Anda di halaman 1dari 3

Piye kabare? Enak jamanku toh?

" Kalimat pertanyaan berlatar bahasa Jawa tersebut


terasa begitu persuasif di benak masyarakat Indonesia.

Tidak mengherankan karena kehadirannya menyertai etalase jalanan kota mulai dari truk
hingga angkutan umum. Bahkan di Pasar Malioboro Yogyakarta penampakan wajah

Presiden Indonesia kedua Soeharto dan kalimat pertanyaan tersebut dijual bebas dalam
bentuk pakaian.

Sekilas kalimat tersebut mengajak untuk mengingat masal lalu dan menyiratkan sebuah
perbandingan antara keadaan pada masa orde baru dengan kini ketika reformasi menjadi
keyakinan bangsa Indonesia.

Kala orde baru harga sembako murah dan tingkat premanisme menurun tajam berkat
kehadiran penembak misterius atau biasa dikenal dengan sebutan Petrus. Pada intinya
pesan tersebut merupakan simbol soal kondisi yang nyaman dan aman di masa lalu.

Wajar saja ketika harga sembako melonjak tinggi pasalnya ekonomi Indonesia pasca -
reformasi diserahkan pada mekanisme pasar dan tidak lagi dipegang oleh negara.

Sesuatu yang nampak tidak terjadi kini di masa reformasi. Maka wajar bila sebagian
masyarakat merindukan sosok Soeharto sebagai pemimpin negeri dan mengekspresikan
rasa kangen pada bentuk mural.

"Ini adalah bagian ekspresi dari masyarakat. Bisa pula diartikan sebagai kritik sosial.
Sebuah pesan demokrasi dan tidak masalah selama tidak mengandung unsur penghinaan,"
ujar pengamat politik Universitas Katolik Parahyangan Bandung Asep Warlan
kepada AyoBandung, Sabtu (21/10/2017).

Namun bila dicermati lebih dalam nyatanya pesan tersebut muncul pertama kali ketika
menjelang Pemilu Presiden tahun 2014 silam. Untuk kemudian kembali muncul kini
ketika Indonesia memasuki tahun politik berkat kontestasi Pilkada serentak tahun 2018
dan Pilpres 2019 mendatang.

Beberapa anggapan memaknai bila pesan tersebut merupakan bentuk


rekonstruksi mindset masyarakat agar cenderung memilih kandidat calon yang berasal
dari latar belakang militer.

Tidak heran bila kemudian Komunitas Piye Kabare mendukung Prabowo Subianto dalam
Pilpres 2014 silam. Entah karena hanya memiliki kesamaan nama atau lebih dari itu
namun keselarasan tersebut menjelaskan keserasian visi.
"Dalam sosiolog politik apa pun bisa dimaknai salah satunya pesan tersebut. Wajar bila
pemaknaan bersifat politis lahir di masyarakat. Lagi-lagi dinamika dan cata seperti itu
wajar dalam demokrasi," ujar Asep Warlan.

Isih penak jamanku to


Loncat ke navigasiLoncat ke pencarian
Isih penak jamanku to (bahasa Indonesia: Masih enak zaman saya kan) atau Piye
kabare, isih penak jamanku to (bahasa Indonesia: Bagaimana kabarnya, masih
enak zaman saya kan) adalah sebuah slogan dalam bahasa Jawa yang menyatakan
bahwa zaman pemerintahan Presiden Indonesia Suharto lebih baik ketimbang
zaman sekarang.[1] Perasaan nostalgia tersebut mula-mula dipromosikan
oleh Tommy Suharto, putra dari Suharto, saat mendirikan Partai Berkarya.[2] Dalam
survei Indo Barometer yang diambil oleh majalah Tempo, 32.9% responden
menyatakan bahwa Suharto adalah presiden paling berhasil[3] sementara bagi para
penentang Suharto, Suharto dinilai menimbulkan keterpurukan negeri dan
pelanggaran HAM.[4]

Referensi[sunting | sunting sumber]


1. ^ https://www.bbc.com/indonesia/laporan_khusus/2013/11/131125_lapsu
s_suharto_baju_dan_museum
2. ^ http://wow.tribunnews.com/2018/05/28/tommy-soeharto-kita-sudah-20-
tahun-reformasi-tapi-nyatanya-tidak-lebih-baik
3. ^ https://nasional.tempo.co/read/1090762/survei-soeharto-dinilai-
sebagai-presiden-paling-berhasil/full&view=ok
4. ^ https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43499324

Sinopsis Piye Kabare…? Penak Jamanku To


! karya Belinda JK, Mayang Lestari, Moh.
Alfan
 Friday May 18th, 2018
 Kemas ulang informasi, Resensi

[Piye Kabare..? Penak Jamanku To !]
Pada 28 Januari 2008, Indonesia seakan dibawa kembali pada masa orde baru dimana
tayangan televisi lebih sering memberitakan kegiatan mantan pemimpinnya, yakni
Soeharto. Saat itu Indonesia dirundung duka. Soeharto yang lengser dari kekuasaanya
pada 1998, meninggal dunia setelah dirawat selama 24 hari di Rumah Sakit Pusat
Pertamina (RSPP), Jakarta. Menjadi bagian dari masyarakat sudah ada dalam
benaknya sedari kecil hingga dewasa. Dan ia menerapkannya saat mengemban tugas
untuk negara.

Gambar Soeharto yang sedang tersenyum dan disampingnya tertulis “Piye Kabare?
Penak Jamanku to?” inilah yang seolah menyiratkan bahwa masyarakat mulai
merindukan masa-masa kepemimpinan Soeharto. Pada tahun 1970-an Soeharto
berhasil menggandakan produksi hinggal 3-4 ton beras per hektar. Dan dalam priode
tahun 1970-1979 produksi beras mengalami peningkatan sebesar 7,5 ton dan 15 juta
ton selama periode tahun 1980-1989. Masa-masa jaya pangan pada era Soeharto
itulah yang mungkin menjadi awal tercetusnya kalimat “Piye Kabare? Enak jamanku
to?” Di balik kritikan pedas masyarakat terhadap Soeharto, ternyata Soeharto
menyisakan sedikit kenangan baik yang membuat masyarakat kembali rindu
terhadapnya.

Setelah digulingkannya Presiden Soeharto pada tahun 1998, Indonesia yang awalnya
hanya sebagai tempat transit narkoba mulai berubah haluan menjadi negara tujuan.
Dan sejak tahun 2000, Indonesia terindikasi sebagai negara produsen. Di zaman
Soeharto permasalahan narkoba memang tidak semencuat di era reformasi. Selain
karena media massa tidak boleh sembarang mempublikasikan berita, pada masa ini
pun tak banyak kasus bersar terkait permasalahan narkoba.

Soeharto tidak banyak meninggalkan bekas-bekas kejayaannya, seperti memberi


nama jalan dengan nama dirinya, bapaknya, mertuanya, atau istrinya. Bahkan selama
pemerintahannya kita jarang melihat foto-fotonya dipajang di spanduk umum,
bilboard, atau media visual publik lainnya.

Oleh Student Volunteer Fmrc Fia UB : Dita Taranita


Courtesy to : Belinda JK, Mayang Lestari, Moh. Alfan

Anda mungkin juga menyukai