Anda di halaman 1dari 7

EKSODUS KAWA WATOTIKA, LELO NORENG RODONG

Oleh: Rofinus Pati

Alkisah, hiduplah seorang laki-laki bernama Tana Solo. Dia tinggal


bersama saudarinya bernama Lelo. Mereka keluar dari gunung Watotika dan
tinggal di puncak gunung itu. Fokus mata pencaharian mereka pada tradisi berburu
atau meramu agak berkurang dan sekarang mulai menetap, meskipun berburu
adalah ketrampilan purbakala, warisan kakek-moyang yang tidak pernah mereka
tinggalkan. Mereka membutuhkan rumah untuk dihuni. Untuk berlindung dari
hujan di musim barat dan panas di kala kemarau. Untuk kebutuhan akan air,
mereka menadah air hujan, embun atau menimba dari sumber mata air terdekat.
Bahan-bahan untuk membangun sebuah rumah disiapkan. Kayu-kayu untuk tiang
dan kerangka rumah, dipotong dari hutan di sekitar tempat tinggal, tanahpun digali
untuk dipancangkan tiang-tiang penopang juga tiang untuk dibuat atau dibentang
"dong" (panggung) dan dipasang kerangka rumahnya. Ketika memasang kerangka
rumah, bapak Tana Solo berada di atas rumah dan saudarinya Lelo bekerjasama,
melayaninya dengan memberikan kayu-kayu yang dibutuhkan. Nilai gotong
royong sudah setua umur manusia. Sebatang kayu jatuh ke tanah di luar kontrol
bapak Tana Solo. Bersamaan dengan kejadian itu, muncullah dalam pikiran bapak
Tana Solo untuk menyematkan nama terhadap kampung ini, sebelum mereka
berdua berdiam di situ. Kampung itu pun diberi nama Kawa Watotika, Lelo
Noreng Rodong.
Bapak Tana Solo mempunyai seorang anak ajaib bernama Mau Bei. Tana
Solo membuat sumpah (kepasa) dan mengirim sirih pinang kepada "Ina Puken
Tana Nimun" dan mengharapkan seorang anak baginya. Gayung pun bersambut
dari pihak "Ina Puken Tana Nimun". Datanglah seekor burung garuda, terbang
membawa satu butir telur dan diletakkan di rumah bapak Tana Solo. Telur itu pun
kemudian menetas dengan sendirinya. Tenyata yang keluar dari cangkang,
bukanlah seekor anak burung garuda, melainkan seorang bayi mungil laki-laki.
Bayi ajaib itupun oleh Bapak Tana Solo diberi nama Mau Bei. Mau Bei hidup,
dididik, dibesarkan bersama ayah dan membantu ayah serta bibinya Lelo.
Tiada manusia yang hidup sendirian seperti sebuah pulau. Tidak lama kemudian,
muncul seorang lain lagi dalam kehidupan bapak Tana Solo, Mau Bei dan
saudarinya Lelo. Orang yang baru muncul itu bernama: "Kopong Todo Horowura,
Mamu Dueng Dulione". Untuk lebih singkat, dia biasa disapa bapak Kopong saja.
Bapak Kopong berasal dari suku Kiwan dan menetap bersama mereka di gunung
Watotika. Bapak Kopong ini biasa juga dipanggil Kopong Todo Kiwan. Mereka
berbagi suka dan duka bersama-sama sebagai saudara dan saudari.
Di saat usianya semakin menua, senja kehidupan mulai datang
membayang. Bapak Tana Solo memanggil Kopong Todo Kiwan dan berpesan:
"Hari-hari hidupku bersama kamu, tidak akan lama lagi. Saat-saat terakhir sudah
tampak di telupuk mata. Saya akan segera pamit dari sesama dan sejarah. Tolong
pelihara anak saya Mau Bei ini baik-baik. Anggaplah dia seperti anakmu sendiri",
demikian wasiat bapak Tana Solo. Mautpun tak dapat dielak. Tidak lama
berselang, bapak Tana Solo meninggal dunia dan tak seorangpun dapat
memanggilnya kembali. Kopong Todo bersedih namun tetap setia menjaga wasiat,
yakni mengadopsi anak laki-laki bernama Mau Bei itu, merawat, mendidik dan
membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Mau Bei kemudian dinikahkan oleh
Kopong Todo dengan putrinya sendiri.
Mereka pun menetap bersama di puncak gunung Watotika dan berkembang-biak,
beranak cucu dan bertambah banyak. Saban hari, mereka mengadakan rapat
khusus. Mereka bermaksud "pindah kampung", pergi menetap di lokasi baru, sebab
leluhur Lewotanah menambahkan jumlah mereka.
Musyawarah mufakat pun diambil demi kepentingan bersama. Mereka
berpindah ke pemukiman baru lagi. Tempat itu bernama: Lewo Luo Me'an, Tana
Pusung Bura". Mereka merajut kehidupan bersama di situ. Mereka berkebun dan
lebih banyak memungut hasil-hasil dari hutan untuk dijadikan makanan. Jumlah
mereka semakin bertambah banyak. Mencuat lagi dalam pikiran mereka untuk
berpindah pemukiman. Kesepakatan pun dibuat bersama. Kali ini, mereka
berpindah ke arah barat daya untuk mendapatkan tempat pemukiman. Pemukiman
itu diberi nama "Ile Kebol Lolon Buto, Woka Ora Liman Lego". Mereka menjalani
rutinitas kehidupan seperti biasanya. Hari-hari terus berganti dan jumlah mereka
terus bertambah. Saban hari, mereka mendengar suara banyak orang. Suara riuh-
rendah dan sayup-sayup dari kejauhan. Suara itu datangnya dari arah timur.
Beberapa orang diutus ke sana untuk mengamati dari dekat dan ternyata ada orang
lain juga. Kampung di timur itu bernama "Tapuli Lewo Jawa, Depa Wato Bana
Doro".
Alhasil, sudah banyak orang yang berdomisili di sana. Orang-orang di situ adalah
keturunan dari suku Lewar dan suku Kiwan. Mereka kemudian bersepakat untuk
mengadakan rapat bersama. Hasil rapat diambil bahwa mereka semua bergabung,
mereka ingin hidup bersama-sama dan ini membuat pemukiman mereka bertambah
besar.
Sebelum lama menikmati kebersamaan itu, datanglah seorang laki-laki dari
tanah yang jauh. Tanah air yang jauh itu bernama "Sina Haka Jawa Gere". Bapak
itu bernama "Geraki Tasi Tuki Huri, Sina Haka Jawa Gere". Warga setempatpun
segera menyambut dia dengan penuh sukacita. Lebih dari itu, bapak Geraki Tasi
langsung didaulat menjadi warga setempat. Kemudian, bapak Mau Bei
mengangkat Geraki Tasi menjadi saudara kandungnya. Semenjak itu, tergoreslah
sejarah yakni dua suku Watokolah yang keturunannya sampai sekarang berada di
desa Kawalelo, yakni Mau Bei dan Ado Buan.
Bapak Geraki Tasi tinggal bersama warga lainnya di tempat itu. Perahu
yang ditumpanginya berubah menjadi batu karang. Bapak Geraki menikah dengan
seorang perempuan dari suku Kiwan di kampung "Tapuli Lewo Jawa, Depa Wato
Bana Doro". Mereka menjalani kehidupan bersama penuh damai, keadilan dan
kasih sayang. Namun apa mau dikata, saat-saat teduh dan tenang tidak berlangsung
lama. Suasana penuh kedamaian dan kesunyian di kampung Tapuli itu, terusik oleh
sebuah berita heboh. Berita mendadak itu berasal dari seorang gadis bernama
"Wato Pire Kuntri, Hala Bura Loti Lolong".
Suatu hari, sekembalinya dari pantai, Wato Pire memanggil saudara-
saudaranya: Mau Bei dan Ado Buan untuk berkumpul, sebab dia ingin
menyampaikan sesuatu yang amat penting. "Ama, ada seorang pemuda ganteng di
pantai. Dia memiliki kesaktian. Perahunya sangat besar dan dia juga membawa
senjata api", demikian tutur Wato Pire.
"Ina, kau memang baru pulang 'berkarang' dari pantai, tapi apakah benar ceritamu
itu?", tanya seorang saudaranya.
"Benar sekali ama. Bahkan pemuda itu menyampaikan isi hatinya secara jujur
kepada saya. Dia sungguh jatuh cinta pada saya dan ingin menjadikan saya
sebagai istrinya. Apakah kamu mau atau tidak?", demikian timpal Wato Pire.
Rasa penasaran bergelora di dalam dada saudara-saudaranya. Berita segera
menyebar dari mulut ke mulut. Bersama warga lain, mereka berbondong-bondong
ke pantai untuk melihat sendiri dari jarak dekat. Ternyata benar, bukan sekedar
isapan jempol.
Pemuda itu bernama " Hata Nara Belu Pelu, Ama Ene Bera Liang Lame".
Mereka segera memanggilnya turun ke pantai. Hata Nara turun dari perahunya.
Mereka berjabatan tangan, bertukar senyum, saling berangkulan hangat dan
mereka pun duduk minum tuak di bibir pantai. Pantai tempat mereka duduk
merajut kebersamaan itu bernama "Menanga Wauda, Watan Rapo Ai Matan".
Mereka melebur dalam cerita yang akrab, persaudaraan yang tulus, saling bertanya
jawab penuh persahabatan dengan pemuda Hata Nara ini.
"Maaf, kami mendengar dari saudari kami Wato Pire, bahwa engkau mencintai dia
dan mau menjadikan dia sebagai istrimu?", tanya seorang saudaranya.
"Ya, benar seperti itu", balas Hata Nara.
"Wato Pire juga bercerita bahwa engkau adalah seorang laki-laki yang hebat.
Engkau memiliki kesaktian?", seorang saudaranya bertanya lagi.
"Anda sendirilah yang mengatakannya!", timpal Hata Nara.
Setelah bertukar kisah, menelusuri maksud kedatangan, terutama niat hati Hata
Nara untuk mempersunting Wato Pire, saudara-saudara Wato Pire pun menyetujui.
Namun, tidak segampang lidah bertutur. Harus ada syarat yang mesti dipenuhi oleh
Hata Nara. Satu syaratnya bahwa Hata Nara harus membantu, membela orang-
orang setempat, melawan musuh mereka yakni Paji Beda yang menduduki pantai
Blawi. Pantai Blawi adalah pantai berpasir putih, yang biasa disebut pasir panjang
sekarang ini.
Setelah beristrikan orang setempat dan berhasil mengusir musuh dengan
senjata apinya, Hata Nara dijadikan tuan tanah di Kawalelo dan semua orang
menyetujuinya, sebab dia memang pantas untuk itu. Hata Nara kemudian diberikan
dua lokasi untuk membangun rumah dan kebun. Lahan untuk membangun rumah
berada di "Hama Lera Kiwi Kowo, Wato Buran Somi Lolon". Tempat itu masih
ada sampai sekarang, yang disebut "Hama Lera". Sedangkan, lahan untuk dijadikan
kebun bernama "Libu Lama Lina, Nusa Lama Rebong".
Nah, tempat Hata Nara ini amat strategis, sebab berhadapan langsung dengan
musuh Paji Beda, yang akhirnya berhasil diusir dengan menggunakan senjata
apinya. Musuh pun pergi meninggalkan pantai Blawi dalam kesunyian dan Hata
Nara bersama istrinya pun tinggal bersama di Hama Lera dengan tenang.
Setelah berdiam bersama penuh cinta kasih, ketenangan, keamanan di
kampung "Tapuli Lewo Jawa, Depa Wato Bana Doro", para warga bersepakat
untuk turun lagi lebih ke pantai, yaitu di perkampungan bernama "Lewo Tutu Te
Bringi, Tana Wuka Semu Lima". Mereka semua turun membuat pemukiman baru
di bukit "Lewo Ringin". Setiap hari selalu ada orang yang bertugas memantau
keadaan sekitar, sebab suasana perang antar kampung atau suku lazim terjadi.
Ternyata aman terkendali. Suasana kondusif menyertai mereka, sehingga mereka
bersepakat lagi untuk membangun perkampungan baru, tepatnya di "Kolah Kobar
Pito, Aran Sakar Lema". Tempat ini terletak di sekitar kaki gunung Watotika.
Selama menetap di tempat itu, mereka selalu bekerja, pergi dan pulang, sembari
melihat lokasi-lokasi baru. Mereka kemudian menemukan satu tempat yang luas
dan rata. Lokasinya tidak terlalu jauh dari Kolah Kobar. Mereka berkumpul lagi,
bermufakat untuk bermigrasi lagi di sekitar kaki gunung Watotika. Mereka
berpindah kali ini ke suatu tempat yang bernama Lewookin. Tepat di Lewookin,
mereka membuat pemukiman besar-besaran sebab merupakan kawasan lembah
yang amat bagus. Namun demikian, untung tak dapat diraih, malang tak dapat
ditolak. Suatu hari sial terjadi dimana orang Lewokluok datang menyerang mereka
di lembah itu. Untunglah, kedatangan itu sudah dideteksi sebelumnya, sehingga
orang Lewookin bersiap siaga.
Seorang di kampung itu, mengangkat senjata, bersumpah (kepasa) dan menembak
ke arah seorang musuh yang bertengger di ketinggian. Musuh itu terkena peluru
yang menguliti kepala dan rambut gondrongnya. Namun, hari-hari berikutnya,
orang-orang Lewookin diliputi sial yang tidak dapat dihindari. Orang Lewokluok
menyerang dengan ketrampilan canggih di masa itu. Mereka memakai panah api.
Pada ujung anak panah, diikat benang tenun dan dibakar menyala, kemudian
dipanah ke arah rumah-rumah orang Lewookin. Rumah-rumah semuanya terbakar
habis dilahap si jago merah. Manusia-manusia yang hidup, terpaksa berlari
menyelamatkan diri.
Berita tentang peristiwa ini sampai ke telinga Bapa Raja di Larantuka.
Bapa Raja datang dan membawa semua warga ke tempat lain. Raja menghubungi
perwakilan di Konga, meminta pemukiman sementara bagi warga Lewookin yang
tidak memiliki rumah-rumah lagi. Sebidang tanah pun diberikan. Pemukiman di
Konga itu sampai sekarang disebut "Riang Kawalelo" sebagai kenangan bagi
peristiwa tragis di masa silam itu. Warga Lewookin menetap di Konga 4 tahun
lamanya. Sesudah itu, Bapa Raja sendiri pergi menjemput orang-orang Lewookin
dan membawa mereka pulang ke Likotuden, tempat sekarang ini. Likotuden berarti
tempat berlindung yang aman.
Bapa Raja pun berpesan:
"Mulai hari ini, saya menempatkan kamu di sini. Dan saya memberi nama tempat
ini: "Likotuden Herin Lela, Pao Gamu Muda Doro".
Keadaan mulai pulih kembali. Situasi menjadi aman. Semua warga hidup
bersama lagi, berbagi suka dan duka, dalam kedamaian dan cinta kasih. Berkumpul
bersama, bermufakat dan bergotong-royong sebagaimana diwariskan dari leluhur
nenek-moyang. Dalam perkembangan lebih lanjut, para orangtua mengadakan
rapat. Mereka mengutus 9 Kepala Keluarga pindah ke arah timur, ke tempat yang
sekarang disebut Rumah 9. Kebanyakan yang diutus ke lokasi Rumah 9 adalah
warga suku Lewar dan sekarang masih ada peninggalan Rumah 9, berupa sebuah
sumur dan pondasi-pondasi rumah yang berjejer di pinggir jalan. Akibat tsunami,
warga akhirnya berpindah lagi dari Rumah 9 dan menetap di Teneden, Kawalelo,
sampai sekarang ini.
Eksodus generasi Kawa Watotika, Lelo Noreng Rodong tidak bertepi di
sini, namun terus berdinamika di tengah-tengah dunia yang sedang tunggang-
langgang ini.

Anda mungkin juga menyukai