Tokoh Drama:
1. Pak Kikir
2. Anak Pak Kikir
3. Nenek
4. Warga Desa
Dikisahkan, pada jaman dahulu kala di daerah jawa barat hiduplah seorang lelaki petani yang
sangat kaya. Seluruh sawah dan ladang di desanya menjadi miliknya. Penduduk desa hanya
menjadi buruh tani penggarap sawah dan ladang lelaki kaya itu.
Petani kaya itu memiliki sifat kikir. Oleh karena itu, penduduk desa menjulukinya Pak Kikir.
Kekikiran Pak kikir tidak pandang bulu, sampai-sampai terhadap anak lelaki satu-satunya pun
dia juga sangat pelit. Untunglah sifat kikir itu tidak menular pada anak lelakinya itu.
Anak Pak Kikir itu adalah pemuda yang baik hati. Tanpa sepengetahuan ayahnya, dia sering
membantu tetangganya yang kesusahan.
Menurut anggapan dan kepercayaan masyarakat desa itu, jika menginginkan hasil panen yang
baik dan melimpah maka harus diadakan pesta syukuran dengan baik pula. Takut jika panen
berikutnya gagal, maka Pak Kikir terpaksa mengadakan pesta syukuran dan selamatan semua
warga desa diundang oleh Pak Kikir.
Pak Kikir:
Wahai, para penduduk desa! Datanglah, kemari! Aku akan mengadakan pesta syukuran dan
selamatan. Jangan lewatkan kesempatan ini!
Warga 1:
Hei, Kawan! tinggalkan dulu pekerjaannya. Pak kikir sedang mengadakan acara syukuran kita
para warga desa diundang untuk datang ke rumahnya.
Warga 2:
Ayo, ayo, buruan kita datang. Nanti buru abis makanannnya.
Warga 3:
Ayo, kita sama-sama datang ke rumahnya.
Narator:
Begitu setelah warga sampai di rumah Pak Kikir....
Warga 2:
Huuuuhh! Kita diundang orang terkaya se desa, ku kira akan disediakan makanan yang enak dan
lezat. Ternyata....cuman makanan apa ini?? Ga enak! Lagian makanannya dikiiit bangeeet. Ah!
Ternyata perkiraanku meleset.
Warga 3:
Iya betul. Tuh lihat para tamu undangan yang lain juga tidak mendapat makanan.
Warga 1:
Ya Tuhaaann!(sambil mengelus dada)
Pak kikir memang terbukti kikir!
Warga 2:
Huuh!! Sudah berani mengundang orang ternyata tidak dapat menyediakan makanan, sungguh
keterlaluan! buat apa hartanya yang segudang itu.
Tuhan tidak akan memberikan berkah pada hartanya yang banyak itu.
Narator:
Demikianlah pergunjingan dan sumpah serapah dari orang-orang miskin mewarnai pesta
selamatan yang diadakan Pak Kikir.
Pada saat pesta selamatan sedang berlangsung, iba-tiba datanglah seorang nenek tua renta,
Nenek:
(sambil merintih)
Tuan... berilah saya sedekah, walau hanya dengan sesuap nasi.
Pak Kikir:
Apa, sedekah?! Kau kira untuk menanak nasi tidak diperlukan jerih payah hah...?
Nenek:
Berilah saya sedikit saja dari harta tuan yang berlimpah ruah itu....Tuan,
Pak Kikir:
Tidak! Cepat pergi dari sini! kalau tidak, aku akan suruh tukang pukulku untuk menghajarmu!!
Narator:
Nenek tua itu segera berlalu dari hadapan Pak Kikir. Tidak mendapat sedekah tetapi malah diusir
secara kasar oleh Pak Kikir. Dengan hati pilu, dan mengeluarkan air mata.
nenek yang malang itu segera meninggalkan halaman rumah Pak Kikir. Ia berjalan sempoyongan
menyusuri jalan desa. Melihat kejadian itu putera Pak Kikir sangat sedih.
Narator:
Tak lama kemudian anak Pak Kikir mengejar si nenek tua....
Narator:
Nenek itu pun berhenti, lalu menoleh ke belakang. Ia melihat seorang anak muda berlari
mendekatinya.
Nenek:
Ada apa, Anak muda?
Nenek:
(gembira)Terima kasih, Nak! Engkau anak yang baik hati. Semoga Tuhan akan membalas
kebaikanmu ini dengan kemuliaan.
Nenek:
Hati-hati, Nak
Narator:
Setelah anak Pak Kikir pergi, nenek tua itu segera menyantap makanan itu, lalu kembali
melanjutkan perjalanan menuju ke sebuah bukit di dekat desa. Setibanya di atas bukit, ia berhenti
sejenak untuk melepaskan lelah. Dari atas bukit itu ia dapat melihat rumah Pak Kikir berdiri
dengan megah di antara rumah-rumah penduduk desa. Ia turut bersedih melihat penderitaan
penduduk akibat keserakahan Pak Kikir.
Nenek:
Dasar orang tua serakah! Tunggulah pembalasannya, Pak Kikir! Tuhan akan menimpakan
hukuman kepadamu. Keserakahan dan kekikiranmu akan menenggelamkanmu!
Narator:
Usai berdoa kepada Tuhan Yang Mahakuasa, nenek tua itu segera menancapkan tongkatnya ke
tanah. Begitu ia mencabut kembali tongkatnya, terpancarlah air yang sangat deras dari lubang
tancapan itu. Semakin lama lubang tancapan itu semakin besar, sehingga terjadilah banjirlah
besar.
Melihat kedatangan banjir itu, para warga yang masih berkumpul di rumah Pak Kikir menjadi
panik dan segera berlarian mencari tempat perlindungan untuk menyelamatkan diri.
Warga 2:
Haaahh?? Kenapa tiba-tiba ada air mengalir banyak sekali?
Warga 1:
Ini banjir!
Warga 3:
Iya betul. Ini banjir(teriak) Banjir...! Banjir...! Ayo lari...!
Narator:
Melihat kepanikan para warga, anak Pak Kikir segera menganjurkan mereka agar berlari menuju
ke atas bukit mencari tempat yang aman.
Warga 1,2,3:
Bagaimana dengan sawah dan ternak kita?
Narator:
Anak Pak Kikir yang bijak itu terus berteriak-teriak mengingatkan penduduk desa.
Akhirnya, warga pun berlarian menuju ke atas bukit. Ia juga membujuk ayahnya agar segera
keluar rumah menyelamatkan diri. Tapi apa kata Pak kikir...
Pak Kikir:
Apa? Lari begitu saja. Tolol!! Aku harus mengambil peti hartaku yang kusimpan di dalam tanah
dulu!
Meskipun selamat mereka sangat sedih, karena seluruh desa mereka sudah terendam banjir.
Rumah, ternak, dan seluruh harta benda mereka hanyut terbawa arus banjir.
Para warga dan anak Pak Kikir menatap pemandangan desanya dari atas bukit penuh dengan
genangan air.
Warga 1:
Ya betul! Kita ikut anjuranmu, Nak. Ayo kita segera berangkat!
Narator:
Tak lama kemudian....
Warga 2:
Nah! Tempat ini sepertinya cocok untuk pemukiman kita. Bagaimana para warga setuju kita
tinggal di sini!
Para warga:
Setujuuu?
Warga 3:
Nah sekarang, kita menempati tempat tinggal baru. Kita harus memiliki pemimpin untuk
memimpin desa kita yang baru. Bagaimana kalau kita pilih pemuda ini untuk menjadi kepala
desa kita yang baru? Setuju para warga?
Para warga:
Setujuuu!!
Narator:
Setelah anak Pak kikir diangkat warga menjadi kepala desa,
Anak Pak Kikir itu bisa menjadi seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. Tak lama kemudian,
Setelah membagi tanah secara rata, ia pun menganjurkan warganya untuk mengolah tanah
tersebut. Ia mengajari mereka cara menanam padi dan mengairi sawah dengan baik. Berkat
anjuran anak Pak Kikir, mereka hidup aman dan sejahtera. Mereka pun senantiasa patuh terhadap
anjuran pemimpinnya. Desa itu kemudian mereka namai Desa Anjuran.
Lama kelamaan desa itu berkembang menjadi kota kecil disebut Cianjur. Ci berarti air. Cianjur
berarti daerah yang cukup mengandung air. Anjuran pemimpin desa dijadikan pedoman para
petani dalam mengolah sawah. Hingga kini, kota Cianjur selain dikenal sebagai kota santri, juga
penghasil beras wangi dan pulen. Dari cerita di atas, juga bisa diambil pelajaran bahwa kekikiran
dan keserakahan terhadap harta benda dapat menyebabkan seseorang celaka.