Alkisah, hiduplah seorang laki-laki bernama Tana Solo. Dia tinggal
bersama saudarinya bernama Lelo. Mereka keluar dari gunung Watotika dan tinggal di puncak gunung itu. Fokus mata pencaharian mereka pada tradisi berburu atau meramu agak berkurang dan sekarang mulai menetap, meskipun berburu adalah ketrampilan purbakala, warisan kakek-moyang yang tidak pernah mereka tinggalkan. Mereka membutuhkan rumah untuk dihuni. Untuk berlindung dari hujan di musim barat dan panas di kala kemarau. Untuk kebutuhan akan air, mereka menadah air hujan, embun atau menimba dari sumber mata air terdekat. Bahan-bahan untuk membangun sebuah rumah disiapkan. Kayu-kayu untuk tiang dan kerangka rumah, dipotong dari hutan di sekitar tempat tinggal, tanahpun digali untuk dipancangkan tiang-tiang penopang juga tiang untuk dibuat atau dibentang "dong" (panggung) dan dipasang kerangka rumahnya. Ketika memasang kerangka rumah, bapak Tana Solo berada di atas rumah dan saudarinya Lelo bekerjasama, melayaninya dengan memberikan kayu-kayu yang dibutuhkan. Nilai gotong royong sudah setua umur manusia. Sebatang kayu jatuh ke tanah di luar kontrol bapak Tana Solo. Bersamaan dengan kejadian itu, muncullah dalam pikiran bapak Tana Solo untuk menyematkan nama terhadap kampung ini, sebelum mereka berdua berdiam di situ. Kampung itu pun diberi nama Kawa Watotika, Lelo Noreng Rodong. Bapak Tana Solo mempunyai seorang anak ajaib bernama Mau Bei. Tana Solo membuat sumpah (kepasa) dan mengirim sirih pinang kepada "Ina Puken Tana Nimun" dan mengharapkan seorang anak baginya. Gayung pun bersambut dari pihak "Ina Puken Tana Nimun". Datanglah seekor burung garuda, terbang membawa satu butir telur dan diletakkan di rumah bapak Tana Solo. Telur itu pun kemudian menetas dengan sendirinya. Tenyata yang keluar dari cangkang, bukanlah seekor anak burung garuda, melainkan seorang bayi mungil laki-laki. Bayi ajaib itupun oleh Bapak Tana Solo diberi nama Mau Bei. Mau Bei hidup, dididik, dibesarkan bersama ayah dan membantu ayah serta bibinya Lelo. Tiada manusia yang hidup sendirian seperti sebuah pulau. Tidak lama kemudian, muncul seorang lain lagi dalam kehidupan bapak Tana Solo, Mau Bei dan saudarinya Lelo. Orang yang baru muncul itu bernama: "Kopong Todo Horowura, Mamu Dueng Dulione". Untuk lebih singkat, dia biasa disapa bapak Kopong saja. Bapak Kopong berasal dari suku Kiwan dan menetap bersama mereka di gunung Watotika. Bapak Kopong ini biasa juga dipanggil Kopong Todo Kiwan. Mereka berbagi suka dan duka bersama-sama sebagai saudara dan saudari. Di saat usianya semakin menua, senja kehidupan mulai datang membayang. Bapak Tana Solo memanggil Kopong Todo Kiwan dan berpesan: "Hari-hari hidupku bersama kamu, tidak akan lama lagi. Saat-saat terakhir sudah tampak di telupuk mata. Saya akan segera pamit dari sesama dan sejarah. Tolong pelihara anak saya Mau Bei ini baik-baik. Anggaplah dia seperti anakmu sendiri", demikian wasiat bapak Tana Solo. Mautpun tak dapat dielak. Tidak lama berselang, bapak Tana Solo meninggal dunia dan tak seorangpun dapat memanggilnya kembali. Kopong Todo bersedih namun tetap setia menjaga wasiat, yakni mengadopsi anak laki-laki bernama Mau Bei itu, merawat, mendidik dan membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Mau Bei kemudian dinikahkan oleh Kopong Todo dengan putrinya sendiri. Mereka pun menetap bersama di puncak gunung Watotika dan berkembang-biak, beranak cucu dan bertambah banyak. Saban hari, mereka mengadakan rapat khusus. Mereka bermaksud "pindah kampung", pergi menetap di lokasi baru, sebab leluhur Lewotanah menambahkan jumlah mereka. Musyawarah mufakat pun diambil demi kepentingan bersama. Mereka berpindah ke pemukiman baru lagi. Tempat itu bernama: Lewo Luo Me'an, Tana Pusung Bura". Mereka merajut kehidupan bersama di situ. Mereka berkebun dan lebih banyak memungut hasil-hasil dari hutan untuk dijadikan makanan. Jumlah mereka semakin bertambah banyak. Mencuat lagi dalam pikiran mereka untuk berpindah pemukiman. Kesepakatan pun dibuat bersama. Kali ini, mereka berpindah ke arah barat daya untuk mendapatkan tempat pemukiman. Pemukiman itu diberi nama "Ile Kebol Lolon Buto, Woka Ora Liman Lego". Mereka menjalani rutinitas kehidupan seperti biasanya. Hari-hari terus berganti dan jumlah mereka terus bertambah. Saban hari, mereka mendengar suara banyak orang. Suara riuh- rendah dan sayup-sayup dari kejauhan. Suara itu datangnya dari arah timur. Beberapa orang diutus ke sana untuk mengamati dari dekat dan ternyata ada orang lain juga. Kampung di timur itu bernama "Tapuli Lewo Jawa, Depa Wato Bana Doro". Alhasil, sudah banyak orang yang berdomisili di sana. Orang-orang di situ adalah keturunan dari suku Lewar dan suku Kiwan. Mereka kemudian bersepakat untuk mengadakan rapat bersama. Hasil rapat diambil bahwa mereka semua bergabung, mereka ingin hidup bersama-sama dan ini membuat pemukiman mereka bertambah besar. Sebelum lama menikmati kebersamaan itu, datanglah seorang laki-laki dari tanah yang jauh. Tanah air yang jauh itu bernama "Sina Haka Jawa Gere". Bapak itu bernama "Geraki Tasi Tuki Huri, Sina Haka Jawa Gere". Warga setempatpun segera menyambut dia dengan penuh sukacita. Lebih dari itu, bapak Geraki Tasi langsung didaulat menjadi warga setempat. Kemudian, bapak Mau Bei mengangkat Geraki Tasi menjadi saudara kandungnya. Semenjak itu, tergoreslah sejarah yakni dua suku Watokolah yang keturunannya sampai sekarang berada di desa Kawalelo, yakni Mau Bei dan Ado Buan. Bapak Geraki Tasi tinggal bersama warga lainnya di tempat itu. Perahu yang ditumpanginya berubah menjadi batu karang. Bapak Geraki menikah dengan seorang perempuan dari suku Kiwan di kampung "Tapuli Lewo Jawa, Depa Wato Bana Doro". Mereka menjalani kehidupan bersama penuh damai, keadilan dan kasih sayang. Namun apa mau dikata, saat-saat teduh dan tenang tidak berlangsung lama. Suasana penuh kedamaian dan kesunyian di kampung Tapuli itu, terusik oleh sebuah berita heboh. Berita mendadak itu berasal dari seorang gadis bernama "Wato Pire Kuntri, Hala Bura Loti Lolong". Suatu hari, sekembalinya dari pantai, Wato Pire memanggil saudara- saudaranya: Mau Bei dan Ado Buan untuk berkumpul, sebab dia ingin menyampaikan sesuatu yang amat penting. "Ama, ada seorang pemuda ganteng di pantai. Dia memiliki kesaktian. Perahunya sangat besar dan dia juga membawa senjata api", demikian tutur Wato Pire. "Ina, kau memang baru pulang 'berkarang' dari pantai, tapi apakah benar ceritamu itu?", tanya seorang saudaranya. "Benar sekali ama. Bahkan pemuda itu menyampaikan isi hatinya secara jujur kepada saya. Dia sungguh jatuh cinta pada saya dan ingin menjadikan saya sebagai istrinya. Apakah kamu mau atau tidak?", demikian timpal Wato Pire. Rasa penasaran bergelora di dalam dada saudara-saudaranya. Berita segera menyebar dari mulut ke mulut. Bersama warga lain, mereka berbondong-bondong ke pantai untuk melihat sendiri dari jarak dekat. Ternyata benar, bukan sekedar isapan jempol. Pemuda itu bernama " Hata Nara Belu Pelu, Ama Ene Bera Liang Lame". Mereka segera memanggilnya turun ke pantai. Hata Nara turun dari perahunya. Mereka berjabatan tangan, bertukar senyum, saling berangkulan hangat dan mereka pun duduk minum tuak di bibir pantai. Pantai tempat mereka duduk merajut kebersamaan itu bernama "Menanga Wauda, Watan Rapo Ai Matan". Mereka melebur dalam cerita yang akrab, persaudaraan yang tulus, saling bertanya jawab penuh persahabatan dengan pemuda Hata Nara ini. "Maaf, kami mendengar dari saudari kami Wato Pire, bahwa engkau mencintai dia dan mau menjadikan dia sebagai istrimu?", tanya seorang saudaranya. "Ya, benar seperti itu", balas Hata Nara. "Wato Pire juga bercerita bahwa engkau adalah seorang laki-laki yang hebat. Engkau memiliki kesaktian?", seorang saudaranya bertanya lagi. "Anda sendirilah yang mengatakannya!", timpal Hata Nara. Setelah bertukar kisah, menelusuri maksud kedatangan, terutama niat hati Hata Nara untuk mempersunting Wato Pire, saudara-saudara Wato Pire pun menyetujui. Namun, tidak segampang lidah bertutur. Harus ada syarat yang mesti dipenuhi oleh Hata Nara. Satu syaratnya bahwa Hata Nara harus membantu, membela orang- orang setempat, melawan musuh mereka yakni Paji Beda yang menduduki pantai Blawi. Pantai Blawi adalah pantai berpasir putih, yang biasa disebut pasir panjang sekarang ini. Setelah beristrikan orang setempat dan berhasil mengusir musuh dengan senjata apinya, Hata Nara dijadikan tuan tanah di Kawalelo dan semua orang menyetujuinya, sebab dia memang pantas untuk itu. Hata Nara kemudian diberikan dua lokasi untuk membangun rumah dan kebun. Lahan untuk membangun rumah berada di "Hama Lera Kiwi Kowo, Wato Buran Somi Lolon". Tempat itu masih ada sampai sekarang, yang disebut "Hama Lera". Sedangkan, lahan untuk dijadikan kebun bernama "Libu Lama Lina, Nusa Lama Rebong". Nah, tempat Hata Nara ini amat strategis, sebab berhadapan langsung dengan musuh Paji Beda, yang akhirnya berhasil diusir dengan menggunakan senjata apinya. Musuh pun pergi meninggalkan pantai Blawi dalam kesunyian dan Hata Nara bersama istrinya pun tinggal bersama di Hama Lera dengan tenang. Setelah berdiam bersama penuh cinta kasih, ketenangan, keamanan di kampung "Tapuli Lewo Jawa, Depa Wato Bana Doro", para warga bersepakat untuk turun lagi lebih ke pantai, yaitu di perkampungan bernama "Lewo Tutu Te Bringi, Tana Wuka Semu Lima". Mereka semua turun membuat pemukiman baru di bukit "Lewo Ringin". Setiap hari selalu ada orang yang bertugas memantau keadaan sekitar, sebab suasana perang antar kampung atau suku lazim terjadi. Ternyata aman terkendali. Suasana kondusif menyertai mereka, sehingga mereka bersepakat lagi untuk membangun perkampungan baru, tepatnya di "Kolah Kobar Pito, Aran Sakar Lema". Tempat ini terletak di sekitar kaki gunung Watotika. Selama menetap di tempat itu, mereka selalu bekerja, pergi dan pulang, sembari melihat lokasi-lokasi baru. Mereka kemudian menemukan satu tempat yang luas dan rata. Lokasinya tidak terlalu jauh dari Kolah Kobar. Mereka berkumpul lagi, bermufakat untuk bermigrasi lagi di sekitar kaki gunung Watotika. Mereka berpindah kali ini ke suatu tempat yang bernama Lewookin. Tepat di Lewookin, mereka membuat pemukiman besar-besaran sebab merupakan kawasan lembah yang amat bagus. Namun demikian, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Suatu hari sial terjadi dimana orang Lewokluok datang menyerang mereka di lembah itu. Untunglah, kedatangan itu sudah dideteksi sebelumnya, sehingga orang Lewookin bersiap siaga. Seorang di kampung itu, mengangkat senjata, bersumpah (kepasa) dan menembak ke arah seorang musuh yang bertengger di ketinggian. Musuh itu terkena peluru yang menguliti kepala dan rambut gondrongnya. Namun, hari-hari berikutnya, orang-orang Lewookin diliputi sial yang tidak dapat dihindari. Orang Lewokluok menyerang dengan ketrampilan canggih di masa itu. Mereka memakai panah api. Pada ujung anak panah, diikat benang tenun dan dibakar menyala, kemudian dipanah ke arah rumah-rumah orang Lewookin. Rumah-rumah semuanya terbakar habis dilahap si jago merah. Manusia-manusia yang hidup, terpaksa berlari menyelamatkan diri. Berita tentang peristiwa ini sampai ke telinga Bapa Raja di Larantuka. Bapa Raja datang dan membawa semua warga ke tempat lain. Raja menghubungi perwakilan di Konga, meminta pemukiman sementara bagi warga Lewookin yang tidak memiliki rumah-rumah lagi. Sebidang tanah pun diberikan. Pemukiman di Konga itu sampai sekarang disebut "Riang Kawalelo" sebagai kenangan bagi peristiwa tragis di masa silam itu. Warga Lewookin menetap di Konga 4 tahun lamanya. Sesudah itu, Bapa Raja sendiri pergi menjemput orang-orang Lewookin dan membawa mereka pulang ke Likotuden, tempat sekarang ini. Likotuden berarti tempat berlindung yang aman. Bapa Raja pun berpesan: "Mulai hari ini, saya menempatkan kamu di sini. Dan saya memberi nama tempat ini: "Likotuden Herin Lela, Pao Gamu Muda Doro". Keadaan mulai pulih kembali. Situasi menjadi aman. Semua warga hidup bersama lagi, berbagi suka dan duka, dalam kedamaian dan cinta kasih. Berkumpul bersama, bermufakat dan bergotong-royong sebagaimana diwariskan dari leluhur nenek-moyang. Dalam perkembangan lebih lanjut, para orangtua mengadakan rapat. Mereka mengutus 9 Kepala Keluarga pindah ke arah timur, ke tempat yang sekarang disebut Rumah 9. Kebanyakan yang diutus ke lokasi Rumah 9 adalah warga suku Lewar dan sekarang masih ada peninggalan Rumah 9, berupa sebuah sumur dan pondasi-pondasi rumah yang berjejer di pinggir jalan. Akibat tsunami, warga akhirnya berpindah lagi dari Rumah 9 dan menetap di Teneden, Kawalelo, sampai sekarang ini. Eksodus generasi Kawa Watotika, Lelo Noreng Rodong tidak bertepi di sini, namun terus berdinamika di tengah-tengah dunia yang sedang tunggang- langgang ini.