Anda di halaman 1dari 12

Ratusan tahun yang telah silam di Papua terdapat beberapa kampung pembuat panci ataupun pembuat

perkakas dapur dari tanah. Salah satu dari kampung-kampung itu adalah kampung Kayubatu yang
letaknya di Teluk Imbi, Jayapura. Penduduk Kayubatu pada saat itu terdiri dari 16 kepala keluarga
yang masing-masing keluarga terdiri dari 60 hingga 80 orang. Jumlah penduduknya lebih banyak
dahulu daripada sekarang. Mereka hidup dengan bercocok tanam dan menangkap ikan. Biasanya
mereka membuka ladang di lereng-lereng gunung sekitar teluk dan ditanami dengan umbi-umbian.
Laut di sekitar kampong ikannya pun cukup untuk memenuhi kebutuhan ratusan orang.

Di Tahun ini memang kesialan tengah menimpa penduduk kampung, pohon-pohon kelapa
kurang menghasilkan buah, pucuknya habis dihancurkan oleh kumbang-kumbang kelapa.Waktu itu
orang-orang merasa bahwa arwah nenek moyang mereka marah. Agar arwah nenek moyangnya tidak
marah, mereka mencoba mempersembahkan manik-manik di tanjung-tanjung atau tempat-tempat
yang diperkirakan terdapat arwah nenek moyang bersemayam. Walaupun korban persembahan telah
dilaksanakan, namun tidak membawa hasil juga. Mereka sangat menderita karena kebutuhan hidup
semakin sulit dicari. Setiap petang orang-orang duduk bersama dan berbincang tentang kesusahan itu.

Masyarakat 1 : “Saya kira arwah nenek moyang kita marah sekali, korban persembahan telah
dilaksanakan namun belum juga berhasil,”

Masyarakat 2 : “Mengapa arwah nenek moyang begitu marah?”

Masyarakat 3 : “Ya, mengapa…? Sebelum bencana ini menimpa kita, penduduk kampung ini selalu
bahagia. Mengapa kita sekarang menjadi begini?”

Masyarakat 4 : “Mungkin di antara kita ada yang berbuat suatu kesalahan kepada arwah nenek
moyang.”

Masyarakat 5 : “Bila hal itu memang demikian, maka kita harus mengadakan pesta tari. Mungkin
dengan diadakannya pesta tari tiu akan membawa kita kembali dalam suatu alam yang
menyenangkan”

Ajakan untuk membuat pesta disetujui oleh semua penduduk kampung, tetapi pestanya harus
sederhana karena bekal tidak mencukupi, sambil di iringi dengan tarian masyarakat yang mengandung
makna kerja keras yaitu tarian dilakukan para masyarakat sebagai bentuk apresiasi mereka dalam
menekuni kerja keras mereka

***PENARI 1***

Walaupun pesta sederhana telah dilaksanakan, tetapi tidak dapat menolong juga. Orang sering tidur
tanpa makan. Yang paling prihatin memikirkan nasib kampung itu adalah Cabo Pui. Cabo Pui sering
berkata kepada Tiaghe saudaranya, bahwa ia senang bila dapat berbuat sesuatu untuk kampungnya.

Pada suatu malam Cabo Pui bermimpi. Dalam mimpinya itu ia berjalan menyusuri pantai
tanjung Suaja dengan membawa sebuah batu pipih lonjong yang indah. Dari mana ia peroleh dan asal
usul batu pipih itu tidak diketahuinya. Batu pipih itu berada di tangannya ketika ia meninggalkan
pantai dan pergi menuju ke suatu jalan karang yang terjal. Setibanya di ketinggian jalan itu, tiba-tiba
di tempat itu menjelmalah sebuah gunung bertanah merah. Kemudian datanglah perempuan-
perempuan yang masing-masing membawa sebuah keranjang kosong. Mereka mengisi keranjang-
keranjang kosong itu dengan tanah merah dari gunung itu dan disertai dengan sedikit pasir. Salah satu
dari perempuan-perempuan itu juga mendapat sebuah batu seperti yang dimilki oleh Cabo. Setelah
keranjang penuh dengan campuran tanah dan pasir lalu mereka pulang. Di kampung perempuan-
perempuan itu membuat gerabah dari tanah merah yang mereka bawa dengan menggunakan batu
pipih. Sementara mereka sibuk mengerjakannya, tiba-tiba rumah-rumah di kampung berubah menjadi
indah. Orang-orangnya pun bergembira seperti sebelum kemelaratan dan kemiskinan menimpa
penduduk kampung. Cabo pun terbangun dari tidurnya yang mana Ia membayangkan betapa bahagia
nya penduduk kampung yang berada dalam mimpinya itu.

Cabo : “Benarkah aku bermimpi? Atau memang benar-benar apa yang saya saksikan itu.”

Pergumulan pikiran tentang mimpinya tetap menguasai benaknya. Ia tak dapak menafsirkan arti
mimpi itu kepada Tiaghe. Keesokan harinya, sesudah petang ia pergi menjumpai Tiaghe. Ia bercerita
mengenai mimpinya dengan sejelas-jelasnya.

Pergumulan pikiran tentang mimpinya tetap menguasai benaknya. Ia tak dapak menafsirkan arti
mimpi itu kepada Tiaghe. Keesokan harinya, sesudah petang ia pergi menjumpai Tiaghe. Ia bercerita
mengenai mimpinya dengan sejelas-jelasnya.

Cabo : “Aku harus memiliki batu ajaib itu dan apabila telah kumiliki mungkin dapat mendatangkan
kembali kemakmuran kampung ini,”

Tiaghae : “Tahukah engkau di mana batu itu harus dicari?”

Cabo : “Tidak.”

Tiaghae : “Kau telah menceritakan mimpimu dengan jelas, tetapi mengenai batu itu masih
belum jelas asal usulnya,” timpal Tiaghe.

Meskipun tidak jelas asal usul dari sebuah batu yang telah di mimpikan oleh Cabo, Cabo tidak
menyerah untuk mencari tau kebenaran dari sebuah batu ajaib yang ada dalam mimpinya. Tiaghae
sebagai saudara nya hanya bisa mendukung nya dan memberikan saran yang baik kepadanya agar dia
bisa mendapatkan batu ajaib yang Cabo ceritakan.

Cabo : “Aku akan pergi ke arah barat, menyusuri kaki gunung yang tinggi. Pada kesempatan ini
juga aku berpesan kepadamu saudaraku, bila engkau mendengar atau melihat suatu tanda alam, maka
pergilah engaku ke tanjung Suaja. Di sana engkau akan menemukan benda-benda yang membawa
keuntungan abadi kepada segenap keluarga kita,”

Tiaghae : “Aku senantiasa mendoakanmu, semoga engkau selamat dalam perjalanan dan
kemakmuran yang dicari dapat tercapai,”

Cabo : “Jagalah keluargamu baik-baik dan jangan lupa tanda-tanda alam, sekarang aku akan
segera berangkat,” kata Cabo berpamitan.

Tanpa sengaja percakapan tersebut didengar oleh Istri Cabo yang tadi nya menyusul

suaminya pergi kerumah Tiaghae.

Istri Cabo : “ hendak pergi kemana kau, wahai suamiku ?”

Cabo : “ Aku akan menemukan batu ajaib itu istriku, untuk keluarga dan masayarakat yang ada
di kampung ini”.

Istri Cabo : “ Baiklah suamiku, semoga nenek leluhur selalu bersama mu dan diberikan keselamatan
sampai tujuan”

Cabo : “ Baik istriku, aku akan menemukan batu ajaib itu dan jagalah keluarga kita disini”

Tiaghae : “ Tunggu Cabo, dengan siapa dirimu hendak pergi wahai saudara ku? ”
Cabo : “ Aku akan pergi bersama sahabat setia ku yang bernama Abu”

Istri Cabo : “ Suamiku, semoga kau dan Abu akan baik – baik saja”

Cabo : “ Baik Istri ku, Izinkan aku pergi dulu wahai Istri ku dan Tiaghae

Cabo pun pergi menghampiri Abu yang hanya hidup sebatang kara lalu mereka berdua pun pergi
dengan sebuah perahu berangkatlah mereka ke muara sungai Numbai. Di kiri kanan muara sungai itu
sekarang terletak Kantor Pos Jayapura dan Kantor DPR Papua. Setelah tiba di muara sungai Numbai,
Cabo Pui dan Abu turun dari perahu. Mereka menyusuri sungai menuju bukit-bukit yang berhutan
lebat. Di sanalah terlihat beberapa rumah yang mirip dengan kampung cabo pui. Rumah-rumah itu di
bangun diatas permukaan laut. Dengan jelas cabo melihat air laut menghijau yang menandakan air
sangat dangkal. Rumah-rumah itu adalah rumah dari kampung Injiros (Enggros) dan kampung Tobati.

Dari puncak bukit itu terbentang pula suatu jalan terjal menuju ke bawah. Jalan terjal itu dilaluinya
dengan hati-hati dan tibalah ia pada sebidang tanah bekas kebun. Di carinya tempat untuk bermalam.
Karena tempat itu adalah kebun lama ia memastikan bahwa di sekitar kebun itu ada gubuk. Memang
benar, setelah beberapa saat kemudian ia menemukan gubuk kecil dan memutuskan untuk bermalam
di gubuk itu. Karena sudah lapar dicarinya makanan di kebun itu dan berhasil menemukan beberapa
umbi-umbian.

Cabo : “Pemilik kebun tidak akan memarahiku apabila ku habiskan umbian ini”

Abu : “ Kukira jika kita memakan umbi-umbian ini kita tidak akan dimarahi, barangkali
pemiliknya baik hati dan tidak sombong”

Cabo : “ Sudahlah mari kita santap umbi – umbian ini dengan nikmat dan memandang langit kelabu
yang memilki sejuta makna”

Cabo : “Di pinggir danau ini mestinya ada penduduk kampung yang membuat sempe. Kita harus
berusaha untuk mendapatkan kampung itu. Kalau tidak salah, Abar namanya. Sering orang-orang dari
kampung itu datang ke kampung kita untuk menjual sempe” ( timbalnya kembali )

Abu : “Apakah kita akan menyusuri danau ini untuk menemukan masyarakat Abar yang kau
ceritakan itu Cabo ?”

Cabo : “ Iya pastinya setelah ini kita akan menjelajah lagi dan mendapatkan batu itu”

Abu : “ Kupikir lebih baik kita istirahat saja dulu untuk malam hari ini Cabo, Bisa saja buaya dan
singa akan menerkam kita, jika kita berkelana di malam hari haha”

Cabo : “ Sudah ku duga tanggapan mu akan seperti ini Abu, Baiklah kita istirahat dulu hingga
matahari terbit kembali besok”.

Keesokan harinya setelah matahari terbit Cabo bertekad untuk mencari suatu puncak yang tinggi. Dari
puncak itu ia akan dapat melihat sekitar gunung dan danau. Dengan jelas dilihatnya di atas permukaan
air, bangunan kampung-kampung dan pulau-pulau kecil. Beberapa kampung di antaranya ada yang
sebesar kampung Cabo Pui. Sebagian dari lereng-lereng gunung di sebelah danau nampak amat
gundul. Walaupun cuaca amat cerah dan kampung-kampung dapat dilihat dengan jelas, tetapi
kampung Abar belum diketahui secara pasti. Ia ingin segera mendapatkan kampung Abar di mana
tempayan-tempayan tanah di buat. Dengan hati- hati sekali mereka menuruni bukit. Kadang-kadang
mereka melewati kebun-kebun yang sedang dikerjakan orang. Setelah beberapa saat kemudian Cabo
dan Abu sampai di pinggir danau. Tiap kali menjumpai persimpangan jalan, mereka memastikan
bahwa letak kampung Abar tidak jauh lagi. Cabo memastikan bahwa mereka kini sudah mendekati
sebidang kebun yang sedang di kerjakan oleh pemiliknya. Ia berdiri di samping tempat yang baru saja
dibakar. Cabo melihat sepasang suami istri yang sedang sibuk bekerja. Sang suami menoleh dan
melihat ke arah Cabo. Orang itu tidak terkejut.

Cabo : “Untunglah,”

Abu : “ Akhirnya, kita sampai juga Cabo”

Kemudian laki-laki itu berkata dalam bahasanya. Cabo merasa asing mendengar kalimat-kalimat itu,
tetapi ia dapat menerka apa yang dimaksud oleh laki-laki itu. Kalimat itu diterkanya demikian,

Abo : “Dari mana dan hendak kemana ?”

Cabo : “Dari timur dan saya hendak ke barat”.

Istri Abo : “Anda datang dari pantai ?”

Cabo : “Ya, benar saya datang dari pantai, ”.

Abo : “ Perkenalkan saya Abo dan ini istri saya Ningsih

Cabo : “ Saya Cabo dan Sahabat saya Abu”

Istri Abo : “ Anda tahu bahasa kami ?”

Cabo : tersenyum seraya berkata “tahu sedikit-sedikit, dahulu saya pernah merantau ke tempat
anda”.

Abo dan istirnya mengantarkan Cabo beserta sahabatnya ke tempat Abo tinggal. Setelah itu Abo
mengatakan sesuatu kepada istrinya, lalu istrinya pergi ke pondok yang terletak di pojok kebun.
Kemudian Abo bersama Cabo dan sahabatnya mengikuti istrinya. Pada cabang kayu di pondok itu
tergantung satu noken. Si istri mengangkat noken dan mengeluarkannya sagu bakar dari dalamnya.
Sagu bakar itu di hidangkan di atas selembar daun pisang lalu Abo mengajak Cabo dan Abu untuk
makan bersama. Dengan perasaan syukur Cabo memakan beberapa potong sagu bakar. Abo
menjamunya dengan penuh ramah tamah. Sesudah itu ia menceritakan tentang keadaan kampung dan
rencananya dengan sejelas- jelasnya. Dalam keyakinan Abo timbullah suatu pemikiran lalu ia berkata,

Abo : “Hanya orang-orang kami saja yang boleh membuat sempe. Tetapi saya bukan Ondolofo,
nanti malam kita akan membicarakannya dengan penduduk kampung ini ”.

Abu : “ Mohon maaf tuan, maksudnya apakah kami berdua tidak boleh membuat sempe
tersebut?”

Cabo : “ hustt, Abu jangan seperti itu kita hanya seorang pendatang. Jadi ikuti saja dulu
perkataannya” Cabo berbisik kepada Abu

Istri Cabo : “ Sudah jangan di pikirkan mari disantap hidangan yang saya berikan”

Sepanjang hari sebelum pulang kerumah mereka bekerja bersama-sama, Cabo dan Abu membantunya
dengan tulus ikhlas. Ketika petang tiba mereka pun meninggalkan kebun lalu pulang ke rumah.
Mereka mengikuti jalan kecil, arah mana cabo datang tadi. Ketika mereka tiba di kampung hari masih
terang. Kampung itu terletak pada sebuah sungai kecil yang jernih dan datangnya dari pegunungan.
Orang-orang kampung menatap tamu asing itu dengan penuh simpati serta ingin tahu siapa gerangan
tamu itu.

Pada sore hari orang-orang tua berkumpul di rumah-rumah khusus laki-laki. Dalam kesempatan itu
Cabo menceritakan kembali dalam bahasanya tentang apa yang di ceritakan kapada.

Masyarakat abar 1 : “Kalau ada orang yang tidak dikenal datang ke kampung kita, apa yang harus
kita lakukan?

Masyarakat Abar 2 : “ Apakah orang itu boleh menangkap ikan di teluk kekuasaan kita? ”

Masyarakat Abar 3 : “Bolehkah orang asing menangkap ikan di telukmu?” ( sambil bersungut –
sungut menanyakan hal itu kepada Cabo dan Abu

Cabo dan Abu : “Tidak,”.

Cabo : “Tetapi di kampung saya jumlah penduduknya banyak, bagaimana dengan

kampung ini?” ( menoleh ke arah Abu untuk mengalihkan perhatian)

Abo : “Saya bukan ondolofo dan mungkin ketidakpuasan anda akan di jawab oleh

para orang tua nanti.”

beberapa kemudian, mereka dipanggil lagi masuk ke dalam rumah. Orang yang tertua berbisik kepada
Abo lalu Abo pun menyampaikan bisikan itu kepada Cabo. Hasil bisikan itu adalah Cabo dan seluruh
keretnya, tidak berhak untuk membuat sempe. Mimpi tetap mimpi. Sebab setiap orang dapat saja
bermimpi demikian. Walaupun ada larangan kepada warga Cabo, namun orang-orang Abar
menghendaki agar hubungan persaudaraan tetap ada dengan orang-orang Kayubatu. Karena orang-
orang Kayubatu sering membeli sempe dari mereka.

Cabo adalah tamu Abo. Cabo boleh saja tinggal lebih lama di rumah Abo jika Cabo menghendaki.
Tetapi Cabo tidak menginginkannya. Keputusan orang-orang tua masih terbayang di benaknya.
“mimpi tetap mimpi, marga Cabo tidak berhak untuk membuat sempe. Kata-kata orang-arang Abar
memang benar. Untuk memiliki kepandaian membuat sempe harus ada suatu kejutan, suatu
keajaiban.” Demikian pemikiran Cabo. Oleh sebab itu ia tidak ingin tinggal lebih lama lagi.
Kemudian Cabo pergi meninggalkan perkampungan masyarakat Abar.

Mereka pun pergi mengikuti jalan terkal ke arah gunung, di sebelah utara. Sementara berjalan, Cabo
menyadari bahwa Abu akan mengantarnya ke tempat batu ajaib yang dicari. Mereka melintasi kebun-
kebun bekas kemudian memasuki hutan alang-alang yang luas. Beberapa kali mereka melewati anak
sungai, Cabo dan Abu berkesempatan untuk minum. Setelah beberapa saat berjalan, tibalah mereka di
lereng gunung. Jalan semakin terjal, sempit dan tidak jelas. Sebenarnya jalan itu masih sering dilalui
orang. Walaupun jalan itu terjal dan tidak jelas, namun Cabo dan Abu akan ke tempat yang di tuju.
Jika sudah lelah Cabo dan Abu beristirahat sebentar sambil memakan ubi. Setelah makan mereka
melanjutkan perjalanannya. Matahari seolah-olah tidak dapat menerobos kabut tebal itu.
Pemandangan danau pun tidak nampak lagi. Bukan pemandangan danau saja yang tidak nampak,
tetapi Cabo tak dapat lagi melihat kemana-mana.

Cabo : “Kita teruskan perjalanan, Abu! Bila kita sudah sampai di tempat yang rendah, mungkin sudah
ada sinar matahari,”

Abu : “ Baik Cabo”


Sementara mereka berjalan, kabut yang tebal itu telah berubah menjadi tipis. Cabo sudah dapat
melihat langit yang biru. Tiada berapa hari kemudian cahaya matahari yang cerah menimpa Cabo.
Karena segarnya sinar matahari lalu Cabo bersanjak.

“Aku dalam perlawatan

Mencari batu keajaiban

Batu bakal pembawa kemakmuran

Kepada manusia yang sekarang hidup

Dan yang akan datang

Abu menemaniku berjalan

Akan kemanakah aku dan Abu ?”

Cabo meramalkan bahwa tiada berapa lama lagi akan terjadi sesuatu. Tak lama kemudian terdengar
suatu suara. Dengan hati-hati sekali Cabo berjalan terus. Ketika ia megarahkan matanya ke atas batu
di lihatnya seorang laki-laki sedang duduk sambil memakan pinang. Semula Cabo tidak melihat orang
lain, tetapi tak lama kemudian ia mendengar suara dan tampaklah orang-orang. Rupa-rupanya batu
tempat duduk orang itu bergua. Ia menyelinap mendekati gua itu untuk mengintai. Di gua itu di
lihatnya orang-orang sedang sibuk dengan batu-batu besar. Beberapa orang memalu batu pada batu
yang lain dan ada pula yang menggosok batu lain.

Cabo : “Wahai Abu, Apakah kau melihat orang – orang Ormu itu sedang memalu batu dan membuat
batu itu menjadi hitam”

Abu : “ Iya, nampaknya mereka sedang membuat batu itu untuk di tukarkan ke kapak batu

Cabo : “ Aku semakin yakin bahwa kita berada di kampung Ormu. Sebab orang-orang Ormu saja
yang sering datang ke Kayubatu untuk menukar kapak batu.

Cabo : “Alangkah baiknya jika menyelinap lebih dekat lagi. Tetapi, tidak bisa karena orang di atas gua
tadi, adalah seorang pemimpin,”

Raut muka orang yang di atas gua itu tampaknya kurang tenang. Ia berdiri sejenak lalu berjalan dan
berbicara dengan laki-laki lainnya. Setelah ia berbicara, Cabo melihat orang-orang menghentikan
pekerjaannya. Batu-batu yang dikerjakan itu dimasukkan ke dalam kantong noken lalu pergi
mengikuti palung anak sungai. Tetapi salah seorang di antara yang bekerja tadi masih berbicara
dengan pemimpin itu. Ia memperlihatkan dan menyerahkan batu yang baru di kerjakan kepada
pemimpin lalu mereka pergi berdiri di bawah sinar matahari. Cabo melihat batu itu dengan jelas dan
ternyata batu itu indah seperti yang pernah di mimpikan dahulu.

Ketika orang yang pergi itu lenyap dari pandangan matanya, Cabo dan Abu pun keluar dari semak-
semak dan pergi ke suatu tempat kecil yang terbuka. Ia berdiri persis berhadapan dengan pemimpin
yang masih tetap berada di sebelah gua. Pemimpin itu dengan cepat melihat Cabo dan Abu tetapi ia
tidak kaget. Tampaknya ia seperti sedang menantikan kedatangan seseorang. Pemimpin itu bertanya
dalam bahasanya sendiri kepada Cabo. Karena Cabo tidak mengerti tentang bahasa itu lalu ia pun
menjawab dalam bahasanya sendiri pula.

Cabo : “Saya dari Kayubatu dan saya ingin kembali”


Sirwai: “Apa yang hendak saudara cari di sini? Mengapa anda mengintip dari semak-semak itu?” (
Pemimpin itu tidak heran walaupun Cabo menjawab dalam bahasanya sendiri malahan ia berbalik
tanya )

Cabo : “Saya akan menceritakan semuanya. Tak usah khawatir, percayalah!”

Sirwai : “ Oh baiklah, sebelumnya perkenalkan saya sirwai

Abu : “ Saya Abu dan Ini sahabat saya Cabo”, Sambil menimpali Sirwai

Sirwai : “ Waktu muda saya sering datang ke kayu batu untuk menukar kapak batu dengan benda-

benda lain yang berguna”

Cabo : “ Wah nampaknya anda seorang petualang laut yang sangat hebat” ujarnya

Abu : “ Iya berarti sama dengan kita yah kan Cabo?” Abu dan Cabi, begitu juga Sirwai tersenyum

Tipis

Sirwai : “ Aku juga telah lama merasa ada seseorang yang mengintip pekerjaan Ku. Akibatnya
pekerjaan yang dikerjakan orang-orang kali ini tidak dapat berlangsung dengan baik.

Cabo dan Abu : ( hanya tersenyum tipis dengan muka tidak enakan )

Sirwai “Sekarang ceritakan padaku apa yang sebenarnya tujuan anda datang ke Ormu ini?”

Cabo yakin bahwa Sirwai dapat dipercaya dan dianggapnya sebagai seorang sahabat tua yang akan
dapat membantunya. Oleh sebab itu Cabo menceritakan semua rencananya dan kisah perjalananya
bersama sahabatnya Abu.

Cabo : ”Batu apakah itu ?”

Cabo : “ Apakah Batu yang terakhir di kerjakan orang itu !”

Sirwai mengangguk-angguk dan berpikir tanpa berkata sesuatu. Setelah beberapa saat kemudian lalu
Sirwai : ”Ikutilah saya !”

Sirwai berjalan di depan lalu diikuti Cabo dan Abu dari belakang. Mereka mengikuti jalan kecil yang
dilalui orang-orang tadi. Abu sekarang dengan tenang mengikuti tuannya dari belakang.

Sirwai : “ Dalam hutan kecil ini sebaiknya kalian bersembunyi dahulu. Saya harus berpikir dan
menceritakan kembali tentang apa yang anda ceritakan tadi kepada putraku. Nanti malam saya
kirimkan putraku. Ia akan membawa anda ke rumah laki-laki. Tak usah khawatir, kami orang-orang
Ormu selalu bergaul dengan orang-orang Kayubatu dan kami anggap sebagai saudara sendiri”.

Cabo dan Baik : “ Baik Sirwai”

Setelah berkata demikian Sirwai menghilang. Karena kepergian Sirwai tanpa permisi, Cabo tetap
menunggu dengan penuh harapan. Ketika hari mulai kelam, tiba-tiba Cabo mendengar namanya di
panggil. Di suatu jalan yang menuju kampung terlihatlah olehnya tubuh Sirwai.

Cabo : “Saya kira anakmu yang akan menjemputku. ”

Sirwai : “Saya harus memberitahukanmu sesuatu hal yang penting, karena itu saya datang sendiri.
Yang saya maksudkan itu adalah nanti apabila engkau tiba di rumah laki-laki, engkau hanya boleh
meminta perahu dan dayungnya. Tak usah berbicara tentang yang lain,”
Suasana ramai meliputi rumah khusus laki-laki. Setiap orang yang ada di dalam rumah laki-laki
menyambut kedatangan Cabo dan Abu dengan ramah tamah. Dari penjelasan Sirwai, oarang-orang
telah mengetahui bahwa Cabo dan sahabatnya datang dari Kayubatu dan ia sekarang dalam perjalanan
kembali ke kampung halamannya. Setelah Cabo dan Abu diperkenalkan lalu di ajak untuk makan
bersama. Banyak makanan yang di sediakan seperti ubi, ikan, sayur, dan makanan lain yang lezat.

Sirwai : ” Bagaimana, dapatkan kita membantu tamu kita ini?” ( menanyakan hal ini kepada orang –
orang )

Sirwai : ”Inginkah anda melepaskan lelah beberapa hari di kampung ini?” ( sambil menimpali dan
menoleh ke arah Cabo dan Abu”

Cabo : “Saya ingin segera kembali ke kampung halamanku. Tetapi perjalanan lewat pegunungan
sangat berat dan memakan waktu lama bagi saya. Oleh sebab itu saya ingin lewat laut saja. Bolehkan
saya meminjam sebuah perahu dan dayung?”

Masyarakat Ormu : “ Kami siap membangtu perjalanan anda “

Sirwai : “Perahu dan dayung akan kami berikan. Ikutilah, saya akan mengantarmu ke pantai!”

Cabo : “ Terimakasih Sirwai dan masyarakat Ormu kebaikan kalian akan di balas nanti”

Sesampainya di Pantai Sirwai membawa tamunya ke suatu tempat yang sunyi di pantai. Di sana telah
siap sebuah perahu dan sebuah dayun.

Sirwai “Silakan duduk, Cabo. Saya telah lama berpikir tentang mimpimu itu. Batu yang kau impikan
itu sekarang ada dalam noken saya. Batu itu sungguh ajaib. Sebentar dalam perjalanan, batu ini akan
mendampingimu. Batu inilah yang akan membantu kampungmu untuk membuat gerabah. Tetapi akan
terjadi suatu yang luar biasa. Engkau harus mempersembahkan suatu kurban yang besar kepada batu
ini dan engkau ataupun temanmu sendiri yang akan menjadi kurban itu,”

Cabo : “Di mana dan bagaimana dengan batu ini saya tidak mengerti,”

Sirwai : “Batu dan Abu akan membimbingmu lebih lanjut,”

Cabo : “Saya tahu bahwa apa yang telah engkau katakan itu adalah benar. Sebab saya akan
menyelamatkan kampung Kayubatu dari kesengsaraan. Dan saya rela berkorban demi kebahagiaan
dan kemakmuran sesama. Saudaraku Tiaghe akan mengetahui bahwa kami telah berhutang budi
terhadapmu. Kaum kerabatku akan terkenang selalu kepada orang yang telah berjasa terhadap
kampung halamanku. Orang-orang Kayubatu akan menjunjung tinggi keluhuran hati orang-orang
ormu,”

Abu : “Saya akan senantiasa bersamamu Cabo wahai sahabatku, perjalanan kita tidak akan menjadi
sia – sia, perjalanan ini aku lakukan dengan ikhlas untuk kemakmruan kampung kita, biarkan aku ikut
bersama mu wahai sahabat”

Cabo : “ Baik lah Abu” sambil menoleh ke Abu

Dalam gelap malam dan hanya diterangi cahaya bintang, Cabo dan mengayuh perahunya menyusuri
pantai. Di malam yang sepi dan olengan ombak mulai menyulitkan perjalanan Cabo. Tetapi ia tak
gentar dan sabar, bahwa perjalanan akan berakhir di tanjung Suaja, kampung halamannya. Abu duduk
di bawah kaki tuannya. Kadang-kadang ia mengangkat kepalanya dan menatap Istrinya dengan penuh
kesetiaan. Sepanjang malam Cabo terus mendayung. Secara teratur ia mengayunkan dayungnya ke
dalam air dengan tanpa rasa bosan. Malam yang panjang itu hampir berakhir, hal itu diketahui dengan
munculnya semburat terang di ufuk timur. Di sebelah kanan Cabo nampak pula gunung-gunung.
Tidak berapa lama kemudian Cabo telah melihat tanjung Suaja. Abu duduk sejenak di dekat kaki
Cabo, lalu ia memalingkan kepala ke arah darat. Di ujung selatan dari tanjung Suaja yang disebut
tanjung Utu, Cabo mengarahkan perahu ke pantai dan menariknya ke darat.

Setelah itu ia mengumpulkan ranting-ranting dan penggalan-penggalan kayu kering. Kemudian


dipasangnya api di bagian bawah depan perahu lalu ditimbuni dengan ranting-ranting dan penggalan-
penggalan kayu tadi. Setelah menyala, api pun menjulang tinggi yang mula-mula menghanguskan tepi
perahu, tetapi lama-kelamaan menghabiskan seluruh bagian perahu. Cabo tidak menunggu sampai
seluruh perahu terbakar karena ia ingin mandi di laut. Laut, selain tempat untuk mendirikan rumah,
tetapi juga merupakan tempat ia dilahirkan Sesuai dengan mimpi Cabo sebelumnya, ia berjalan sambil
menggenggam batu ajaib.

Cabo sadar bahwa saat yang luar biasa akan terjadi. Ia melihat sekeliling lalu berpaling ke arah timur,
barat, utara, dan selatan. Cabo yakin bahwa tujuannya akan segera tercapai dan ia telah sampai untuk
mengurbankan diri. Dengan meundukkan kepala, ia menantikan sesuatu yang akan terjadi. Beberapa
saat kemudian apa yang dinanti-nantikan benar-benar terjadi, dari kejauhan terdengar gemuruh angin
yang semakin dekat semakin keras gemuruhnya. Tiba-tiba tanah di bawah kaki Cabo terbelah diiringi
dengan suara gemeretak tanah yang terbelah.Cabo dan Abu pun melihat satu sama lain dan
memandangi langit itu . Kemudian terdengar bunyi petir menggelegar dasyat. Tanah yang terbelah
semakin lebar dan tubuh Cabo dan Abu terjatuh ke dalam celah yang menganga tersebut. Setelah
tubuh keduanya masuk ke dalam celah, celah itu dengan cepat tertutup kembali dan menelan tubuh
mereka berdua.

Hingga keesokan harinya Tiaghe Pui mencari ikan di laut menggunakan perahu. Usaha untuk
mencari ikan kali ini pun nampaknya kurang mendapatkan hasil yang maksimal. Namun semanjak
kepergian Cabo Pui, seolah-olah ikan kembali lagi berkumpul ke teluk sehingga kebutuhan masyarakat
akan ikan dapat terpenuhi lagi. Setelah Ambung penuh akan ikan dia Pun kembali pulang kerumah.

Tiaghae : “ Kemana perginya Cabo Pui, sudah alam tidak terdengar kabarnya kembali, semenjak
kepergiannya ikan – ikan kembali dan kebutuhan sudah tercukupi apakah ini ada sangkut pautnya
dengan saudara ku” ( memikirkan Cabo yanag tak kunjung pulang)

Istri Tiaghae : “ Apa yang kau khawatirkan wahai suami ku, nampaknya pikiran mu sangat gelisah
sekali sama hal nya dengan istri Cabo?

Tiaghae : “ Entah lah bu, tidak tau kenapa rasanya aku sangat merindukan saudaraku. Bagaimana
keadaan dia sekarang”

Istri Tiaghae : “ yasudah pak, jangan terlalu di pikirkan, saya pergi dulu menemui istri cabo dirumah,
kasihan dia menangis mengkhawatirkan Cabo yang tidak kunjung pulang “

Tiaghae : “ Baik bu”

Di dalam lamunan nya Tiagahe mendengar suara petir yang menyambar dan membuat dirinya Tiaghae
: “Itu mungkin merupakan suatu tanda. Cabo pernah berkata bahwa ia harus memperhatikan tanda-
tanda yang ditunjukkan oleh alam

“ Apakah kau mendengar suara petir itu lasmi ?” Ucap Istri Cabo

“ Yah aku mendengarnya Rumini, apakah sebaiknya kita pergi kerumah ku saja dan menanyakan ini
kepada suami ku ? Istri Tiagahe. Tanpa basa basi kedua perempuan tersebut datang kerumah tiaghae
yang mana rumah Cabo tidak jauh dari rumah Tiaghae dan menanyakan perihal suara petir tadi.
Istri Tiaghae : “ Apa kau degar Pak suara petir itu”

Istri Cabo : “ Aku merasakan hal yang tidak enak mengenai keadaan Cabo”

Tiaghae “Mungkin ada sesuatu mengenai Cabo. Tanda yang kita nanti-nantikan telah terlihat. Mari
kita pergi untuk mencari Cabo! Bawalah sebuah pinggan tempat sagu dan sepotong kayu!”

Istri Tiagahe : “Baik, aku akan menyiapkan pinggan tempat sagu dan kau Rumini carilah sepotong
kayu yang tadi di perintahkan suami ku”

Istri Cabo : “ Baik lah” ( sambil tergesa – gesa dengan raut muka sedih )

Tiaghae : “ Apakah sudah terkumpul semua? Jika sudah, aku akan pergi menyusul Cabo dan Abu,
Jaga diri kalian masing – masing”

Setelah itu Tiaghe bergegas mencari Cabo dan meninggalkan istri nya dan istri Cabo untuk mencari
kepastian dimana Cabo berada

“Dari sanalah terdengar suara tadi, mungkin telah terjadi sesuatu.” kata Tiaghe

Dengan susah payah Tiaghae mendaki tanjung yang terjal itu.. Tiaghe tidak ingin beristirahat sebelum
mencapai puncak tanjung. Ia bersemangat sekali, karena teringat pada pesan Cabo. Ketika tiba di
puncak bukit, mereka melihat lautan luas yang bebas terbentang. Setelah beberapa saat memandang
lautan, mereka melanjutkan perjalanan menuruni bukit menuju pantai. Di pantai mereka menemukan
sisa-sisa pembakaran perahu, bekas kaki Cabo dan Abu. Tiaghe mengikuti jejak kaki itu hingga ke
tanjung Out, tempat di mana Cabo dan Abu menghilang. Tiaghe menemukan tanda-tanda yang ajaib
pada tanah tempat Cabo dan Abu menghilang.

“Benda yang berwarna merah ini? Ajaib, di sini tak ada sesuatu pun selain batu karang, tetapi banyak
tanah merah yang lembek.” kata Tiaghe sambil menunjuk ke tanah.

Tiaghe mencoba menggali lapisan tanah merah itu menggunakan tongkat. Dari hasil galian itu Tiaghe
menemukan batu ajaib.

“Sekarang saya tahu bahwa Cabo berdiri di sini, sebab batu inilah yang dicari, akan aku bawakan batu
ini ke rumah, dan memberitahukannya kepada istriku dan istri Cabo bahwa di Atas galian tanah ini
lah Cabo menghilang,” kata Tiaghe.

Setelah itu Tiaghae Pulang membawakan Tanah merah kembali kerumah betapa terkejutnya istri Cabo
mendengar kepergian sang suami, Istri Cabo , Istri Tiaghe menangis, begitu juga Tiaghe. Air mata
berlinang di pipi mereka berdua. Setelah beberapa lama mereka menangis, mereka kembali ke rumah.

Istri Cabo : “ Bukan kah kau akan kembali dengan membawa batu itu, lalu mengapa engkau pergi”
sambil menangis dan meratapi kesedihannya itu

Tiaghae : “Sabar Rumi, mungkin ini takdir Cabo Pui” Menenagkan istri Cabo dan begitu juga istri
Tiaghae yang menenagkan istri Cabo.

Beberapa hari kemudian, Istri Cabo menerima keadaan itu kemudian Istri Cabo, Istri Tiagahae
dan juga Tiaghe memanggil penduduk kampung untuk berkumpul. Ia menceritakan tentang penyebab
kepargian Cabo. Setelah mendengar penuturan Tiaghe, penduduk kampung merasa terharu dan
kagum. Untuk menguatkan kepercayaan penduduk kampung, Tiaghe memperlihatkan mangkuk kecil
yang telah dibuat. Salah seorang wanita dari penduduk kampung memegang mangkuk sambil berkata,
“Mangkuk ini belum selesai dikerjakan, sebaiknya dibakar dahulu agar menjadi keras dan kuat.”
Hari demi hari terus berlalu. Kemakmuran kampung Kayubatu perlahan mulai nampak berkat
pengorbanan Cabo Pui. Penduduk kampung Kayubatu terus mengenang jasa dan pengorbanan Cabo
sepanjang masa. Sejak saat itu kaum kerabat Pui mulai membuat kerajinan tangan yang terbuat dari
tanah liat yang bisa menaikan kembali kebutuhan para masyarakat yang sudah lama mengalami
keterpurukan. Dan menghormati nenek moyang leluhur dan Menghormati Arwah cabo serta
menikmati kemakmuran kampung ini, penduduk setempat memuat pesta kecil kecilan yang mana di
dalamnya terdapat makan makan sesaji dan tarian – tarian yang melambangkan ketangguhan Cabo
dalam memperjuangkan kemakmuran desa ini.

***** PENARI 2 *****

Setalah peristiwa penemuan batu ajaib yang kemudian diberi nama Kecabo itu, kian hari jumlah
Kecabo kian bertambah banyak. Kecabo asli yang pertama kali ditemukan oleh Cabo Pui sampai saat
ini masih ada dan dirawat dengan baik oleh Isak Pui.
PAMERAN DRAMA CABO DAN BATU AJAIB

Cabo :Edi Ayatullah

Tiaghae : Dadang Sutrsina

Istri Cabo : Nur Azzahra

Istri Tiaghae : Mariyah Ulfah

Abu : Hidayat Kumara Tungga

Abo : Haikal Ramadhan

Istri Abo : Maya Guita Mawar

Sirwai : Liza Tri Utami

Masyarakat : Dhea Puspita Sari

Arsi Tri Amanda

Rahmi Herawati

Andini

Selvia

Masyarakat A : Siti Anisah

Rohadatul Aisy

Diana Lestari

Penari 1 : Nabila Yulia Adinda

Yuniar Tati

Intan

Dona

Niya Warma

Penari 2 : Julika Abellia

Dessy Purnamasari

Winda Astuti

Selve

Liya Juwita Sari

Anda mungkin juga menyukai