Anda di halaman 1dari 6

BUDAYA NON BENDA NUSA TENGGARA TIMUR

A.TARIAN

1. Tari Atoni Meto

Tari Atoni Meto


Tarian ini merupakan gambaran dari para pemuda Suku Dawan yang pandai berburu
dengan daun lontar. Suku Dawan merupakan salah satu suku tertua dan juga terbesar yang
ada di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Tanah Dawan, begitu sebutan wilayah
tempat tinggal bagi suku ini. Tanah Dawan merupakan kawasan yang kering dengan curah
hujan yang sangat rendah pada setiap tahunnya. Meskipun begitu, Nusa Tenggara Timur
menjadi salah satu kawasan yang paling dipenuhi oleh pohon silawan. Karenanya, daun
lontar ini memiliki kedudukan khusus didalam berbagai bentuk kesenian dan juga tradisi
masyarakat adat Suku Dawan.
Secara umum, tari kreasi atoni meto ini merupakan tarian muda-mudi yang dipentaskan
oleh 4 (empat) - 6 (enam) pasang pria dan wanita. Para penari biasanya mengenakan
pakaian adat khas Nusa Tenggara Timur yang telah dimodifikasi dibeberapa bagiannya.
Daun lontar menjadi properti utama yang dapat diubah fungsi menjadi pelengkap pakaian
yang digunakan para penari. Hal tersebut dapat dilihat ketika properti wadah air yang
terbuat dari daun lontar berubah fungsi menjadi sebuah hiasan kepala wanita penari.

2. Tari Bidu
Tari Bidu
Tari Bidu adalah tarian tradisional dari daerah Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Tarian ini biasanya ditampilkan oleh beberapa para penari pria dan penari wanita dengan
busana adat dan menari dengan gerakan yang sangat khas. Tari Bidu ini merupakan salah
satu dari tarian tradisional yang cukup terkenal di masyarakat Belu. Konon, Tarian ini
dahulunya digunakan oleh masyarakat disana sebagai media pencarian jodoh bagi para
pemuda-pemudi.

3. Tari Caci

Tari Caci

Tari Caci adalah salah satu kesenian tradisional sejenis tarian perang khas dari masyarakat
Manggarai di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara timur. Tarian ini merupakan tarian
tradisional yang dimainkan oleh 2 (dua) para penari laki-laki yang menari dan juga saling
bertarung dengan menggunakan cambuk dan sebuah perisai sebagai senjatanya.
Menurut sejarah, Tari Caci ini berawal dari sebuah tradisi masyarakat Manggarai dimana
para laki-laki akan saling bertarung satu lawan satu untuk menguji keberanian dan juga
ketangkasan mereka dalam bertarung. Tarian ini kemudian berkembang menjadi kesenian
dimana ada gerakan tari, lagu, dan juga musik pengiring dalam memeriahkan acara. Nama
Tari Caci ini sendiri berasal dari kata ca yang berarti satu dan kata ci yang berarti uji.
Sehingga caci ini dapat diartikan sebagai uji ketangkasan dengan cara satu lawan satu.

B.CERITA RAKYAT
SURI IKUN DAN DUA BURUNG

Konon dahulu kala di Pulau Timor, hiduplah seorang petani dengan istrinya. Mereka
memunyai empat belas anak. Tujuh orang anak laki-laki dan tujuh orang anak perempuan.
Sehari-hari Pak Tani bekerja di kebun. Belakangan ini, tanaman di kebunnya dirusak oleh
babi hutan.

Ketujuh anak lelakinya ditugaskan Pak Tani menjaga kebun secara bergiliran. Di depan
ayahnya, ketujuh anak tersebut menyatakan kesanggupannya. Namun, keenam saudara
laki-lakinya sangat penakut dan pendengki, kecuali Suri Ikun. Setiap ada babi yang hendak
merusak tanaman, saudara-saudaranya tidak bertindak apa pun.

Berbeda dengan Suri Ikun yang memiliki watak pemberani dan baik hati. Apabila
didengarnya dengusan babi, ia segera memanah si perusak tanaman itu. Seketika itu juga,
hewan itu jatuh tersungkur ke tanah dan mati. Suri Ikun membawanya pulang ke rumah
saat saudara-saudaranya menunggu di rumah.

Saudara-saudaranya merasa iri dengan tangkapan yang dibawa Suri Ikun. Dengan sedikit
mencibir, kakak tertua membagi-bagikan daging hewan tersebut. Mestinya Suri Ikun yang
memperoleh bagian yang lebih banyak karena itu adalah hasil tangkapannya, tetapi karena
kedengkian saudara-saudaranya, ia hanya memperoleh bagian kepalanya.
Advertisements
Suatu hari si kakak mengajak Suri Ikun untuk mencari gerinda ayahnya yang tertinggal di
hutan. Ketika itu hari sudah gelap. Mereka berjalan di tengah kegelapan. Namun, di tengah
perjalanan, si kakak meninggalkannya. Ia sengaja mengambil jalan lain dan pulang ke
rumah. Sementara itu, Suri Ikun berjalan terus hingga masuk ke tengah hutan. Ia tidak
menyadari apa yang terjadi.
Sesampainya di tengah hutan, hantu-hantu yang suka memakan manusia itu langsung
menangkapnya. Kemudian, Suri Ikun ditawan di dalam sebuah gua. Ia tidak langsung
dimakan, tetapi dibiarkan hidup lebih lama dan diberi makanan, agar lekas gemuk. Pada
saatnya akan menjadi makanan lezat yang berdaging.

Cerita Rakyat Singkat Suri Ikun dan Dua Burung

Keadaan di dalam gua begitu gelap, hanya ada celah kecil, sehingga hanya seberkas sinar
yang dapat masuk ke dalam gua. Dari celah tersebut, Suri Ikun dapat melihat dua ekor
anak burung yang kelaparan. Melihat hal itu, Suri Ikun iba hati dan membagi separuh
makanannya dengan kedua anak burung tersebut. Singkat cerita, kedua anak burung
tersebut telah tumbuh menjadi burung yang sangat besar dan kuat. Mereka merasa
berhutang budi pada kebaikan Suri Ikun yang telah memberinya makan. Mereka ingin
membebaskan Suri Ikun dari tawanan hantu-hantu hutan.

Ketika hantu-hantu itu membuka pintu gua, dua burung besar yang telah bersiap di
belakang pintu dan langsung menerjangnya. Beberapa kali terjangan, hantu-hantu tersebut
terkapar tidak berdaya. Terbukalah jalan untuk membawa Suri Ikun keluar dari gua.
Kemudian, pintu dibuka lebar dan mereka menerbangkan Suri Ikun keluar gua sampai jauh
dan akhirnya hinggap di atas sebuah bukit. Kedua burung tersebut ternyata bukan
sembarang burung. Mereka memiliki kekuatan gaib sebagai burung titisan dewa. Berkat
kekuatan gaib yang dimiliki kedua ekor burung tersebut,
dalam sekejap terciptalah istana disertai pengawal dan pelayannya. Suri Ikun sangat takjub
dan merasa ingin tinggal di istana di atas bukit tersebut. Akhirnya, Suri Ikun memutuskan
untuk tinggal dan menetap di bukit. Suri

Ikun hidup berbahagia, telah menemukan tempat tinggal yang nyaman, dan terbebas dari
kedengkian saudarasaudaranya.

Upacara adat
Upacara Masa Sebelum Hamil
Pada suku Sabu, upacara ini disebut pejore donahu ngabui, sedangkan pada suku
Dawan disebut lais toit li ana, upacara ini dilakukan oleh sepasang suami istri. Upacara
ini bertujuan untuk memohon kepada dewa agar diberi keturunan. Dalam
pelaksanaannya upacara ini melibatkan keluarga dan kerabat dari pihak laki-laki dan
perempuan serta sesepuh-sesepuh adat. Dalam masyarakat suku Sabu, upacara ini
dilaksanakan tepat pada hari perkawinan yaitu setelah upacara perkawinan selesai
dilakukan. Sementara itu, dalam masyarakat suku Dawan. upacara ini bisa dilakukan
kapan saja, biasanya pada musim kemarau sesudah panen.

Upacara Adat "pajore donahu ngabui" Suku Sabu, NTT

Upacara Masa Kehamilan


Orang-orang suku Sabu menyebut upacara ini Iu Roulekku (hapo pakebake). Iu
Roulekkuartinya memasang atau mengikat daun lontar pada bagian depan rumah,
sedangkan hapo pakebake berarti menyambut kandungan yang telah jadi. Sementara
itu, orang-orang suku Dawan menyebutnya Lais toet manik oe matene atau Lais toet
aomina yang artinya memohon kesejahteraan buah kandungan. Upacara ini bertujuan
untuk memohon agar bayi yang ada dalam kandungan sehat walafiat dan lahir dengan
selamat serta dalam keadaan sempurna. Upacara ini diadakan saat kandungan
berumur 5 bulan karena menurut kepercayaan orang sabu, pada saat itu bayi telah
menjadi manusia sempurna. Sarana-sarana yang digunakan dalam pelaksanaan
upacara antara lain selembar daun lontar beserta lidinya yang belum dipisahkan, yang
kemudian dianyam membentuk sebuah wadah khusus untuk tempat persembahan
(Roulekku), tikar, sesajian, dan hewan untuk disembelih. Dalam upacara ini, baik suku
Sabu maupun suku Dawan sama-sama menyembelih hewan untuk dipersembahkan
pada para dewa.

Upacara Masa Kelahiran


Pada suku Sabu, upacara ini disebut Hapo ana, dan pada suku Dawan disebut Lasi an
kon aufnao an kon. Upacara ini dimaksudkan untuk memohon pada para dewa agar bayi
lahir dengan selamat dan selalu sehat, dan agar ibu si bayi juga selalu sehat dan dapat
mengandung lagi serta melahirkan dengan selamat. Tahapan upacara ini meliputi
pemotongan ari-ari bayi, penggantungan ari-ari bayi tersebut di atas pohon,
pemberkatan bayi dan ibunya. Pelaksanaan upacara ini juga melibatkan semua
anggota keluarga, kerabat, dan tokoh-tokoh adat. Biasanya dalam upacara ini diadakan
penyembelihan hewan, seperti kambing, domba, babi atau ayam.

Upacara Masa Bayi


Dalam adat suku Sabu, upacara ini disebut Pejiu Ei Daba, sedangkan pada suku Dawan
disebut Lasi na poitan liana. Maksud dari penyelenggaraan upacara ini adalah untuk
memperkenalkan bayi itu kepada masyarakat agar diakui sebagai anggota masyarakat
tersebut. Dengan demikian, bayi tersebut akan mendapat hak dan perlakuan yang
sama seperti anggota masyarakat yang lain. Seperti halnya upacara-upacara yang lain,
upacara masa bayi ini pun melibatkan keluarga, kerabat, dan tokoh-tokoh adat. Akan
tetapi, biasanya yang paling berperan dalam pelaksanaan upacara ini adalah nenek si
bayi. Dalam upacara ini pun juga ada penyembelihan hewan, seperti sapi, ayam, atau
babi.

Upacara Masa Kanak-Kanak


Masyarakat suku Sabu menyebut upacara ini Leko Wue, sedangkan dalam masyarakat
suku Dawan disebut Lasi eon a funu’. Upacara ini diadakan dengan maksud agar si anak
terhindar dari bahaya dan dapat memenuhi tuntutan-tuntutan yang berlaku dalam
masyarakat. Selain itu, upacara ini juga dimaksudkan untuk memberitahukan kepada
anggota masyarakat yang lain bahwa si anak telah tumbuh dari masa bayi ke masa
kanak-kanak. Biasanya upacara ini dilakukan ketika anak berusia 3 sampai 5 tahun,
dan melibatkan keluarga, kerabat, dan tetangga dekat. Tempat penyelenggaraan
upacara ini berada di rumah yang ditinggali si anak. Proses upacara ditandai dengan
ritual pemotongan hewan, seperti babi. Kemudian daging hewan dimasak, dan dimakan
bersama-sama.

Upacara Menjelang Dewasa


Ada dua macam upacara yang diperuntukkan bagi anak yang usianya menjelang
dewasa, yaitu upacara sunat bagi anak laki-laki dan upacara pasah gigi bagi anak
perempuan

Anda mungkin juga menyukai