Anda di halaman 1dari 4

Legenda Situ Bagendit

Dongeng cerita rakyat dari Yumin kali ini adalah legenda Situ Bagendit. Pada zaman dahulu kala, di
utara kota Garut, hiduplah seorang tengkulak atau pedagang perantara yang biasa membeli padi
dari para petani untuk kemudian dijual kembali yang bernama Nyai Endit.

Nyai Endit adalah tengkulak janda kaya raya yang kikir dan congkak. Nyai Endit sering kali menekan
para petani untuk menjual padinya dengan harga yang murah. Bahkan ketika para petani sedang
kesulitan, Nyai Endit menjual kembali padinya kepada petani dengan harga yang mahal.

Nyai Endit sering kali mengadakan pesta dan menghambur-hamburkan harta dan nasi dari padi
yang dimilikinya sambil memamerkan harta-harta miliknya.

Pada suatu hari di musim kemarau, ketika stok makanan milik para petani sudah menipis, Nyai Endit
tetap mengadakan pesta di rumahnya. Pada saat pesta tersebut, datanglah seorang pengemis tua
yang meminta makanan kepada Nyai Endit.

Namun dengan sombongnya, Nyai Endit meminta para penjaganya mengusir pria tua tersebut.

Keesokkan harinya, ketika sedang berjalan-jalan di desa, Nyai Endit mendapati kerumunan yang
sedang mencoba mencabut tongkat dari tanah, namun tidak ada yang berhasil melakukannya.

Ketika Nyai Endit mendekati tongkat tua tersebut, Nyai Endit melihat pengemis tua yang kemarin
dilihatnya. Nyai Endit pun memaki pengemis tua tersebut dan mengatakan bahwa tongkat tersebut
adalah ulahnya.

Nyai Endit juga meminta pria pengemis tua tersebut untuk mencabut tongkat tersebut. Ajaibnya,
tongkat tersebut dapat dicabut oleh pengemis tua tersebut.
Setelah tongkat dicabut, tiba-tiba air mengalir yang deras mengalir dari tempat tongkat tersebut
tertancap.

Air yang mengalir keluar tersebut terus membanjiri desa tersebut, para penduduk desa
berbondong-bondong pergi menyelamatkan diri.

Namun berbeda dengan para penduduk desa, Nyai Endit justru melarikan diri ke rumahnya dan
sibuk menyelamatkan harta-hartanya. Nyai Endit kemudian tenggelam di rumahnya bersama
dengan harta-hartanya.

9. Legenda Kebo Iwa dan Asal-Usul Gunung


Batur

Dahulu kala, hiduplah sepasang suami istri yang telah lama mendambakan keturunan. Doa mereka
dikabulkan oleh Sang Hyang Widi Wasa, dan akhirnya, seorang anak laki-laki lahir ke dunia.

Anak ini, yang diberi nama Kebo Iwa, tumbuh dengan cepat dan memiliki nafsu makan yang tak
terpuaskan. Sejak bayi, nafsu makannya setara dengan sepuluh orang dewasa. Saat ia bertambah
dewasa, Kebo Iwa menjadi semakin kuat dan besar, membuat kedua orang tuanya kewalahan.

Kebo Iwa, yang terkenal dengan kemarahannya, sering merusak apa pun yang ada di depannya
ketika tidak puas dengan makanan. Warga desa pun ketakutan dengan sifatnya yang ganas.

Meski begitu, Kebo Iwa bersedia membantu pekerjaan berat warga desa, seperti membuat sumur,
memindahkan rumah, dan mengangkut batu-batu besar. Ia melakukannya dengan cekatan, namun
imbalannya selalu berupa makanan dalam jumlah besar.

Suatu hari, saat musim paceklik melanda dan penduduk kesulitan memberikan makanan untuk
Kebo Iwa, mereka merasa sangat khawatir. Warga desa pun berembuk untuk mencari cara agar
Kebo Iwa tidak lagi mengancam mereka.

Akhirnya, mereka sepakat untuk membuat rencana. Warga desa mendekati Kebo Iwa dan
mengajaknya membuat sumur yang sangat besar. Mereka menjanjikan imbalan berupa makanan
dalam jumlah yang sangat banyak. Kebo Iwa setuju tanpa curiga.

Bergotong-royong, warga desa mengumpulkan makanan dan batu kapur. Mereka menyampaikan
rencana membuat rumah besar dan indah untuk Kebo Iwa sebagai imbalannya. Sang paman kerbau
pun bekerja keras menggali tanah untuk membuat sumur yang semakin besar.

Hari demi hari berlalu, sumur yang digali oleh Kebo Iwa semakin dalam dan lebar. Kepala desa
meminta agar Kebo Iwa membuat kolam yang lebih besar lagi. Kebo Iwa, tertarik dengan janji
warga desa, setuju melanjutkan pekerjaannya.
Namun, pada suatu saat, warga desa menjalankan rencananya. Mereka melemparkan batu kapur ke
dalam lubang galian yang digali oleh Kebo Iwa, yang tanpa sadar terus bekerja. Air semakin
memancar, dan batu kapur yang masuk ke dalam lubang membuat hidung Kebo Iwa tersumbat.

Kebo Iwa yang merasa kelelahan dan kelaparan meminta istirahat dan makanan. Warga desa
memberinya makanan dalam jumlah besar, lalu secara tiba-tiba, mereka melemparkan lebih banyak
batu kapur ke dalam lubang.

Tersedak dan tidak dapat menyelamatkan diri, Kebo Iwa akhirnya meninggal di dalam sumur yang
ia gali sendiri. Air pun meluap, menciptakan Danau Batur, sementara tanah di sekitarnya
membentuk Gunung Batur.

Inilah akhir dari legenda Kebo Iwa, yang berubah menjadi ciptaan alam yang mengagumkan di
Indonesia.

10. Cerita Rakyat Putri Ayu

dfPada zaman dahulu, empat anak raja, dua laki-laki dan dua perempuan, berkeinginan keluar
mencari petualangan di luar istana mereka. Meskipun sebagai anak raja, mereka tidak diizinkan
pergi jauh dari istana. Suatu hari, mereka mencium aroma harum yang menarik perhatian mereka,
dan meminta izin kepada orang tua mereka untuk menemukan asal bau tersebut.

Mereka menjelajah ke arah timur, menyusuri pantai utara, bahkan menyeberangi pulau Bali.
Perjalanan penuh rintangan, termasuk pertemuan dengan binatang buas seperti harimau dan ular,
namun mereka berhasil melewatinya.

Setibanya di kaki Gunung Batur, sang putri bungsu jatuh cinta pada pemandangan tersebut dan
memutuskan untuk tinggal di Pura Batur di lereng gunung. Kakak-kakaknya tidak setuju, tetapi
sang putri tetap pada keputusannya dan ditinggal sendirian di sana.

Ketiga kakaknya melanjutkan perjalanan untuk mencari bau harum. Saat tiba di suatu tempat datar
di sebelah barat daya danau, mereka mendengar kicauan burung. Kakak tertua tidak suka dengan
kelakuan adiknya yang ingin menangkap burung tersebut.

Kakak tertua meminta adiknya untuk berhenti, tetapi sang adik tidak menghiraukan dan terus
mengejar burung. Akhirnya, sang kakak meninggalkannya karena tidak menuruti.

Di tempat lain, mereka bertemu dua wanita yang sedang mencari kutu. Adik perempuan tertarik
untuk ikut bersama mereka. Kakak tertua marah dan meminta adiknya untuk melanjutkan
perjalanan atau tinggal di sana. Adik memilih tinggal, dan sang kakak meneruskan perjalanan
sendiri.

Tiba di Desa Trunyan, sang kakak tertua merasa bau harum yang dicari selama ini. Ia menyadari
bahwa bau itu berasal dari Pohon Taru Menyan. Di sana, ia bertemu Putri Ayu yang cantik. Mereka
menikah, dan sang kakak menjadi kepala desa, hidup bahagia bersama Putri Ayu.

Anda mungkin juga menyukai