Anda di halaman 1dari 3

NAMA : SESILIA BUNGA KOTEN

KELAS : II (DUA)

BESI PARE TONU WUJO

Besi Pare Tonu Wujo boleh dibilang Dewi Sri-nya orang Flores Timur. Alasannya
sederhana karena pengorbanan Besi Pare Tonu Wujo agar saudaranya dan warga
sekampung mendapatkan benih padi mirip dengan kisah Dwi Sri di tanah Jawa.
Banyak versi kisah Besi Pare Tonu Wujo di Flores Timur. Diantaranya adalah
versi Muhan. Dimana, Muhan adalah salah satu suku di Flores Timur. Karena
merupakan salah satu bentuk sastra lisan maka penting untuk dilestarikan.
Cerita ini kami dengar langsung dari narasumber di Desa Palue, Kecamatan
Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur. Sehingga, beberapa foto yang kami
hadirkan adalah bukti keberadaan kami di sana.
Dahulu di Lewolalang, Desa Palue, Kecamatan wulanggitang, Kabupaten Flores
Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, hidup 8 (delapan) orang bersaudara yang
terdiri dari 7 (tujuh) orang putra dan 1 (satu) orang putri. Ketujuh putra itu,
yang masih diingat, adalah Subang, Noheng, Paji, Kuda, Werong, dan Kasa. Dan
satu-satunya putri itu bernama Besi.
Setiap hari, seperti halnya warga sekampung, mereka mencukupi kebutuhan
hidup dengan berburu binatang hutan dan mencari umbi-umbian. Untuk
beberapa waktu kebutuhan pangan warga selalu terpenuhi. Masalah mulai
muncul seiring bertambahnya jumlah penduduk. Ketersediaan binatang hutan
dan umbi-umbian tidak mampu menalangi kebutuhan pangan mereka.
Kampung Lewolalang dilanda bencana kelaparan yang hebat.
Untuk mengatasi bencana, kedelapan bersaudara ini memutuskan untuk
membuka kebun. Mereka menebang hutan, mengumpulkan potongan-potongan
kayu, membakar, dan membersihkan lahan. Dalam waktu singkat kebun yang
luas telah selesai dikerjakan. Setelah lahan disiapkan, masalah baru muncul:
mereka tidak memiliki benih siap tanam. Bahkan, hingga musim hujan tiba
mereka tak kunjung mendapatkan benih.
Dipimpin oleh Subang, seluruh warga kampung diminta untuk memanjatkan
doa kepada Yang Maha Kuasa. Berhari-hari mereka melakukan itu hingga
akhirnya Besi mendapatkan penglihatan. Kepadanya diberitahukan ritual-ritual
khusus yang harus dilakukan sebagai syarat untuk mendapatkan benih.
Ritual khusus yang harus dilakukan membuat Besi tak bisa tidur. Saban hari
dia memikirkan cara terbaik untuk menyampaikan ritual khusus itu kepada
saudaranya yang lain dan juga semua warga sekampung. Sementara hujan terus
turun keberaniannya tak kunjung datang. Besi terdesak waktu.
Pada akhirnya kecintaannya kepada saudara dan semua warga kampung
membuat Besi harus menyampaikan pesan dari Yang Maha Kuasa. Pesannya
singkat: mesti ada pengorbanan seorang wanita agar mereka boleh beroleh
benih. Dan, wanita itu haruslah Besi.
Penolakan datang dari semua saudaranya. Mulai dari Subang hingga Paji. Tak
ada satupun yang rela jika saudarinya menjadi korban untuk benih yang akan
mereka peroleh. Apalagi yang mesti melakukan ritual itu adalah salah satu
saudara laki-laki Besi.
Keteguhan hati Subang dan saudaranya yang lain akhirnya goyah lantaran tidak
ada lagi harapan untuk bertahan hidup. Rusa dan Babi hutan tak pernah
tampak lagi. Umbi-umbian sudah lama habis. Beberapa warga kampung mati
kelaparan. Keputusan harus segera dibuat: ritual harus dilakukan.
Hari itu tiba juga. Tengah malam, di kebang, mereka melakukan persiapan
dengan memakaikan busana kepada Besi. Ritual memakaikan busana kepada
saudari disebut loge bine. Mulai dari kaki hingga kepala. Besi mengenakan
sarung, gelang tangan, kalung, cincin, anting, baju kebaya. Ritual loge
bine masih terus dilakukan hingga kini dalam ritual adat perkawinan.
Setelah ritual loge bine selesai, mereka mengantar Besi ke tengah kebun. Di
sana ada sebatang kayu kukung yang telah ditancap di tanah dan sebuah batu
(wato). Kayu kukung sebagai simbol gading dan batu sebagai tempat duduk.
Akhirnya Besi dikorbankan. Sebelum dibunuh, Besi berpesan hal-hal yang
harus dilakukan setelah ia dibunuh. Paji, saudaranya, yang berani
membunuhnya setelah semua saudara tuanya tidak berani melakukan itu.
Kemudian jenazah Besi diletakkan di atas wato dan dibiarkan bersandar di
kayu kukung. Sesuai dengan pesan Besi. Ritual ini disebut tobo wato tonu ledan
kukung bala.
Setelah ritual tobo wato tonu ledan kukung bala selesai, dilanjutkan
dengan wekan se’sa dawin daruk. Semua potongan tubuh Besi dibenamkan
dalam tanah sepanjang ukuran kebun yang telah disiapkan. Kemudian kembali
ke rumah dan setelah tiga hari boleh kembali ke tempat ini.
Setelah tiga hari, mereka kembali ke kebang. Keheranan hadir karena di tempat
dimana mereka menguburkan tubuh Besi tidak ditemukan jasadnya. Mereka
panik dan serentak mencari jasad Besi sambil memanggil-manggil di setiap
sudut kebun. Anehnya, mereka selalu mendengar suara sahutan dari arah
sebaliknya padahal mereka tidak melihat yang empunya suara. Jika mereka
memanggil ke Timur, mereka akan mendengar jawaban dari Barat. Dan, jika
mereka memanggil ke Selatan, mereka akan mendengar jawaban dari Utara. Hal
ini terjadi secara terus-menerus hingga mereka menyadari bahwa Besi telah
benar-benar meninggalkan mereka.
Di kebang, tepat di tempat tempat dimana tubuh (daging) Besi dikuburkan,
tumbuh padi. Benih jagung dan sagu muncul di tempat dimana tulang
dibenamkan. Darah telah berubah menjadi weteng. Lemak tubuh berubah
menjadi benih kacang-kacangan. Buah labu adalah perubahan dari hati dan
jantung. Karena bibit labu muncul dari hati dan jantung, nama benih ini, dalam
bahasa daerah setempat disebut besi. Untuk mengenang Besi.
Setelah seluruh warga kampung mendapat benih. Mereka mulai bercocok tanam
dan hasilnya berlimpah-limpah. Bahkan, Paji harus membakar lumbung padi
miliknya saking terlalu banyak hasil yang diperoleh. Tempat dimana Paji
membakar lumbung padinya masih ada hingga kini.
Gundukan padi yang dibakar oleh Paji dan setelah seian lama berubah menjadi
tanah.
Di samping itu, ritual menancapkan kayu kukung dan meletakkan wato (batu) di
setiap kebun-kebun milik masyarakat masih dilakukan hingga saat ini. Ini
dilakukan untuk mengenang peristiwa berdarah, pengorbanan Besi untuk
saudara dan seluruh warga kampung.
Suatu ketika, karena suatu sebab, Subang meninggalkan Lewolalang dan pindah
ke wilayah Lewokung, Desa Mokantarak. Paji menuju ke arah Tanjung Bunga
(Lewokeka), Kuda di wilayah Lewoingu (Leworok), Werang di wilayah Tuakepa/
Lewotobi, sedangkan Naheng tetap menetap di Lewolalang. Di daerah-daerah itu,
mereka berbaur dengan masyarakat setempat, beranak pinak dan menurunkan
keturunan hingga saat ini. Demikian akhirnya, benih-benih padi, jagung,
kacang-kacangan dan labu boleh tersebar luas di seluruh Flores Timur.
Hingga saat ini, tempat-tempat dilaksanakannya ritual-ritual adat itu, masih
ada, menyendiri di antara pepohonan besar, semak-semak belukar, membentuk
hutan belantara berpagarkan lautan bambu. Dan yang pasti: menanti kisah ini
diceritakan.

Anda mungkin juga menyukai