat yang
disebut rokong (alat untuk mengejutkan sapi agar berlari cepat). Cara ini bukan
hanya menyakiti sapi karapan, bahkan dapat membunuhnya. Hal ini dilakukan
hanya semata-mata demi sebuah gengsi atau prestasi yang memang merupakan
watak khas orang Madura.

1.3 Pandangan Agama terhadap Kebudayaan Karapan Sapi

Al-quran Surat Al-anaam ayat 138

138. Dan mereka mengatakan: "Inilah hewan ternak dan tanaman yang dilarang;
tidak boleh memakannya, kecuali orang yang kami kehendaki", menurut anggapan
mereka, dan ada binatang ternak yang diharamkan menungganginya dan ada
binatang ternak yang mereka tidak menyebut nama Allah waktu menyembelihnya,
Inilah yang
semata-mata menjadi kontroversi
membuat-buat di masyarakat,
kedustaan terhadap sebab Allah
Allah. Kelak dalamakan
persepektif
membalas
mereka terhadap apa yang selalu mereka ada-adakan.

Arti Kitab Fathul Qarib Bab Hukum Lomba Dan Melempar Senjata (Kompetisi)
Artinya :

Sah (boleh) menyelenggarakan lomba berkendaraan, dalam arti meliputi apa saja yang
pada dasarnya (asalnya) bisa dilombakan, misalnya kuda, unta, gajah, bigha, dan
khimar (demikian pendapat dalam Al-Adhar).

Berbeda dengan karapan sapi, adu domba, adu jago, tidak sah jika disertai dengan
uang taruhan, uang pengganti, dan yang serupa.

Menurut pandangan dalam agama islam, kekerasan dalam bentuk apapun


sangatlah dilarang baik terhadap sesama manusia ataupun mahluk-mahluk lain
seperti tumbuhan ataupun hewan, hal ini sama halnya dengan larangan ataupun
praktik penyiksaan dalam perlombaan kerapan sapi, ini tidak hanya dari sisi
hukum islam saja, akan tetapi juga dari sisi hukum negara sekalipun.

Berdasarkan Al-quran Surat Al-anaam ayat 138 di atas dapat kita katahui
bahwa surat ini terdapat makna yang berbunyi dan ada binatang ternak yang
diharamkan menungganginya, lain halnya dengan kitab Fathul Qarib di atas
mengenai bab hukum lomba dan melempar senjata (kompetisi) terdapat makna
yang berbunyi Kompetisi balapan diperbolehkan dengan hewan tunggang, yakni
kuda dan unta, (bigal, keledai dan gajah menurut qaul adzhar). Tidak
diperkenanankan kopetisi balapan sapi, adu kambing dan ayam, tidak sah jika
disertai dengan uang taruhan, uang pengganti atau sejenisnya. secara harfiah
berdasarkan kedua makna tersebut dapat ditarik simpulan bahwa karapan sapi
dilarang dalam agama karena terdapat unsur uang di dalamnya.

Inilah alasan agama melarang karapan sapi sebagai salah satu budaya,
karena adanya kegiatan yang disertai uang petaruh didalam budaya karapan sapi
(sejenis undian atau judi). Lain halnya jika tidak ada unsur uang didalamnya maka
dapat dipertimbangkan unsur mudlarat dan manfaatnya.

Hal ini sejalan dengan pandangan agama masuk ke Indonesia, bahwa


agama datang ke negara Indonesia tanpa mengubah budaya yang ada, namun
hanya membenarkan budaya yang kurang sesuai dengan syariat agama. Oleh
karena itu perlomban secara harfiah diperbolehkan, namun tata cara dan prosedur
yang ada dalam setiap perlombaan harus sesuai dalam hukum agama maupun
negara.
Namun pada saat ini orientasi kemenangan terhadap perlobaan karapan
sapi kian berubah baik dalam setiap penyelenggaraan maupun tata cara
melakukannya. Pada saat ini banyak pemilik ataupun pemacu menyuburkan
kebiasaan menyiksa sapi sebelum terjun berlomba, hingga menodai citra budaya
yang sebenarnya suci dari segala bentuk keburukan. Hal ini disebabkan adanya
unsur harga diri yang tinggi. Entah kurang begitu jelas kapan awalnya kerapan
sapi itu menggunakan kekerasan, tapi yang jelas semua itu diawali dari bentuk
rasa gengsi yang mendalam sehingga melupakan sportifitas dalam perlombaan,
dan penyiksaan yang dilakukan terhadap hewan sapi karapan adalah salah satu
perbuatan yang sangatlah tidak manusiawi.

1.4 Pandangan Hukum Negara Terhadap Kebudayaan Karapan sapi

Pasal 302 KUHP:


(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana
denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah karena melakukan
penganiayaan ringan terhadap hewan
1. barang siapa tanpa tujuan yang patut atau secara melampaui
batas, dengan sengaja menyakiti atau melukai hewan atau
merugikan kesehatannya;
2. barang siapa tanpa tujuan yang patut atau dengan melampaui
batas yang diperlukan untuk mencapai tujuan itu, dengan sengaja
tidak memberi makanan yang diperlukan untuk hidup kepada
hewan, yang seluruhnya atau sebagian menjadi kepunyaannya dan
ada di bawah pengawasannya, atau kepada hewan yang wajib
dipeliharanya.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan sakit lebih dari seminggu, atau cacat
atau menderita luka-luka berat lainnya, atau mati, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan, atau pidana denda
paling banyak tiga ratus rupiah, karena penganiayaan hewan.

Budaya karapan sapi memang salah satu budaya yang sudah ada di
Indonesia sejak abad ke 13, perkembangan dan perubahan kian terjadi seiring
dengan berkembangnya teknologi dan masuknya budaya asing ke masyarakat
Indonesia, hal ini menciptakan banyaknya para oknum baik pemilik atau pemacu
rela melakukan penganiyaan demi sebuah gengsi dan prestasi. Namun banyak
kalangan masyarakat yang mengikuti atau menyaksikan perlombaan karapan sapi
tidak mengatuhi bahwa melakukan penyiksaan terhadap hewan khususnya sapi
karapan adalah perbuatan yang melanggar hukum.

Hal ini dapat diketahui berdasarkan pasal 302 KUHP ayat 1 dan 2 di atas,
dapat diketahui jika melakukan penganiyayaan terhadap hewan dapat dikenai
sanksi dan juga hukuman penjara. Oleh karena itu, sebaiknya ada tokoh
masyarakat ataupun pihak pemerintah yang ikut menyaksikan ataupun melakukan
pemeriksaan apakah ada tindak perilaku penganiayaan pada hewan karapan sapi,
dan terlebih lagi harus ada penyuluhan kepada masyarkat mengenai hukum yang
berlaku pada penyiksaan sapi karapan

1.5 Penutup

1. Simpulan :

Budaya karapan memang sudah menjadi salah satu kebudayaan yang


ada di Indonesia khususnya bagi masyarakat Madura, hal ini dapat
dibuktikan dari berbagai peran yang didapat dari budaya karapan sapi baik
dari sigi ekonomi maupun seni.

Namun seiring dengan berkembangnya zaman dan teknologi


khususnya banyaknya budaya asing yang masuk ke Indonesia, hal ini kian
mengubah pola pikir msyarakat Indonesia khususnya masyarakat Madura
menjadi menyimpang baik dari sudut pandang agama maupun hukum
negara.

Agama dan hukum negara memang menjelaskan bahwa sesuatu yang


didalamnya terdapat perilaku yang dilarang, seperti halnya perjudian
ataupun penyisaan harus dihilangkan.

Namun apakah kita rela begitu saja, budaya yang sudah menjadi
kebiasaan masyarakat Indonesia dihilangkan. Oleh karena itu, sebaiknya
jikalu kita cinta dengan budaya yang ada pada negara ini, kita harus bisa
menyadarkan oknum-oknum yang bisa merusak budaya ini, bagaimanapun
caranya.

2. Saran :

- Memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai hukum yang


berlaku baik dari sisi agama maupun Negara mengenai penyiksaan
hewan khususnya terhadap sapi karapan.

- Seharusnya dari pihak pemerintah dapat meningkatkan penerapan


hukum-hukum yang ada dalam hukum negara khususnya pada Pasal
302 ayat 1 dan ayat 2 KUHP tentang penganiyayaan hewan.

- Tidak hanya itu, harus ada kesadaran dari diri sendiri untuk
menghilangkan kebiasaan yang buruk seperti menyiksa hewan
khususnya sapi karapan pada masyarakat.

- Jikalau ketiga usaha tersebut sudah diusahakan secara maksimal


namun tidak membuahkan hasil yang diinginkan, maka sebaiknya
budaya karapan sapi dihilangkan, karena libih banyak mudlaratnya
dibandingkan manfaat yang didapat.

1.6 Daftar Pustaka

Kitab Fathul Qorib Bab Hukum Lomba Dan Melempar Senjata

Al-quran Surat Al-Anaam ayat 138

http://www.lontarmadura.com/sejarah-karapan-sapi/

R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta


Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Politeia: Bogor.

https://sayyidherlan24.wordpress.com/2010/09/08/hukum-mengadu-hewan-
dalam-pandangan-islam/
BIODATA PENULIS

Judul Naskah : Kontroversi Budaya Karapan Sapi Menurut


Pandangan Agama (Kitab Fathul Qorib dan Q.S Al-
anaam: 138) Dan Hukum Negara (Pasal 302 ayat 1 dan
ayat 2 KUHP)
Nama Penulis : Mohammad Firzat Shindi
Tempat dan Tanggal Lahir : Jakarta, 27 juni 1997
Nama sekolah : SMA. A Wahid HasyimTebuireng Jombang
Alamat Sekolah : Tebuireng Jombang Jawa Timur jln. Irian Jaya 10
tromol pos 5
Domisili (Alamat Surat) : Fax. 864110 / Kode pos 61471
Alamat Email : mfirzat@yahoo.co.id
Telepon/ponsel : 0822-5756-5387
NIS/NISN : 9980228352
Scan
Bukti Pembayaran

Anda mungkin juga menyukai