Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA

“SEJARAH KEBUDAYAAN JAMBI”

DOSEN PENGAMPUN:
SURMA HAYANI, M.Pd

Disusun Oleh :

ARIPIN HASIBUAN

JURUSAN PGMI FAKULTAS USHULUDDIN DAN TARBIYAH INSTITUT


SAINS AL-QUR’AN SYEKH IBRAHIM

2023/2024

i
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia nya,sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini guna
memenuhi tugas dari mata kuliah SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA

Saya menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan doa,saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.

Saya menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dikarenakan terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang saya miliki.Oleh karena itu,saya
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritikan yang membangun dari
berbagai pihak.Akhirnya saya berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan dunia pendidikan.
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang memiliki banyak
wilayah yang terbentang di sekitarnya. Ini menyebabkan keanekaragaman suku,
adat istiadat dan kebudayaan dari setiap suku di setiap wilayahnya. Hal ini
sungguh sangat menakjubakan karena biarpun Indonesia memiliki banyak
wilayah, yang berbeda suku bangsanya, tetapi kita semua dapat hidup rukun satu
sama lainnya.

Namun, sungguh sangat disayangkan apabila para generasi penerus bangsa


tidak mengtehaui tentang kebudayaan dari setiap suku yang ada. Kebanyakan dari
mereka hanya mengetahui dan cukup mengerti tentang kebudayaan dari salah satu
suku yang ada di Indonesia, itu juga karena pembahasan yang sering dibahas
selalu mengambil contoh dari suku yang itu-itu saja.

Sejak ratusan tahun lalu provinsi jambi dihuni oleh etnis melayu, seperti
suku Kerinci, Suku Batin, suku Bangsa Dua Belas, suku Penghulu, dan suku Anak
dalam. Namun juga ada etnis pendatang. Perjalanan sejarah yang dialami etnis
melayu telah melatar belakangi budaya melayu di Jambi.

Setiap kebudayaan itu bersifat dinamis akan perubahan bahkan mungkin


hilang sama sekali. Penyebabnya adalah perkembangan kebudayaan, pengaruh
budaya luar, kurangnya kesadaran masyarakat, dan lemahnya jiwa kebudayaan
para remaja sebagai generasi penerus nilai-nilai kebudayaan bahkan itu mungkin
dan telah terjadi di provinsi jambi.

Dalam penulisan makalah ini kami akan membahas tentang kebudayaan


melayu Jambi yang dibatasi pada unsur budaya, mata pencaharian, kerajinandan
seni masyarakat melayu Jambi. Setidaknya dapat memberikan gambaran tentang
kebudayaan melayu Jambi.

1
A. Rumusan Masalah
Dalam Makalah ini akan membahas tentang :
1. Bagaimana Asal Usul Nama Jambi ?
2. Bagaimana Rumah Khas Jambi ?
3. Bagaimana Kebudayaan Melayu Jambi ?
4. Bagaimana Mata Pencaharian Masyarakat Jambi ?
5. Bagaimana Adat Pernikahan Masyarakat Jambi ?

B. Tujuan Penulisan :
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk :
1. Menjelaskan Asal Usul Nama Jambi ?
2. Menjelaskan Rumah Khas Jambi ?
3. Menjelaskan Kebudayaan Melayu Jambi ?
4. Menjelaskan Mata Pencaharian Masyarakat Jambi ?
5. Menjelaskan Adat Pernikahan Masyarakat Jambi ?

2
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Asal Usul Provinsi Jambi


Di Swarnadwipa (pulau emas) atau Pulau Sumatera, Provinsi Jambi
merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam Melayu Jambi (1500-1901 M).
Kesultanan ini memang tidak berhubungan secara langsung dengan dua kerajaan
Hindu-Buddha pra-Islam. Sekitar abad ke 6 – awal 7 M, berdiri Kerajaan Melayu
(Melayu Tua) yang t erletak di Muara Tembesi (kini masuk wilayah Batanghari,
Jambi). Catatan Dinasti Tang mengatakan bahwa awal abad ke 7 M dan lagi pada
abad ke 9 M, Jambi mengirim duta/utusan ke Empayar China (Wang Gungwu
1958; 74). Kerajaan ini bersaing dengan Sri Wijaya untuk menjadi pusat
perdagangan.

Letak Malayu yang lebih dekat ke jalur pelayaran Selat Melaka menjadikan Sri
Wijaya merasa terdesak sehingga perlu menyerang Malayu yang akhirnya tunduk
kepada Sri Wijaya. Muaro Jambi, sebuah kompleks percandian di hilir Jambi
mungkin dulu bekas pusat belajar agama Buddha sebagaimana catatan dari
pendeta China I-Tsing yang berlayar dari India pada tahun 671 M. Ia belajar di Sri
Wijaya selama 4 tahun dan kembali pada tahun 689 Masehi bersama empat
pendeta lain untuk menulis dua buku tentang ziarah Buddha. Saat itulah ia
menuulis bahwa Kerajaan Malayu kini telah menjadi bagian dari Sri Wijaya.

Setelah Sri Wijaya mulai pudar di abad ke 11 Masehi, ibu negeri dipindahkan ke
Jambi (Wolters 1970: 2). Inilah Kerajaan Melayu (Melayu Muda) atau
Dhamasraya yang berdiri di Muara Jambi. Sebagai sebuah bandar yang besar,
Jambi juga menghasilkan berbagai rempah-rempahan dan kayu-kayuan.
Sebaliknya dari pedagang Arab, mereka membeli kapas, kain dan pedang. Dari

3
Cina, sutera dan benang emas, sebagai bahan baku kain tenun songket (Hirt &
Rockhill 1964; 60-2). Tahun 1278 Ekspedisi Pamalayu dari Singosari di Jawa
Timur menguasai kerajaan ini dan membawa serta putri dari Raja Malayu untuk
dinikahkan dengan Raja Singosari. Hasil perkawinan ini adalah seorang pangeran
bernama Adityawarman, yang setelah cukup umur dinobatkan sebagai Raja
Malayu. Pusat kerajaan inilah yang kemudian dipindahkan oleh Adityawarman ke
Pagaruyung (pedalaman Minang atau Suruaso) dan menjadi raja pertama sekitar
tahun 1347 M. Kemudian di abad ke 15, Islam mulai menyebar di Nusantara.

Kesultanan Jambi
“Tanah Pilih Pesako Betuah”. Seloka ini tertulis di lambang Kota Jambi. Dimana
menurut orang tua-tua pemangku adat Melayu Jambi, kononnya Tuanku Ahmad
Salim dari Gujarat (India) berlabuh di selat Berhala, Jambi dan mengislamkan
orang-orang Melayu disana. Beliau bernama lengkap Syeikh Ahmad Salim bin
Syeikh Sultan Al-Ariffin Sayyid Ismail. Beliau masih keturunan dari Syeikh
Abdul Qadir Al-Jailani.

Di tempat baru ini, ia membangun pemerintahan baru dengan dasar Islam,


bergelar Datuk Paduko Berhalo dan menikahi seorang putri dari Minangkabau
bernama Putri Selaras Pinang Masak. Mereka dikurniakan empat orang anak,
kesemuanya menjadi datuk wilayah sekitar kuala tersebut. Adapun putra bungsu
yang bergelar Orang Kayo Hitam berniat untuk meluaskan wilayah hingga ke
pedalaman, jika ada tuah, membangun sebuah kerajaan baru. Maka ia lalu
menikahi anak dari Temenggung Merah Mato bernama Putri Mayang Mangurai.
Oleh Temenggung Merah Mato, anak dan menantunya itu diberilah sepasang
Angsa serta Perahu Kajang Lako. Kepada anak dan menantunya tersebut
dipesankan agar menghiliri aliran Sungai Batanghari untuk mencari tempat guna
mendirikan kerajaan yang baru itu dan bahwa tempat yang akan dipilih sebagai
tapak kerajaan baru nanti haruslah tempat dimana sepasang angsa bawaan tadi
mau naik ke tebing dan mupur (berdiam) di tempat tersebut selama dua hari dua
malam.

4
Setelah beberapa hari menghiliri Sungai Batanghari kedua angsa naik ke darat di
sebelah hilir (Kampung Jam), kampung Tenadang namanya pada waktu itu. Dan
sesuai dengan amanah mertuanya, maka Orang Kayo Hitam dan istrinya Putri
Mayang Mangurai beserta pengikutnya mulailah membangun kerajaan baru yang
kemudian disebut “Tanah Pilih”, dijadikan sebagai pusat pemerintahan
kerajaannya (Kota Jambi) sekarang ini.

Asal Nama “Jambi”


‘Jambi’ berasal dari kata ‘Jambe’ dalam bahasa Jawa yang berarti ‘Pinang’.
Kemungkinan besar saat Tanah Pilih dijadikan tapak pembangunan kerajaan yang
baru, pepohonan pinang banyak tumbuh disepanjang aliran sungai Batanghari,
sehingga nama itu yang dipilih oleh Orang Kayo Hitam.

Namun dari penjelasan di atas, ada versi lain yang menyebutkan bahwa kata
Jambi itu justru berasal dari bahasa Arab yang di tulis dalam tulisan Arab
(huruf Hijaiyah) dengan makna sahabat akrab. Demikian info dari teman bloger
saya yang bernama Ridcho:

“Berpedoman pada buku sejarah De Oudste Geschiedenis van de Archipel bahwa


Kerajaan Melayu Jambi dari abad ke 7 s.d. abad ke 13 merupakan bandar atau
pelabuhan dagang yang ramai. Disini berlabuh kapal-kapal dari berbagai bangsa,
seperti: Portugis, India, Mesir, Cina, Arab, dan Eropa lainnya. Berkenaan dengan
itu, sebuah legenda yang ditulis oleh Chaniago menceritakan bahwa sebelum
Kerajaan Melayu jatuh ke dalam pengaruh Hindu, seorang puteri Melayu bernama
Puteri Dewani berlayar bersama suaminya dengan kapal niaga Mesir ke Arab, dan
tidak kembali. Pada waktu lain, seorang putri Melayu lain bernama Ratna Wali
bersama suaminya berlayar ke Negeri Arab, dan dari sana merantau ke Ruhum
Jani dengan kapal niaga Arab. Kedua peristiwa dalam legenda itu menunjukkan
adanya hubungan antara orang Arab dan Mesir dengan Melayu. Mereka sudah
menjalin hubungan komunikasi dan interaksi secara akrab.

5
Kondisi tersebut melahirkan interpretasi bahwa nama Jambi bukan tidak mungkin
berasal dari ungkapan-ungkapan orang Arab atau Mesir yang berkali-kali ke
pelabuhan Melayu ini. Orang Arab atau Mesir memberikan julukan kepada rakyat
Melayu pada masa itu sebagai ”Jambi”, ditulis dengan aksara Arab yang secara
harfiah berarti ’sisi’ atau ’samping’, secara kinayah (figuratif) bermakna
’tetangga’ atau ’sahabat akrab’.”

Demikianlah pendapat yang kedua, dengan alasan jika memang dulunya Orang
Kayo Hitam menyebut pinang dengan kata jambe seharusnya putri pinang masak
itu namanya Putri Jambe Masak. Jadi menurut saya (pendapat teman bloger saya
yang bernama M.Isa. Ansyori) kata jambi itu bukannlah diambil dari bahasa Jawa,
mengingat hingga sekarang masyarakat Jambi dari dulu tetap menyebut pinang
dengan istilah pinang, tidak pernah menyebutnya dengan kata jambe, kecuali
orang Jawa yang sudah tinggal di Jambi yang menyebutnya dengan kata jambe.

Keris Siginjai
Hubungan Orang Kayo Hitam dengan Tanah Jawa digambarkan dalam cerita
orang tuo-tuo yang mengatakan bahwa Orang Kayo Hitam pergi ke Majapahit
untuk mengambil Keris bertuah, dan kelak akan menjadikannya sebagai keris
pusaka Kesultanan Jambi. Keris itu dinamakan ‘Keris Siginjai’. Keris Siginjai
terbuat dari bahan-bahan berupa kayu, emas, besi dan nikel. Keris Siginjai
menjadi pusaka yang dimiliki secara turun temurun oleh Kesultanan Jambi.
Selama 400 tahun, keris Siginjai tidak hanya sekedar lambang mahkota
kesultanan Jambi, tapi juga sebagai lambang pemersatu rakyat Jambi.

Keris Siginjai

6
Sultan terakhir yang memegang benda kerajaan itu adalah Sultan Achmad
Zainuddin pada awal abad ke 20. Selain keris Siginjai, ada sebuah keris lagi yang
dijadikan mahkota kerajaan yaitu keris Singa Marjaya yang dipakai oleh Pangeran
Ratu (Putra Mahkota). Pada tahun 1903M Pangeran Ratu Martaningrat keturunan
Sultan Thaha yang terakhir menyerahkan keris Singa Marjaya kepada Residen
Palembang sebagai tanda penyerahan. Pemerintah Hindia Belanda kemudian
menyimpan Keris Siginjai dan Singa Marjaya di Museum Nasional (Gedung
Gajah) di Batavia (Jakarta).

Slogan Jambi: “Sepucuk Jambi, Sembilan Lurah”

Logo Propinsi Jambi

Seloka ini tertulis di lambang Propinsi Jambi, menggambarkan luasnya wilayah


Kesultanan Melayu Jambi yang merangkumi sembilan lurah dikala pemerintahan
Orang Kayo Hitam, yaitu : VIII-IX Koto, Petajin, Muaro Sebo, Jebus, Aer Itam,
Awin, Penegan, Miji dan Binikawan. Ada juga yang berpendapat bahwa wilayah
Kesultanan Jambi dahulu meliputi 9 buah lurah yang dialiri oleh anak-anak sungai
(batang), masing-masing bernama : 1. Batang Asai 2. Batang Merangin 3. Batang
Masurai 4. Batang Tabir 5. Batang Senamat 6. Batang Jujuhan 7. Batang Bungo 8.
Batang Tebo dan 9. Batang Tembesi. Batang-batang ini merupakan Anak Sungai
Batanghari yang keseluruhannya itu merupakan wilayah Kesultanan Melayu
Jambi.

7
6. Senarai (silsilah) Sultan Jambi (1790-1904)
1). 1790 – 1812 Mas’ud Badruddin bin Ahmad Sultan Ratu Seri Ingalaga
2). 1812 – 1833 Mahmud Muhieddin bin Ahmad Sultan Agung Seri Ingalaga
3). 1833 – 1841 Muhammad Fakhruddin bin Mahmud Sultan Keramat
4). 1841 – 1855 Abdul Rahman Nazaruddin bin Mahmud
5). 1855 – 1858 Thaha Safiuddin bin Muhammad (1st time)
6). 1858 – 1881 Ahmad Nazaruddin bin Mahmud
7). 1881 – 1885 Muhammad Muhieddin bin Abdul Rahman
8). 1885 – 1899 Ahmad Zainul Abidin bin Muhammad
9). 1900 – 1904 Thaha Safiuddin bin Muhammad (2nd time)
10). 1904 Dihancurkan Belanda

Provinsi Jambi
Wilayah propinsi Jambi hari ini pun terbagi atas 1 Bandar Ibukota (Jambi) dan 9
daerah – mungkin agar sesuai seloka adat tadi-. Tetapi nama daerahnya telah
bertukar, Yaitu :
1). Muara Jambi – beribunegeri di Sengeti
2). Bungo – beribunegeri di Muaro Bungo
3). Tebo – beribunegeri di Muaro Tebo
4). Sarolangun – beribunegeri di Sarolangun Kota
5). Merangin/Bangko – beribunegeri di Kota Bangko
6). Batanghari – beribunegeri di Muara Bulian
7). Tanjung Jabung Barat – beribunegeri di Kuala Tungkal
8). Tanjung Jabung Timur – beribunegeri di Muara Sabak
9). Kerinci – beribunegeri di Sungai Penuh

Pada akhir abad ke 19, di daerah Jambi terdapat kerajaan atau Kesultanan Jambi.
Pemerintahan kerajaan ini dipimpin oleh seorang Sultan dibantu oleh Pangeran

8
Ratu (Putra Mahkota) yang mengepalai Rapat Dua Belas yang merupakan Badan
Pemerintahan Kerajaan.

Wilayah administrasi Kerajaan Jambi meliputi daerah-daerah sebagaimana


tertuang dalam adagium adat “Pucuk Jambi Sembilan Lurah, Batangnyo Alam
Rajo” yang artinya: Pucuk yaitu ulu dataran tinggi, sembilan lurah yaitu sembilan
negeri atau wilayah dan batangnya Alam Rajo yaitu daerah teras kerajaan yang
terdiri dari dua belas suku atau daerah.

Secara geografis keseluruhan daerah Kerajaan Jambi dapat dibagi atas dua bagian
besar yakni:
* Daerah Huluan Jambi: meliputi Daerah Aliran Sungai tungkal Ulu, Daerah
Aliran Sungai jujuhan, Daerah Aliran Sungai Batang Tebo, Daerah Sungai Aliran
Tabir, daerah Aliran Sungai Merangin dan Pangkalan Jambu.
* Daerah Hilir Jambi : meliputi wilayah yang dibatasi oleh Tungkal Ilir, sampai
Rantau Benar ke Danau Ambat yaitu pertemuan Sungai Batang Hari dengan
Batang Tembesi sampai perbatasan dengan daerah Palembang.
* Sebelum diberlakukannya IGOB (Inlandsche Gemente Ordonantie
Buitengewesten), yaitu peraturan pemerintahan desa di luar Jawa dan Madura, di
Jambi sudah dikenal pemerintahan setingkat desa dengan nama marga atau batin
yang diatur menurut Ordonansi Desa 1906. Pada ordonansi itu ditetapkan marga
dan batin diberi hak otonomi yang meliputi bidang pemerintahan umum,
pengadilan, kepolisian, dan sumber keuangan.
* Pemerintahan marga dipimpin oleh Pasirah Kepala Marga yang dibantu oleh
dua orang juru tulis dan empat orang kepala pesuruh marga. Kepala Pesuruh
Marga juga memimpin pengadilan marga yang dibantu oleh hakim agama dan
sebagai penuntut umum adalah mantri marga. Di bawah pemerintahan marga
terdapat dusun atau kampung yang dikepalai oleh penghulu atau kepala dusun
atau Kepala Kampung.
* Pada masa pemerintahan Belanda tidak terdapat perubahan struktur
pemerintahan di daerah Jambi. Daerah ini merupakan salah satu karesidenan dari

9
10 karesidenan yang dibentuk Belanda di Sumatera yaitu: Karesidenan Aceh,
Karesidenan Tapanuli, Karesidenan Sumatera Timur, Karesidenan Riau,
Karesidenan Jambi, Karesidenan Sumatera Barat, Karesidenan Palembang,
Karesidenan Bengkulu, Karesidenan Lampung, dan Karesidenan Bangka
Belitung.
* Khusus Karesidenan Jambi yang beribu kota di Jambi dalam pemerintahannya
dipimpin oleh seorang Residen yang dibantu oleh dua orang asisten residen
dengan mengkoordinasikan beberapa Onderafdeeling. Keadaan ini berlangsung
sampai masuknya bala tentera Jepang ke Jambi pada tahun 1942.
* Penduduk asli Provinsi Jambi terdiri dari beberapa suku bangsa, antara lain
Melayu Jambi, Batin, Kerinci, Penghulu, Pindah, Anak Dalam (Kubu), dan Bajau.
Suku bangsa yang disebutkan pertama merupakan penduduk mayoritas dari
keseluruhan penduduk Jambi, yang bermukim di sepanjang dan sekitar pinggiran
sungai Batanghari.
* Suku Kubu atau Anak Dalam dianggap sebagai suku tertua di Jambi, karena
telah menetap terlebih dahulu sebelum kedatangan suku-suku yang lain. Mereka
diperkirakan merupakan keturunan prajurit-prajurit Minangkabau yang bermaksud
memperluas daerah ke Jambi. Ada sementara informasi yang menyatakan bahwa
suku ini merupakan keturunan dari percampuran suku Wedda dengan suku
Negrito, yang kemudian disebut sebagai suku Weddoid.

Suku Anak Dalam (Suku Kubu)

10
* Orang Anak Dalam dibedakan atas suku yang jinak dan liar. Sebutan “jinak”
diberikan kepada golongan yang telah dimasyarakatkan, memiliki tempat tinggal
yang tetap, dan telah mengenal tata cara pertanian. Sedangkan yang disebut “liar”
adalah mereka yang masih berkeliaran di hutan-hutan dan tidak memiliki tempat
tinggal tetap, belum mengenal sistem bercocok tanam, serta komunikasi dengan
dunia luar sama sekali masih tertutup.
* Suku-suku bangsa di Jambi pada umumnya bermukim di daerah pedesaan
dengan pola yang mengelompok. Mereka yang hidup menetap tergabung dalam
beberapa larik (kumpulan rumah panjang beserta pekarangannya). Setiap desa
dipimpin oleh seorang kepala desa (Rio), dibantu oleh mangku, canang, dan tua-
tua tengganai (dewan desa). Mereka inilah yang bertugas mengambil keputusan
yang menyangkut kepentingan hidup masyarakat desa.
* Strata Sosial masyarakat di Jambi tidak mempunyai suatu konsepsi yang jelas
tentang sistem pelapisan sosial dalam masyarakat. Oleh sebab itu jarang bahkan
tidak pernah terdengar istilah-istilah atau gelar-gelar tertentu untuk menyebut
lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat. Mereka hanya mengenal sebutan-sebutan
yang “kabur” untuk menunjukkan status seseorang, seperti orang pintar, orang
kaya, orang kampung, dsb.
* Pakaian. Pada awalnya masyarakat pedesaan mengenal pakaian sehari-hari
berupa kain dan baju tanpa lengan. Akan tetapi setelah mengalami proses
akulturasi dengan berbagai kebudayaan, pakaian sehari-hari yang dikenakan kaum
wanita berupa baju kurung dan selendang yang dililitkan di kepala sebagai
penutup kepala. Sedangkan kaum pria mengenakan celana setengah ruas yang
menggelembung pada bagian betisnya dan umumnya berwarna hitam, sehingga
dapat leluasa bergerak dalam melakukan pekerjaan sehari-hari. Pakaian untuk
kaum pria ini dilengkapi dengan kopiah.
* Kesenian di Provinsi Jambi yang terkenal antara lain Batanghari, Kipas
perentak, Rangguk, Sekapur sirih, Selampit delapan, Serentak Satang. Upacara
adat yang masih dilestarikan antara lain Upacara Lingkaran Hidup Manusia,

11
Kelahiran, Turun Mandi, Masa Dewasa, Perkawinan, Berusik sirih bergurau
pinang, Duduk bertuik, tegak betanyo, Ikat buatan janji semayo, Ulur antar serah
terimo pusako dan Kematian.

Filsafat Hidup Masyarakat Setempat:


1). Sepucuk jambi sembilan lurah, batangnyo alam rajo.
2). Lambang Daerah Tingkat I Provinsi Jambi, berbentuk Bidang Dasar Segi
Lima, menggambarkan lambang Jiwa dan semangat Pancasila.
3). Masjid, melambangkan Ketuhanan dan Keagamaan;
4) Keris, melambangkan kepahlawanan dan Kejuangan;
5). Gong, melambangkan jiwa musyawarah dan Demokrasi.

Dengan berakhirnya masa kesultanan Jambi menyusul gugurnya Sulthan Thaha


Saifuddin tanggal 27 April 1904 dan berhasilnya Belanda menguasai wilayah-
wilayah Kesultanan Jambi, maka Jambi ditetapkan sebagai Keresidenan dan
masuk ke dalam wilayah Nederlandsch Indie. Residen Jambi yang pertama O.L
Helfrich yang diangkat berdasarkan Keputusan Gubernur Jenderal Belanda No. 20
tanggal 4 Mei 1906 dan pelantikannya dilaksanakan tanggal 2 Juli 1906.

Kekuasan Belanda atas Jambi berlangsung ± 36 tahun karena pada tanggal 9


Maret 1942 terjadi peralihan kekuasaan kepada Pemerintahan Jepang. Dan pada
14 Agustus 1945 Jepang menyerah pada sekutu. Tanggal 17 Agustus 1945
diproklamirkanlah Negara Republik Indonesia. Sumatera disaat Proklamasi
tersebut menjadi satu Provinsi yaitu Provinsi Sumatera dan Medan sebagai
ibukotanya dan MR. Teuku Muhammad Hasan ditunjuk memegangkan jabatan
Gubernurnya. Pada tanggal 18 April 1946 Komite Nasional Indonesia Sumatera
bersidang di Bukittinggi memutuskan Provinsi Sumatera terdiri dari tiga Sub
Provinsi yaitu Sub Provinsi Sumatera Utara, Sumatera Tengah dan Sumatera
Selatan.

12
Kebudayaan Jambi yang telah berurat berakar sangat dipengaruhi oleh Budaya
Melayu yang bernafaskan Islam. Kebudayaan tersebut masih kuat bersandar
berlindung pada adat istiadatnya dan belum banyak dikenal orang. Kebudayaan
Jambi yang tersebar di 6 Daerah Tingkat II tersebut seolah-olah masih
menyimpan misteri yang belum muncul ke permukaan bumi. Segudang keunikan
masih tertimbun, tersimpan rapi dan aman walaupun mungkin telah ada yang
mencoba menjamahnya, bak putri yang jinak-jinak merpati, seolah-olah mudah
ditangkap kenyataannya sentuhan halus saja yang diperoleh.

Beragam bentuk kesenian daerah muncul mewakili identitas murni budaya Jambi
yang dipengaruhi budaya Melayu yang terdapat hampir diseluruh daratan
Sumatera terutama di sepanjang pesisir timur. Keanekaragaman bentuk kesenian
daerah tersebut justru lebih memperkaya bentuk-bentuk penyajian pertunjukan
seni budaya yang unik dan menarik.

Berpijak dari dasar tersebut diatas, Pemda Tingkat I Jambi berusaha terus untuk
mengangkat ke permukaan dan memperkenalkan kepada masyarakat luas dan
tamu-tamu asing dengan harapan agar budaya Jambi tetap eksis dan dikenal orang
sebagai bagian dari budaya bangsa Indonesia.

Kehidupan masyarakat Jambi dipandang dari segi sosial budaya adalah Adat
Bersendikan Syara’, Syara’ Bersendikan Kitabullah.

Masyarakat Daerah Jambi adalah masyarakat yang heterogen, dimana terbilang


dan tercacak disitu tanam tumbuh, dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung,
dimana larasnya dicencang, disitu airnya diminum, tidak membawa cupak dengan
gantang.

Secara struktur pemerintahan dahulunya Daerah Jambi ini terbagi atas :


Daerah Bangsa Nana Dua Belas;

13
Daerah Nan Berbatin;

Luak Nan Berpenghulu dengan jenjang-jenjang nan berajo, rantau nana berjenang,
loak berpenghulu, kampung nan betuo, rumah nan bertengganai.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jambi terkenal dengan kegotong
royongan dan keterbukaan yang dikenal dengan istilah Berat Samo Dipikul,
Ringan Samo Dijinjing. Pada lazimnya memutuskan sesuatu pekerjaan kerjasama,
dimusyawarahkan, bulat aek dek pembuluh bulat kato dimukat

3.2 Rumah Khas Jambi

Kriteria Perancangan pada Rumah Tradisional Kejang Lako


Tatanan massa bangunan tradisional Kejang Lako bentuk pola menyebar pada
penelitian yang telah dilakukan, dalam kehidupan sehari-hari masyarakat masih
mempertahankan adat istiadat yang masih sangat kental.
Tatanan pola massa bangunan menyebar membuat kawasan ini terlihat padat
disebabkan jarak bangunan satu sama lain hanya dua meter. Masyarakat dalam
perkampungan itu rata-rata masih mempunyai ikatan keluarga satu sama lain.
Akan tetapi, tidak semua bangunan masih benar-benar asli. Sebab, banyak
bangunan yang mulai keropos karena termakan oleh usia. Bentuk pola massa
bangunan yang masih mempertahankan keasliannya dan bentuk bangunan yang
mirip satu sama lain membuat perkampungan ini terasa sangat berkesan. Hanya
saja, bangunan yang mulai kropos atau termakan oleh usia banyak yang diganti
materialnnya menggunakan bahan modern seperti batako dan bata merah,
terutama bagian bawah bangunan yang dahulu bisa dipergunakan anak-anak
bermain tetapi sekarang dipergunakan untuk hunian. Desain Bangunan Rumah
Kejang Lako
di Rantau Panjang
Secara fungsional, rumah ini dibuat empat persegi panjang dengan tujuan untuk
memudahkan dalam penyusunan ruang. Di dalam rumah ini terdapat berbagai

14
etika dan tata kesopanan yang harus dijunjung tinggi, yang didasarkan pada
ajaran-ajaran agama Islam. Ada penghormatan
terhadap ninik mamak, jaminan perlindungan bagi anak-anak, hidup
berkecukupan dalam keluarga, dan keharmonisan sosial dalam bermasyarakat.
Oleh karena itu, ruang anak gadis dengan pemuda harus
diletakkan berjauhan. Ruang anak gadis biasanya terletak di bagian belakang,
sedangkan ruang pemuda barada di bagian depan. Sementara itu, alasan
mengapa rumah ini dibuat dengan tipologi rumah panggung adalah karena faktor
keamanan, yaitu aman dari serangan musuh yang bisa saja datang
secara mendadak dan dari gangguan binatang-binatang buas.

Material Bangunan
Material yang digunakan untuk membuat rumah Kejang Lako biasanya
diperoleh dari lingkungan yang tersedia misalnya kayu, bambu, ijuk, dan rotan.
Jenis kayu yang digunakan untuk tiang diambil dari kayu-kayu pilihan seperti
kayu petaling dan ulim. Untuk membuat dinding,
biasanya bahan yang digunakan adalah kayu medang dan meranti. Kedua jenis
kayu ini dipilih karena mudah ditarah untuk dijadikan papan yang akan
digunakan sebagai dinding rumah.
Bambu biasanya digunakan untuk membuat gelegar, baik yang digunakan pada
lantai rumah maupun pada loteng.
Gelegar yang berfungsi sebagai penahan lantai itu terbuat dari bambu
bulat, sedangkan lantai rumah terbuat dari bambu yang telah dibelah kecil-
kecil dan diraut hingga halus, kemudian disusun dan dijalin dengan rotan.
Sementara itu, bahan ijuk atau daun enau digunakan untuk membuat atap
rumah. Bahan-bahan dari kayu atau bambu tersebut biasanya terlebih dahulu
direndam di air selama berbulan-bulan. Lantai Semua bagian yang disebut lantai
terbuat dari bahan bambu belah dan pelupuh. Bambu itu sudah diawetkan terlebih
dahulu dengan cara merendamnya didalam air selama
beberapa bulan. Bambu belah dipergunakan untuk lantai bagian pelamban

15
dan gaho. Untuk bidang-bidang lantai lainnya dipergunakan pelupuh bambu belah
yang disusun berlawanan arah. Akan tetapi, sekarang untuk bahan lantai sudah
diganti dengan
bahan yang lain yaitu papan yang disusun dengan rapi.
Bentuk lantai rumah Kejang Lako
Lantai rumah adat suku Melayu umumnya mempunyai pertingkatan.
Demikian pula dengan rumah adat di Rantau Panjang ini yang mempunyai
dua tingkat. Lantai yang tertinggi menunjukkan keutamaan ruangannya.
Perbedaan tinggi kedua lantai hanya 5-30 cm. Lantai yang tertinggi terletak
diruang balik melintang, yaitu ruangan yang terletak dibagian ujung sebelah
kanan bangunan induk. Bagian ruang ini
menjadi ruangan utama dari keseluruhan bangunan rumah adat Rantau Panjang.
Lantai dibagian dapur dan pelambantersusun agak jarang dengan
jarak 2cm. Lantai ini dibuat jarang dengan maksud agar air lekas dapat
mengalir kebawah. Akan tetapi, lantai asli sudah diganti dengan papan yang
juga disusun dengan rapi tetapi rapat. Lantai berjarak 2,15 cm dari permukaan
tanah sehingga ruangan yang dibawah lantai dapat dipergunakan untuk kegiatan-
kegiatan tertentu, terutama untuk tempat beduk (tabuh) dan persediaan kenduri.
Dinding Dinding adalah salah satu bagian rumah Kejang Lakoyang
berfungsi menutupi seluruh sisi bagian rumah dan berfungsi sebagai pelindung
dari cuaca dingin di waktu malam. Dinding pada rumah adat ini berbeda-beda
pada setiap sisinya.
Dinding yang berada di sisi ujung kanan dan kiri bangunan induk bersambungan
dengan
tebar layar, sedangkan dinding pada sisi belakang menutupi seluruh bagian tengah
rumah, yaitu dari lantai sampai ke pengarang kasau. Sementara itu, dinding di sisi
depan hanya dibuat setinggi satu meter. Dinding yang disebut masinding ini
biasanya dilengkapi dengan ukiran-ukiran. Untuk memasang dinding tidak perlu
menggunakan paku, tetapi cukup
dijepit dengan kayu penutup. Bubungan/Atap Bubungan atau atap rumah Kejang
Lakodisebut juga gajah mabuk karena konon si pembuat rumah ini sering mabuk.

16
Bentuk bubungan rumah ini memanjang. Kedua ujung bubungan sebelah atas
sedikit melengkung ke atas sehingga tampak berbentuk perahu. Oleh masyarakat
setempat, bentuk bubungan itu dinamakan lipat kajang atau potong jerambat.
Seperti halnya bangunan rumah panggung pada umumnya, atap ini dipasang di
atas kerangka atap yang telah dibuat terlebih dahulu. Bahan yang digunakan untuk
membuat atap adalah ijuk atau daun enau. Agar kedudukan atap tidak mudah
ditembus dan tetap kuat, ijuk atau daun enau dilipat dua dan kemudian disisipkan
pada reng.

3.3 KEBUDAYAAN MELAYU JAMBI


Jauh sebelum abad masehi etnis melayu setelah mengembangkan suatu
corak kebudayaan melayu pra sejarah di wilayah pengunungan dan dataran tinggi.
Masyarakat pendukung kebudayaan melayu pra sejarah adalah suku Kerinci dan
suku Batin. Orang kerinci di perkirakan telah menepati caldera danau kerinci
sekitar tahun 10.000 SM sampai tahun 2000 SM. Suku Kerinci dan termasuk juga
suku Batin adalah suku tertua di Sumatera. Mereka telah mengembangkan
kebudayaan batu seperti kebudayaan Neolitikum.

Kehadiran agama buda sekitar abad 4 M telah mendorong lahir dan


berkembangnya suatu corak kebudayaan buddhis. Kebudayaan ini di
identifikasikan sebagai corak kebudayaan melayu kuno. Masyarakat pendukung
kebudayaan melayu buddis yang masih ada di Jambi adalah suku anak dalam
(kubu). Namun peningalan momental kebudayaan melayu Buddishis adalah
bangunan candi-candi yang tersebar dikawasan daerah aliran sungai (DAS)
batanghari, salah satu di antaranya ialah situs candi muara Jambi. Pada masa
kebudayaan buddhis sedang mengalami kemunduran sekitar abad 11-14 M, maka
bersamaan waktunya di daerah jambi mulai berkembang suatu corak kebudayaan
islam. Kehadiran Islam diperkirakan pada abad 7 M dan sekitar abad 11M
Islam mulai menyebar ke seluruh lapisan masyarakat pedalaman Jambi. Dalam
penyebaran Islam ini maka pulau berhala dipandang sebagai pulau yang sangat

17
penting dalam sejarah Islam di Jambi. Karena sejarah mencatat bahwa dari pulau
berhala itulah agama Islam disebarkan keseluruh pelosok daerah Jambi.
Kehadiran Islam ini membawa perubahan mendasar bagi kehidupan social/
masyarakat melayu Jambi. Agama Islam pelan-pelan tapi pasti, mulai mengeser
kebudayaan melayu buddhis sampai berkembangnya corak kebudayaan melayu
Islam.

Kebudayaan daerah tidak lain adalah kebudayaan yang tumbuh dan


berkembang di tengah-tengah masyarakat local sebagai pendukungnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan kebudayaan melayu jambi adalah kebudayaan
yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah etnis melayu Jambi.

3.4 MATA PENCAHARIAN


Mata pencaharian masyarakat Jambi adalah bertani, berjualan, panen
getah dan melaut Di Jambi sendiri kebanyakan daerahnya adalah berupa hutan.
Sehingga mata pencaharian mereka didominasi oleh para petani biasanya pula
mereka yang bertani berasal dari pedesaan. Dalam hal bertani, sama seperti kota-
kota lainnya yang terletak di daratan rendah, adalah bertanam padi pada lahan
kosong. Sedangkan dalam hal melaut, mencari ikan di sungai merupakan mata
pencaharian tambahan, begitu juga mencari dalam hal mencari hasil hutan.

Usaha-usaha tambahan ini biasanya dilakukan sambil menunggu panen


atau menunggu musim tanam berikutnya. Karena di Jambi sendiri juga dihuni
oleh masyarakat keturunan TiongHua, maka di zaman sekarang ini banyak pula
warga masyarakat kaeturunan Cina di Jambi yang mencari pendapatan melalui
proses berdagang. Ada yang berdagang mas, berdagang sembako dan adapula
yang berdagang bahan-bahan material.

Orang jambi tradisional menamai tempat mereka bertani diantaranya adalah:


a. Sawah
Terdapat tiga model sawah yaitu:
1. Sawah payau

18
Adalah sawah yang dibuat di atas sebidang tanah yang secara alamiah telah
mendapat air dari suatu sumber air, atau tanahnya sendiri telah mengandung air
2. Sawah tadah hujan
Adalah sebidang tanah kering yang diolah dengan mengunakan cangkul atau
bajak yang diberi galangan atau pematang sedangkan pengairannya sangat
tergantung pada hujan
3. Sawah irigasi
Adalah sejenis tanah yang digarap dengan sistem irigasi, tanah ini diolah dengan
cara memakai sumber air dari mata air atau sungai.

b. Ladang
Ada dua macam ladang yaitu:
1. Umo renah
Adalah ladang yang cukup luas yang terbentang pada sebidang tanah yang subur
dan rata. Tanah tersebut terdapat di pingir-pingir sungai dan dilereng-lereng bukit
yang mendatar.
2. Umo talang
Adalah ladang yang dibuat orang di dalam hutan belukar yang letaknya jauh dari
pedesaan, dan biasanya pada umo talang orang akan membuat pondok yang biasa
digunakan untuk menungu panen tiba.

Ternyata dalam mereka melakukan hal dalam mata pencaharian ada


memiliki adat istiadat yang digunakan, contoh dalam anak undang nan dua belas
terdapat ayat yang menyatakan seperti ini, “umo berkandang siang, ternak
berkandang malam”. Yang memiliki arti adalah para petani harus menjaga sawah
atau tanamannya pada siang hari, bagi yang punya kerbau mengurung pada malam
hari. Dan apabila tanaman padi petani dimakan atau dirusak pada sinag hari maka
pemilik ternak tidak dapat diminta ganti rugi, namun bila tanamannya dirusak
pada malam hari maka pemilik ternak dapat dimintai ganti rugi.

19
dalam mengolah tanah orang jambi juga mengunakan cara yang tradisional
seperti pengunaan kincir air sebagai sistem perairan, cangkul, sabit, parang serta
bajak kerbau.

Sedangkan penduduk daerah jambi terutama yang bermukim di sepanjang


bantalan sungai batanghari dan anak sungainya agaknya memahami benar bahwa
air itu adalah sumber kehidupan. Sehinga umumnya penduduk ini bermata
pencaharian sebagai nelayan oleh karena itu dikenal perkampungan nelayan
adalah perkampungan yang berada di pingir pantai dan di pingir sungai
batanghari. Oleh karena itu, hampir setiap rumah penduduk di daerah ini memiliki
alat penangkapan ikan tradisional yang dikenal dengan: tanguk, sauk, jalo,
mentaben, guntang, geruguh, lukah, serkap, jelujur, onak, saruo, tamban, rawai,
tiruk, lulung, pukat hanyut, lenggian, sangkar ikan. Yang pada umumnya di buat
sendiri dengan mengunakan bahan-bahan yang tersedia dengan cara dan bentuk
yang tradisional.

KERAJINAN

Provinsi Jambi sangat kaya akan kerajinan daerah, salah satu bentuk
kerajinan daerahnya adalah:

a. Anyaman
anyaman yang berkembang dalam bentuk aneka ragam. Kerajinan anyaman
di buat dari daun pandan, daun rasau, rumput laut, batang rumput resam, rotan,
daun kelapa, daun nipah, dan daun rumbia. Hasil anyaman ini bermacam–macam,
mulai dari bakul, sumpit, ambung, katang–katang, tikar, kajang, atap, ketupat,
tudung saji, tudung kepala dan alat penangkap ikan yang disebut Sempirai,
Pangilo, lukah dan sebagainya.
b. Tenun dan batik motif flora
Tenun dntenun yang sangat terkenal, yaitu tenunan dan batik motif flora.
Batik biasa kita tau kebanyakan berasal dari pulau Jawa. Namun sesungguhnya
seni batik itu tak hanya berada di pulau Jawa saja, beberapa daerah di Sumatera
pun juga memiliki seni batik tersendiri. Ini terbukti banyaknya hasil batik yang di

20
hasilkan dari Jambi, baik buatan pabrik maupun produksi rumah tangga. Produk
batik dapat berkembang hingga sampai pada suatu tingkatan yang membanggakan
baik desain maupun prosesnya. Begitu pula dengan batik yang ada tumbuh dan
berkembang di daerah Jambi.

Pada zaman dahulu batik Jambi hanya dipakai sebagai pakaian adat bagi
kaum bangsawan/raja Melayu Jambi. Hal ini berawal pada tahun 1875, Haji
Muhibat beserta keluarga datang dari Jawa Tengah untuk menetap di Jambi dan
memperkenalkan pengolahan batik. Motif batik yang diterapkan pada waktu itu
berupa motif – motif ragam hias seperti terlihat pada ukiran rumah adat Jambi dan
pada pakaian pengantin, motif ini masih dalam jumlah yang terbatas. Penggunaan
motif batik Jambi, pada dasarnya sejak dahulu tidak dikaitkan dengan pembagian
kasta menurut adat, namun sebagai produk yang masih eksklusif pemakaiannya
dan masih terbatas di lingkungan istana.

Dengan berkembangnya waktu, motif yang dipakai oleh para raja dan
keluarganya saat ini tidak dilarang digunakan oleh rakyat biasa. Keadaan ini
menambah pesatnya permintaan akan kain batik sehingga berkembanglah industri
kecil rumah tangga yang mengelola batik secara sederhana.

Perkembangan batik sempat terputus beberapa tahun, dan pertengahan


tahun 70-an ditemukan beberapa lembar batik kuno yang dimiliki oleh salah
seorang pengusaha wanita “Ibu Ratu Mas Hadijah” dan dari sanalah batik Jambi
mulai digalakkan kembali pengembangannya. Salah seorang ibu yang turut juga
membantu perkembangan pembatikan di Jambi adalah Ibu Zainab dan Ibu Asmah
yang mempunyai keterampilan membatik di Seberang Kota.

Pada mulanya pewarnaan batik Jambi masih menggunakan bahan-bahan


alami dari tumbuh-tumbuhan yang terdapat di dalam hutan daerah Jambi, seperti :

1. Kayu Sepang menghasilkan warna kuning kemerahan.


2. Kayu Ramelang menghasilkan warna merah kecokelatan.
3. Kayu Lambato menghasilkan warna kuning.

21
4. Kayu Nilo menghasilkan warna biru.
Warna-warna tersebut merupakan warna tradisional batik Jambi, yang
mempunyai daya pesona khas yang berbeda dari pewarna kimia.

c. Ukir kayu betung


Merupakan kerajinan ukir kayu yang terdapat di Desa Betung. Kabupaten
Batanghari. Para pengrajin memanfaatkan produk kayu hutan yang banyak
terdapat di Jambi. Jenis kayu yang banyak dipakai sebagai bahan baku adalah
rengas, meranti dan jelutung. Sebagian besar produknya untuk perabot rumah
tangga seperti meja, kursi dan tempat tidur.

KESENIAN
mengenai seni dapat di bagi kedalam:
a. seni tari

Seni tari daerah Jambi cukup banyak ragam serta coraknya, dimana pada
tiap-tiap daerah mempunyai ciri sesuai dengan keadaan daerah serta suku dalam
kelompok masyarakat adat yang bersangkutan. Dari sekian banyak corak dan
ragamnya seni tari daerah Jambi, namun sudah banyak pula yang hampir tidak
dikenal bahkan dilupakan oleh lingkungan masyarakat yang bersangkutan.
Beberapa seni tari yang dikenal di Provinsi Jambi, yaitu:

a) Kota Jambi
· Tari Sekapur Sirih
Tari ini diciptakan oleh Firdaus Chatab pada tahun 1962, kemudian ditata
ulang oleh OK Hendri BBA pada tahun 1967. tari ini digunakan untuk
menyambut tamu yang dihormati sebagai ungkapan rasa putih hati dalam
menyambut tamu, dan ditarikan oleh penari remaja putri

- Tari Dana Sarah


Tari ini berasal dari pelayangan, yang sudah dimodifikasi yang berasal
dari Seberang Kota Jambi. Penciptanya tidak dikenal dan ditata ulang oleh Abdul

22
Aziz pada tahun 1984. Tari ini digunkan sebagai sarana dalam penyebaran agama
islam, yang ditarikan oleh penari putra dan putri.
· Tari Serengkuh Dayung
Tari ni penciptanya tidak diketahui, namun telah ditata ulang oleh Aini
Rozak pada tahun 1990. tarian ini menggambarkan tentang perasaan searah
setujuan, kebersamaan di dalam segala sesuatunya, dan ditarikan hanya oleh
penari putri.

b) Kabupaten Batang Hari dan Kabupaten Muaro Jambi


· Tari Piring Jambi
Tari ini berasal dari Muara Tembesi yang diciptakan oleh Abdul Manan,
kemudian ditata ulang oleh OK Hendri pada tahun 1970. Tarian ini
menggambarkan kelincahan muda mudi dalam memainkan piring dan ditarikan
oleh penari putra dan putri.
· Tari Baselang
Pencipta tarian ini tidak dikenal, kemudian ditata ulang oleh Darwan Asri
Tahun 1977. Tarian ini menceritakan tentang semangat kegotongroyongan
masyarakat desa dan ditarikan oleh penari putra dan putri.

c) Kabupaten Tanjung Jabung Barat & Kabupaten Tanjung Jabung Timur


· Tari Inai
Penciptanya tidak dikenal, kemudian ditata ulang oleh M.Arsyad dan
Zainuddin pada tahun 1992. tarian ini untuk menghibur mempelai wanita yang
sedang memasang inai dimalam hari, sebelum duduk dipelaminan, dan tarian ini
ditarikan oleh remaja putra dan putri.
· Tari Sumbun
Pencipta tarian ini tidak dkenal, kemudian ditata ulang pada tahun 1989
oleh Rukiah Effendi. Tarian ini menggambarkan para nelayan yang sedang
mencari sumbun ditepian pantai dengan lincahnya, ia memasukkan obat dalam
sumbun. Tarian ini ditarikan hanya oleh penari putri.
· Tari Japin Rantau

23
Tari ini diciptakan oleh Darwan Asri dan ditata ulang tahun 1986 oleh
Darwan Asri. Tarian ini menggambarkan prikehidupan masyarakat dipesisir
pantai, dan ditarikan oleh remaja putri.

d) Kabupaten Bungo & Kabupaten Tebo


· Tari Putri Teluk Kembang
Pencipta tarian ini tidak dikenal, dan tarian ini menggambatkan tentang
keakraban kehidupan masyarakat , dan ditarikan oleh penari putri.

· Tari Cucu Ungko


Pencipta tarian ini tidak dikenal, dan tarian ini menggambarkan tentang
usaha masyarakat dalam menangkap binatang yang digemarinya. Tarian ini
ditarikan oleh penari putra dan putri.
· Tari Tauh
Pencipta tari ini tidak dikenal, tarian ini menggambarkan tentang
kegembiraan muda mudi, dan ditarikan oleh penari putra dan putri.

e) Kabupaten Sarolangun & Kabupaten Bangko


· Tari Kisan
Penciptanya tidak dikenal dan ditata ulang oleh Daswar Edi pada tahun
1980 dan Darwan Asri tahun 1983. tarian ini menggambarkan kegiatan
masyarakat dalam mengolah padi menjadi beras, dan tarian ini dibawakan oleh
penari remaja putri.
· Tari Kromong
Pencipta tarian ini tidak dikenal, dan tarian ini menceritakan bagaimana
wanita berhias, dan dibawakan oleh penari putri
· Tari Mengatur Berentak
Pencipta tarian ini tidak dikenal, dan kemudian ditata ulang oleh Zakaria
pada tahun 1970. Tarian ini menggambarkan kegotongroyongan dalam
menggarap sawah dan dibawakan oleh penari putri.

24
f) Kabupaten Kerinci
· Tari Mandi Taman
Penciptanya tidak dikenal dan ditata ulang oelh Baharudin BY pada tahun
1979. Tarian ini menggambarkan rasa syukur ketika membawa anak turun mandi,
yang dibawakan oleh penari putri.
· Tari Rangguk
Penciptanya tidak dikenal, ditata ulang oleh Iskandar Zakaria tahun 1977.
Tarian ini biasa ditarikan untuk menyambut tamu yang datang berkunjung, dan
dibawakan oleh penari putri.
· Tari Rangguk Ayak
Pencipta tari ini tidak dikenal dan kemudian ditata ulang oleh Don Alwizar.
Tari ini menggambarkan kegembiraan sehabis panen dan ditarikan oleh penari
putri)
· tari rentak kudo
tari ini sangat populer di masyarakat Kerinci. Tari Rentak Kudo adalah
tarian kesenian khas budaya asli masyarakat Kerinci yang berasal dari
daerah Hamparan Rawang Kabupaten Kerinci, Jambi yang banyak diminati
kalangan masyarakat di Kabupaten Kerinci.

Tarian ini dikenal sebagai "Rentak Kudo" karena gerakannya yang


menghentak-hentak seperti kuda. Tarian ini ditarikan di dalam perayaan yang
dianggap sangat Latar belakang

Tarian ini ditarikan di dalam perayaan yang dianggap sangat sakral oleh
masyarakat Kerinci. Tingginya penghormatan terhadap perayaan seni dan budaya
Kerinci ini pada zaman dahulu sangat kuat sehingga dipercaya bahwa dalam
setiap pementasan seni budaya ini getaran dan hentakan tari Rantak Kudo bisa
terasa hingga jarak yang sangat jauh dari lokasi pementasan. Tarian ini
dipersembahkan untuk merayakan hasil panen pertanian di daerah Kerinci yang
secara umum adalah beras (padi) dan dilangsungkan berhari-hari tanpa henti.
Kadang bila dilanda musim kemarau yang panjang, masyarakat Kerinci juga akan
mementaskan kesenian ini untuk berdoa kepada Yang Maha Kuasa (menurut

25
kepercayaan mereka masing-masing). Tujuan dari pementasan tari ini umumnya
adalah untuk melestarikan pertanian dan kemakmuran masyarakat, untuk
menunjukkan rasa syukur masyarakat Kerinci baik dalam musim subur maupun
dalam musim kemarau untuk memohon berkah hujan sakral oleh masyarakat
Kerinci. Tingginya penghormatan terhadap perayaan seni dan budaya Kerinci ini
pada zaman dahulu sangat kuat sehingga dipercaya bahwa dalam setiap
pementasan seni budaya ini getaran dan hentakan tari Rantak Kudo bisa terasa
hingga jarak yang sangat jauh dari lokasi pementasan.

Namun pada saat sekarang tari rantak kudo sudah umum dipakai, bahkan
acara/ resepsi pernikahan pun tari rantak kudo ini sering digunakan di kalangan
masyarakat untuk suatu hiburan di suatu pernikahan.

b. seni musik dan teater

1) kelintang kayu

merupakan alat musik pukul khas Provinsi Jambi yang terbuat dari kayu.
Dalam memainkannya beriringan dengan alat musik talempong, gendang dan
akordion. Pada zaman jayanya alat musik ini dimainkan untuk kalangan
bangsawan. Dalam pertunjukannya didendangkan syair lagu-lagu betuah dan
tarian khas Jambi.
2) Hadrah
Merupakan jenis kesenian jambi yang bernuansa islami, kesenian ini
mengunakan terbang atau rebana sebagai alat musiknya. Alat-alat tersebut ditabuh
dan disertai nyanyian dalam bahasa Arab, hadrah sering digunakan untuk
mengiringi pengantin pria, menyambut tamu dan acara-acara agama islam.
3) Dul muluk
Merupakan seni teater yang berkembang di kota Jambi dan Batanghari.
Kesenian ini sudah jarang ditampilkan. Sumber cerita berasal dari sahibul hikayat,
satu kekhasan dari pertunjukan ini adalah pada bagian tengah pangung
ditempatkan satu meja.

26
Para pelakon beradegan setelah pelakon berdialog atau bernyanyi, mereka
memukul meja dengan mengunakan sebatang tongkat seiring irama musik. Pada
bagian tertentu ada tarian yang mengikutsertakan penonton sehinga membuat
suasana semakin meriah.
4) Krinok
Adalah pepatah petitih yang isinya berupa pantun nasehat,agama, kasih
sayang kepahlawanan dan lain-lain. Dibawakan oleh seseorang dengan cara
bersenandung, sedangkan musiknya pada awalnya hanya mengunakan vocal yang
dilakukan oleh si pengkrinok (orang yang bersenandung). Oleh masyarakat petani
ladang/petani sawah yang umumnya berdomisili di daerah dataran
rendah,kesenian rakyat (musik krinok) ini biasanya dilakukan setelah mereka usai
menjalankan aktivitas pertaniannya. Dimaksudkan untuk mengatasi kejenuhan,
pelepas lelah atau sebagai pelipur lara. Disamping itu sering juga dilaksanakan
pada saat menunggu hasil panen, sambil menjaga tanaman mereka dari serangan
burung, tikus, babi, dan lain-lain. Bila sudah tiba saatnya panen biasanya pada
malam harinya mereka mengadakan pertemuan di suatu tempat yang telah
ditentukan untuk melangsungkan acara krinok-an. Acara ini akan dihadiri oleh
ibu-ibu dengan membawa anak gadisnya, juga dihadiri oleh sejumlah anak-anak
bujang, selama acara berlangsung, bujang/gadis saling melempar pantun. Pantun-
pantun tersebut diungkapkan secara bersenandung yang disebut krinok. Tradisi
semacam ini sampai sekarang masih dilakukan oleh masyakat setempat, seperti
yang penuh diamati di Dusun Rantau Pandan yang jaraknya lebih kurang 40 km
dari pusat kota Muoro Bungo.

c. Seni Sastra
Salah satu seni sastra yang berkembang di Jambi yaitu sastra Lisan
Kerinci. Seni ini berkembang dalam budaya masyarakat kerinci. Bentuk-
bentuknya antara lain puisi, pantun, prosa, prossa liris dan kunaung-kunaung
adalah merupakan perpaduan cerita lagu dan ekspresi penceritanya. Pada
umumnya cerita berisi nasihat, pendidikan moral, petuah, kisah-kisah rakyat dan
pelipur lara.

27
3.5 Adat Pernikahan Masyarakat Jambi
Jambi atau suku Jambi yang diangkat kali ini dalam rubik atau kanal Rukun Suku
Nusantara, (RSN) yang memang secara khusus mengelaborasi dan
mengeksplorasi segala sesuatu yang hidup dan berkembang dalam suku-suku, yang
menyangkut tradisi dalam prosesi perkawinan, kelahiran, kematian , dan lain-lain.

Dari tahapan-tahapan adat-istiadat dalam prosesi perkawinan yang dijalankan oleh


suku atau masyarakat Jambi, memang menarik untuk diikuti. Secara garis besar,
dapat dilihat bahwa tahapan pernikahan adat jambi mirip dengan adat adat melayu
pada umumnya. Karena mereka masih serumpun. Tetapi, jika dicermati secara
mendalam, adat pernikahan di Jambi ada perbedaan yang cukup mencolok.

Itu bisa kita lihat dari jalanya prosesi perkawinan yang dimulai dari tahap lamaran,
ijab kobul, hingga dihantarkannya ke rumah orang tua pengantin.

Tahapan lamaran ini di Jambi, disebut sebagai Anter Tando. Sebelum diadakan
acara lamaran, biasanya akan ada utusan dari pihak laki laki, yg akan bertanya,
ataupun bersilahturahmi ke keluarga perempuan.

Utusan ini akan mencari tau, apakah si perempuan atau si gadis yang ingin dilamar
itu sudah ada yang melamar atau belum. Meskipun selama proses pacaran biasanya
kedua muda-mudi itu sudah tahu, tetapi secara formal adat, itu harus dilakukan.

Lamaran ini biasanya dihadiri Tuo Tengganai dari kedua belah pihak keluarga.
Pada saat lamaran, keluarga laki laki akan membawa syarat adat perkawinan, di
antaranya:

Cincin pengikat

Cincin ini hanya untuk dipakai perempuan, bukan satu pasang. Karena, tukar cincin
baru akan dilakukan saat akad nikah nanti.

Pakaian sepelulusan.

28
Berupa bahan kebaya untuk akad nikah, dan kain bawahan, bisa berupa batik atau
songket. Terkadang juga dilengkapi selop dan dompet. Yang terakhir itu,
tergantung, karena, itu hanya sebagai pelengkap.

Sirih Pinang

Berupa perlengkapan untuk makan sirih, berupa daun sirih, kapur sirih, tembakau,
serta pinang, yang diletakkan di tempat sirih khusus.

Prosesi lamaran biasanya berupa seloko seloko (seperti berbalas pantun) antar wakil
keluarga terlebih dahulu, yang kira2 isinya adalah menanyakan maksud dan tujuan
keluarga laki laki bertamu ke keluarga wanita.

Setelah itu, pelaksanaan prosesi lamaran itu sendiri, berupa pemasangan cincin ke
calon pengantin perempuannya. Kemudian dilanjutkan dengan acara makan
bersama. Setelah selesai makan, maka dilakukan perundingan keluarga inti, dimana
membicarakan tentang kelanjutan lamaran tadi, berupa, pembicaraan tanggal, adat
pernikahan, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pernikahan.

Pembicaraan adat perkawinan yang dilakukan itu berkaitan dengan; pertama,


tanggal pernikahan. Apakah upacara pernikahan akan dilaksanakan sepanen jagung
(3 bulan) sepanen padi (6 bulan) atau ketentuan jangka waktu yang lain

Kedua, adat yang digunakan. Apakah menggunakan pure adat jambi, atau adat
campurannya.

Seserahan.

Apa saja hantaran yang akan diberikan keluarga laki laki kepada keluarga
perempuan. Berbeda dengan adat Minangkabau yang memiliki sistem perkawinan
matrilineal, dimana laki-laki mengikuti perempuan, alias laki-laki “dibeli”
perempuan.

Uang adat

Uang adat di sini ada 2, yaitu uang adat, dan uang selemak semanis. Klo uang adat,
biasanya kecil, berkisar 50-100 ribu saja, nah, uang selemak semanis ini yang cukup

29
besar, disesuaikan dgn kemampuan keluarga laki laki. Uang selemak semanis ini,
merupakan urunan atau membantu belanja untuk acara resepsi pernikahan nanti.

Di atas semua itu, perlu dicatat bahwa dalam proses lamaran itu, semua arah
pembicaraan disesuaikan dengan kondisi calon pengantin. Artinya, besar kecilnya
resepsi pernikahan disesuaikan dengan kemampuan para mempelai.

30
BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN

Jambi adalah salah satu suku di Indonesia yang terletak di kepulauan


Sumatra. Banyak yang tidak mengetahui bahwa Jambi juga mempunyai banyak
hal-hal menarik yang dapat dijadikan ”berita utama”, tetapi amat disayangkan
bahwa yang sering sekali di ekplorasi adalah wilayah-wilayah tetangganya;
seperti Sumatra Barat (Padang) dan Sumatra Utara (Batak).

Provinsi Jambi yang memiliki penghuni berlatar Melayu. Memilki


kebudayaan yang sangat khas. Merupakan pengaruhnya adalah latar belakang
sejarah jambi itu sendiri. Ada berbagai unsur kebudayaan yang dirasa perlu untuk
dilestarikan. Sebagai bentuk kesadaran akan kebudayaan yang ada pada tanah air
kita, agar dapat bersaing dengan kebudayaan luar.

Kebudayaan melayu jambi berisikan perpaduan antara unsur budaya


melayu jambi antara lain animisme dan dinamisme, melayu buddhis dan unsur
budaya melayu Islam. Namun tidak menghilangkan ciri-ciri asli.

2. SARAN

Adapun saran yang dapat pemakalah berikan adalah kita sebagai


masyarakat Jambi bagaimana cara untuk melestarikan atau memperkenalkan
budaya Jambi itu sendiri, bahwa banyaknya terdapat unsur-unsur kebudayaan itu
sendiri yang sangat menarik dan bisa untuk dijadikan berita utama.

Baiklah, sebagai penutup tentu masih banyak terdapat kekurangan dalam


makalah ini, untuk itu kami merasa perlunya kritik dan saran yang membangun
untuk koreksi makalah ini, karena sesuatu itu terdapat kekurangan.

31
DAFTAR PUSTAKA

- Fachruddin Saudagar.2003. Potensi Budaya Melayu Jambi Dalam Pengelolaan


Sumber Daya Perikanan.Jambi: Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jambi.
- Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Pusat Penelitian Sejarah dan
Budaya. 1997/1978. Adat Istiadat Jambi. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
- Mengenal Adat Jambi Dalan Perspektif Modern” Penulis: H.Kemas Arsyad
Somad, SH.MH Tahun 2003
- http://guspalena.blogspot.com/2012/04/tari-rentak-kudo.html#more
- http://wennyastaria.blogspot.com/2009/04/kebudayaan-jambi.html
- http://www.indonesiabox.com/batik-jambi/ diakses 3 juni 2012
- www.wahanabudayaindonesia.com

32

Anda mungkin juga menyukai