Anda di halaman 1dari 17

BUDAYA TRADISIONAL PAPUA

BUDAYA NONBENDA

PANTUN
1. Lamun mele lilit paku
Llilit paku leq teken jarang
Lamun mele berdait aku
Bedait aku leq peken doang
Artinya:
Kalau ingin melilit paku
Melilit paku pada tiang yang jarang
Kalau ingin bertemu aku
Bertemu aku hanya di pasar

2. Dendeq mele ta para pelit


Sengaq jarang nyugulang amal
Dende mele kereng berdai
Kanca bajang siq masang akal
Artinya:
Jangan mau disangka pelit
Karena jarang mengeluarkan aman
Jangan mau sering bertemu
Dengan perjaka yang banyak akal

3. Lamun ta gitaq lelayang taeq


Ndekna girang belilit siq rotan
Lamun ta gitaq bajang laek
Ndekna girang berdait leg langan
Artinya:
Kalau melihat layang-layang terbang
Tidak senang dililit rotan
Kalau melihat perjaka masa lalu
Tidak senang berjumpa di jalan
CERITA RAKYAT
1. Asal Usul Irian

Pada suatu hari di daerah Biak barat di kampung sopen ada seseorang yang bernama
Mananamakrdi yang dibenci oleh masyarakat karena penyakit kudis, dan akhirnya ia di usir dari
desa.
Singkat cerita ia tinggal di Pulau Miokbudi di biak timur dan ia membangun rumah dan tak
lama setelah itu ia mengalami pencurian bahan makanan nya, ternyata setelah tertangkap ia adalah
sosok peri dan akhirnya Mananamakrdi meminta Istri yang cantik dan penyakit kudisnya sembuh.
Dengan berbagai perjalanan , singkat cerita ternyata memang terbukti benar, ia memiliki
istri dan sembuh, dan kabar baiknya ia memiliki seorang anak yang pada suatu hari menemukan
daratan papua yang di teriaki Iriaan iriaan yang dikenal di bahasa biak yang berarti Panas, dan
setelah itu pulau Papua disebut Irian.
2. Asal Usul Burung Cendrawasih

Di daerah Fak fak pada zaman dahulu di pengunungan Bumperi hiduplah seorang
perempuan tua bersama seekor anjing betina. Dan singkat cerita tiba2 sang wanita itu hamil tanpa
penyebab dan lahirlah seorang laki-laki bernamaa Kweiya.
Beberapa tahun kemudian Kweiya bertemu dengan seseorang llelaki, dan Kweiya ahirnya
mengenalkan pria itu dengan ibunya, dan ahirnya menikahlah mereka hingga memiliki dua anak.
Namun seiring berjalanya waktu adik tiri Kweiya memiliki sifat iri dengki pada Kweiya,
dan suatu hari mereka menyeraang Kweiya.
Kesal karena tubuh kweiya penuh luka karena serangan kedua adiknya ahirnya kweiya
bersembunyi di sudut rumah dengan menali tubuhnya dengan kulit pohon "Pogak nggein" dan saat
orangtuanya pulang dan mencari Kweiya. dan apa yang terjadi ternyata Kweiya menjadi seekor
burung aneh yang berbunyi "Eek ek ek ek" dan sampai ibunya menyadari akhirnya ibunya
menangis tersedu-sedu dan ingin ikut anaknya menjadi burung, dan hasilnya ibunya pun berubah
menjadi burung Cendrawaasih.
3. Buaya Ajaib Sungai Tami

Pada saat itu dikisahkan ada sepasang suami istri yang mengalami kesulitan untuk
melahirkan, dikarenakan anaknya terlalu besar dan sulit keluar, ahirnya ia diperintahkan untuk
mencari rumput air ke sungai Tami. Dan di tepi sungai saat pria itu mencari rumput air tiba-tiba
dibelakangnya ada sesosok buaya yang besar dan anehnya di sekujur tubuhnya di tumbuhi bulu
seperti burung Kaswari.
Tanpa pikir panjang pria itu bergegas untuk lari namun si buaya ajaib itu tiba-tiba berbicara,
"Tunggu dulu," dan meminta tolong pada pria itu agar melepaskanya dari jepitan batu.
Dan akhirnya pria itu melepasnya dari himpitan batu, walhasil buaya itupun mengantarkan
rumput air kerumahnya dan aahirnya mereka bersahabat.
Dan hingga kini anak turun pria itu masih menjaga anak turun buaya itu dan melarang
adanya pemburuan atas buaya di sungai Tami.
Gimana gengs, seru kan beberapa cerita di Papua, siapa tahu kalian belum tahu dan baru
denger, untuk cerita lebih detailnya kalian bisa cari di Google yach.

TARIAN
1. Tari Soanggi
Tarian daerah Papua yang pertama ialah tari Soanggi. Tarian ini merupakan tarian adat yang
berasal dari daerah pantai Teluk Cendrawasih, Kabupaten Waropen, Provinsi Papua Barat.
Eksistensi awal dari tari Soanggi tidak ditemukan secara jelas hingga sekarang, namun tari
Soanggi adalah salah satu bentuk dari ekspresi masyarakat Papua Barat yang masih kental dengan
nuansa-nuansa magis.
Tari Soanggi disebutkan berawal dari sebuah kisah seorang suami yang ditinggal mati oleh
sang istri karena diserang oleh makhluk dengan nama anggi-anggi atau soanggi (jadi-jadian). Di
Jawa, makhluk soanggi ini disebut sebagai memedi.
Menurut kepercayaan dari warga sekitar, soanggai adalah roh jahat yang belum
mendapatkan rasa nyaman di alam baka, tempat ia seharusnya berada. Roh jahat tersebut pada
umumnya akan datang serta merasuki tubuh dari seorang perempuan.
Lalu, apabila korbannya telah diserang, para kepala suku akan segera mencari tahu soanggi
yang telah mencelakai korban sebagai suatu upaya dari pencegahan agar tidak muncul korban
lainnya. Kentalnya nuansa magis tersebut, lalu direalisasikan menjadi tarian Soanggi yang
kemudian dikenal sebagai pimpinan dengan senjata perisai serta parang. Mereka akan
mengenakan pakaian rumbai sebagai penutup badan bagian bawahnya.
Tarian ini menggambarkan mengenai perang yang terjadi di antara para penduduk yang
bersenjatakan busur serta anak panah dengan seekor soanggi. Dalam perang tersebut, soanggi
dapat menjadi pihak yang memenangkan pertarungan.
Gerakan dari tari Soanggi berfungsi untuk dapat mengusir roh jahat yang masih terikat janji
dan janjinya belum dipenuhi. Setiap gerakan dari tarian ini dilakukan lebih menyerupai aktivitas
dari seorang dukun atau seseorang dengan kekuatan magis yang dapat menyembuhkan suatu
penyakit.
Busana dari para penari Soanggi adalah pakaian tradisional Papua Barat. Ada pula iringan
dari tari Soanggi adalah menggunakan alat musik tifa serta terompet kerang. Selain iringan dengan
alat musik, tarian tradisional juga diiringi dengan nyanyian oleh para penarinya. Tari Soanggi ini
hanyalah dipentaskan ketika ada seorang warga yang meninggal dunia dan bukan sebagai tari
pertunjukan umum atau sebagai tari pentas seni.

2. Tari Det Pok Mbui


Tarian daerah Papua selanjutnya adalah tari Det Pok Mbui yaitu tarian tradisional yang
berasal dari tiga kecamatan di Kabupaten Merauke, Provinsi Papua yaitu Agats, Sauwa Ema serta
Pirimapun.
Kemunculan awal dari tari Det Pok Mbui telah ada sejak Indonesia belum merdeka.
Penyebutan tari tradisional yaitu Det Pok Mbui berasal dari dua suku kata yaitu kata det yang
artinya adalah topeng yang mirip setan dan pok mbui yang artinya adalah pesta atau sebuah
upacara. Maka arti kata dari Det Pok Mbui adalah upacara topeng setan.
Tarian tradisional ini dipentaskan oleh sekelompok penari laki-laki serta penari perempuan
dan dipentaskan pada siang ataupun sore hari setelah melakukan panen mencari sagu. Pentas tari
Det Pok Mbui dilakukan selama kurang lebih 2 hingga 4 jam.
Pada umumnya, tari Det Pok Mbui ini dipentaskan di tepi sungai dikarenakan ada adegan
menaiki perahu. Susunan dari tari Det Pok Mbui adalah ketua adat ataupun pimpinan upacara
yang berdiri di tengah arena, lalu ketua adat tersebut memanggil para penari dengan menggunakan
fu ataupun tifa sebagai suatu penanda bahwa tarian akan segera dimulai. Para penari atau peserta
upacara adat kemudian akan berkumpul di dalam pentas.
Iringan dari tari Det Pok Mbui menggunakan alat musik berupa tifa dan gu, sementara itu
lagu pengiring yang digunakan adalah jipai so atau setan atau roh halus, untuk gerakan dari tari ini
meliputi jiwi ndil atau gerak pinggul, a ndi atau gerak pantat dan terakhir gerak ban ndi atau gerak
anggota tubuh.
Ketika mementaskan tari Det Pok Mbui, para penari akan menghias wajah serta tubuhnya
dengan menggunakan arang serta kapur. Busana yang dikenakan oleh para penari laki-laki adalah
berupa rok yang terbuat dari bulu burung kasuari, sementara itu para penari perempuan
menggunakan busana dari rok rumput dengan nama awer.
Aksesoris yang digunakan oleh para penari meliputi gelang kaki, gelang tangan serta gelang
lengan. Sementara itu, bagian leher para penari akan dihiasi oleh kalung yang terbuat dari gigi
anjing, taring babi ataupun manik-manik.

4. Tari Afaitaneng

Tari Afaitaneng merupakan sebuah tarian daerah tradisional yang berasal dari daerah di
Distrik Kepulauan Ambai, Kabupaten Kepulauan Yapen, Provinsi Papua Barat. Eksistensi dari
awal tarian ini telah ada sejak Indonesia belum merdeka, sama seperti kebanyakan dari tarian
daerah Papua yang lainnya.
Tarian Afaitaneng satu ini termasuk dalam tarian tradisional yang berkaitan dengan sikap
kepahlawanan. Penyebutan dari nama tari Afaitaneng berasal dari dua suku kata yaitu afai yang
artinya adalah panah serta kata taneng yang artinya adalah milik. Maka secara keseluruhan, tari
Afaitaneng dapat diartikan sebagai anak panah milik kami.
Pada umumnya, tari Afaitaneng dipentaskan selama satu malam penuh ketika sore hari atau
pada malam hari setelah peperangan. Tarian ini menggambarkan mengenai kehebatan,
kemenangan serta kekuatan dari rombongan perang yang melawan musuh dengan senjata berupa
busur serta panah.
Seperti kebanyak tarian daerah Papua yang lain, tari Afaitaneng dipentaskan secara
berkelompok oleh para penari laki-laki dan perempuan dengan membentuk sebuah formasi
lingkaran ataupun barisan.
Susunan dari tari Afaitaneng adalah dibagi menjadi tiga bagian yaitu sekelompok para
penari perempuan yang sedang meratapi mayat seorang budak pada permulaan tari, sekelompok
penari laki-laki yang menunjukan kehebatannya dalam memanah di bagian kedua pementasan dan
sekelompok penari laki-laki serta perempuan yang sedang merayakan kemenangan usai menang
melawan musuh di bagian ketiga.
Busana yang dikenakan oleh para penari Afaitaneng adalah busana tradisional yang disebut
sebagai kuwai atau cawat. Busana tersebut dihiasi oleh manik-manik serta perhiasan gelang
tangan.
Para penari juga akan membawa sebuah aksesoris tambahan berupa afai atau panah serta
umbee atau parang. Ada pula iringan dari tari Afaitaneng adalah dengan menggunakan alat musik
tifa atau fikinotu, tibura atau triton. Sementara itu, lagu pengiring yang dinyanyikan adalah
nimasae.

UPACARA ADAT
1. Tanam Sasi, Upacara Adat Kematian oleh Suku Marind Anim
Upacara adat tanam sasi adalah upacara adat kematian yang berkembang di daerah
Kabupaten Merauke dan dilaksanakan oleh suku Marind atau suku Marind-Anim. Suku Marind
berada di wilayah dataran luas di Papua Barat.
Kata anim dalam penamaan suku Marind Anim ini memiliki arti laki-laki dan kata anum
artinya adalah perempuan. Jumlah penduduk dari suku ini diperkirakan sebanyak 5000 hingga
7000 jiwa.
Sasi adalah sejenis kayu yang menjadi media utama dalam rangkaian upacara adat kematian
satu ini. Kayu sasi ditanam selama kurang lebih 40 hari setelah kematian seseorang di daerah
tersebut. Kayu sasi kemudian akan dicabut, setelah mencapai hari ke-seribu ditanam.
Upacara tanam sasi ini selalu dilaksanakan oleh Suku Marind dan berdampak pada hasil
ukiran kayu khas Papua yang terkenal hingga ke mancanegara.
Seperti halnya upacara bakar batu, upacara tanam sasi juga memiliki filosofi atau arti khusus
bagi penduduk suku Marind. Makna yang tersimpan dalam upacara tanam sasi adalah sebagai
berikut ini.
 Ukiran khas yang berasal dari Papua, melambangkan kehadiran dari para leluhur.
 Upacara tanam sasi adalah wujud dari tanda keadaan hati bagi masyarakat
 Papua, contohnya seperti menyatakan rasa sedih ketika ada seseorang yang meninggal.
 Sebagai sebuah simbol kepercayaan dari masyarakat dengan motif-motif khusus seperti hewan,
manusia serta tumbuhan yang diukir di atas kayu.
 Sebagai simbol dari keindahan dalam bentuk mahakarya maupun karya seni yang dibuat oleh
masyarakat Papua dan mewakili kenangan-kenangan dari nenek moyang.
Masyarakat Papua yang melaksanakan upacara tanam sasi ini mempercayai bahwa ukiran
pada kayu sasi memiliki beberapa makna khusus, seperti kehadiran dari para roh leluhur, simbol
kepercayaan pada makhluk hidup dan simbol dari keindahan dan karya seni.
Pada proses upacara Tanam Sasi, masyarakat akan menampilkan tarian tradisional yang
disebut dengan Tari Gatsi. Tari Gatsi adalah salah satu tarian khas dari Suku Marind.
Tari Gatsi ini dipentaskan hanya ketika upacara adat Tanam Sasi berlangsung dan festival
tusu telinga, hal ini karena Tari Gatsi memiliki makna khusus yaitu agar masyarakat dari Suku
Marind senantiasa mematuhi adat budaya yang ada di masyarakat dan turut melestarikan tradisi
dari masyarakat Suku Marind. Selama pertunjukan, para musisi akan memainkan alat musik
tradisional yang bernama Tifa.
Tifa merupakan alat musik yang memiliki bentuk seperti gendang kecil atau dogdog. Selain
itu tifa juga dinilai sangat istimewa karena terbuat dari kayu susu. Kayu ini adalah kayu keras
yang hanya dapat ditemukan di wilayah hutan Papua Barat saja. Sedangkan bagian gendang dari
tifa terbuat dari kulit biawak atau rusa yang telah diolah hingga menghasilkan suara musik.
2. Wor, Ritual untuk Meminta Perlindungan

Upacara Wor merupakan tradisi yang telah dilakukan secara turun temurun oleh Suku Biak,
yaitu suku yang mendiami berbagai daerah di Papua. Upacara Wor dapat dimaknai sebagai
upacara adat yang memiliki hubungan dengan kehidupan religius dari masyarakat Suku Biak,
sehingga segala macam aspek kehidupan sosial masyarakat Suku Biak seringkali diwarnai dengan
Wor.
Bagi warga Biak, upacara Wor merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
keluarga inti dengan melibatkan kerabat suami dan istri. Tujuannya adalah untuk memohon
sekaligus meminta perlindungan untuk anak mereka pada penguasa alam semesta.
Upacara Wor juga dipercaya oleh warga Biak dapat melindungi seseorang setiap ada
peralihan siklus dalam hidupnya. Biasanya, masyarakat Suku Biak melaksanakan upacara Wor
untuk mengiringi pertumbuhan fisik anak-anak, sejak masih dalam kandungan, sudah lahir hingga
usia tua atau bahkan kematian.
3. Kematian Suku Asmat

Upacara adat Papua yang cukup dikenal adalah upacara kematian oleh Suku Asmat. Suku
Asmat merupakan salah satu suku yang memiliki populasi terbesar di Papua. Selain sebagai suku
terbesar, Suku Asmat juga memiliki beberapa ritual atau upacara-upacara penting yang biasa
dilakukan dan salah satunya adalah upacara kematian Suku Asmat.
Masyarakat Suku Asmat, biasanya tidak mengubur mayat dari anggota suku yang telah meninggal
dunia. Mereka biasanya meletakan mayat tersebut di atas perahu lesung dengan dibekali sagu, lalu
mayat tersebut dibiarkan mengalir ke laut membiarkan mayat tersebut berada di atas anyaman
bambu hingga akhirnya membusuk.
Setelah mayat yang dibiarkan itu menjadi tulang belulang, barulah masyarakat Suku Asmat akan
menyimpannya di atas pokok kayu. Sedangkan tengkorak dari mayat tersebut akan dijadikan
sebagai bantal oleh anggota keluarganya. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kasih sayang, cinta dari
anggota keluarga yang ditinggalkan.
Upacara kematian dilakukan oleh masyarakat Suku Asmat, karena masyarakat Asmat percaya
bahwa kematian bukanlah suatu hal yang alamiah, melainkan sebagai penanda adanya roh jahat
yang mengganggu. Oleh karena itu, ketika ada seseorang yang sakit, maka warga Asmat akan
membuat pagar dari pohon dahan nipah.
Pohon dari dahan nipah ini bertujuan untuk mengusir roh jahat yang berkeliaran di sekitar orang
sakit tersebut dan tidak mendekati orang tersebut. Ketika orang tersebut, sakit maka orang-orang
hanya akan berdiam dan berkerumun di sekelilingnya tanpa memberi obat atau makan. Barulah
setelah orang yang sakit tersebut meninggal, masyarakat Suku Asmat akan berebutan untuk
memeluk mayat tersebut dan keluar menggulingkan badannya di lumpur.

MAKANAN DAERAH PAPUA


1. Makanan Khas Papua Tepung Sagu

Sagu menjadi menjadi masakan tradisional beberapa daerah seperti Ambon dan Papua. Sagu
bisa dibuat menjadi tepung yang dibuat dari teras batang rumbia atau pohon sagu. Tepung sagu
hampir mirip tepung tapioka.
Manfaat sagu di antaranya adalah dapat mencegah penyakit lambung, aman dikonsumsi
penderita diabetes, dapat membuat kenyang lebih tahan lama, dan baik untuk pertumbuhan anak.
Sagu bisa diolah menjadi papeda, sagu lempeng, sagu lempeng gula merah, sagu bakar
kelapa, sagu bakar. Selain itu, bahan ini bisa kembangkan menjadi roti, biskuit, mie, soun,
kerupuk, sagu mutiara, dan bahan sirup.
Seperti yang sudah diketahui oleh banyak orang bahwa Papua sangat dikenal dengan
sagunya. Bahkan, makanan khas yang terbuat dari sagu sudah tersebar hampir di setiap daerah
Indonesia. Apabila kamu ingin mendalami tentang sagu Papua, maka kamu bisa mencarinya
melalui buku Sagu Papua karya Ahmad Arif. Lewat buku ini, wawasan kamu tentang sagu Papua
akan bertambah.

2. Papeda

Papeda merupakan makanan khas Papua, Maluku, dan beberapa daerah di Sulawesi. Papeda
menjadi makanan khas yang paling populer, bahkan masyarakat luar Papua pun juga banyak yang
menyukai makanan satu ini. Bentuk makanan ini seperti pasta atau gel. Papeda mengandung
karbohidrat pengganti nasi.
Papeda memiliki warna putih bening atau agak keruh dan tekstur lengket yang mirip dengan
lem. Papeda dibuat dari proses pengolahan sagu. Makanan ini biasanya dihidangkan bersama ikan,
daging, kelapa, sayuran dan lainnya. Papeda bisa dibungkus menggunakan daun pisang untuk
dimakan nanti.
Makanan papeda ini bisa dibilang sudah dikenal hampir di semua daerah Indonesia. Bahkan,
makanan yang satu ini terkadang sudah menjadi jajanan khas anak-anak SD.

3. Sagu Lempeng

Sagu lempeng merupakan kue kering yang bisa dimakan langsung atau dicelupkan pada teh
panas, kopi, dan kuah ikan. Bentuk dan ukuran kue ini bervariasi tergantung dari alat pencetak dan
cara memasak. Sagu lempeng dikenal sebagai roti tawar khas Papua yang dibuat dari sagu,
dicetak, dan dibakar. Selain dinikmati sendiri, sagu lempeng juga cocok dijadikan teman minum
kopi atau teh saat sedang bersantai. Pembuatan sagu lempeng terbilang mudah seperti pembuatan
roti lain. Sagu diolah dengan cara dibakar dengan dicetak persegi panjang atau empat dengan besi.
Rasa awalnya, tawar. Namun, setelah beberapa lama, rasanya sudah mulai bervariasi dengan gula
untuk mendapatkan cita rasa manis. Teksturnya keras dan bisa dinikmati dengan dicampur atau
dicelupkan ke air supaya lebih lunak.
Sagu lempeng kebanyakan berbentuk pipih dan persegi panjang. Rasa dari kue ini keras,
tawas dan cepat mengembang di dalam air. Alat memasak kue ini disebut forna. Forna terdiri dari
4 sampai 6 lekukan yang terbuat dari tanah. Fungsi forna adalah penghantar panas ketika
pemasakan sagu lempeng. Alat masak sagu lempeng ini juga menjadi penyimpan panas, sehingga
suhu panas selama proses memasak dapat merata.
LAGU DAERAH
1. Apuse
Apuse merupakan lagu daerah yang menceritakan seorang kakek yang cucunya merantau ke
negeri bernama Doreri. Lagu ini menggambarkan kerelaan kakek atau perpisahan yang
mengharukan dengan cucunya.
Liriknya yang singkat dan sederhana membuat lagu ini tak hanya populer di Papua tetapi juga
sangat akrab di telinga sebagian besar masyarakat Indonesia
Lirik Apuse
Apuse kokon dao
Yarabe soren doreri
Wuf lenso bani nema baki pase
Apuse kokon dao
Yarabe soren doreri
Wuf lenso bani nema baki pase
Arafabye aswarakwar
Arafabye aswarakwar
2. E Mambo Simbo
E Mambo Simbo menceritakan tentang suka cita pertemuan seorang ayah dan anaknya yang
bernama Mambo yang sudah lama hilang di hutan. Lagu ini menjadi simbol dari rasa kegembiraan
masyarakat kampung yang ada di Papua atas kembalinya Mambo.
Lirik lagu E mambo Simbo
E Mambo Simbo E... Mambo Simbo (Mambo Simbo)
E Mambo Simbo E... Mambo Simbo (Mambo Simbo)
Mambo yaya yaya e... Mambo yaya e (Mambo yaya e)
Mambo yaya yaya e... Mambo yaya e (Mambo yaya e)
3. Yamko Rambe Yamko
Yamko Rambe Yamko merupakan lagu daerah Papua yang liriknya cukup sederhana dan kerap
dipelajari dalam pelajaran kesenian di tingkat sekolah dasar. Yamko Rambe Yamko sendiri
menceritakan tentang pengorbanan seorang pahlawan bangsa yang gagah berani.
Lirik lagu Yamko Rambe Yamko
Hee yamko rambe yamko aronawa kombe
Hee yamko rambe yamko aronawa kombe
Teemi nokibe kubano ko bombe ko
Yuma no bungo awe ade
Teemi nokibe kubano ko bombe ko
Yuma no bungo awe ade
Hongke hongke hongke riro
Hongke jombe jombe riro

ARTERFAK/OBJEK BUDAYA
PAKAIAN
1. Pakaian Sali

Untuk mengenali seorang gadis masih lajang atau sudah menikah, bisa dikenali dengan
pakaian yang dikenakan. Pakaian Sali merupakan pakaian yang hanya boleh digunakan oleh para
gadis. Baju Sali ini dapat digunakan untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Wanita yang sudah
menikah tidak diperbolehkan memakaian pakaian adat ini.
Grameds tidak akan mengira bahwa pakaian ini terbuat dari kulit pohon pilihan atau daun
sagu yang kering. Salah satu kriterianya kulit pohon harus berwarna coklat supaya pakaian yang
dihasilkan tampak sempurna, menarik, dan sedap dipandang. Karena jika dilihat sekilas, pakaian
adat ini tampak seperti kain jahitan saat dipakai oleh para gadis Papua.
Sali digunakan dengan cara melilitkannya ke bagian tubuh dan diatur agar bagian dalam
lebih panjang dibandingkan bagian luar.
2. Pakaian Adat Yokal

Dalam budaya Papua, perempuan yang sudah menikah juga disediakan pakaian khusus.
Fungsinya jelas, pakaian ini untuk menutupi tubuh wanita bagian atas dan hanya boleh dikenakan
oleh mereka yang sudah menikah.
Pakaian Yokal terbuat dari kulit pohon yang berwarna mencolok coklat tanah atau
kemerahan. Pakaian ini dibuat dengan cara dianyam dan dililitkan memutari tubuh wanita.

3. Baju Kain Rumput

Pakaian adat ini merupakan pakaian yang sudah mendapatkan sentuhan modern. Baju kain
rumput dapat digunakan oleh laki-laki maupun perempuan.
Pakaian ini dibuat dengan menggunakan bahan dasar pucuk daun sagu yang sudah
dikeringkan. Daun sagu yang digunakan sebagai bahan harus diambil saat air laut sedang pasang.
Daun sagu yang sudah diambil kemudian dikeringkan lalu direndam sebelum dianyam.
Daun tersebut kemudian dianyam dengan menggunakan bantuan alat berupa kayu sepanjang
satu meter. Kayu tersebut berfungsi untuk mengaitkan ujung-ujung tali. Tali tersebut terbuat dari
rumput-rumput, yang sebelumnya telah dikeringkan, yang dipilin menjadi satu.
ALAT MUSIK DAERAH
1. Alat Musik Eme

Eme merupakan alat musik tabuh yang cukup berperan dalam masyarakat Suku Kamoro,
Papua. Bukan hanya sebagai hiburan, eme juga seringkali digunakan dalam setiap kegiatan adat
masyarakat Kamoro.
Dalam penyajiannya, pukulan eme akan mengiringi nyanyian yang biasanya berupa cerita
legenda, pantun, atau petuah kebajikan. Partisipan dalam acara adat tersebut akan ikut menari
beriringan dengan bunyi pukulan eme.
Dalam pembuatan eme juga cukup menarik perhatian. Pada mulanya, digunakan campuran
kapur dari bia dan darah manusia yang dioleskan di seputar ujung eme untuk merekatkan kulit
biawak yang berfungsi sebagai bagian tabuh dalam alat musik eme.
Orang-orang Suku Kamoro meyakini bahwa kulit yang direkatkan dengan campuran bia dan
darah manusia dapat menghasilkan suara yang lebih baik.
Namun belakangan ini, penggunaan darah maunia telah digantikan dengan getah pohon
mangi-mangi atau getah pohon ote yang juga berwarna merah.
Untuk menghasilkan bunyi yang berbeda-beda dan bervariasi, kulit eme ditempeli getah
damar yang dibentuk menjadi bulatan kecil. Semakin banyak bulatan getah yang ditempelkan,
maka suara yang dihasilkan akan semakin rendah.

2. Alat Musik Butshake


Butshake merupakan alat musik tradisional yang berasal dari masyaralat Suku Muyu,
Kabupaten Merauke. Alat musik ini biasa dimainkan dalam acara-acara adat, pesta, atau kesenian
daerah seperti tari-tarian.
Alat yang terbuat dari bambu dan buah kenari ini dimainkan dengan cara digoyang atau
dikocok sehingga menghasilkan suara gemericik. Suara yang dihasilkan tersebut berasal dari hasil
buah-buah kenari yang saling beradu ketika dikocok.

3. Alat Musik Krombi

Krombi merupakan alat musik tradisional yang berasal dari masyarakat Suku Tehit di
Kabupaten Sorong Selatan, Provinsi Papua.
Krombi terbuat dari sebatang bambu dan merupakan alat musik yang digunakan dalam
kesenian tari-tarian daerah. Cara memainkannya dengan menggunakan sebuah kayu kecil yang
diketuk pada batang bambu tersebut.

RUMAH ADAT
1. Rumah Honai

Rumah adat Papua yang paling sering muncul di buku pelajaran adalah rumah Honai, yang
dihuni suku Dani. Dinding bangunan ini membentuk lingkaran, yang terbuat dari kayu-kayu kuat
dan tersusun sejajar. Biasanya, rumah Honai hanya dilengkapi oleh satu pintu tanpa jendela
dengan ketinggian 2,5 meter dan lebar 5 meter.
Atap rumah Honai terbuat dari tumpukan daun sagu, jerami, dan ilalang yang uniknya
membentuk kerucut tumpul. Hal ini bertujuan untuk membuat rumah tetap hangat, serta mencegah
air hujan langsung turun masuk ke rumah.
Sesuai namanya, Honai memiliki arti khusus. ‘Hun’ berarti laki-laki, serta ‘ai’ berarti rumah.
Maka tidak heran bahwa rumah ini khusus untuk laki-laki, terutama yang sudah dewasa.
Rumah ini kosong tanpa perabotan. Jadi, saat tamu datang mereka akan duduk di lantai
jerami bersama tuan rumah. Ini merupakan salah satu bentuk kebersamaan dan kekeluargaan
masyarakat Papua.
Selain itu, rumah kecil ini bisa memuat 5-6 orang di dalamnya. Biasanya, rumah ini berada
di pegunungan Papua yang berhawa dingin. Semakin sempit dan semakin banyak penghuni di
dalam rumah, maka akan semakin baik dalam menangkal hawa dingin. Untuk semakin menambah
kehangatan, setiap rumah juga terdapat tempat pembakaran api unggun.

2. Rumah Kariwari

Kariwari merupakan rumah adat Papua yang didiami oleh suku Tobati-Enggros. Rumah adat
ini memiliki bentuk atap segi delapan, yang bertingkat tiga dan dipercaya mampu menjaga rumah
dari cuaca dingin, terutama saat angin kencang.
Lantai pertama berfungsi sebagai tempat untuk melatih parah remaja laki-laki agar siap
menjadi laki-laki dewasa, yang bertanggung jawab, terampil, dan kuat. Lantai kedua berfungsi
sebagai tempat pertemuan para kepala adat untuk membicarakan hal penting. Sedangkan lantai
ketiga, khusus menjadi tempat sembahyang kepada Tuhan dan leluhur.
Selain itu, bentuk atap rumah Kariwari juga melambangkan kedekatan dengan sang pencipta
atau dengan leluhur yang sudah mendahului mereka. Tidak heran bila rumah Kariwari sering
menjadi tempat pendidikan dan ibadah.

3. Rumah Jew
Suku Asmat terkenal memiliki banyak anggota suku. Tidak heran bila rumah adat suku
Asmat atau yang dikenal dengan sebutan Jew, memiliki bentuk yang besar dengan ukuran panjang
15 meter dan lebar 10 meter.
Biasanya, rumah adat ini memanfaatkan akar-akar rotan pilihan untuk menyatukan kayu
pondasi rumah.
Rumah adat Jew juga sering disebut sebagai rumah bujang karena hanya boleh ditinggali
laki-laki yang belum menikah. Anak laki-laki yang belum berumur 10 tahun dan wanita tidak
boleh masuk ke dalamnya.
Nah, rumah adat Jew akan menjadi tempat bagi para bujang untuk belajar dari para senior
atau lelaki yang sudah menikah. Mereka biasanya berlatih mengenai keterampilan dan Pendidikan,
seperti menari, menari, dan memainkan musik.
Tidak hanya itu, rumah adat ini juga menjadi tempat musyawarah tentang kehidupan warga
suku, upacara adat, perselisihan, dan masih banyak lagi.

Anda mungkin juga menyukai