Perbedaan dan kesamaan itu meliputi semua aspek kehidupan. Dari bahasa sampai
pada gastronomi (seni dalam memilih), pakaian serta tata cara berprilaku. Persamaan
membina sosok yang tunggal, sedangkan kemajemukan dibiarkan terus berkembang.
Lebih luas lagi bagi seorang peneliti Melayu dari Hongkong, Vivien Wee menyebutkan
bahwa “Melayu itu Islam dan Islam itu Melayu”, maka pemahaman terhadap siapakah
orang Melayu akan menjadi sangat luas. Semua penduduk bumi yang beragama Islam,
dari jazirah Arab hingga Madagaskar, adalah Melayu. Namun perlu dicatat, sekelompok
orang beragama Nasrani di Philipina Tengah dan Madagaskar, mengaku diri mereka
adalah Orang Melayu, yang dinyatakan dalam sebuah Seminar Melayu Serumpun di
Pekan Baru beberapa waktu lalu. Inilah sebuah kenyataan yang sangat takjub dan
indah dalam persebatian kemelayuan sebagai peninggalan masa lalu yang masih
terwarisi hingga masa kini.
Lalu bagaimana dengan kita masyarakat Natuna. Siapa dan dari kelompok manakah
kita.
Untuk menulis tentang Melayu Natuna barangkali akan sulit terjangkau oleh tulisan ini.
Hal itu disebabkan oleh keterbatasan sumber dan reprensi, maka bahasannya akan
diperkecil hanya pada masyarakat asli Pulau Bunguran, atau yang lebih dikenal dengan
istilah Natuna Besar (Natuna Best).
Wan Din Yusuf (Alm) pernah menulis dalam sebuah bukunya “Masyarakat
Bunguran”, mengutip dari beberapa naskah atau manuskrip yang pernah tersimpan
dalam manuskrip peninggalan Orang-orang Kaya Bunguran, mengatakan
bahwa,: “Masyarakat Bunguran bermula dari sebuah perjalanan Putri Johor yang bernama
Tengku Fatimah, dengan tujuh penjajab (perahu kecil) beserta 40 orang pengawalnya, berlayar
menuju Utara, menyinggahi beberapa pulau yang ada di rantau itu, dan akhirnya tiba di pulau
Bunguran yang kala itu belum ada nama dan penghuninya”.
Perjalanan sang putri bukanlah perjalanan wisata untuk sekedar menikmati keindahan
alam pulau, pantai dan laut yang ada lalu kebali ke kampung halaman. Tetapi
melainkan perjalanan mencari kehidpuan baru di negeri yang baru, karena kehdiupan di
tanah kelahiran tak lagi nyaman untuk dipertahankan. Berbekalkan sebuah Mahkota dan
selembar Grand Tanah (Surat Tanah) dari Kerajaan Johor, Tengku Fatimah memilih
Pulau Bunguran atau Pulau Srindid ini, sebagai sebagai tanah baru bagi kehdiupan diri
dan para pengikutnya.
“Kala itu sang putri masih lajang, hingga timbul niat untuk menikahkan sang putri dengan salah
satu pengawalnya yang dianggap layak sebagai pendamping hidup Tengku Fatimah, guna
mempertahankan zuriat keturunannya. Namun Allah berkata lain. Setiap pengawal yang
dinikahkan dengan Tengku Fatimah, meninggal dunia. Tentu musibah ini mengingatkan
pengawal lain untuk tidak lagi menikahi sang putri. Dan diakhir perjalan, ketika penjajab-
penjajab Johor itu memasuki Sungai Segeram, rombongan dipertemukan dengan seorang
pemuda berbadan tegap dan badannya berbulu lebat, tengah mengapung diatas seruas bambu
(buluh betung). Pemuda inilah yang kononnya menjadi pendamping hidup Tengku Fatimah
dengan gelar Orang Kaya Dina Mahkota, dan meninggalkan keturunannya hingga
kini”. Demkian, H. Wan Din Yusuf dalam tulisanya itu.
Pertanyaan besar yang masih belum terjawab sampai saat ini adalah, Mengapa Tengku
Fatimah merasa tidak nyaman tinggal di tanah kelahirannya. Mengapa ia harus mencari
kehidupan baru di sebuah pulau nan jauh dari keramaian. Bukankah hidup gemerlap
dilingkungan kerajaan yang dipenuhi dengan kemewahan dan kesenangannya akan
menjadi pilihan semua anak manusia.
Timothy P Barnad, seorang peneliti asal Amerika yang mengabdikan dirinya di National
University of Singapore (NUS) dalam makalahnya dan pernah disampaikan pada
sebuah seminar Melayu di Kota Tanjungpinang beberapa waktu lalu, menyebutkan, :
“The violence that Sultan Mahmud directed toward and the people olso resulted in probelems
within the ranks or the nobility. Tor the nect few years after his visit, according to Hamilton,
Sultan Mahmud continued his insupportable tyranny and brutality. Finally, the Sultan was kiled
due to his mistreatment of a daughter of one of the Orang Kaya. It began with an ettempt by his
mohter to seduce him away from the companye of males.
Kepongahan Sultan Mahmud terus menerus dilakukan baik kepada kaum pendatang maupun
kepada rakyatnya sendiri, hingga menmbulkan permasalahan yang tak henti-hentinya di
lingkungan kerajaan. Beberapa tahun berselang setelah kehadirannya, menurut Hamilton,
Sultan Mahmud terus melakukan kezaliman dan ketiraniannya. Akhirnya, Sultan Mahmud
dibunuh oleh salah seorang Orang Kaya yaitu saudara perempuannya sendiri yang sering
dianiaya olehnya”.
Pernyataan tersebut tentu sangat mengejutkan para peserta seminar yang rata-rata
adalah orang Melayu Bintan dan Pulau Tujuh. Bagi orang Melayu Bintan, pernyataan
tersebut barangkali sedikit menyejukkan, karena selama ini “stigma durhaka” sebagai
pembunuh Sultan Mahmud itu, melekat pada anak keturunan Bintan. Sebab
berdasarkan kisah yang pernah ditulis oleh Raja Ali Haji dalam bukunya “Sulalat al
Salatin” yang kemudian diterjemahkan oleh John Leyden ke dalam bahasa Inggris serta
diterbitkan sebagai “Sejarah Melayu”, menyebutkan bahwa pembunuh Sultan Mahmud
adalah Laksmana Bentan atau yang lebih dikenal dengan nama Megat Sri Rama.
Karena Laksamana Bentan sangat kesal dan kecawa terhadap tingkah dan polah
Sultan yang telah membunuh istrinya yang sedang hamil tujuh bulan. Kisahnya terekam
dalam kutipan “Hikayat Siak” berikut ini :
“Hatta, kepada suatu hari, Sultan beradu siang hari. Maka datang orang persembah nangka.
Dan kepada itu waktu, bini Megat Seri Rama masuk ke dalam karena ia bunting tujuh bulan.
Serta dilihat nangka itu, terlalulah ingin hendak makan nangka itu, tiada dapat ditahannya.
Maka bini Megat Seri Rama pun datanglah, mendapat akan penghulu istana, mintak nangka
barang satu ulas. Maka frikir penghulu istana, “dari sebab ia buntinglah, maka sangat
berkehendak ini”. Maka lalu diambil akannya satu ulas. Maka dimakannyalah.
Setlah sudah, maka baginda pun bangun dari beradu. Maka baginda lalu melihat kepada
nangka, lalu baginda suruh ambil. Maka penghulu istanapun datang membawa nangka. Lalu
dipersembahkannya, mengambil satu ulas, memberi bini Megat Seri Rama, karena ia mengidam
hendak makan nangka.
Tatkala itu baginda di dalam tiada ingat, kepada waktu bulan baharu timbul. Setelah baginada
mendengar sembah Penghulu Istana, maka baginda mendengar sembah Penghulu Istana, maka
bagindapun tertawa. Tuah baginda, “Suruhlah panggil bini Megat Seri Rama, aku hendak
melihat anaknya, iakah makan nangka itu”. Maka dipanggillah bini Megat Seri Rama itu. Maka
iapun datang. Maka lalu dibelah perutnya. Dan itu anak didalam perut mengisap nangka itu.
Maka bini Megat Seri Ramapun mati. Maka terdengarlah khabar kepada Megat Seri Rama
biinya mati, dibunuh yang Dipertuan, tiada dengan satu salah.
Sementara dibagian lain, bagi peserta asal Pulau Tujuh atau sekarang yang lebih
dikenal dengan Natuna, tentu pernyataan tersebut perlu didiskusikan secara arif.
Betapa tidak, karena gelar Orang Kaya sangat identik dengan para penguasa yang ada
di kawasan ini. Pertanyaan yang muncul kala itu adalah “
Sementara dibagian lain, dari kisah yang pernah disampaikan kepada anak cucu
secara turun temurun menyebutkan bahwa , hijrahnya Tengku Fatimah dari Johor ke
rantau Bunguran adalah disebabkan oleh keberadaan dirinya sendiri yang ditakdirkan
Allah lahir dalam kondisi yang kurang sempurna. Hingga ia menganggap dirinya Dina
(hina) dan tak layak tinggal dilingkungan kerajaan. Oleh karena itu Tengku Fatimah
dibekali dengan sebuah Grund Tanah dan sebuah Mahkota. Hingga dirinya mendapat
julukan Dina Mahkota.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk mencari atau mengungkap tentang siapakah
pembunuh Sultan Mahmud, atau siapa yang durhaka terhadap kerajaan Johor. Apakah
Laksmana Megat Sri Rama atau atau bahkan saudara kandungnya sendiri yaitu Tengku
Fatimah. Tetapi sesungguhnya tulisan ini sekadar mencari tahu, siapakah asal usul
orang Bunguran.
Jadi bila mengacau pada tulisan Wan Din Yusuf (Alm), maka dapatlah dibuat sebuah
kesimpulan bahwa orang Melayu Bunguran adalah Orang Melayu Johor, yang hijrah
kawasan Utara Indonesia ini, beberapa abad silam.