bayang bayang tentang KKN selalu menarik bagi mahasiswa yang belum pernah
menjalaninya. Bayangan tentang terjun langsung di lapangan, membantu kegiatan warga,
mendirikan posko untuk kuliah kerja nyata yang berubah menjadi kisah kasih nyata dan cerita
asmaraloka lainnya yang selalu didambakan maba. Namun bayang-bayang itu hanyalah kisah
legenda. Kampus tempatku kuliah yakni IAIN Tulungagung pada tahun ini menerapkan KKN
secara daring. Semua mahasiswa melaksanakan KKN di desa masing-masing. Hal ini
dilakukan tentu saja akibat pandemi corona yang merajalela. Apalagi kampus tempat ku
kuliah dijadikan tempat isolasi walau hanya bagian asrama.
Tapi tak apa lah. KKN di desa sendiri juga tidak masalah. Dalam pelaksanaan KKN
dari rumah ini, kampus memberikan 2 jenis tugas yakni tugas kelompok dan tugas individu.
Salah satu tugas individu adalah menulis essai. Kelompok ku memilih tema essai tentang
budaya di desa masing-masing. Cukup menarik bagi ku untuk menulis essai tentang budaya
desa sendiri. Karena budaya di desa ku sendiri nampaknya ada sebuah polarisasi. Eitss, tapi
bukan polarisasi karena pilpres ya.
Desa ini merupakan kampung halaman ku dari lahir sampai sekarang. Jenjang sekolah
mulai dari TK, MI hingga SMP aku habiskan di desa ku sendiri. Madrasah tempatku ngaji
juga berada di Desa Mangunrejo. Jadi, masalah kehidupan, agama dan sosial budaya
masyarakat desa Mangunrejo bisa dibilang sudah hafal.
Kebetulan aku tinggal di wilayah utara. Jadi di desa wilayah utara terkenal dengan
masyarakatnya yang agamis. Di sini terdapat masjid tertua di Desa Mangunrejo dan 2 buah
makam tokoh yang membuka atau babad desa. Ranting dari organisasi Nahdlatul Ulama Desa
Mangunrejo juga berada di Dusun Munengan. Tradisi yang dilakukan masyarakat wilayah ini
adalah kamisan dan yasinan. Kamisan merupakan pengajian dengan membaca yasin dan
tahlil yang dilakukan oleh ibu-ibu setiap malam kamis. Kamisan dimulai setelah salat
maghrib dan selesai setelah salat isya’. Rumah yang digunakan untuk kamisan ditentukan
secara bergilir setiap minggunya.
Selanjutnya tradisi yang dilakukan oleh pemuda dan anak-anak ialah tiba’an atau
berjanjen. Tiba’an atau berjanjen adalah kegiatan pengajian yang isinya membaca kitab
maulid nabi Muhammad dan diselingi oleh sholawatan yang diiringi oleh musik rebana.
Tiba’an dilakukan setiap ba’da isyak sampai jam 10 malam. Itu tadi beberapa tradisi atau
kegiatan yang dilakukan di dusun Munengan dan Sumberjoyo, atau wong loran dan atau
wong ijo.
Sekarang kita beralih ke wilayah selatan. Di sini ada dua dusun, yakni Dusun Krajan
dan Dusun Bedug. Wilayah ini sering disebut wilayah abangan karena mayoritas warganya
awam tentang agama. Dulu sebelum pandemi melanda, banyak tradisi-tradisi yang tidak
pernah dilakukan di wilayah utara tapi sering dilakukan di wilayah selatan. Seperti contoh
Jaranan. Jaranan sering diadakan saat ada hajatan seperti sunatan, pembukaan usaha atau
tanggapan yang tujuannya hanya sebagai hiburan saja. Kebetulan juga disana juga terdapat 2
buah lapangan desa, sehingga berbagai macam kegiatan yang bersifat mengumpulkan orang
banyak sering diadakan di situ. Seperti dangdutan, pasar malam, wayang dan konser.
Itulah tadi beberapa perbedaan budaya yang ada diwilayah selatan dan utara di dalam
Desa Mangunrejo. Seperti disebutkan diatas, tidak semua wilayah utara atau wong ijo paham
agama, dan juga tidak semua wilayah selatan atau wong abangan tidak paham agama.
Apalagi zaman semakin berkembang sehingga pola masyarakat pun semakin beragam.
Terlepas dari perbedaan utara dan selatan, masih ada budaya atau tradisi Desa Mangunrejo
yang dilakukan serentak satu desa. Seperti selametan pada malam 17 agustus dan carnaval
mobil hias pada tanggal 20 an agustus.
Sebagai informasi tambahan mengapa wilayah utara jarang diadakan jaranan, karena
ada mitos yang mengatakan bahwa siapapun warga yang menggantung atau memainkan
gong, maka akan mengalami kesialan. Hal ini pernah terjadi kepada salah satu warga Dusun
Munengan. Ia mempersilakan halaman rumahnya untuk pertunjukan jaranan. Beberapa hari
setelah acara selesai dilakukan, ikan gurami yang dibudidayakan di kolam belakang
rumahnya mendadak terserang penyakit dan akhirnya mati semua.
Demikianlah sepenggal cerita tentang budaya dan tradisi yang ada di kampung
halaman ku. KKN dari rumah ternyata tidak hanya mampu menghadirkan elegi, namun juga
bisa sebagai wadah untuk terus mengeksplorasi dan memperkenalkan budaya dan tradisi.
Budaya yang ada di desa harus tetap dilestarikan agar tidak punah tergerus zaman.
Digitalisasi desa harus masif dilakukan agar semua potensi suatu desa bisa terpublikasi dan
tersimpan rapi dalam teknologi.