Disusun Oleh :
Nanda Ayu Safira (1901020030)
Dosen Pengampu:
Junifer Siregar, S.Pd., M.Pd.
PEMATANGSIANTAR
2022
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kami
kemudahan sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu.
Kami mengucapkan syukur kepadaNya atas limpahan nikmat sehat, baik itu berupa
sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan
karya tulis yang berjudul “Dayok Binatur: Kearifan Lokal Batak Simalungun dan
Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa ” sebagai tugas dari mata kuliah Kajian Bahasa
dan Budaya Batak Toba yang diampu oleh Bapak Junifer Siregar, S.Pd., M.Pd.
Kami tentu menyadari bahwa dalam karya tulis ini jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk karya tulis ini, agar nantinya dapat menjadi karya tulis
yang lebih baik lagi. Selanjutnya apabila terdapat banyak kesalahan pada karya tulis ini kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
i
DAFTAR ISI
ii
3.3 Implikasi Dayok Binatur dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia ......................... 25
BAB IV PENUTUP ....................................................................................................... 26
4.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 26
4.2 Saran ................................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 29
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang besar dan memiliki beragam budaya. Indonesia
memiliki keragaman budaya karena memiliki suku di setiap daerah di Indonesia. Bentuk-
bentuk budaya seperti adat istiadat, tarian tradisional, atau makanan khas yang berbeda
menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keragaman budaya. Keanekaragaman budaya
yang dimiliki oleh masing-masing suku di Indonesia bukanlah cara untuk saling
memaksakan, tetapi menunjukkan keragaman budaya yang dimiliki Indonesia.
Kebudayaan merupakan hasil pemikiran manusia setelah berinteraksi dengan manusia
atau alam lain. Interaksi tersebut dilakukan oleh kelompok masyarakat dan menjadi
budaya setelah menjadi tradisi dalam kelompok masyarakat. Kebudayaan dapat diartikan
sebagai suatu tingkah laku atau hasil tingkah laku yang diperoleh kelompok masyarakat
dengan belajar dan mengatur dalam kehidupan setiap manusia atau kelompok masyarakat
(Koenjraningrat, 2009: 79). Kebudayaan adalah totalitas dari hal-hal yang dipelajari oleh
manusia, akumulasi dari pengalaman-pengalaman yang disosialisasikan, tidak hanya
dalam suatu catatan yang ringkas, tetapi juga dalam tingkah laku melalui pelajaran sosial
(Liliweli, 2002:8).
Setiap suku pasti memiliki ragam kebudayaan masing-masing. Dalam setiap perayaan
adat misalnya, satu hal yang tidak bisa ditinggalkan adalah penyajian makanan adat.
Setiap upacara adat tidak lengkap jika tidak menyajikan makanan, terutama makanan
adat. Secara sederhana makanan adat dapat diartikan sebagai makanan yang dihidangkan
atau dihidangkan pada saat upacara adat atau bisa juga dikatakan sebagai makanan khas
atau makanan tradisional suatu suku/etnik yang biasanya dijadikan simbol atau memiliki
arti khusus yang biasanya digunakan dalam upacara adat suku yang bersangkutan.
Dikatakan khas, artinya makanan tersebut memiliki keunikan tersendiri, baik dari segi
bentuk sajian, rasa, maupun bahan baku membuatnya. Tentunya makanan adat tersebut
memiliki makna dan nilai yang menjadi pedoman dan harapan bagi masyarakat yang
menggunakannya.
Kebudayaan juga dapat dikatakan sebagai bentuk kearifan lokal yang tidak dapat
terlepaskan dari suku masyarakat dalam suatu budaya. Salah satu bentuk kearifan lokal
adalah makanan khas dari suatu kebudayaan itu sendiri. Karena banyaknya ragam
kearifan lokal budaya, maka penulis membatasi dan mengambil objek kajiannya berupa
kearifan lokal yang berasal dari suku batak Simalungun. Dayok Binatur adalah salah satu
1
makanan khas simalungun yang merupakan perwujudan kearifan lokal yang tidak dapat
dipisahkan dalam acara dan upacara adat suku batak Simalungun. Selanjutnya penulis
nantinya akan mengimpikasikan peranan Dayok Nabinatur terhadap pembelajaran
berbasis kearifan lokal.
2
BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1 Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai
strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam
menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal adalah
segala bentuk kebijaksanaan yang didasari nilai-nilai kebaikan yang dipercaya,
diterapkan dan senantiasa dijaga keberlangsungannya dalam kurun waktu yang cukup
lama (secara turun temurun) oleh sekelompok orang dalam lingkungan atau wilayah
tertentu yang menjadi tempat tinggal mereka. Secara etimologi, kearifan lokal (local
wisdom) terdiri dari dua kata, yakni kearifan (wisdom) dan lokal (local). Sebutan lain
untuk kearifan lokal diantaranya adalah kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan
setempat (local knowledge) dan kecerdasan setempat (local genious).
1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2018) kearifan berarti kebijaksanaan,
kecendekiaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan dalam berinteraksi. Kata lokal, yang
berarti tempat atau pada suatu tempat atau pada suatu tempat tumbuh, terdapat,
hidup sesuatu yang mungkin berbeda dengan tempat lain atau terdapat di suatu
tempat yang bernilai yang mungkin berlaku setempat atau mungkin juga berlaku
universal.
2. Pengertian Kearifan Lokal menurut UU No. 32 Tahun 2009 adalah nilai-nilai luhur
yang berlaku di dalam tata kehidupan masyarakat yang bertujuan untuk melindungi
sekaligus mengelola lingkungan hidup secara lestari.
3. Menurut Sedyawati dalam Rinitami (1018), kearifan lokal diartikan sebagai kearifan
dalam kebudayaan tradisional suku-suku bangsa. Kearifan dalam arti luas tidak
hanya berupa norma-norma dan nilai-nilai budaya, melainkan juga segala unsur
gagasan, termasuk yang berimplikasi pada teknologi penanganan kesehatan, dan
estetika. Dengan pengertian tersebut maka yang termasuk sebagai penjabaran
kearifan lokal adalah berbagai pola tindakan dan hasil budaya materialnya.
4. Kearifan lokal dalam perspektif antropologi linguistik merupakan bagian dari nilai
dan norma tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun melalui cara lisan.
3
2.1.2 Fungsi Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu
daerah. Kearifan lokal memiliki kandungan nilai kehidupan yang tinggi dan layak terus
digali, dikembangkan, serta dilestarikan sebagai antitesis atau perubahan sosial budaya
dan modernisasi. Kearifan lokal produk budaya masa lalu yang runtut secara terus-
menerus dijadikan pegangan hidup, meskipun bernilai lokal tapi nilai yang terkandung
didalamnya dianggap sangat universal. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan
budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.
Kearifan lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat tersendiri
dalam kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan
untuk menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi,
kondisi, kemampuan, dan tata nilai yang dihayati di dalam masyarakat yang
bersangkutan. Dengan kata lain, kearifan lokal tersebut kemudian menjadi bagian dari
cara hidup mereka yang arif untuk memecahkan segala permasalahan hidup yang mereka
hadapi. Berkat kearifan lokal mereka dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan dapat
berkembang secara berkelanjutan.
Menurut Balqis (2021) kearifan berfungsi sebagai konservasi dan pelestarian
sumber daya alam, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan kebudayaan
dan ilmu pengetahuan, sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan. Bermakna
sosial, misalnya upacara integrasi komunal atau kekerabatan dan pada upacara adat serta
landasan etika dan moral.
Adapun fungsi kearifan lokal terhadap masuknya budaya luar adalah sebagai berikut:
1. Sebagai filter dan pengendali terhadap budaya luar.
2. Mengakomodasi unsur-unsur budaya luar.
3. Mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli.
4. Memberi arah pada perkembangan budaya.
4
Lingkungan Hidup, dalam Pasal 63 ayat (1) huruf t, Pasal 63 ayat (2) huruf n dan Pasal
63 ayat (3) huruf k bahwa dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(selanjutnya disebut PPLH) dimana Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertugas dan
berwenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan masyarakat hukum adat yang
terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, bahwa salah
satu asas PPLH adalah kearifan lokal. Dalam Undang-Undang PPLH kearifan Lokal
dapat dimaknai sebagai suatu nilai yang berlaku dalam kehidupan masyarakat untuk
melindungi dan mengelola lingkungan hidup agar lestari, sehingga kearifan lokal ini
dijadikan suatu asas atau dasar ketika melakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
Kearifan lokal termasuk di dalamnya Ekspresi Budaya Tradisional (EBT)
meliputi semua warisan budaya tak benda yang dikembangkan oleh masyarakat lokal,
secara kolektif atau individual dengan cara yang tidak sistemik dan disisipkan dalam
tradisi budaya dan spiritual masyarakat. Kategori warisan budaya tak benda meliputi
tradisi lisan, seni pertunjukkan, praktek-praktek sosial, ritual, perayaan-perayaan,
pengetahuan dan praktek mengenai alam dan semesta atau pengetahuan dan ketrampilan
untuk menghasilkan kerajinan tradisional. Kerangka hukum EBT di Indonesia yang
diimplementasikan sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945
(Amandemen ke empat) Pasal 32(1), Pasal 38 dan 39 tentang Undang-Undang Hak Cipta
No.28 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Undang-Undang
Pemajuan Kebudayaan yang lahir dalam rangka melindungi, memanfaatkan, dan
mengembangkan kebudayaan Indonesia, Perpres RI No.78 Tahun 2007 tentang Konvensi
Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda, Permendikbud No.106 Tahun 2013 tentang
Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.
5
tersebut, namun berbeda dengan orang Karo yang menyebut suku Simalungun sebagai
suku Simalungun Timur dikarenakan letaknya yang berada di sebelah timur mereka.
Banyak cerita mengenai asal usul suku Simalungun.
Dari beberapa sumber diperoleh data bahwa leluhur suku Batak Simalungun awal
mulanya berasal dari negara India bagian Selatan yang terbagi ke dalam beberapa
kerajaan besar. Umumnya suku – suku batak dikenal dari marganya. Marga dalam suku
Simalungun merujuk kepada nama keluarga atau marga yang dipakai di belakang nama
depan masyarakat Simalungun. Ada 4 marga asli dari Simalungun yaitu: Sinaga, Saragih,
Damanik, dan Purba. Keempat marga asli suku Simalungun itu dikenal dengan istilah
Sisadapur
Munculnya keempat marga ini merupakan hasil dari musyawarah atau
kesepakatan dari empat raja besar yang dikenal dengan “Harungguan Bolon”
(permusyawaratan besar) dengan maksud dan tujuan agar kedepannya keempat kerajaan
besar ini tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan, dalam bahasa Simalungun
dikatakan “marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh” (saling
bekerjasama atau saling membantu dalam kesusahan dan bersama – sama melawan
musuh).
6
Sidamanik, Gunung Malela, Silau Kahean, Gunung Maliga, Silimakuta, Haranggaol
Horisan, Tanah Jawa, Hatonduhan, Tapian Dolok, Hutabayu Raja, Ujung Padang dan
Jawa Maraja.
Struktur sosial berasal dari kata “structum” yang mempunyai arti menyusun.
Struktur sosial merupakan tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-
kelompok sosial di dalam kehidupan masyarakat, dimana di dalamnya terdapat
hubungan timbal balik. Falsafah budaya Simalungun tercermin pada falsafah adat
Simalungun yaitu tolu sahundulan, lima saodoran. Masyarakat di Simalungun
mengenal tolu sahundulan, lima saodoran sebagai struktur sosial. tolu sahundulan =
tiga pada satu tempat yaitu:
1. Sanina: Saudara laki-laki dari ayah atau yang satu marga dengan ayah.
2. Tondong: Saudara laki-laki dari ibu atau pihak dari orang tua ibu.
3. Boru: Saudara perempuan dari ayah atau pihak orangtua dari laki- laki.
Semboyan tolu sahundulan : sanina pangalop riah, tondong pangalop podah,
boru pangalop gogoh. Marsanina ningon pakkei, manat. Martondong ningon hormat,
sombah. Marboru ningon elek, pandei. Artinya: sanina sebagai tempat untuk
bermusyawarah terkait suatu upacara adat yang akan dilaksanakan, tempat untuk
bertukar pikiran baik dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sedangkan tondong yaitu
orang yang biasanya memberi nasihat, petuah yang diterima dalam suatu perencanaan
untuk upacara adat baik juga dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sementara boru
yaitu yang biasanya capek karena harus bekerja dalam setiap kegiatan upacara adat
yang dilakukan, boru harus siap capek apabila dalam suatu upacara adat yang
dilakukan oleh pihak tondong-nya.
7
1. Sanina: Saudara laki-laki ayah atau satu marga dengan ayah
2. Tondong: Saudara laki-laki dari ibu atau pihak dari orang tua ibu
3. Boru: Saudara perempuan dari ayah atau pihak orang tua dari laki-laki
4. Tondong ni tondong: Tondong dari tondong atau tondong dari istri, atau
tondong dari ibu
5. Boru mintori (boru ni boru): Anak perempuan dari saudara perempuanayah.
Kepribadian dan karakter suku bangsa Simalungun juga dapat dilihat dari
falsafah adat yang berkembang dalam masyarakat. Tatanan dan manajemen sosial
tercermin dalam cara pelaksanaan upacara adat. Secara prinsip dalam adat Simalungun
adalah suatu tatanan kehidupan yang digambarkan tolu sahundulan lima saodoran.
Tolu sahundulan artinya bahwa dalam masyarakat Simalungun secara manajemen
untuk menentukan suatu keputusan ditentukan oleh kepakatan dari tiga pihak
keluarga. Mereka berembuk dan memutuskan bentuk kebijakan yang akan diambil
dalam upacara adat. Ketiga pihak tersebut yakni suhut (pihak tuan rumah), tondong
(pihak keluarga si istri), boru (pihak keluarga si suami). Suhut sebagai keluarga tuan
rumah meminta nasehat dan pendapat dari tondong (saudara laki-laki si istri).
Sementara dari pihak boru (saudara perempuan dari si suami) harus meminta kesediaan
tenaga untuk mengerjakan upacara adat yang akan dilaksanakan.
8
menganut aliran pemikiran dan kepercayaan segala sesuatu harus dilandasi oleh
kebenaran. Begitu juga dengan “Sapangambei Manoktok Hitei” yang artinya bersama-
sama membangun jembatan atau gotong royong/bahu-membahu untuk membangun.
9
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Dayok Binatur
10
mencampuri intern orang lain, menghilangkan sifat propokator, mengerjakan tugas kita
dengan penuh tanggung jawab, menempati posisi kita dengan sewajarnya,
mengembangkan kebersamaan karena kita sebagai menusia menurut kuadratnya tidak
dapat hidup tanpa orang lain, membina persatuan, menghindari permusuhan.
1. Ayam dipilih menjadi binatang yang digunakan dalam proses upacara adat, yaitu
karena ayam merupakan seekor binatang yang disiplin terhadap waktu, paham
terhadap waktu dan tekun bekerja untuk mengurus keperluan dalam kebutuhan
sehari-hari misalnya untuk mencari keperluan makan dan mengurus anak-anaknya.
2. Tekun dalam bekerja. Ayam jantan juga bertanggung jawab kepada anak dan ayam
betina, jika dikaitkan dalam keluarga, ia bertanggungjawab menafkahi anak dan
istrinya. Sementara ayam betina biasanya menetaskan telurnya. Layaknya seekor
ayam betina, ketika ia hendak mau menetas, ia mengetahui sendiri, kapan waktunya
ia harus berpuasa menahan lapar, haus demi untuk menetaskan telurnya.
3. Dayok binatur terbuat dari ayam kampung, dimana seekor ayam kampung memiliki
tiga hal kebiasaan yang dapat dicontoh yaitu girah puho (bangun cepat di pagi hari);
marhaer lobe ase mangan (seekor induk ayam baik ayam jantan berusaha untuk
mencari makanan yang bisa untuk dimakan, dengan cara mencakar tanah untuk
mencari cacing yang bisa dimakan, demikian halnya yang dicontoh masyarakat di
Simalungun, bekerja dulu agar bisa makan, artinya untuk mendapatkan sesuatu hal
ada perjuangan yang dikorbankan); makhopkop anakni (melindungi anaknya) ini
biasa dilakukan oleh induk ayam, ketika ada serangan dari elang, ataupun hujan
deras, seekor induk ayam bisa mengepung semua anaknya dalam sayapnya, itu yang
dimaksud dengan makhopkop, berapapun jumlah anaknya induk ayam tetap bisa
melindungi anak-anaknya, hal itu yang ditiru seorang induk bisa mengerti semua
anaknya, berusaha melindungi anaknya. Sama halnya orangtua selalu berusaha
11
bekerja keras untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya tanpa pilih
kasih.
4. Tampilan dayok binatur yang tersaji dan tersusun secara teratur mulai dari kepala,
leher, sayap, dada, hngga ke ceker, mengandung makna pengharapan yaitu suatu
tanda kehidupan yang teratur, menyatu dan harmonis yang saling melengkapi satu
dengan yang lainnya.
5. Dayok binatur yang teratur tergambar pada tradisi masyarakat Simalungun yang
dikenal dengan tolu sahundulan lima saodaran. Tolu sahundulan diartikan tiga
kelompok dalam satu kedudukan yang utuh dan menyeluruh, sedangkan lima
saodoran diartikan lima tapi satu rombongan perjalanan hidup. Hal ini dimaksudkan
bahwa setiap posisi itu memiliki fungsi dan tugas masing-masing tetapi saling
melengkapi.
6. Dayok binatur menjadi sarana menyampaikan doa berkat. Secara filosofis, orang
yang menikmati dayok binatur akan menerima berkat dan menemukan keteraturan
dalam hidup. Tak heran ketika menyerahkan dayok binatur, orang tua menyertainya
dengan doa-doa dan petuah yang berisi petuah-petuah agar si anak hidup teratur di
tanah rantau menjunjung kesantunan dan etika.
7. Menyajikan dayok binatur diupayakan agar bagian-bagian tubuh ayam yang layak
dimakan itu tetap utuh (tidak hilang), karena akan menjadi sarana penyampaian
pesan luhur secara simbolik. Agar hidup teratur, maka saling menghargai, saling
membantu. Inti dari petuah dayok binatur adalah hidup yang bermanfaat bagi
masyarakat, mau berbagi, sedia menyebarluaskan perbuatan yang baik, dan saling
mengasihi dalam kelemahan.
8. Ketika anak ayam sudah menetas, induk ayam tidak pernah memakan duluan
ketimbang anaknya. Anaknya selalu diutamakan makan. Hal tersebutlah yang
diambil masyarakat Simalungun. Layaknya seorang ibu tidak pernah makan duluan
sebelum anaknya makan, itulah kasih sayang ibu pada anak. Berbagai usaha akan
dilakukan agar anaknya mencapai cita-citanya, orang tua rela berkorban demi
kesuksesan anak-anaknya. Hal demikian lah yang diperhatikan nenek moyang
terdahulu dalam memperhatikan seekor ayam sehingga ayam menjadi salah satu
falsafah budaya Simalungun dalam bidang makanan adat. Hal itulah yang menjadi
perbedaan tanggung jawab ayam jantan dan ayam betina.
12
Filosofi dari makanan dayok binatur bermula pada zaman dahulu pada adat
Simalungun bermula pada binatang yang bertanduk. Seperti kerbau, sapi, kambing. Tapi
karena keadaan masyarakat terutama masyarakat biasa, keadaan ekonomi sangat rendah.
Sehingga berganti menjadi ayam. Tetap memiliki taji di kaki. Tentu dari segi biaya lebih
ringan. Ada filosofi Simalungun mengungkapkan: “anggo marantau boan ma dayok
boru-boru ulang iboan dayok sabungan” artinya: orang tua menganjurkan kepada
anaknya jika merantau jangan membawa sifat ayam jantan melainkan membawa sifat
ayam betina dikarenakan ayam betina identik dengan lemah lembut berbeda dengan ayam
jantan yang identik dengan keras, tidak rendah hati, seolah-olah mencari lawan, berlaga.
13
3.1.3.1 Dayok Binatur Na Pinanggang
Proses pengolahan “dayok binatur na pinanggang” ada dua versi, ada
yang dipanggang di bara api, ada juga yang dipangang dengan beralaskan besi.
Tapi yang sesuai dengan adat Simalungun, sesuai pada zaman dahulu yaitu
dipanggang di bara api lalu diolesi terlebih dengan santan agar tidak cepat
gosong. Bisa juga disantan dibuat bumbu dan garam agar memiliki rasa. Setelah
dipanggang dipotong lalu dibuat juhutni (organ-organ). Diambil bagian-bagian
organ ayam seperti kepala, leher, kaki dan sebagainya. Setelah itu diaduk dengan
bumbu yang sudah disiapkan lalu dicampur dengan sikkam dan darah.
Namun bagi orang kaum Muslim di Simalungun, mereka mengganti darahnya
dengan santan kelapa, mereka tidak menggunakan “sikkam” dan darah. Setelah
itu ibatur (diatur) dalam pinggan panganan dan sudah diatur semua baru lah bisa
isurdukhon (diberikan) dan disediakan tutupnya yang terbuat dari bulung tinapak
(daun pisang penutup dayok binatur). “Dayok binatur na ipanggang” biasa
disajikan pada pengantin, acara syukuran angkat sidi.
Dayok binatur yang dipanggang lebih dominan digunakan dalam upacara
adat Simalungun. Selain memiliki rasa yang nikmat namun juga konon katanya
dayok binatur yang dipanggang merupakan makanan yang paling banyak disukai
raja-raja Simalungun dahulu sampai hingga sekarang ini, turun temurun pada
suku bangsa Simalungun, paling banyak menyukai dayok binatur yang
dipanggang. Makna dari penyajian dayok binatur yang dipanggang yaitu untuk
memberikan semangat kepada seseorang yang diberi makanan dayok binatur
14
air santan. Pada pemasakan ini, tidak menggunakan holat ataupun sikkam untuk
diaduk dengan darahnya, karena darahnya langsung dimasukkan dan dicampur
dengan potongan ayam yang telah mendidih di wadah pemasakannya. Ketika
sudah matang, maka setiap potongan ayam diambil dari wadah satu persatu tanpa
kuahnya. Setelah semua sudah terkumpul barulah disusun dan ditata dengan
teratur di atas pinggan atau piring kaca yang sudah disediakan. Jenis dayok
binatur yang lain ada juga dayok binatur na iloppah dan dayok binatur na
ilomang. Setiap jenis berbeda proses pengolahannya.
15
2 Silopak Ayam jantan yang mana keseluruhan bulunya memiliki
warna putih
3 Sabur Ayam jantan yang memiliki bulu bintik-bintik putih
bittang
4 Pajom Ayam yang memiliki seluruh tubuhnya dan bulunya
warna hitam
5 Boru-boru Ayam betina
16
bahwasanya parboruon memberikan dayok binatur yang digulai kepada tondong nya,
demikian juga tondong memberikan dayok binatur yang dipanggang dan dibubuhi
dengan hinasumba kepada parboruon. Hinasumba yaitu makanan tradisional,
termasuk makanan adat Simalungun, terbuat dari daging, dipotong kecil-kecil dan
dibubuhi dengan bumbu rempah pilihan dan dicampur dengan darah dan holat,
dagingnya terlebih dahulu direbus atau dipanggang.
17
10 Bilalang/dokkei bagas Organ dalam(hati,usus)
18
bagi masyarakat Simalungun. Mulai dari sejarah hingga penyajian dalam dayok binatur
dalam upacara adat Simalungun. Mulai dari pemilihan dayok (ayam) sebagai binatang
yang digunakan sebagai makanan adat dalam upacara adat Simalungun yakni memiliki
makna bagi masyarakat Simalungun. Ada makna yang dapat diteladani masyarakat
Simalungun yakni dimana ayam merupakan binatang yang disiplin dan taat terhadap
waktu, ada juga makna yang dapat ditiru oleh masyarakat Simalungun yaitu ayam
merupakan binatang yang peduli akan waktu dan kasih sayangnya terhadap anak sebagai
induk ayam dapat ditiru dan memiliki makna bagi masyarakat Simalungun.
19
orang tua menyampaikan pesan, harapan dan doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan
agar rumah tangga mereka diberkati. Ketika sudah selesai, barulah pinggannya
diturunkan lalu diletakkan di hadapan mereka yaitu pengantin. Setelah orangtua
pengantin laki-laki dilanjut oleh orangtua pengantin perempuan. Lalu dilanjut oleh
sanina, tondong dan boru. Setiap yang menyampaikan juga mendapatkan dayok binatur
yang telah disediakan oleh tuan rumah yaitu pihak laki-laki. Kalimat yang biasa di
ucapkan pada saat menyampaikan dayok binatur pada pengantin yaitu:
Namun maknanya hampir sama yaitu agar kedua pengantin semakin dewasa,
sudah memiliki keluarga dan rumah tangga, sehingga tidak sama lagi kehidupan sewaktu
masih lajang dengan yang sudah menikah. Seorang istri akan mematuhi dan hormat
kepada suaminya, dan seorang suami akan bertangungjawab kepada istrinya. Semoga
menjadi keluarga yang disukai sesama manusia dan keluarga yang takut akan Tuhan.
20
anaknya sudah menikah, tidak ada lagi tanggungannya. Pada upacara adat kematian di
Simalungun khususnya umat beragama Kristen Protestan, tuan rumah menyediakan
makanan bagi orang yang datang untuk melayat. Makanan yang disedikan pada
umumnya yaitu untuk makan siang pada hari penguburan yaitu nasi, daging babi, sayur,
sop, daging ayam. Sementara bagi masyarakat di Simalungun yang menganut agama
Islam, mereka juga menyediakan makanan tapi sekadarnya saja, karena yang makan
paling masyarakat atau saudaranya yang non muslim. Namun apabila sesama muslim,
mereka tidak mau makan pada kemalangan sesama muslim. Pada upacara adat kematian
Simalungun yang memiliki agama Islam tidak ada menyediakan dayok binatur.
21
memberikan dayok binatur duluan yaitu orang tua dari hasuhuton kepada hasuhutan itu
sendiri. Dilanjutkan oleh tondong, sanina dan boru. Kalimat yang disampaikan oleh si
pemberi kepada penerima dayok binatur yaitu:
“On ma dayok binatur humbani hanami, sai andohar ma songon
paraturni dayok binatur on paraturni pargoluhan hulobeanni ari on. Sai
andohar ma rumah on jadi rumah harajaonni Naibata, rumah na martuah
janah rumah na marsangap.”
“Inilah dayok binatur dari kami, semoga seperti aturnya ayam ini
teraturnya kehidupan kedepannya. Semoga rumah ini menjadi rumah doa
untuk Tuhan dan rumah yang dihuni keluarga yang berbahagia dan hidup
rukun”.
22
protestan yaitu pendewasaan iman melalui dilakukannya pemberkatan oleh pendeta di
gereja. Ketika suatu keluarga melakukan acara syukuran ketika anaknya manaksihon
haporsayaon, maka mengundang keluarga dan kerabat terdekat mereka, sehingga
disesuaikanlah adat Simalungun.
Dayok binatur yang disajikan yaitu dayok binatur yang dipanggang dan yang
digulai. Pihak yang memberikan dayok binatur pertama yaitu orangtua si anak kepada si
anak yang pada hari itu melakukan angkat sidi. Jenis dayok binatur yang diberikan yaitu
dayok binatur yang dipanggang. Pinggan atau wadah dari makanan dayok binatur
diangkat dan diberikan orang tua kepada si anak dan si anak menerimanya dengan kedua
tangannya, ketika mereka masih memegang pinggan wadah dari dayok binatur maka
disitulah disampaikan petuah dan nasihat, tapi ketika sudah selesai yang memberikannya
berbicara yaitu orangtuanya, maka diturunkannlah dayok binatur tadi dan diletakkan di
depan si anak. Kalimat yang disampaikan yaitu:
23
3.2.7 Dayok Binatur Dalam Upacara Acara Syukuran Wisuda
Ketika seseorang telah siap wisuda, maka diberikanlah dayok binatur oleh orang
tuanya. Pelaksanaannya bisa saja pada hari bersamaan dengan wisuda bisa juga setelah
wisuda berikutnya. Sebelum makan bersama, telah hadir semua orang yang patut hadir
dan yang diundang oleh orang tuanya seperti tondong, sanina dan boru. Penyampaiannya
dilakukan oleh orang tuanya terdahulu kepada si anak yang baru saja melakukan
wisuda. Jenis dayok binatur yang disampaikan yaitu dayok binatur yang
dipanggang. Orangtuanya dan si anak sebagai si penerima memegang pinggan wadah
dayok binatur. Dayok binatur disampaikan pada si anak yang telah di wisuda. Kalimat
yang disampaikan yaitu:
“Inilah makanan dayok binatur, makanlah, udah wisuda kau dan sudah
tercapai cita-citamu yang kau harapkan selama ini. Pencapaian mu ini
merupakan awal perjuangan buatmu. Semoga semakin diberkati Tuhan
setiap langkah mu kedepannya baik itu mencari pekerjaan.”
3.2.8 Dayok Binatur Dalam Upacara Acara Syukuran Perayaan Ulang Tahun
Dayok binatur tidak hanya disajikan masyarakat Simalungun pada saat upacara
adat, namun pada syukuran ulang tahun juga banyak masyarakat Simalungun yang
menyajikan dayok binatur kepada seseorang yang sedang berulang tahun. Penyampaian
dayok binatur pada dalam syukuran ulang tahun yaitu sebagai simbol yang memiliki
makna harapan dan doa-doa terhadap penciptanya kepada seseorang yang sedang
berulang tahun. Kalimat yang sering diucapkan pada saat penyampaian dayok binatur
yaitu:
“Selamat ari partubuh ma hubamu. On ma dayok binatur hu bamu, sai
andohar songon paratur ni dayok binatur on ma hagoluhon mu hanjon
hujan an, ganjang umur, sehat jorgit akkula, ipasu-pasu Tuhan langkah
mu.”
24
“Selamat ulang tahun. Ini dayok binatur untuk mu. Harapannya
semoga seperti teraturnya dayok binatur inilah kehidupanmu
kedepannya. Sehat-sehat dan semoga diberkati Tuhan langkahmu.”
25
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan data yang diperoleh peneiti secara langsung dari beberapa informan
dan observasi langsung, maka peneliti memperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Dayok binatur merupakan salah satu makanan adat sekaligus kuliner yang sangat
populer di Simalungun. Makanan ini tidak pernah lepas dari kegiatan adat di
Simalungun. Meski demikian, dayok binatur hanya dijumpai pada saat tertentu saja,
bukan menjadi makanan sehari-hari.
2. Dayok binatur memiliki makna tersendiri, memiliki nilai filosofi yang tingi bagi
suku bangsa Simalungun. Sehingga tidak heran dayok binatur masih dilestarikan
dengan baik hingga saat ini. Dayok binatur salah satu gambaran budaya suku bangsa
Simalungun.
3. Dalam kegiatan adat istiadat, maupun kehidupan sosial masyarakat, Simalungun
masih memegang sistem kekerabatan tolu sahundulan lima saodoran baik di upacara
adat maupun kehidupan sehari-hari
4. Pemahaman tentang penyajian dayok binatur di setiap tempat masih memiliki
perbedaan walau hanya sedikit
5. Penggunaan dayok binatur tidak dibatasi pada suku bangsa Simalungun, tidak hanya
dalam upacara adat saja
6. Dayok binatur tidak pernah lepas dari setiap upacara adat di Simalungun, baik
kegiatan suka maupun duka, karena suatu upacara dianggap tidak sah tanpa adanya
dayok binatur
7. Dayok binatur akan terus dilestarikan apabila diwariskan terus dengan turun
temurun, namun sekarang ini pengolahan dayok binatur sudah semakin mudah
dikarenakan adanya catering atau ditempahkan kepada orang lain.
4.2 Saran
1. Diharapkan kepada Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar untuk
membentuk suatu sanggar atau fasilitas khususnya yang berkaitan dengan adat
Simalungun guna memperkenalkan lagi kepada generasi milenial berbagai
kebudayaan Simalungun misalnya kuliner juga makanan khas Simalungun yang
memiliki nilai dan makna filosofi yang tinggi agar budaya Simalungun tetap
26
dilestarikan memalui kuliner yang ada.
2. Kepada kaum generasi muda khususnya mahasiswa, tetap menjaga dan melestarikan
budaya, mencintai budaya daerah, mulai dari mempelajari dan mengenali budaya baik
dari jenis makanan, bahasa, pakaian hinggat adat-istiadatnya
3. Kepada masyarakat Simalungun, khususnya orang tua yang mengetahui cara
pengolahan dan cara penyajian dayok binatur, lebih sering mengajari anak-anaknya
agar budaya Simalungun tetap dilestarikan bersama
27
DAFTAR PUSTAKA
28
Journal of Art, Design, Education And Culture Studies (JADECS), Vol 4 No. 2. 111-
119.
Sipayung, Rohdearni Wati. 2019. MENGENAL BUDAYA SIMALUNGUN LEWAT PROSES
PENERJEMAHAN LAGU SIMALUNGUN KE BAHASA INGGRIS. Deli Serdang:
Budapest International Research and Critics University (BIRCU-Publishing).
29