Anda di halaman 1dari 33

DAYOK BINATUR: KEARIFAN LOKAL BATAK SIMALUNGUN DAN

IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Disusun Oleh :
Nanda Ayu Safira (1901020030)

Clara Chris D. Purba (1901020021)


Sufiani Saragi (1901020015)

Dosen Pengampu:
Junifer Siregar, S.Pd., M.Pd.

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS HKBP NOMMENSEN PEMATANGSIANTAR

PEMATANGSIANTAR
2022
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kami
kemudahan sehingga dapat menyelesaikan karya tulis ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan
tepat waktu.

Kami mengucapkan syukur kepadaNya atas limpahan nikmat sehat, baik itu berupa
sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan pembuatan
karya tulis yang berjudul “Dayok Binatur: Kearifan Lokal Batak Simalungun dan
Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa ” sebagai tugas dari mata kuliah Kajian Bahasa
dan Budaya Batak Toba yang diampu oleh Bapak Junifer Siregar, S.Pd., M.Pd.

Kami tentu menyadari bahwa dalam karya tulis ini jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk karya tulis ini, agar nantinya dapat menjadi karya tulis
yang lebih baik lagi. Selanjutnya apabila terdapat banyak kesalahan pada karya tulis ini kami
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Demikian, semoga dapat bermanfaat. Terima kasih.

Simalungun, Mei 2022

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................... i


DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................................ 2
1.4 Manfaat Penulisan .............................................................................................. 2
BAB II LANDASAN TEORITIS .................................................................................. 3
2.1 Kearifan Lokal..................................................................................................... 3
2.1.1 Pengertian Kearifan Lokal Secara Umum ................................................. 3
2.1.2 Fungsi Kearifan Lokal.............................................................................. 4
2.1.3 Pengaturan Mengenai Kearifan Lokal ...................................................... 4
2.2 Kebudayaan Simalungun ..................................................................................... 5
2.2.1 Asal Usul Simalungun.............................................................................. 5
2.2.2 Wilayah Geografis Simalungun ................................................................ 6
2.2.3 Struktur Sosial Simalungun ...................................................................... 7
2.2.4 Falsafah Budaya Simalungun ................................................................... 8
2.2.5 Kearifan Lokal Berupa Kuliner Simalungun ............................................. 9
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN........................................................................ 10
3.1 Dayok Binatur ..................................................................................................... 10
3.1.1 Pengertian Dayok Binatur ........................................................................ 10
3.1.2 Sejarah Dayok Binatur ............................................................................. 11
3.1.3 Jenis dan Pengolahan Dayok Binatur........................................................ 13
3.1.3.1 Dayok Binatur Na Pinanggang ..................................................... 14
3.1.3.2 Dayok Binatur Na Iloppah ............................................................ 14
3.1.3.3 Dayok Binatur Na Ilomang ........................................................... 15
3.1.4 Jenis Ayam dan Penggunaannya Dalam Dayok Binatur............................ 15
3.1.5 Penyajian Dayok Binatur.......................................................................... 17
3.1.6 Pembagian Gori Dayok Binatur Dalam Upacara Adat Simalungun .......... 17
3.1.7 Makna dan Simbol ................................................................................... 18
3.2 Dayok Binatur dalam Upacara Adat Simalungun ................................................. 19
3.2.1 Dayok Binatur Dalam Upacara Adat Parhorasan ..................................... 19
3.2.2 Dayok Binatur Dalam Upacara Adat Marhajabuan (Perkawinan) ............ 19
3.2.3 Dayok Binatur Dalam Upacara Adat Kematian ........................................ 20
3.2.4 Dayok Binatur Dalam Upacara Adat Mamongkot Rumah Baru ................ 21
3.2.5 Dayok Binatur Dalam Upacara Aat Tardidi (di Baptis)............................. 22
3.2.6 Dayok Binatur Dalam Upacara Adat Manaksihon Haporsayaon .............. 22
3.2.7 Dayok Binatur Dalam Upacara Acara Syukuran Wisuda .......................... 24
3.2.8 Dayok Binatur Dalam Upacara Acara Syukuran Perayaan Ulang Tahun ... 24

ii
3.3 Implikasi Dayok Binatur dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia ......................... 25
BAB IV PENUTUP ....................................................................................................... 26
4.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 26
4.2 Saran ................................................................................................................... 26
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 29

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara yang besar dan memiliki beragam budaya. Indonesia
memiliki keragaman budaya karena memiliki suku di setiap daerah di Indonesia. Bentuk-
bentuk budaya seperti adat istiadat, tarian tradisional, atau makanan khas yang berbeda
menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keragaman budaya. Keanekaragaman budaya
yang dimiliki oleh masing-masing suku di Indonesia bukanlah cara untuk saling
memaksakan, tetapi menunjukkan keragaman budaya yang dimiliki Indonesia.
Kebudayaan merupakan hasil pemikiran manusia setelah berinteraksi dengan manusia
atau alam lain. Interaksi tersebut dilakukan oleh kelompok masyarakat dan menjadi
budaya setelah menjadi tradisi dalam kelompok masyarakat. Kebudayaan dapat diartikan
sebagai suatu tingkah laku atau hasil tingkah laku yang diperoleh kelompok masyarakat
dengan belajar dan mengatur dalam kehidupan setiap manusia atau kelompok masyarakat
(Koenjraningrat, 2009: 79). Kebudayaan adalah totalitas dari hal-hal yang dipelajari oleh
manusia, akumulasi dari pengalaman-pengalaman yang disosialisasikan, tidak hanya
dalam suatu catatan yang ringkas, tetapi juga dalam tingkah laku melalui pelajaran sosial
(Liliweli, 2002:8).
Setiap suku pasti memiliki ragam kebudayaan masing-masing. Dalam setiap perayaan
adat misalnya, satu hal yang tidak bisa ditinggalkan adalah penyajian makanan adat.
Setiap upacara adat tidak lengkap jika tidak menyajikan makanan, terutama makanan
adat. Secara sederhana makanan adat dapat diartikan sebagai makanan yang dihidangkan
atau dihidangkan pada saat upacara adat atau bisa juga dikatakan sebagai makanan khas
atau makanan tradisional suatu suku/etnik yang biasanya dijadikan simbol atau memiliki
arti khusus yang biasanya digunakan dalam upacara adat suku yang bersangkutan.
Dikatakan khas, artinya makanan tersebut memiliki keunikan tersendiri, baik dari segi
bentuk sajian, rasa, maupun bahan baku membuatnya. Tentunya makanan adat tersebut
memiliki makna dan nilai yang menjadi pedoman dan harapan bagi masyarakat yang
menggunakannya.
Kebudayaan juga dapat dikatakan sebagai bentuk kearifan lokal yang tidak dapat
terlepaskan dari suku masyarakat dalam suatu budaya. Salah satu bentuk kearifan lokal
adalah makanan khas dari suatu kebudayaan itu sendiri. Karena banyaknya ragam
kearifan lokal budaya, maka penulis membatasi dan mengambil objek kajiannya berupa
kearifan lokal yang berasal dari suku batak Simalungun. Dayok Binatur adalah salah satu

1
makanan khas simalungun yang merupakan perwujudan kearifan lokal yang tidak dapat
dipisahkan dalam acara dan upacara adat suku batak Simalungun. Selanjutnya penulis
nantinya akan mengimpikasikan peranan Dayok Nabinatur terhadap pembelajaran
berbasis kearifan lokal.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan paparan diatas maka yang menjadi rumusan masalah dari penulisan
ini adalah :
1. Apa dan bagaimana dayok binatur sebagai kuliner Simalungun?
2. Mengapa suatu makanan masih signifikan digunakan dalam upacara adat?
3. Bagaimana variasi dan arti makanan dayok binatur pada upacara adat
Simalungun?
4. Bagaimana variasi dayok binatur pada masyarakat di Simalungun?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui berbagai variasi pengolahan makanan
dayok binatur di Kabupaten Simalungun. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui
arti dan makna dari penyajian dan penyampaian makanan dayok binatur baik dari
makna dan cara penyampaian di berbagai upacara adat. Selain itu juga dengan perumusan
masalah di atas dapat dibuat tujuan penelitian sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui bagaimana dayok binatur dijadikan sebagai kuliner
di Simalungun.
2. Untuk mengetahui makna dayok binatur dalam upacara adat Simalungun.
3. Untuk mengetahui pengolahan dan penyajian dayok binatur dalam
upacaraadat Simalungun.
4. Untuk mengetahui variasi dayok binatur yang terdapat di Simalungun.

1.4 Manfaat Penulisan


1. Sebagai bahan referensi bagi penulis berikutnya terkait tentang
makananadat maupun kuliner Simalungun
2. Memberi informasi untuk menambah wawasan terkait makanan adat
Simalungun.

2
BAB II
LANDASAN TEORITIS
2.1 Kearifan Lokal

2.1.1 Pengertian Kearifan Lokal Secara Umum

Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai
strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam
menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kearifan lokal adalah
segala bentuk kebijaksanaan yang didasari nilai-nilai kebaikan yang dipercaya,
diterapkan dan senantiasa dijaga keberlangsungannya dalam kurun waktu yang cukup
lama (secara turun temurun) oleh sekelompok orang dalam lingkungan atau wilayah
tertentu yang menjadi tempat tinggal mereka. Secara etimologi, kearifan lokal (local
wisdom) terdiri dari dua kata, yakni kearifan (wisdom) dan lokal (local). Sebutan lain
untuk kearifan lokal diantaranya adalah kebijakan setempat (local wisdom), pengetahuan
setempat (local knowledge) dan kecerdasan setempat (local genious).
1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2018) kearifan berarti kebijaksanaan,
kecendekiaan sebagai sesuatu yang dibutuhkan dalam berinteraksi. Kata lokal, yang
berarti tempat atau pada suatu tempat atau pada suatu tempat tumbuh, terdapat,
hidup sesuatu yang mungkin berbeda dengan tempat lain atau terdapat di suatu
tempat yang bernilai yang mungkin berlaku setempat atau mungkin juga berlaku
universal.
2. Pengertian Kearifan Lokal menurut UU No. 32 Tahun 2009 adalah nilai-nilai luhur
yang berlaku di dalam tata kehidupan masyarakat yang bertujuan untuk melindungi
sekaligus mengelola lingkungan hidup secara lestari.
3. Menurut Sedyawati dalam Rinitami (1018), kearifan lokal diartikan sebagai kearifan
dalam kebudayaan tradisional suku-suku bangsa. Kearifan dalam arti luas tidak
hanya berupa norma-norma dan nilai-nilai budaya, melainkan juga segala unsur
gagasan, termasuk yang berimplikasi pada teknologi penanganan kesehatan, dan
estetika. Dengan pengertian tersebut maka yang termasuk sebagai penjabaran
kearifan lokal adalah berbagai pola tindakan dan hasil budaya materialnya.
4. Kearifan lokal dalam perspektif antropologi linguistik merupakan bagian dari nilai
dan norma tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun melalui cara lisan.

3
2.1.2 Fungsi Kearifan Lokal
Kearifan lokal adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu
daerah. Kearifan lokal memiliki kandungan nilai kehidupan yang tinggi dan layak terus
digali, dikembangkan, serta dilestarikan sebagai antitesis atau perubahan sosial budaya
dan modernisasi. Kearifan lokal produk budaya masa lalu yang runtut secara terus-
menerus dijadikan pegangan hidup, meskipun bernilai lokal tapi nilai yang terkandung
didalamnya dianggap sangat universal. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan
budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas.
Kearifan lokal dipandang sangat bernilai dan mempunyai manfaat tersendiri
dalam kehidupan masyarakat. Sistem tersebut dikembangkan karena adanya kebutuhan
untuk menghayati, mempertahankan, dan melangsungkan hidup sesuai dengan situasi,
kondisi, kemampuan, dan tata nilai yang dihayati di dalam masyarakat yang
bersangkutan. Dengan kata lain, kearifan lokal tersebut kemudian menjadi bagian dari
cara hidup mereka yang arif untuk memecahkan segala permasalahan hidup yang mereka
hadapi. Berkat kearifan lokal mereka dapat melangsungkan kehidupannya, bahkan dapat
berkembang secara berkelanjutan.
Menurut Balqis (2021) kearifan berfungsi sebagai konservasi dan pelestarian
sumber daya alam, pengembangan sumber daya manusia, pengembangan kebudayaan
dan ilmu pengetahuan, sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan. Bermakna
sosial, misalnya upacara integrasi komunal atau kekerabatan dan pada upacara adat serta
landasan etika dan moral.
Adapun fungsi kearifan lokal terhadap masuknya budaya luar adalah sebagai berikut:
1. Sebagai filter dan pengendali terhadap budaya luar.
2. Mengakomodasi unsur-unsur budaya luar.
3. Mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli.
4. Memberi arah pada perkembangan budaya.

2.1.3 Pengaturan Mengenai Kearifan Lokal


Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pengaturan mengenai kearifan lokal
yang merupakan salah satu ciri dari hukum yang hidup dalam masyarakat, dimana hal
tersebut dapat dipersamakan dengan hukum adat maka Indonesia pun harus mengakui
dan mengatur lebih lanjut tentang kearifan lokal, hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal
18 B ayat (2) dan juga ditegaskan pada Pasal 28 I ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan

4
Lingkungan Hidup, dalam Pasal 63 ayat (1) huruf t, Pasal 63 ayat (2) huruf n dan Pasal
63 ayat (3) huruf k bahwa dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
(selanjutnya disebut PPLH) dimana Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertugas dan
berwenang menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan
keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan masyarakat hukum adat yang
terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, bahwa salah
satu asas PPLH adalah kearifan lokal. Dalam Undang-Undang PPLH kearifan Lokal
dapat dimaknai sebagai suatu nilai yang berlaku dalam kehidupan masyarakat untuk
melindungi dan mengelola lingkungan hidup agar lestari, sehingga kearifan lokal ini
dijadikan suatu asas atau dasar ketika melakukan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup.
Kearifan lokal termasuk di dalamnya Ekspresi Budaya Tradisional (EBT)
meliputi semua warisan budaya tak benda yang dikembangkan oleh masyarakat lokal,
secara kolektif atau individual dengan cara yang tidak sistemik dan disisipkan dalam
tradisi budaya dan spiritual masyarakat. Kategori warisan budaya tak benda meliputi
tradisi lisan, seni pertunjukkan, praktek-praktek sosial, ritual, perayaan-perayaan,
pengetahuan dan praktek mengenai alam dan semesta atau pengetahuan dan ketrampilan
untuk menghasilkan kerajinan tradisional. Kerangka hukum EBT di Indonesia yang
diimplementasikan sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945
(Amandemen ke empat) Pasal 32(1), Pasal 38 dan 39 tentang Undang-Undang Hak Cipta
No.28 Tahun 2014, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Undang-Undang
Pemajuan Kebudayaan yang lahir dalam rangka melindungi, memanfaatkan, dan
mengembangkan kebudayaan Indonesia, Perpres RI No.78 Tahun 2007 tentang Konvensi
Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda, Permendikbud No.106 Tahun 2013 tentang
Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.

2.2 Kebudayaan Simalungun

2.2.1 Asal Usul Simalungun


Batak Simalungun merupakan salah satu Suku Bangsa Batak yang berada di
provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang hidup dan tinggal menetap di daerah
Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Dimana oleh beberapa suku, batak Simalungun
dikenal dengan istilah suku "Si Balungu" yang bermakna bahwa suku Simalungun
berasal dari legenda hantu yang diyakini menimbulkan wabah penyakit di daerah

5
tersebut, namun berbeda dengan orang Karo yang menyebut suku Simalungun sebagai
suku Simalungun Timur dikarenakan letaknya yang berada di sebelah timur mereka.
Banyak cerita mengenai asal usul suku Simalungun.
Dari beberapa sumber diperoleh data bahwa leluhur suku Batak Simalungun awal
mulanya berasal dari negara India bagian Selatan yang terbagi ke dalam beberapa
kerajaan besar. Umumnya suku – suku batak dikenal dari marganya. Marga dalam suku
Simalungun merujuk kepada nama keluarga atau marga yang dipakai di belakang nama
depan masyarakat Simalungun. Ada 4 marga asli dari Simalungun yaitu: Sinaga, Saragih,
Damanik, dan Purba. Keempat marga asli suku Simalungun itu dikenal dengan istilah
Sisadapur
Munculnya keempat marga ini merupakan hasil dari musyawarah atau
kesepakatan dari empat raja besar yang dikenal dengan “Harungguan Bolon”
(permusyawaratan besar) dengan maksud dan tujuan agar kedepannya keempat kerajaan
besar ini tidak saling menyerang dan tidak saling bermusuhan, dalam bahasa Simalungun
dikatakan “marsiurupan bani hasunsahan na legan, rup mangimbang munssuh” (saling
bekerjasama atau saling membantu dalam kesusahan dan bersama – sama melawan
musuh).

2.2.2 Wilayah Geografis Simalungun


Kabupaten Simalungun memiliki 30 kecamatan dengan luas wilayah 438.660 ha
atau 6,12 % dari luas wilayah Provinsi Sumatera Utara. Kecamatan yang paling luas
wilayahnya adalah Kecamatan Tanah Jawa dengan luas 49.175 ha, sedangkan yang
paling kecil luasnya adalah Kecamatan Dolok Pardamean dengan luas wilayah 9.045 ha.
Keseluruhan kecamatan terdiri dari 306 desa dan 17 kelurahan.
Batas wilayah:
 Utara berbatasan dengan Kabupaten Serdang Bedagai
 Selatan berbatasan dengan Kabupaten Toba Samosir
 Barat berbatasan dengan Kabupaten Karo
 Timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan Kecamatan
Kecamatan yang meliputi wilayah Simalungun meliputi, Bah Jambi, Jorlang
Hataran, Bandar, Bandar Huluan, Panombeian Pane, Bandar Masilam, Pematang Bandar,
Bosar Maligas, Pematang Sidamanik , Dolok Batunanggar, Purba, Dolok Panribuan,
Raya, Dolok Pardamean, Raya Kahean, Dolok Silau, Siantar, Girsang Sipangan Bolon,

6
Sidamanik, Gunung Malela, Silau Kahean, Gunung Maliga, Silimakuta, Haranggaol
Horisan, Tanah Jawa, Hatonduhan, Tapian Dolok, Hutabayu Raja, Ujung Padang dan
Jawa Maraja.

2.2.3 Struktur Sosial Simalungun

Struktur sosial berasal dari kata “structum” yang mempunyai arti menyusun.
Struktur sosial merupakan tatanan atau susunan sosial yang membentuk kelompok-
kelompok sosial di dalam kehidupan masyarakat, dimana di dalamnya terdapat
hubungan timbal balik. Falsafah budaya Simalungun tercermin pada falsafah adat
Simalungun yaitu tolu sahundulan, lima saodoran. Masyarakat di Simalungun
mengenal tolu sahundulan, lima saodoran sebagai struktur sosial. tolu sahundulan =
tiga pada satu tempat yaitu:
1. Sanina: Saudara laki-laki dari ayah atau yang satu marga dengan ayah.
2. Tondong: Saudara laki-laki dari ibu atau pihak dari orang tua ibu.
3. Boru: Saudara perempuan dari ayah atau pihak orangtua dari laki- laki.
Semboyan tolu sahundulan : sanina pangalop riah, tondong pangalop podah,
boru pangalop gogoh. Marsanina ningon pakkei, manat. Martondong ningon hormat,
sombah. Marboru ningon elek, pandei. Artinya: sanina sebagai tempat untuk
bermusyawarah terkait suatu upacara adat yang akan dilaksanakan, tempat untuk
bertukar pikiran baik dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sedangkan tondong yaitu
orang yang biasanya memberi nasihat, petuah yang diterima dalam suatu perencanaan
untuk upacara adat baik juga dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Sementara boru
yaitu yang biasanya capek karena harus bekerja dalam setiap kegiatan upacara adat
yang dilakukan, boru harus siap capek apabila dalam suatu upacara adat yang
dilakukan oleh pihak tondong-nya.

Seringkali disebut tolu sahundulan yaitu memiliki simbol : bonang manalu


benang yang terdiri dari tiga warna yaitu merah, hitam dan putih. Sehingga dalam
setiap upacara adat haruslah sejalan yang tiga ini demi untuk kelancaran upacara adat.
Kepada tondong harus memiliki rasa hormat. Ada kalimat mengatakan bahwa: tondong
adalah Tuhan yang terlihat. Tanaman sendiri di ladang saja bisa layu apabila kita
menyebut nama tondong sendiri. Bagi suku bangsa Simalungun karena luasnya
kekerabatan, maka tolu sahundulan dikembangkan menjadi lima yang disebut lima
saodoran yaitu:

7
1. Sanina: Saudara laki-laki ayah atau satu marga dengan ayah
2. Tondong: Saudara laki-laki dari ibu atau pihak dari orang tua ibu
3. Boru: Saudara perempuan dari ayah atau pihak orang tua dari laki-laki
4. Tondong ni tondong: Tondong dari tondong atau tondong dari istri, atau
tondong dari ibu
5. Boru mintori (boru ni boru): Anak perempuan dari saudara perempuanayah.

Kepribadian dan karakter suku bangsa Simalungun juga dapat dilihat dari
falsafah adat yang berkembang dalam masyarakat. Tatanan dan manajemen sosial
tercermin dalam cara pelaksanaan upacara adat. Secara prinsip dalam adat Simalungun
adalah suatu tatanan kehidupan yang digambarkan tolu sahundulan lima saodoran.
Tolu sahundulan artinya bahwa dalam masyarakat Simalungun secara manajemen
untuk menentukan suatu keputusan ditentukan oleh kepakatan dari tiga pihak
keluarga. Mereka berembuk dan memutuskan bentuk kebijakan yang akan diambil
dalam upacara adat. Ketiga pihak tersebut yakni suhut (pihak tuan rumah), tondong
(pihak keluarga si istri), boru (pihak keluarga si suami). Suhut sebagai keluarga tuan
rumah meminta nasehat dan pendapat dari tondong (saudara laki-laki si istri).
Sementara dari pihak boru (saudara perempuan dari si suami) harus meminta kesediaan
tenaga untuk mengerjakan upacara adat yang akan dilaksanakan.

2.2.4 Falsafah Budaya Simalungun


Budaya terdiri dari adat istiadat. Berdasarkan hasil seminar budaya Simalungun
ditetapkan budaya Simalungun didasari “Habonaron do Bona” artinya kebenaran adalah
pangkal. Motto ini sudah ditetapkan menjadi lambang budaya Simalungun. Demikian
juga “Sapangambei Manoktok Hitei” artinya bersama-sama membangun jembatan atau
bergotong royong/bahu membahu untuk membangun. Sudah ditetapkan menjadi motto
lambang Kota Pematang Siantar.
Terdapat suatu pemahaman yang sangat kental pada orang Simalungun pada
orang Simalungun bahwa Naibata (Tuhan) adalah maha kuasa, maha adil dan maha
benar. Sehingga manusia sebagai ciptaan juga dituntut untuk bersikap benar dan segala
sesuatu harus didasarkan pada hal yang benar. Inilah prinsip dasar dari filosofi
“Habonaron do Bona” pada masyarakat Simalungun. Falsafah Habonaron do Bona
merupakan filosofi hidup bagi suku bangsa Simalungun. “Habonaron do Bona” artinya
adalah kebenaran adalah dasar segala sesuatu. Artinya masyarakat Simalungun

8
menganut aliran pemikiran dan kepercayaan segala sesuatu harus dilandasi oleh
kebenaran. Begitu juga dengan “Sapangambei Manoktok Hitei” yang artinya bersama-
sama membangun jembatan atau gotong royong/bahu-membahu untuk membangun.

2.2.5 Kearifan Lokal Berupa Makanan Khas Simalungun


Menurut Fardiaz D (1998), makanan tradisional adalah makanan dan minuman,
termasuk jajanan serta bahan campuran atau bahan yang digunakan secara tradisional,
dan telah lama berkembang secara spesifik di daerah dan diolah dari resep-resep yang
telah lama dikenal oleh masyarakat setempat dengan sumber bahan local serta memiliki
citarasa yang relatif sesuai dengan selera masyarakat setempat.

Dari pengertian makanan tradisional di atas, dapat dikatakan bahwa makanan


tradisional merupakan makanan yang diperoleh secara turun temurun dan di setiap
daerah mempunyai ciri khas yang berbeda-beda. Makanan tradisional Indonesia sangat
banyak macamnya, berdasarkan tingkat eksistensinya dalam masyarakat hingga saat ini.
Keanekaragaman makanan tradisional yang ada dipengaruhi oleh keadaan daerah atau
tempat tinggal dan budaya yang ada di daerah tersebut.

Masyarakat simalungun memiliki berbagai jenis kearifan lokal dalambentuk


makanan khas. Makanan-makanan khas ini misalnya, Dayok binatur, labar, hinasumba,
nitak, sasagun, na irandu, salenggam dan tinuktik. Selanjutnya dalam penulisan ini akan
dibahas mengenai lebih dalam makanan khas Simalungun yaitu Dayok Binatur.

9
BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Dayok Binatur

3.1.1 Pengertian Dayok Binatur


Salah satu makanan adat yang digunakan suku bangsa Simalungun dikenal
sebutan dayok pinamanggoluh, gulei dayok atur manggoluh, dayok nani batur.
Walaupun berbeda sebutan untuk makanan adat ini semuanya menujuk pada dayok
binatur. Dayok binatur yang terbuat dari daging ayam. Dayok binatur inilah dijadikan
sebagai simbol dan lambang makanan adat Simalungun. Dayok binatur ini sebagai
simbol dan khas makanan masyarakat Simalungun. Dayok binatur ini memberikan
makna hidup bagi masyarakat Simalungun dan diakui secara konvensional, yaitu dapat
kita lihat dari cara hidup ayam. Dayok binatur juga disebut dayok atur manggoluh ini
suatu petuah yang sangat berguna bagi masyarakat Simalungun, berbangsa dan bernegara
agar dapat bertumbuh subur, tangguh dan ulet.
Makna yang terdapat dalamnya adalah berupa pesan atau petuah yang harus
dilakukan dalam hidupnya yang berguna untuk mengatur hidupnya khususnya dalam
hidup bermasyarakat. Jadi penanda dan petanda yang dipakai untuk menjabati upacara
adat Simalungun adalah sumpah dan janji untuk menjalankan pesan atau petuah yang
disampaikan untuk melalui perantaraan penanda dayok binatur, sehingga memiliki
makna bagi masyarakat Simalungun. Dayok binatur ini dilambangkan ayam sejenis
unggas yang dipelihara masyarakat Simalungun (ayam kampung).
Secara harfiah dayok artinya ayam dan binatur artinya yang diatur. Jadi secara
sederhana, dayok binatur berarti ayam yang dimasak dan disajikan secara teratur sejak
pemotongan bagian tubuh ayam sampai kepada penghidangannya. Secara filosofis,
dayok binatur merupakan simbol doa, harapan dan berkat, wujud terima kasih serta rasa
syukur. Representasi tampilan dayok binatur akan terlihat potongan-potongan daging
ayam yang disusun teratur sesuai urutannya yang membentuk sebagaimana ayam hidup.
Daging ayam yang tersusun teratur sesuai dengan adat Simalungun dan terlihat seperti
ayam hidup. Nilai tanda atau nilai lambang yang terdapat dalam dayok binatur memiliki
makna yaitu berupa nasehat, perintah, serta harapan. Dayok binatur memiliki tampilan
dan makna. Tampilan dayok binatur dengan potongan-potongan dagingnya (gori) yang
lengkap disusun teratur menggambarkan bagaimana ayam hidup. Tampilan dayok
binatur memberikan iterpretasi yang dapat mengingatkan kita supaya jangan terlalu

10
mencampuri intern orang lain, menghilangkan sifat propokator, mengerjakan tugas kita
dengan penuh tanggung jawab, menempati posisi kita dengan sewajarnya,
mengembangkan kebersamaan karena kita sebagai menusia menurut kuadratnya tidak
dapat hidup tanpa orang lain, membina persatuan, menghindari permusuhan.

3.1.2 Sejarah Dayok Binatur


Sebelum ayam menjadi salah satu makanan adat Simalungun, dahulu kala yang
sering disajikan di kerajaan Simalungun pada saat upacara adat adalah hewan kerbau,
sapi dan lembu. Ada nilai filosofi dari makanan dayok binatur yang dapat dijadikan
masyarakat di Simalungun sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Beberapa nilai filosofi yang dapat diambil dari dayok binatur antara lain.
Makna filosofi dari dayok binatur :

1. Ayam dipilih menjadi binatang yang digunakan dalam proses upacara adat, yaitu
karena ayam merupakan seekor binatang yang disiplin terhadap waktu, paham
terhadap waktu dan tekun bekerja untuk mengurus keperluan dalam kebutuhan
sehari-hari misalnya untuk mencari keperluan makan dan mengurus anak-anaknya.
2. Tekun dalam bekerja. Ayam jantan juga bertanggung jawab kepada anak dan ayam
betina, jika dikaitkan dalam keluarga, ia bertanggungjawab menafkahi anak dan
istrinya. Sementara ayam betina biasanya menetaskan telurnya. Layaknya seekor
ayam betina, ketika ia hendak mau menetas, ia mengetahui sendiri, kapan waktunya
ia harus berpuasa menahan lapar, haus demi untuk menetaskan telurnya.
3. Dayok binatur terbuat dari ayam kampung, dimana seekor ayam kampung memiliki
tiga hal kebiasaan yang dapat dicontoh yaitu girah puho (bangun cepat di pagi hari);
marhaer lobe ase mangan (seekor induk ayam baik ayam jantan berusaha untuk
mencari makanan yang bisa untuk dimakan, dengan cara mencakar tanah untuk
mencari cacing yang bisa dimakan, demikian halnya yang dicontoh masyarakat di
Simalungun, bekerja dulu agar bisa makan, artinya untuk mendapatkan sesuatu hal
ada perjuangan yang dikorbankan); makhopkop anakni (melindungi anaknya) ini
biasa dilakukan oleh induk ayam, ketika ada serangan dari elang, ataupun hujan
deras, seekor induk ayam bisa mengepung semua anaknya dalam sayapnya, itu yang
dimaksud dengan makhopkop, berapapun jumlah anaknya induk ayam tetap bisa
melindungi anak-anaknya, hal itu yang ditiru seorang induk bisa mengerti semua
anaknya, berusaha melindungi anaknya. Sama halnya orangtua selalu berusaha

11
bekerja keras untuk melindungi dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya tanpa pilih
kasih.
4. Tampilan dayok binatur yang tersaji dan tersusun secara teratur mulai dari kepala,
leher, sayap, dada, hngga ke ceker, mengandung makna pengharapan yaitu suatu
tanda kehidupan yang teratur, menyatu dan harmonis yang saling melengkapi satu
dengan yang lainnya.
5. Dayok binatur yang teratur tergambar pada tradisi masyarakat Simalungun yang
dikenal dengan tolu sahundulan lima saodaran. Tolu sahundulan diartikan tiga
kelompok dalam satu kedudukan yang utuh dan menyeluruh, sedangkan lima
saodoran diartikan lima tapi satu rombongan perjalanan hidup. Hal ini dimaksudkan
bahwa setiap posisi itu memiliki fungsi dan tugas masing-masing tetapi saling
melengkapi.
6. Dayok binatur menjadi sarana menyampaikan doa berkat. Secara filosofis, orang
yang menikmati dayok binatur akan menerima berkat dan menemukan keteraturan
dalam hidup. Tak heran ketika menyerahkan dayok binatur, orang tua menyertainya
dengan doa-doa dan petuah yang berisi petuah-petuah agar si anak hidup teratur di
tanah rantau menjunjung kesantunan dan etika.
7. Menyajikan dayok binatur diupayakan agar bagian-bagian tubuh ayam yang layak
dimakan itu tetap utuh (tidak hilang), karena akan menjadi sarana penyampaian
pesan luhur secara simbolik. Agar hidup teratur, maka saling menghargai, saling
membantu. Inti dari petuah dayok binatur adalah hidup yang bermanfaat bagi
masyarakat, mau berbagi, sedia menyebarluaskan perbuatan yang baik, dan saling
mengasihi dalam kelemahan.
8. Ketika anak ayam sudah menetas, induk ayam tidak pernah memakan duluan
ketimbang anaknya. Anaknya selalu diutamakan makan. Hal tersebutlah yang
diambil masyarakat Simalungun. Layaknya seorang ibu tidak pernah makan duluan
sebelum anaknya makan, itulah kasih sayang ibu pada anak. Berbagai usaha akan
dilakukan agar anaknya mencapai cita-citanya, orang tua rela berkorban demi
kesuksesan anak-anaknya. Hal demikian lah yang diperhatikan nenek moyang
terdahulu dalam memperhatikan seekor ayam sehingga ayam menjadi salah satu
falsafah budaya Simalungun dalam bidang makanan adat. Hal itulah yang menjadi
perbedaan tanggung jawab ayam jantan dan ayam betina.

12
Filosofi dari makanan dayok binatur bermula pada zaman dahulu pada adat
Simalungun bermula pada binatang yang bertanduk. Seperti kerbau, sapi, kambing. Tapi
karena keadaan masyarakat terutama masyarakat biasa, keadaan ekonomi sangat rendah.
Sehingga berganti menjadi ayam. Tetap memiliki taji di kaki. Tentu dari segi biaya lebih
ringan. Ada filosofi Simalungun mengungkapkan: “anggo marantau boan ma dayok
boru-boru ulang iboan dayok sabungan” artinya: orang tua menganjurkan kepada
anaknya jika merantau jangan membawa sifat ayam jantan melainkan membawa sifat
ayam betina dikarenakan ayam betina identik dengan lemah lembut berbeda dengan ayam
jantan yang identik dengan keras, tidak rendah hati, seolah-olah mencari lawan, berlaga.

3.1.3 Jenis dan Pengolahan Dayok Binatur


Jenis pengolahan dayok binatur ada tiga jenis, yang pertama yaitu dimasak dengan
di-lomang, maksudnya di-lomang yaitu dayok binatur dimasak dalam bambu. Yang
kedua dimasak dengan dipanggang, dayok binatur dipanggang lalu disusun diatas piring
kaca atau pinggan dan yang pengolahan ketiga yaitu dayok binatur yang digulai.
Setiap pengolahan berbeda-beda sesuai cara pengolahan, sesuai upacara adat
yang akan dilakukan. Setiap ayam yang dimasak baik dilemang, digulai dan dipanggang
akan disusun kembali sesuai organ dan seperti ayam hidup mulai dari kepala sampai ke
ceker, disusun di atas piring kaca atau pinggan, maka disebutlah dayok binatur. Untuk
proses pemotongan ayam, harus memiliki cara agar darahnya keluar banyak sehinga
banyak untuk diaduk dengan bumbu dan holat atau sikkam.
Pertama-tama penyembelihan ayam dilakukan oleh dua orang. Satu orang
memegang kaki ayam dan sayapnya agar ayam tidak lepas saat disembelih. Tangan
kanan memegang kuat sayapnya dan tangan satu lagi memegang kuat kaki ayam. Kaki
ayam atau badannya dinaikkan, karena pengambilan darah dilakukan di leher ayam, satu
orang yang megang pisau menyembelih/mengoyakkan sedikit leher ayam dengan pisau
yang tajam, lalu dibiarkan darahnya bercucuran ke wadah yang telah disediakan/piring.
Badan ayam dinaikkan sehingga darahnya mengalir ke bawah. Setelah darah yang
terkumpul cukup, ayam yang telah mati disiram dengan air mendidih, didiamkan
beberapa menit lalu bulu ayam dicabuti hingga bersih. Setelah itu barulah memotong
ayam sesuai organ tubuhnya agar mudah disusun di atas piring. Setelah selesai
memotong keseluruhan organ tubuh ayam, dimasak sesuai kebutuhan atau sesuai selera.
Dapat diolah dengan dipanggang, digulai maupun dimasak lemang.

13
3.1.3.1 Dayok Binatur Na Pinanggang
Proses pengolahan “dayok binatur na pinanggang” ada dua versi, ada
yang dipanggang di bara api, ada juga yang dipangang dengan beralaskan besi.
Tapi yang sesuai dengan adat Simalungun, sesuai pada zaman dahulu yaitu
dipanggang di bara api lalu diolesi terlebih dengan santan agar tidak cepat
gosong. Bisa juga disantan dibuat bumbu dan garam agar memiliki rasa. Setelah
dipanggang dipotong lalu dibuat juhutni (organ-organ). Diambil bagian-bagian
organ ayam seperti kepala, leher, kaki dan sebagainya. Setelah itu diaduk dengan
bumbu yang sudah disiapkan lalu dicampur dengan sikkam dan darah.
Namun bagi orang kaum Muslim di Simalungun, mereka mengganti darahnya
dengan santan kelapa, mereka tidak menggunakan “sikkam” dan darah. Setelah
itu ibatur (diatur) dalam pinggan panganan dan sudah diatur semua baru lah bisa
isurdukhon (diberikan) dan disediakan tutupnya yang terbuat dari bulung tinapak
(daun pisang penutup dayok binatur). “Dayok binatur na ipanggang” biasa
disajikan pada pengantin, acara syukuran angkat sidi.
Dayok binatur yang dipanggang lebih dominan digunakan dalam upacara
adat Simalungun. Selain memiliki rasa yang nikmat namun juga konon katanya
dayok binatur yang dipanggang merupakan makanan yang paling banyak disukai
raja-raja Simalungun dahulu sampai hingga sekarang ini, turun temurun pada
suku bangsa Simalungun, paling banyak menyukai dayok binatur yang
dipanggang. Makna dari penyajian dayok binatur yang dipanggang yaitu untuk
memberikan semangat kepada seseorang yang diberi makanan dayok binatur

3.1.3.2 Dayok Binatur Na Iloppah


Dayok binatur yang digulai yang digulai berbeda cara memasaknya
dengan pengolahannya dayok binatur lainya. Bumbunya sama saja semua, hanya
saja pada saat memasak ayam yang digulai, tidak banyak menggunakan merica
dan tidak menggunakan kelapa gonseng, namun menggunakan santan, ayam yang
digulai menggunakan cabai bukan merica. Tidak menggunakan boras sinanggar.
Keseluruhan bumbu dihaluskan lalu digonseng dengan minyak, hingga wangi,
lalu dimasukkan potongan-potongan ayam sesuai organnya yang telah
dibersihkan, diaduk hingga merata. Bumbu rempah kunyit lebih mendominasi
pada masakan ayam gulai, berbeda dengan ayam yang dipanggang. Dimasukkan

14
air santan. Pada pemasakan ini, tidak menggunakan holat ataupun sikkam untuk
diaduk dengan darahnya, karena darahnya langsung dimasukkan dan dicampur
dengan potongan ayam yang telah mendidih di wadah pemasakannya. Ketika
sudah matang, maka setiap potongan ayam diambil dari wadah satu persatu tanpa
kuahnya. Setelah semua sudah terkumpul barulah disusun dan ditata dengan
teratur di atas pinggan atau piring kaca yang sudah disediakan. Jenis dayok
binatur yang lain ada juga dayok binatur na iloppah dan dayok binatur na
ilomang. Setiap jenis berbeda proses pengolahannya.

3.1.3.3 Dayok Binatur Na Ilomang


Dayok binatur na ilomang dimasak dengan cara proses memasak lemang.
Dimasak dalam bambu satu ruas. . Setelah itu dimasukkan dalam bambu.
Memang yang dipanggang juga bisa untuk sir ni uhur namun yang lebih cocok
yaitu yang dimasak di bambu karena itu ayam berwarna putih. Ketiga ada dayok
binatur na ilomang yang didalam bambu. Ini digunakan untuk menjelang pesta
pernikahan, disebut maralop, parumah parsahapan di tempat tinggal calon
pengantin perempuan dan pada saat kematian sayur matua. Dayok binatur na
ilomang akan dimasak di bambu yang disebut tinombu dan dibawa dalam suatu
wadah bernama tombuan. Tinombu satu paket dengan tombuan. Dayok binatur
akan dimasak di dalam bambu sebagaimana biasa memasak lemang. Potongan
ayam akan disusun seperti susunan ayam hidup di dalam bambu. Kaki pertama
dimasukkan, punggung, organ dalam, leher, kepala. Demikian dimasukkan
sebelumnya diaduk dengan bumbu yang sudah dihaluskan: cabai, bawang, lada,
lengkuas, serai, kunyit, kelapa yang sudah dihaluskan tanpa digonseng, tanpa
diperas santannya. Bambu dimasukkan keatas bara api seperti memasak
lemang pada umumnya. Dalam proses pemasakan dayok binatur na ilomang,
tidak perlu mengunakan air santan kelapa dan air, tetapi kelapa yang sudah
diparut langsung diaduk bersama daging dan bumbu, lalu air dalam bambu yang
akan menjadi air pemasakan dayok binatur na ilomang. Ayam yang dilemang
lebih wangi karena menggunakan bumbu hosaya (bawang batak). Penyusunan
seperti itu agar mudah dalam penyusunan pada saat mengeluarkan dari bambu,
ayam langsung mudah tersusun teratur di wadah penyajian.
Dayok binatur na ilomang lebih jarang disajikan dalam upacara adat
Simalungun. Karena pengolahannya lebih sulit dibanding yang lain. Namun ada
pada saat-saat tertentu digunakan, yaitu pada adat palaho hon boru (suatu adat
pranikah) dan pada upacara adat kematian.

3.1.4 Jenis Ayam dan Penggunaannya Dalam Dayok Binatur


No Sebutan Keterangan
1 Mirah Ayam jantan yang memiliki bulu warna kemerahan

15
2 Silopak Ayam jantan yang mana keseluruhan bulunya memiliki
warna putih
3 Sabur Ayam jantan yang memiliki bulu bintik-bintik putih
bittang
4 Pajom Ayam yang memiliki seluruh tubuhnya dan bulunya
warna hitam
5 Boru-boru Ayam betina

Dayok mirah biasanya dimasak dengan dipanggang. Dayok silopak biasanya


dimasak dengan proses dilemang. Dayok sabur bittang biasa dimasak dengan proses
dipanggang. Sementara itu, dayok pajom hanya digunakan untuk obat saja. Tidak
pernah digunakan untuk kegiatan adat. Biasa digunakan untuk obat yang berbau mistik.
Sedangkan dayok boru-boru dimasak dengan proses iloppah atau digulai.
Ada juga namanya dayok pajom (ayam hitam), ini jarang bahkan tidak pernah
digunakan dalam adat Simalungun. Karena dilambangkan dengan dunia kegelapan
karena berwarna hitam. Paling hanya untuk lauk nasi saja namun untuk adat tidak
pernah dipergunakan. Kalau dahulu apabila untuk memasuki rumah, ayam hitam
dipotong dan dibakar pada tempat pemasakan dari tuan rumah tersebut, pada rumah
yang hendak dibangun. Hal itu dilakukan guna untuk mengusir roh jahat.
Penggunaan jenis ayam juga dalam olahan makanan adat Simalungun tidaklah
sembarangan. Ada pembagian dari jenis ayam baik betina atau jantan, ada juga
perbedaan dari segi pengolahannya. Parboruon (saudara perempuan ayah) tidaklah
diperkenankan memberikan dayok binatur yang dipanggang kepada tondong.
Dikarenakan dayok binatur yang dipanggang atau dimasak dengan dibakar, identik
dengan kering dan tidak berair. Masyarakat Simalungun meyakini bahwa mesti yang
basah, yang berair lah yang diberikan kepada tondong. Seperti dayok binatur yang
digulai, dimasak dengan menggunakan air itulah yang diperkenankan diberikan kepada
tondong-nya, agar rejeki dan mata pencaharian berair, artinya semakin berlimpah rejeki
oleh tondong-nya agar ada yang akan mau diberikan kepada parboruon-nya. Berbeda
dengan dayok binatur yang diolah dengan dipanggang, kering dan tidak berair.
Tapi berbeda dengan tondong, ia memberikan dayok binatur yang dipanggang
kepada parboruon-nya. Karena biasanya orang Simalungun lebih doyan mengonsumsi
yang dipanggang, yang dipanggang lebih nikmat dan enak, jadi diberikan lah yang
paling enak dan nikmat kepada parboruon-nya, agar parboruon-nya rajin bekerja dan
membantu setiap ada pekerjaan khususnya pekerjaan atau kegiatan adat yang akan
dilakukan oleh tondong. Hal ini bisa dilihat pada setiap acara adat Simalungun,

16
bahwasanya parboruon memberikan dayok binatur yang digulai kepada tondong nya,
demikian juga tondong memberikan dayok binatur yang dipanggang dan dibubuhi
dengan hinasumba kepada parboruon. Hinasumba yaitu makanan tradisional,
termasuk makanan adat Simalungun, terbuat dari daging, dipotong kecil-kecil dan
dibubuhi dengan bumbu rempah pilihan dan dicampur dengan darah dan holat,
dagingnya terlebih dahulu direbus atau dipanggang.

3.1.5 Penyajian Dayok Binatur


Daging ayam yang dimasak disusun pada sebuah piring keramik atau pada sapah
sesuai dengan aturan adat yaitu ulu (kepala) di bagian depan, urutan berikutnya adalah
borgok (leher), tuppak (tulang dada), kemudian totok gulei (potongan–potongan daging
kecil tapi tidak termasuk dalam gori) yang diserap pada piring, seterusnya tulan bolon
(pangkal paha), kemudian tulan habong (sayap) setelah diletakkan kanan dan kiri (paha
tengah), setelah itu tulang hais– hais (ceker). Selanjutnya di bagian tengah gori tuah
(bagian dalam tubuh ayam yang menghasilkan sel telur) kemudian urutan berikutnya
dekke bagas (rempelo), diatur pada makanan itu terakhir ihur (ekor). Setelah selesai
penataan gori, nampaknya makanan adat istiadat itu menggambarkan ayam hidup. Hal
ini adalah mendasari susunan dari dayok binatur tersebut. Setelah tersusun baru ditutup
dengan daun pisang. Jika pada suatu kegiatan dirumah memotong ayam dan ingin
berbagi ke rumah tetangga (mamiringi, manrupei), beginilah pembagiannya:
a) Saudara laki-laki ibu : paha, punggung
b) Saudara laki-laki ayah : paha, paha paling luar, ekor
c) Saudara perempuan ayah : paha paling luar, sayap
d) Kakek/nenek : organ paling dalam, leher
e) Ibu/istri : usus

3.1.6 Pembagian Gori Dayok Binatur Dalam Upacara Adat Simalungun


No Nama-nama gori Terjemahan
1 Ulu Kepala
2 Borgok Leher
3 Habong Sayap
4 Gurung Punggung
5 Gomgoman Dada
6 Tuppak Ekor
7 Tulan bolon Paha paling dalam
8 Tulang bona Paha diatas ceker
9 Kais-kais Ceker

17
10 Bilalang/dokkei bagas Organ dalam(hati,usus)

Setiap potongan/gori masing-masing memiliki tujuan yang sewajarnya dalam


adat Simalungun. Pembagiannya tidaklah sembarangan karena adat sudah bagian dari
adat. Organ kepala, organ kaki ada pembagiannya, demikian dengan organ lainnya.
Namun tidak hanya pada hewan berkaki empat, pembagian gori atau organ daging ayam
juga sama halnya. Karena ada lima pembagian gori di Simalungun, setiap gori
didasarkan dengan kedudukan seseorang dalam upacara adat yang sedang berlangsung.
Gori ulu (kepala) diberikan kepada tondong (saudara laki-laki dari ibu). Gori tulan
bolon/paha ayam (tondong ni tondong dariayah juga bisa dari anaknya saudara laki-laki
ibunya ayah). Borgok (leher) biasanya kepada sanina (saudara laki-laki ayah). Tulan
parnamur (ceker ayam) biasanya diberikan pada parboruon (saudara perempuan ayah).
Imbul-imbul (punggung ayam) biasanya ini untuk suhut (tuan rumah acara adat
Simalungun).

Demikian pembagian organ dayok binatur pada adat Simalungun apabila


suatu pekerjaan adat dilakukan hanya memotong ayam saja, namun pada sekarang ini,
selalu satu ekor ayam yang dimasak, seekor dayok binatur yang diberikan misalnya
kepada tondong satu, kepada parboruon satu, tidak pernah hanya satu potong atau satu
organ saja. Hanya saja satu ekor dibagi ada berapa jumlah dari rombongan tondong,
demikian juga satu ekor untuk keseluruhan rombongan parboru.

3.1.7 Makna dan Simbol


Dalam pengolahan dayok binatur, setiap organ itu dipisah dan disusun kembali
dengan teratur sebagai mana layaknya seperti hidup. Mulai dari kepala, leher, sayap,
kaki, paha, ceker, punggung, ekor. Setiap potongan organ memiliki simbol dalam
masyarakat Simalungun. Kepala dilambangkan sebagai pemimpin, sumber kecerdasan,
leher sebagai penopang, sayap dilambangkan sebagai melangkah jauh, penyelamat untuk
melindungi diri dari musuh, juga dilambangkan bakalan menjadi orang yang merantau
jauh. Kaki, paha dilambangkan sebagai suka berjalan-jalan dan kuat menjadi rejeki,
mencari nafkah. Organ dalam dilambangkan sebagai simbol pertimbangan dalam
mengambil keputusan. Punggung dilambangkan sebagai simbol tulang punggung yang
kuat untuk menopang.
Setiap pengolahan hingga kepada penyusunan dayok binatur memiliki makna.
Penyusunan dan penyajiannya dalam upacara adat berupa simbol yang memiliki makna

18
bagi masyarakat Simalungun. Mulai dari sejarah hingga penyajian dalam dayok binatur
dalam upacara adat Simalungun. Mulai dari pemilihan dayok (ayam) sebagai binatang
yang digunakan sebagai makanan adat dalam upacara adat Simalungun yakni memiliki
makna bagi masyarakat Simalungun. Ada makna yang dapat diteladani masyarakat
Simalungun yakni dimana ayam merupakan binatang yang disiplin dan taat terhadap
waktu, ada juga makna yang dapat ditiru oleh masyarakat Simalungun yaitu ayam
merupakan binatang yang peduli akan waktu dan kasih sayangnya terhadap anak sebagai
induk ayam dapat ditiru dan memiliki makna bagi masyarakat Simalungun.

3.2 Dayok Binatur dalam Upacara Adat Simalungun


3.2.1 Dayok Binatur Dalam Upacara Adat Parhorasan
Sewaktu seorang wanita mengandung kehamilan pertama kira-kira dua bulan lagi
mau melahirkan, maka ia akan diberi makanan oleh orangtuanya disebutlah namanya
parhorasan. Ketika si bayi masih di dalam kandungan ibu nya, datanglah orangtua dari
ibu nya membawa parhorasan kepada anak dan menantu mereka atau si anak dan
menantu datang kerumah orangtua dari perempuan. Di Jawa disebut kenduri 7 bulanan.
Setelah diberikan dayok binatur, maka si ibu dari calon bayi, atau si ibu yang sedang
hamil pertama diberikan beras oleh orangtuanya dan diletakkan di atas kepala ibu yang
sedang hamil. Masyarakat di Simalungun menyebutnya boras tenger, agar tidak lemah
menjelang masa melahirkan dan selamat pada saat proses persalinan.

3.2.2 Dayok Binatur Dalam Upacara Adat Marhajabuan (Perkawinan)


Ketika kedua pengantin beserta keluarga telah pulang pemberkatan di gereja,
maka dipersiapkan oleh petugas tempat duduk, dan segala keperluan untuk adat istiadat.
Ketika telah tiba di halaman rumah atau sebelum tiba dalam gedung pesta, kedua
pengantin dipakaikan gotong dan bulang. Lalu dipakaikan juga hiou kepada pengantin
laki-laki dan hiou kepada pengantin perempuan. Ketika mereka sudah masing-masing
berpakaian adat, maka diperbolehkan duduk di pelaminan yang telah disiapkan, lalu
diberikan beras oleh orang tua mereka atau di Simalungun disebut boras tenger artinya
agar meneguhkan dan menguatkan hati dan kehidupan mereka dalam memulai keluarga
baru. Sebelum makan siang bersama, mereka terlebih dulu diberikan dayok binatur oleh
orang tua dan sibiak tutur pada saat itu. Orang tua laki-laki memberikan dayok binatur
yang dipanggang dan khusus dibuatkan untuk pengantin.
Pada saat penyampaian dayok binatur kedua orangtua sebagai si pemberi dan
kedua pengantin sebagai si penerima memegang piring kaca (pinggan), pada saat itu juga

19
orang tua menyampaikan pesan, harapan dan doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan
agar rumah tangga mereka diberkati. Ketika sudah selesai, barulah pinggannya
diturunkan lalu diletakkan di hadapan mereka yaitu pengantin. Setelah orangtua
pengantin laki-laki dilanjut oleh orangtua pengantin perempuan. Lalu dilanjut oleh
sanina, tondong dan boru. Setiap yang menyampaikan juga mendapatkan dayok binatur
yang telah disediakan oleh tuan rumah yaitu pihak laki-laki. Kalimat yang biasa di
ucapkan pada saat menyampaikan dayok binatur pada pengantin yaitu:

“On ma dayok binatur hubani nassiam anak pakon parumaennami. Doma


manjalo pamasu-masuon parumah tanggaon nassiamhumbani Tuhan
Naibata sai andohar ma songon paratur ni dayokbinatur on paraturni
rumah tangga nassiam hulobeia ni ari.” “Inilah dayok binatur kepada
kalian berdua anak dan menantukami. Kalian sudah menerima
pemberkatan rumah tangga dariTuhan, semoga seperti teratur susunan dari
ayam inilah keteraturankehidupan rumah tangga kalian kedepannya.”

Namun maknanya hampir sama yaitu agar kedua pengantin semakin dewasa,
sudah memiliki keluarga dan rumah tangga, sehingga tidak sama lagi kehidupan sewaktu
masih lajang dengan yang sudah menikah. Seorang istri akan mematuhi dan hormat
kepada suaminya, dan seorang suami akan bertangungjawab kepada istrinya. Semoga
menjadi keluarga yang disukai sesama manusia dan keluarga yang takut akan Tuhan.

3.2.3 Dayok Binatur Dalam Upacara Adat Kematian


Pada upacara adat kematian mati anak-anak, mati remaja dan mati menuju
dewasa sebelum memiliki rumah tangga, adat yang dilaksanakan yaitu memberitahukan
kepada tulang-nya, memberitahukan kepada kerabat terdekat sanina, tondong boru.
Sebelum penguburan dibacakan riwayat hidup, acara agama lalu penguburan. Lalu
masuk pada acara penghiburan yaitu pada saat penghiburanlah dayok binatur diberikan
oleh tondong pamupus dari orang yang meninggal dunia. Pemberian dayok binatur
sebagai simbol untuk menghibur keluarga yang ditinggal, agar tidak larut dalam
kesedihan.
Pada upacara adat kematian Simalungun sangat jarang menggunakan penyajian
dayok binatur. Pada kematian sayur matua barulah menyajikan dayok binatur, itupun
pada malam harinya setelah jasadnya dimakamkan. Sayur matua artinya seseorang yang
meninggal dan sudah memiliki cucu dari anak laki-laki dan anak perempuan, semua

20
anaknya sudah menikah, tidak ada lagi tanggungannya. Pada upacara adat kematian di
Simalungun khususnya umat beragama Kristen Protestan, tuan rumah menyediakan
makanan bagi orang yang datang untuk melayat. Makanan yang disedikan pada
umumnya yaitu untuk makan siang pada hari penguburan yaitu nasi, daging babi, sayur,
sop, daging ayam. Sementara bagi masyarakat di Simalungun yang menganut agama
Islam, mereka juga menyediakan makanan tapi sekadarnya saja, karena yang makan
paling masyarakat atau saudaranya yang non muslim. Namun apabila sesama muslim,
mereka tidak mau makan pada kemalangan sesama muslim. Pada upacara adat kematian
Simalungun yang memiliki agama Islam tidak ada menyediakan dayok binatur.

3.2.4 Dayok Binatur Dalam Upacara Adat Mamongkot Rumah Baru


Pada pagi hari sebelum dilaksanakannya upacara adat berangkatlah hasuhuton,
sanina, tondong dan parboruon kerumah baru tersebut. Hasuhuton membawa beras
setengah kaleng, tebu yang sudah dikupas dan yang masih utuh dan pisang yang sudah
matang. Sementara tondong pamupus membawa beras (boras tenger). Parboruon
membawa sirih dan peralatan dapur. Ketika rombongan sudah tiba di depan pintu, maka
orang tua dari hasuhuton dan tondong menggunakan tebu sebagai tongkat. Hasuhuton
memberikan sirih kepada orang tuanya dan setiap tondong serta memberikan kunci
kepada tondong pamupus untuk membuka rumah. Serta tondong jabu menyalakan api di
dapur. Ketika tondong pamupus membuka pintu rumah maka diucapkan :

“Hu buka ma rumah na marsangap-martuah on si gom-gom


ganup pangisini, na pande pahurungkon na lang malo
paluarhon.”

Artinya : dengan dibukanya rumah baru harapan agar rumah


kediaman tempat berbahagia dan tempat keluarga yang rukun dan
damai.
Setelah acara agama selesai maka masuklah ke acara manurduk (memberikan
dayok binatur). Diberikan orang tua dayok binatur kepada hasuhuton, dengan tujuan
harapan dan doa agar kehidupan semakin teratur, dan diberkati Tuhan di kehidupan
pada rumah baru. Nitak dan tebu serta pisang yang matang diberikan juga kepada
hasuhuton dengan harapan dan doa agar kehidupan semakin suci dan rejeki melimpah.
Memberikan makanan kepada setiap kerabat yaitu dayok binatur yang diberikan oleh
hasuhuton kepada tondong, sanina dan boru. Pihak yang memberikan yang

21
memberikan dayok binatur duluan yaitu orang tua dari hasuhuton kepada hasuhutan itu
sendiri. Dilanjutkan oleh tondong, sanina dan boru. Kalimat yang disampaikan oleh si
pemberi kepada penerima dayok binatur yaitu:
“On ma dayok binatur humbani hanami, sai andohar ma songon
paraturni dayok binatur on paraturni pargoluhan hulobeanni ari on. Sai
andohar ma rumah on jadi rumah harajaonni Naibata, rumah na martuah
janah rumah na marsangap.”

“Inilah dayok binatur dari kami, semoga seperti aturnya ayam ini
teraturnya kehidupan kedepannya. Semoga rumah ini menjadi rumah doa
untuk Tuhan dan rumah yang dihuni keluarga yang berbahagia dan hidup
rukun”.

3.2.5 Dayok Binatur Dalam Upacara Aat Tardidi (di Baptis)


Pada suku bangsa Simalungun dimana mayoritas penduduknya memiliki agama
Kristen protestan. Maka dalam keyakinan agama Kristen apabila seorang anak yang lahir
namun belum memiliki nama akan di baptis di gereja oleh pendeta. Pemberian nama
diberikan oleh orang tuanya dan si anak dibaptis di gereja. Orang tuanya akan
mendaftarkan si anak kepada penatua gereja lalu tiba saatnya ada pembaptisan di gereja.
Makanan yang diberikan kepada si anak melalui perantara orangtua. Pihak yang pertama
memberikan dayok binatur yaitu orangtua dari tuan rumah atau kakek dan nenek dari si
bayi.Nasihat yang disampaikan juga kepada orangtuanya.

”Andonma sipanganon ni si ussok, doma tongon tardidi ia nakkunai i gareja.


Doma tardaftar goranni bani harajaonni Naibata. Andoharma sehat-sehat
sonai homa hanima orang tuani, boanhon hanima ma ia hugareja. Sai
andohar jadi niombah na hinarosuhni Tuhanma tongon si adek on.”
“Inilah makanan untuk si adik, udah dibaptis dia di gereja. Itu artinya nama
dia sudah terdaftar di kerajaan Tuhan. Semoga dia menjadi anak yang takut
akan Tuhan dan kalian sebagai orangtua,rajin lah kalian bawa dia ke gereja.”

3.2.6 Dayok Binatur Dalam Upacara Adat Manaksihon Haporsayao


Pada dahulu manaksihon haporsayaon tidaklah termasuk dalam upacara adat
Simalungun, hanya kegiatan kewajiban dalam umat kristen saja. Namun banyak
masyarakat Simalungun yang menganut agama Kristen Protestan mengadakan syukuran
dan mengundang kerabat terdekat mereka ketika anaknya manaksihon haporsayaon
ataupun angkat sidi/naik sidi. Angkat sidi ataupun naik sidi dalam agama Kristen

22
protestan yaitu pendewasaan iman melalui dilakukannya pemberkatan oleh pendeta di
gereja. Ketika suatu keluarga melakukan acara syukuran ketika anaknya manaksihon
haporsayaon, maka mengundang keluarga dan kerabat terdekat mereka, sehingga
disesuaikanlah adat Simalungun.
Dayok binatur yang disajikan yaitu dayok binatur yang dipanggang dan yang
digulai. Pihak yang memberikan dayok binatur pertama yaitu orangtua si anak kepada si
anak yang pada hari itu melakukan angkat sidi. Jenis dayok binatur yang diberikan yaitu
dayok binatur yang dipanggang. Pinggan atau wadah dari makanan dayok binatur
diangkat dan diberikan orang tua kepada si anak dan si anak menerimanya dengan kedua
tangannya, ketika mereka masih memegang pinggan wadah dari dayok binatur maka
disitulah disampaikan petuah dan nasihat, tapi ketika sudah selesai yang memberikannya
berbicara yaitu orangtuanya, maka diturunkannlah dayok binatur tadi dan diletakkan di
depan si anak. Kalimat yang disampaikan yaitu:

“On ma dayok binatur hu bam, dihut hanami marmalas ni


uhur bani sadarion, ija doma manaksihon haporsayaon
ho nokkanilobe-lobe ni Tuhan sonai ilobeni hanami
jolma. Sai andohar ma tongon hulobean ni ari on lambin
taratur ma hagoluhan songon par aturni dayok binatur
on, ulang be songon dakdanak, lambin dewasa ma tongon
haporsayaonmu hubani Tuhan Naibata. Aha na gabe
hata hagoluhanni Tuhan in hubam, aima jolom janah
dalankon ma ai bani golumu.”

Inilah ayam yang diatur kami berikan kepadamu, kami


turut bersukacita hari ini, dimana telah melangsungkan
angkat sidi atau pengakuan iman rasul didepan Tuhan dan
dihadapan kami semua. Semoga kedepannya semakin
diberkati dan semakin teratur kehidupan seperti ayam yg
diatur, jangan seperti anak anak lagi, dan semakin dewasa
didalam iman Tuhan Yesus Krisitus. Apa yang telah
disampaikan melalui firman Tuhan semoga dapat
menjalankan dikehidupanmu.

23
3.2.7 Dayok Binatur Dalam Upacara Acara Syukuran Wisuda
Ketika seseorang telah siap wisuda, maka diberikanlah dayok binatur oleh orang
tuanya. Pelaksanaannya bisa saja pada hari bersamaan dengan wisuda bisa juga setelah
wisuda berikutnya. Sebelum makan bersama, telah hadir semua orang yang patut hadir
dan yang diundang oleh orang tuanya seperti tondong, sanina dan boru. Penyampaiannya
dilakukan oleh orang tuanya terdahulu kepada si anak yang baru saja melakukan
wisuda. Jenis dayok binatur yang disampaikan yaitu dayok binatur yang
dipanggang. Orangtuanya dan si anak sebagai si penerima memegang pinggan wadah
dayok binatur. Dayok binatur disampaikan pada si anak yang telah di wisuda. Kalimat
yang disampaikan yaitu:

“On ma dayok binatur hu bam, pangan ma, doma wisuda ho sadarion,


doma das sura-surani uhurmu sadokah on. Selamat ma doma taridah
perjuangan mu sadokah on. Pencapaian mon aima awal perjuangan mu
hu lobei ni ari. Sai andohar lambin ipasu-pasu Tuhan ma langkah mu hu
lobeanni ari on atap na laho malangkah manorihi horja.”

“Inilah makanan dayok binatur, makanlah, udah wisuda kau dan sudah
tercapai cita-citamu yang kau harapkan selama ini. Pencapaian mu ini
merupakan awal perjuangan buatmu. Semoga semakin diberkati Tuhan
setiap langkah mu kedepannya baik itu mencari pekerjaan.”

3.2.8 Dayok Binatur Dalam Upacara Acara Syukuran Perayaan Ulang Tahun
Dayok binatur tidak hanya disajikan masyarakat Simalungun pada saat upacara
adat, namun pada syukuran ulang tahun juga banyak masyarakat Simalungun yang
menyajikan dayok binatur kepada seseorang yang sedang berulang tahun. Penyampaian
dayok binatur pada dalam syukuran ulang tahun yaitu sebagai simbol yang memiliki
makna harapan dan doa-doa terhadap penciptanya kepada seseorang yang sedang
berulang tahun. Kalimat yang sering diucapkan pada saat penyampaian dayok binatur
yaitu:
“Selamat ari partubuh ma hubamu. On ma dayok binatur hu bamu, sai
andohar songon paratur ni dayok binatur on ma hagoluhon mu hanjon
hujan an, ganjang umur, sehat jorgit akkula, ipasu-pasu Tuhan langkah
mu.”

24
“Selamat ulang tahun. Ini dayok binatur untuk mu. Harapannya
semoga seperti teraturnya dayok binatur inilah kehidupanmu
kedepannya. Sehat-sehat dan semoga diberkati Tuhan langkahmu.”

3.3 Implikasi Dayok Binatur dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia


Kearifan lokal sebagai bentuk kebudayaan amat erat kaitannya dengan
pembelajaran. Pembelajaran itu sendiri dapat dikaitkan dengan kearifan lokal yang sesuai
dengan konteks kaum pembelajar pada suatu waktu. Mempelaari kebudayaan tentulah
tidak terlepas dari bahasa itu sendiri. Bahasa yang bersifat unik membuat bahasa menjadi
beragam. Oleh sebab adanya keanekaragaman bahasa itu maka bahasa Indonesialah yang
menjadi pemersatu.

Implikasi Dayok Binatur dalam pembelajaran bahasa Indonesia adalah hendaknya


baik guru maupun siswa harus mampu mengkaitkan dan mengimplementasikan peranan
Dayok Binatur berdasarkan pemaknaannya. Dayok binatur atau ayam yang diatur
memaknai bahwa dalam belajar maupun bekerja semua harus memiliki keteraturan dan
ketekunan.

Implikasi secara lagsung dalam pembelajaran khususnya dalam pembelajaran bahasa


dapat kita maknai melaui filosofis dayok binatur merupakan simbol doa, harapan dan
berkat, wujud terima kasih serta rasa syukur. Representasi tampilan dayok binatur akan
terlihat potongan-potongan daging ayam yang disusun teratur sesuai urutannya yang
membentuk sebagaimana ayam hidup. Daging ayam yang tersusun teratur sesuai dengan
adat Simalungun dan terlihat seperti ayam hidup. Nilai tanda atau nilai lambang yang
terdapat dalam dayok binatur memiliki makna yaitu berupa nasehat, perintah, serta
harapan. Dayok binatur memiliki tampilan dan makna. Tampilan dayok binatur dengan
potongan-potongan dagingnya (gori) yang lengkap disusun teratur menggambarkan
bagaimana ayam hidup. Tampilan dayok binatur memberikan iterpretasi yang dapat
mengingatkan kita supaya jangan terlalu mencampuri intern orang lain, menghilangkan
sifat propokator, mengerjakan tugas kita dengan penuh tanggung jawab, menempati
posisi kita dengan sewajarnya, mengembangkan kebersamaan karena kita sebagai
menusia menurut kuadratnya tidak dapat hidup tanpa orang lain, membina persatuan,
menghindari permusuhan.

25
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Berdasarkan data yang diperoleh peneiti secara langsung dari beberapa informan
dan observasi langsung, maka peneliti memperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Dayok binatur merupakan salah satu makanan adat sekaligus kuliner yang sangat
populer di Simalungun. Makanan ini tidak pernah lepas dari kegiatan adat di
Simalungun. Meski demikian, dayok binatur hanya dijumpai pada saat tertentu saja,
bukan menjadi makanan sehari-hari.
2. Dayok binatur memiliki makna tersendiri, memiliki nilai filosofi yang tingi bagi
suku bangsa Simalungun. Sehingga tidak heran dayok binatur masih dilestarikan
dengan baik hingga saat ini. Dayok binatur salah satu gambaran budaya suku bangsa
Simalungun.
3. Dalam kegiatan adat istiadat, maupun kehidupan sosial masyarakat, Simalungun
masih memegang sistem kekerabatan tolu sahundulan lima saodoran baik di upacara
adat maupun kehidupan sehari-hari
4. Pemahaman tentang penyajian dayok binatur di setiap tempat masih memiliki
perbedaan walau hanya sedikit
5. Penggunaan dayok binatur tidak dibatasi pada suku bangsa Simalungun, tidak hanya
dalam upacara adat saja
6. Dayok binatur tidak pernah lepas dari setiap upacara adat di Simalungun, baik
kegiatan suka maupun duka, karena suatu upacara dianggap tidak sah tanpa adanya
dayok binatur
7. Dayok binatur akan terus dilestarikan apabila diwariskan terus dengan turun
temurun, namun sekarang ini pengolahan dayok binatur sudah semakin mudah
dikarenakan adanya catering atau ditempahkan kepada orang lain.

4.2 Saran
1. Diharapkan kepada Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar untuk
membentuk suatu sanggar atau fasilitas khususnya yang berkaitan dengan adat
Simalungun guna memperkenalkan lagi kepada generasi milenial berbagai
kebudayaan Simalungun misalnya kuliner juga makanan khas Simalungun yang
memiliki nilai dan makna filosofi yang tinggi agar budaya Simalungun tetap

26
dilestarikan memalui kuliner yang ada.
2. Kepada kaum generasi muda khususnya mahasiswa, tetap menjaga dan melestarikan
budaya, mencintai budaya daerah, mulai dari mempelajari dan mengenali budaya baik
dari jenis makanan, bahasa, pakaian hinggat adat-istiadatnya
3. Kepada masyarakat Simalungun, khususnya orang tua yang mengetahui cara
pengolahan dan cara penyajian dayok binatur, lebih sering mengajari anak-anaknya
agar budaya Simalungun tetap dilestarikan bersama

27
DAFTAR PUSTAKA

Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.


2018. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima. Jakarta: Balai Pustaka.
Dede Atika Purba, Jumino Suhadi, and Purwarno Purwarno, (2021), “Local Wisdom of
Dayok Binatur in the Simalungun Community” in Annual International Conference
on Language and Literature (AICLL), KnE Social Sciences, pages 250–260.
Fajarini, Ulfah. 2014. “PERANAN KEARIFAN LOKAL DALAM PENDIDIKAN
KARAKTER”. Jurnal Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 2.
Fallahnda, Balqis. 2021. Pengertian Kearifan Lokal: Fungsi, Karakteristik, dan Ciri-Cirinya.
Diakses 19 Mei 2022. https://tirto.id/pengertian-kearifan-lokal-fungsi-karakteristik-
dan-ciri-cirinya-f9mi
M, Rahmawati dkk. 2022. Peran Guru dalam Merancang Pembelajaran Berbasis Kearifan
Lokal di Masa Pandemi. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 6(3).
Nasution, Miftah. 2018. Dayok Binatur, Makanan Adat Masyarakat Simalungun. Diakses 19
Mei 2022. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbaceh/dayok-binatur-makanan-
adat-masyarakat-simalungun/
Njatrijani, Rinitami. 2018. “Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya Kota Semarang”.
Gema Keadilan, Edisi Jurnal (ISSN: 0852-011), Volume 5, Edisi 1.
Rinawati, Tri dkk. 2017. PERANAN SRABI SEBAGAI MAKANAN KHAS UNTUK
MEPERTAHANKAN NILAI KEARIFAN LOKAL. Jurnal Dinamika Sosial Budaya,
Vol 19, No. 2, 300-307.
Rohaedi,Ayat. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius). Jakarta: Pustaka Jaya.
Saragih, Antriyani. 2020. KULINER DAYOK BINATUR (Studi Variasi, Arti dan Makna) di
Kabupaten Simalungun. Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik. Universitas Sumatera Utar: Medan.
Saragih, Renita. Dayok Binatur as a Surviving Culture. PROCEEDINGS OF THE
INTERNATIONAL SEMINAR TRI MATRA: EXPLORING AND IDENTIFYING
THE DYNAMICS AND ITS CHALLENGES OF CULTURAL
TRANSFORMATION. dayok-binatur-as-a-surviving-culture.pdf
Setiawan, Agus dan Henry Bastian. 2019. PENGEMBANGAN DESAIN WEB
INTERAKTIF KULINER NUSANTARA BERBASIS KEARIFAN LOKAL
KEDAERAHAN (STUDI KASUS KULINER KHAS KABUPATEN KUDUS).

28
Journal of Art, Design, Education And Culture Studies (JADECS), Vol 4 No. 2. 111-
119.
Sipayung, Rohdearni Wati. 2019. MENGENAL BUDAYA SIMALUNGUN LEWAT PROSES
PENERJEMAHAN LAGU SIMALUNGUN KE BAHASA INGGRIS. Deli Serdang:
Budapest International Research and Critics University (BIRCU-Publishing).

29

Anda mungkin juga menyukai