Anda di halaman 1dari 3

Cerita Rakyat Asal Mula Kota Cianjur

Alkisah pada zaman dahulu, di sebuah daerah di Jawa Barat hiduplah seorang petani yang
kaya raya. Konon, kekayaannya meliputi seluruh ladang dan sawah yang terdapat di desanya.
Untuk mengurus seluruh ladang dan sawahnya, ia memperkerjakan para warga sekitar yang
tinggal di desa tersebut sebagai buruh tani.

Dengan kekayaannya yang berlimpah, lelaki itu menjadi seseorang yang sangat sombong. Ia
tak mau membantu orang yang kesusahan meskipun hanya sedikit. Bahkan, kabarnya ia juga
tak mau membantu anak lelakinya sendiri. Karena sangat pelit dan perhitungan, orang-orang
di desa memanggilnya Pak Kikir.

Di sisi lain, putra Pak Kikir yang bernama Tetep justru memiliki sifat yang sangat bertolak
belakang dengan ayahnya. Ia sering kali menolong orang yang membutuhkan bantuannya
dengan penuh keikhlasan tanpa sepengetahuan sang ayah.

Pesta Ala Pak Kikir

Desa tersebut memiliki sebuah kepercayaan untuk mengadakan pesta syukuran setiap kali
selesai panen. Harapannya adalah agar panen di musim berikutnya bisa lebih baik dari yang
kemarin. Jika pesta tidak dilakukan, dikhawatirkan panen selanjutnya akan gagal. Karena
takut gagal, Pak Kikir pun mengadakan pesta syukuran dan mengundang para warga desa.

Mendapatkan undangan dari Pak Kikir yang terkenal kaya raya, para warga desa merasa
senang. Mereka langsung membayangkan berbagai macam jamuan makan dan minum yang
istimewa juga lezat.

Namun, siapa sangka ketika mereka datang ke rumah Pak Kikir, jamuan makannya hanya ala
kadarnya saja. Belum lagi, jumlah yang disediakan sangat sedikit sehingga banyak tamu
undangan yang tidak mendapatkan bagian.

“Sungguh keterlaluan sekali Pak Kikir! Sudah berani mengundang tamu, tapi jamuannya
tidak mencukupi!” salah satu tamunya mengeluh, “Benar-benar kikir orang itu!”

Para tamu undangan yang datang pun langsung gaduh mempergunjingkan kepelitan Pak
Kikir. Bahkan, saking kesalnya, beberapa tamu sampai mendoakan agar Pak Kikir selalu
ditimpa kesialan. “Biar saja! Hasil panennya yang selanjutnya pasti tak akan melimpah!
Hartanya tak akan diberkahi oleh Tuhan!” sumpah salah seorang warga.
Kedatangan Nenek Renta

Di tengah berlangsungnya pesta, datanglah seorang nenek renta yang meminta sedekah
kepada Pak Kikir. “Tuan, kasihanilah saya, Tuan! Berilah saya sedikit dari harta tuan yang
berlimpah ini! Sudah dua hari saya belum makan, Tuan!” ucap sang nenek dengan terbata.

Namun, bukannya memberikan sedikit makanan atau bantuan, Pak Kikir justru menghardik
nenek tersebut. “Dasar nenek tua! Kamu kira memperoleh sesuap nasi itu mudah?”

Para warga yang awalnya gaduh bergunjing langsung terdiam. Seluruh perhatian mereka
tertuju pada si nenek tua dan Pak Kikir.

“Tapi bukankah tuan memiliki harta yang melimpah? Hamba hanya meminta sedikit nasi
untuk bisa makan hari ini, Tuan!” pinta sang nenek mengiba. Malang bagi nenek itu,
bukannya mendapatkan nasi yang diinginkan, ia justru semakin dibentak dan mendapatkan
perlakuan kasar.

“Memang hartaku banyak! Namun, itu semua kudapatkan dari usahaku sendiri!” bentak Pak
Kikir. “Cepat pergi dari sini! Atau akan kupanggilkan tukang pukul untuk mengusirmu!”

Kebaikan Hati Tetep

Dengan sakit hati, terpaksa nenek tua itu meninggalkan halaman rumah Pak Kikir. Ia berjalan
sempoyongan hingga ke pinggir desa.

Putra Pak Kikir yang melihat kejadian itu pun langsung merasa kasihan dan tak tega. Secara
diam-diam, ia mengambil jatah makan siangnya kemudian membungkusnya. Tanpa
menunggu lama, ia mengejar nenek tersebut.

“Tunggu, Nek!” panggil Tetep. Nenek tua itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke
belakang. “Ada apa, Nak?” tanyanya ketika Tetep sudah ada di dekatnya.

“Namaku Tetep, Nek! Aku ingin meminta maaf atas apa yang dilakukan oleh ayahku tadi,
dan ini aku bawakan sedikit makanan untukmu, Nek!” ucap Tetep sambil menyerahkan
makanan yang ia bawa pada si nenek.

“Terima kasih, Nak! Kamu memang anak yang baik hati. Semoga saja Tuhan membalas
kebaikan hatimu dengan kemuliaan!” ucap sang nenek gembira. “Sama-sama, Nek!” jawab
Tetep kemudian pamit pulang ke rumahnya.

Setelah Tetep pulang, nenek renta itu segera menghabiskan makanannya. Kemudian ia
melanjutkan perjalanannya ke sebuah bukit di atas desa. Setibanya di sana, ia berhenti
sebentar untuk beristirahat.

Saat itulah ia bisa melihat rumah Pak Kikir yang berdiri megah dikelilingi oleh rumah
penduduk desa. Sang nenek renta merasa sedih melihat penderitaan penduduk desa atas
keserakahan Pak Kikir.

“Tunggu saja pembalasan Tuhan, Pak Kikir! Tuhan akan menimpakan hukuman atas
kesombongan, keserakahan, dan kekikiranmu!” ucap si nenek.
Banjir Bandang

Usai berdoa, nenek renta itu menancapkan tongkatnya ke tanah. Ketika tongkat tersebut
dicabut, keluarlah air yang sangat deras dari lubang tancapan. Semakin lama, lubang tersebut
menjadi semakin besar. Air pun mengalir sampai ke desa dan menimbulkan banjir besar.

Ketika banjir datang, warga desa yang tengah berkumpul di rumah Pak Kikir panik. Mereka
berlarian berusaha mencari tempat perlindungan untuk menyelamatkan diri. Melihat warga
yang panik, Tetep langsung mengusulkan agar warga berlari ke atas bukit.

“Tapi bagaimana nasib ladang dan ternak kita?” tanya seorang warga. “Jangan memikirkan
harta kalian! Lebih baik selamatkan saja dulu nyawa kalian!” ucap Tetep bijaksana.

Para warga mengikuti saran Tetep dan langsung berlari menuju atas bukit. Sementara itu, Pak
Kikir justru terlihat masuk ke dalam rumahnya berniat menyelamatkan harta bendanya.

“Ayah!” teriak Tetep memanggil. “Cepat keluar dari rumah! Banjirnya sudah semakin dekat!
Kita harus segera berlari ke atas bukit untuk menyelamatkan diri!”

Namun, Pak Kikir tidak menghiraukan teriakan anaknya. Ia justru masuk ke ruang bawah
tanah rumahnya dan mengumpulkan seluruh harta yang ia simpan di sana. Satu per satu ia
membawa peti hartanya ke lantai dua rumahnya.

Sementara itu, Tetep yang terus berteriak memanggil ayahnya mulai merasa lelah. Apalagi
beberapa rumah warga sudah mulai terendam banjir. Akhirnya ia pun berlari menuju bukit
untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Sambil berlari, ia berdoa semoga saja ayahnya tetap
selamat.

Membangun Ulang Desa

Sayangnya, doa Tetep tak bisa terkabul. Pak Kikir yang terlalu sibuk mengumpulkan harta
tak bisa menyelamatkan dirinya. Ketika ia masih berada di ruang bawah tanah dan
mengambil salah satu peti harta, banjir besar menenggelamkannya.

Tetep yang tengah berlari bersama warga desa bahagia karena akhirnya selamat. Namun,
tetap ada kesedihan yang terasa karena seluruh desa mereka kini terendam banjir. Mereka tak
lagi memiliki rumah, ternak, atau harta benda apa pun.

Untuk mengatasinya, Tetep menganjurkan pada seluruh warga untuk mencari daerah lain
yang lebih aman dari banjir. Setelah menemukan tempat yang tepat, mereka pun mulai
membangun pemukiman baru.

Tak hanya itu, berdasarkan anjuran Tetep, tanah di tempat baru tersebut dibagi secara merata
kepada warga. Sehingga mereka kini memiliki ladang dan sawah masing-masing. Dengan
keadilan dan sifat bijaksananya, Tetep diangkat sebagai kepala desa. Di bawah
kepemimpinannya, kehidupan penduduk desa menjadi lebih aman dan sejahtera.

Pada akhirnya, desa tersebut diberi nama Desa Anjuran karena selalu mengikuti anjuran dari
Tetep sang Kepala Desa. Lama kelamaan, desa tersebut semakin tumbuh berkembang
menjadi sebuah kota yang kini dikenal dengan nama Cianjur.

Anda mungkin juga menyukai