Anda di halaman 1dari 7

Bernadeta Velo

SMP Negeri 1 Ende


CERITA RAKYAT ENDE – LIO
“ Asal Usul Keli Ndota,
Wisata adat mistik pangan“

Ada dua bersaudara bernama Bobi dan Nombi. Keduanya yatim-piatu dan tunawisma. Untuk
menyambung hidup keduanya mengemis ke sana ke mari. Ndoi, janda yang tinggal di Monikuru beriba
hati lalu merawat kedua anak itu. Kedua anak laki dan perempuan itu dipelihara dan dimanjakan oleh
Ndoi bagaikan anak kandungnya sendiri. Tibalah musim kemarau yang amat panjang. Oleh karena
lamanya musim kemarau itu, banyak orang terancam kelaparan. Kemarau yang luar biasa itu
dipertanyakan oleh masyarakat kepada Mosalaki sebagai ketua adat.

Masyarakat : ” Wula lima Esa dowa kita na uja gha kwa mesu mesu, leja gha ngeee ke petu petu, O apa
ee ina naa.

Kemudian disimpulkan pula oleh masyarakat bahwa kemarau panjang yang mengancam itu akibat
adanya kesalahan dan dosa warga masyarakat pula. Dosa perzinahan menjadi tumpuan kesalahan paling
krusial yang berakibatkan kelaparan sebagian besar masyarakat karena kekeringan yang berkepanjangan
itu. Setelah diusut - usut, masyarakat menduga bahwa Bobi dan Nombi-lah yang karena hidup secara liar
itu telah melakukan perbuatan zinah.

Masyarakat : ” O ina na pasti ola kema bobi no nombi ina na, kema eo sala soa menga tau susa kita na ”

Janda Ndoi yang mendengar hal itu pun membela kedua anaknya

Janda Ndoi : ” Iwa aku mbhe’o ana aku iwa ngere gharu, ebe iwa kema sala soa rewo ”

pembelaan janda Ndoi pun tak membuahkan hasil meyakinkan masyarakat untuk melindungi Bobi dan
Nombi.

Atas perintah Mosalaki (tuan tanah), Bobi dan Nombi segera ditangkap.

Mosalaki : ” molose demi miu ghare ngere gharu, maise kita le dowa mbana gae bobi no nombi ”.

Namun entah kenapa kedua anak itu tiba-tiba saja menghilang bak ditelan bumi. Masyarakat pun
terus mencari kedua anak itu ke berbagai penjuru kampung.

Masyarakat : ” Bobi no Nombi na leka emba ee kita gae leja telu do ebe imu rua iwa ke tei rewo ”

Beberapa hari kemudian, masyarakat menemukan kedua anak itu dibawah lereng Gunung Kelinida
dan mengejar kedua anak itu secara bersama-sama sambil menghunuskan senjata tajam seperti,
parang, panah dan lain sebagainya.

Nombi yang melihat hal itu pun berdoa dalam hatinya ” du'a ngga’e aku rina ono jaga aku no Bobi,
kami bebo molo eo apa ke ebe ghea na”
Beberapa saat setelah pengejaran, kedua anak itu pun ditangkap dalam keadaan bersimba
darah akibat terkena senjata tajam. Lalu masyarakat membawa kedua anak itu menuju ke puncak
Gunung Kelinida, sebuah gunung yang terkesan angker dan jarang didatangi orang. Bobi
ditempatkan di bagian timur sedangkan Nombi ditempatkan di sisi barat. Perjaka dan dara yatim
piatu itu dibunuh dan dicincang sebagai silih dan tebusan atas dosa dan kenistaan mereka dengan
harapan hujan segera turun membasahi bumi yang sedang gersang itu. Namun, setelah lama
mengorbankan kedua anak yatim piatu itu, hujan tak kunjung datang jua. Bahkan kemarau semakin
garang saja. Mosalaki (Tuan Tanah) beserta seluruh warga kampung semakin gelisah

Masyarakat : ” keli ola gha eo apa ke ina na Bobi no Nombi na mata sawe uja gha iwa ke mesu
mesu na.

Mereka semua kwatir, jangan sampai Bobi dan Nombi yang tidak berdosa itu hidup kembali.

Pada suatu hari Mosalaki memanggil seluruh warga untuk bermusyawarah lagi. Mereka
bersepakat untuk melihat kembali jenazah Bobi dan Nombi yang dicincang di puncak Gunung
Kelinida. Sebab, mereka semakin bingung saja karena hujan pun tak kunjung datang.

Maosalaki : ” molo se demi miu gare ngere gharu, maise kita le dowa mbana kile wola Bobi no
Nombi aku ta'u ke ebe imu rua muri wola”

Masyarakat pun menyetujui ucapan mosalaki. Berangkatlah orang-orang sekampung ke puncak


Gunung Kelinida. Setibanya di puncak Gunung Kelinida yang datar itu, tampaklah hamparan
tanaman serupa ilalang yang berbuah lebat dan menguning matang. Tanaman itu tepat di lokasi
pembunuhan Bobi dan Nombi. Tanaman sejenis itu belum pernah mereka lihat. Akhirnya, mereka
sepakat untuk membawa pulang dan merahasiakan "bulir-bulir rumput ilalang" itu. Setelah dikupas
oleh Ndale dan Sera, tampaklah biji-bijian yang berwarna putih dan merah yang diasosiasikan oleh
mereka penjelmaan daging dan darah Bobi dan Nombi.

Walaupun demikian, ketika mereka tiba di kampung, tidak seorang pun yang berani
menyantapnya. Setelah bermusyawarah kembali bersama Mosalaki, mereka sepakat agar
"makanan" baru yang sudah dikupas itu diuji coba makan oleh janda saja. Dasar perhitungannya,
jikalau si janda itu nanti mati keracunan "makanan" baru itu, niscaya kecil resiko dan tidak ada
orang yang menuntutnya. Janda Pare pun dipanggil. Pada mulanya Pare enggan dan menolak
makan karena ia juga takut mati.

Ndale : ” i aku ngange aku ta'u na, aku ta'u ole mata ”

Namun, karena ia diancam oleh Mosalaki dan warga kampung itu, pada akhirnya Pare pasrah dan
rela makan dengan syarat, biji-bijian itu harus dikupas dalam jumlah banyak. Dengan demikian,
seandainya ia harus mati, ia telah cukup puas menyantapnya. Dengan perasaan yang sangat cemas,
percobaan menyantap biji-bijian yang dilakukan oleh Pare disaksikan oleh semua orang. Usai
mencicipi segenggam, dua genggam, tiga, bahkan sampai beberapa genggam, wajah Pare justru
berseri-seri, membuat masyarakat bertanya tanya

Masyarakat : ” ngere emba Ndale rasa ke, kami kile kau ngere eo ngila ngeso na”

Namun Ndale tidak menghiraukan segala pertanyaan dari masyarakat. Percobaan selanjutnya
diikuti oleh Wole, juga janda sebatang kara yang memang meminta dan menikmati biji-bijian baru
itu. Menyaksikan Pare dan Wole makan dengan penuh gembira, orang-orang sekampung itu
berminat keras untuk turut menikmati makanan baru itu. Jadilah biji-bijian yang baru itu
"menjelma" menjadi makanan utama bagi seluruh masyarakat kampung itu. Kemudian, disusul
pula dengan amanat agar tanaman itu ditanam melalui ritual atau upacara khusus sebagai
penghormatan dan rasa syukur serta harus diwariskan kepada anak cucu.

Masyarakat di sekitarnya yaitu mereka yang ada di daerah Lise, Mbuli, dan Tenda pun
akhirnya mendengar berita yang menggemparkan itu. Mereka segera mencari dan menjejaki asal-
muasal makanan baru yang lezat itu. Setelah ditemukan, biji-bijian itu pun dibawa pulang dan
diamanatkan juga kepada anak cucu mereka agar cara menanamnya harus dicampuri dengan batu
hitam dan emas. Selain itu, pada masa panen usai, makanan itu harus dirayakan secara adat pula.
Dalam pesta panen itu, darah ayam dikorbankan untuk mengenang Bobi dan Nombi. Sebelum pesta
syukur panen itu, hendaknya diawali dengan remba ngenda. Dari berbagai versi sejarah yang masih
samar juga menyebutkan secara rinci bahwa; Darah yang berasal dari Bobi dan Nombi menjelma
menjadi Beras merah (Pu'u Pare) yang mewakili setiap ritual adat Lio, sedangkan tulang
belulangnya menjelma menjadi Ubi kayu dan ubi jalar atau umbi-umbian (uwi kaju dan ndora, rose
dan lain-lain), giginya menjelma menjadi jagung (jawa), rambutnya menjelma menjadi jagung solor
(lolo wete) serta jantungnya menjelma menjadi pisang (muku) dan lain sebagainya. Gunung
Kelinida yang menjadi saksi sejarah itu juga sering disebut kelindota karena di gunung (keli) ini
telah terjadi pembunuhan terhadap kedua anak manusia dengan cara dicincang (Ndota) menjadi
onggokan daging sehingga menjelma menjadi makanan pokok masyarakat Lio-Ende.
CERITA RAKYAT ENDE – LIO
“ Asal Usul Keli Ndota,
Wisata adat asal usul
pangan“
(Dalam bahasa Lio)

Imu rua weta nara, naja ebe Bobi ata haki, Nombi atafai. Weta nara ine no ema mata sawe, muru ana halo
ata iwa paga, one lepa iwa, muru kobe leja menga rina pia leka ata. Ata ine naja kai Ndoi o haki mata sawe
ghea nua Monikuru eo ate pawe paga ana halo imu rua, Bobi no Nombi. Analoo ina ine Ndoi paga mara
sama ngere ana tuka. Nelu gena leka wula leja ria nala, ata nua we raka wula lowa, ka pesa kura duna, ata
nua ale gae puu wula leja ria leka Mosa Laki Tana.

Ata one nua; ” Wula lima Esa dowa kita na uja gha kwa mesu mesu, leja gha ngeee ke petu petu, O
apa ee ina naa.

Kemudian disimpulkan pula oleh masyarakat bahwa kemarau panjang yang mengancam itu akibat
adanya kesalahan dan dosa warga masyarakat pula. Dosa perzinahan menjadi tumpuan kesalahan paling
krusial yang berakibatkan kelaparan sebagian besar masyarakat karena kekeringan yang berkepanjangan
itu. Setelah diusut - usut, masyarakat menduga bahwa Bobi dan Nombi-lah yang karena hidup secara liar
itu telah melakukan perbuatan zinah.

Mbeo masala ina, ata one nua piki wula leja ria puu no sala lala leka ola kema mbana ata nua. Dosa sala
adat jadi masala ndate tau ola muri lowa ria, wula leja ria nala. Ata nua gae ola sala, ebe peu Bobi no
Nombi eo muri tero engo tau Dosa weta nara eru mera sama sama dowa sa nala.

Ata nua : ” O ina puu pu ola kema bobi no nombi ina na, kema eo sala soa menga tau susa kita na ”

Ine Ndoi eo iwa sena no peu pegu ata nua, kai bela ana kai Bobi no Nombi, “Iwa, mbhe’o ana aku iwa

ngere gharu, ebe iwa kema sala soa rewo ”

Ola bela Ine Ndoi ata Iwa nua percaya, ata peu pere Bobi no Nombi tau sala adat weta no nara.

Mosa laki tana pereta ata nua we deo pojo Bobi no Nombi, we huku wela du no ola nena adat
Nida.

Mosalaki : ” molose demi miu ghare ngere gharu, maise kita le dowa mbana gae bobi no nombi ”.

Bobi no nombi lewa mai nua, ata gae ebe imu rua lae dapat, .

Ata nua : ” Bobi no Nombi na leka emba ee kita gae leja telu do ebe imu rua iwa ke tei rewo ”

Leja rua telu ata gae lai dapa, du so nala ata nua tei Bobi no Nombi ghea Keli Nida, ata se nua lata
deo Bobi no Nombi deo no pana, topo tau sengga wela Bobi no Nombi.

Nombi menga doa tau dua Nggae, ” du'a ngga’e aku rina ono jaga aku no Bobi, kami bebo molo eo
apa ke ebe ghea na”

Nombi eo bebo molo puu hele apa ata nua lata gae Bobi no Nombi
Iwa nala Bobi no Nombi ata nua deo pojo no neka ra gena panah ata nua sengga. Ata deo Bobi no
nombi wangga tau da ghele sepu keli Nida, keli eo bhisa gia ata iwa mai rewo. Bobi ata welu leka
papa mena wolo keli, Nombi papa ghale wolo keli. Ana halo loo imu rua ata nua wela Ndota we piki
so tau bala ola dosa ree weta nara, no hara we uja ae mai tana watu ngala pati ka ata nua. Ata piki
deki ngai eo wela amata sawe Bobi no Nombi, uja iwa po tei mai, wula leja ria iwa tei duu, bepo
lowa iwa sawe, ata nua no Mosa Laki one nua piki iwa deki limba.

” keli ola gha eo apa ke ina na Bobi no Nombi na mata sawe uja gha iwa ke mesu mesu na.

Ata nua no mosa laki piki so Bobi no Nombi iwamata, too muri walo.

Maosalaki : ” molo se demi miu gare ngere gharu, maise kita le dowa mbana kile wola Bobi no
Nombi aku ta'u ke ebe imu rua muri wola”

Nama beraka nala, Mosalaki one nua gata lei sawe ata leka nua tau gare walo, we mbana kile ola
wela mata Bobi no Nombi ghele wolo Keli Ndota.

Ata nua no Mosa laki nuka tau ghele Keli Ndota, Deki leka tempa ola tau mata Bobi no Nombi eo
rata, ata tei ngere bene Hi eo tembu tea leka wee tempa mata Bobi no Nombi, latu no esa loo eo
tea kune sawe no isi bara mera. Ata bebo mesa ngai eo tembu baru ina rupa kai baru tei pu nelu
ghea, ata nua keti esa esa kai dee tau da ghea nua. Ndale no Sera wisi esa kai, tei latu esa eo mera
no bara, we ata piki so esa ina eo mai toko,isi,ra Bobi no Nombi.

Ele tei pu esa ina, ata iwa fonga rewo tau rasa esa are, no olagare, ebe fonga ata Ine o haki
iwa tau ka coba are meta. Ebe we iwa bu piki rugi demi ata ine Janda mata pani esa baru. Naja kai
Ine Ndale, Pare, ata mosa laki pai kai tau rasa, Ndale Pare mulu kai ngange, kai tau ola mata.

”aku ngange aku ta'u na, aku ta'u ole mata ”


Mosa laki no ata nua gera gau paksa Pare dau ka lewa esa eo baru, kai rina wisi so bhondo, we ele ke kai
mata, kai ka dowa raka newa esa baru ina. Ata lei sawi kile leka Pare ka esa are, Pare no ate tau ndate ka
raka sawe.

Ata nua ale Pare: ” ngere emba Ndale rasa ke, kami kile kau ngere eo ngila ngeso na”
Ndale iwa molo pelu leka ola tana ale. Ine janda Wole rina ngeni esa are kai tau rasa ngeni, du ata nua
lei sawe tau rasa are. Are ina jadi ola ka ata keli Nida, welu no ola gare tau mula tedo leka uma, tau no
adat raka nge wau ana welu ana.
Ata nua weee nua Nida, ata Lise, Mbuli, Tenda lele ola gare kaba nunga latu dapa ola ka
baru ghele nua Nida, ata gae raka are mai nua Nida. Ata Nida rapa bagi ndai esa are leka ata mai,
no ola gare nau nena eo sama tau tedo are ana welu ana, kema no adat Remba Ngenda. Remba
ngenda ina ola kema adat nua tau pati horma leka ra Bobi no Nombi eo jadi are.
Ra merah (Pu'u Pare) jadi upacara adat Lio, Gunung Kelinida yang menjadi saksi sejarah itu
juga sering disebut kelindota karena di gunung (keli) ini telah terjadi pembunuhan terhadap kedua
anak manusia dengan cara dicincang (Ndota) menjadi onggokan daging sehingga menjelma
menjadi makanan pokok masyarakat Lio-Ende.

Toko Bobi no Nombi jadi uwi kaju, Ndora, Rose, Suja. Ngii Bobi no nombi jadi jawa, fu ebe
jadi lolo wete, pusu ate jadi muku. Keli nua Nida jadi tempa sejara ola mai ka pesa uwi are no
muku eo kita rasa du nelu ina, Keli Nida nelu ina ata bhondo mbeo naja kai Keli Ndota, eo dee leka
naja ola huku ata nua tau Bobi no Nombi.

Anda mungkin juga menyukai