Anda di halaman 1dari 3

MAPAG SRI

Mapag Sri adalah suatu upacara tradisinal yang masih hidup subur dikalangan
masyarakat petani Indramayu. Mapag dalam bahasa Indonesia berarti menjemput.
Sedangkan yang dimaksud dengan Sri ialah padi. Dengan demikian, maka mapag-sri bearti
menjemput padi.

Mapag-Sri biasanya diselengarakan menjelang musim panen sekitar bulan Maret atau
April, karena panen besar di Indramayu berlangsung sekitar Mei dan Juni , namun demikian
upacara mapag-sri itu tidak sama disemua desa. Bagi desa desa yang musim panennya
belakangan, maka upacara mapag sri nya pun akan diselenggarakan menjelang musim panen
ditempat tersebut.

Upacara mapag sri itu diselenggarakan dalam bentuk selamatan yang dilangsungkan
oleh desa dan bertempat di balai desa. (di Indramayu balai desa dinamakan lebu. Mungkin
berasal dari Palebon, yakni tempan menyimpan abu mayat setelah dibakar). Biayanya
dikumpulkan dari patungan rakyat. Pada tiap-tiap diadakan upacara mapag-sri di Balai Desa
diadakan pertunjukan wayang kulit yang mengambil cerita DEWI SRI.

Menurut cerita Ki Dalang, Dewi Sri itu adalah putri Betara Guru, ceritanya sebagai
berikut :

Betara Guru mempunyai putra dan seorang putri yaitu Angkarasa dan Angkasari. Pada suatu hari
Betara Guru memanggil kudua putranya untuk menghadap, akan tetapi berhubungan tempat
tinggal Angkrasa jauh, maka disuruhnya adiknya yaitu Angkasari memanggilnya. Ketika
Angkasari tiba di tempat kakaknya Angkarasa sedang sakit panas. Burhubung panasnya luar
biasa, Ankasari terpelanting oleh dorongan hawa panas yang keluar dari tubuh Angkarasa.

Oleh sebab itu Angkasari sakit hati, maka iapun kembali menghadap ayahnya Dewa
Guru dan memberitahukan bahwa Angkarasa tidak mau datang, bahkan menantang mengadu
kesaktian. Karena pengaduan Angkasari yang dibut-buat itu, kemudian diutusnya Betara Narada
untuk melihat keadaan Angkarasa.

Setibanya Betara Narada di tempat Angkarasa, dilihatnya Angkarasa telah berganti


rupa menjadi ular. Maka dinamakanlah Hyang Antaboga

Meskipun rupanya telah berubah menjadi ular, namun penyakitnya belum juga baik.

Ketika ditanya oleh Betara Narada asal-usul perubahan bentuknya itu, maka Angkarasa
menceritakan bahwa ia disumpahi oleh ayahnya karena fitnah yang dibuat-buat oleh Angkasari
adiknya sendiri. Sebenarnya ia tidak bisa datang karena benar sedabg sakit.
Betara Narada merasa kasihan melihat nasib Angkarasa, maka diobatilah penyakitnya
denga sada-lanang yang dikilikan pada telingannya.

Dengan pengobatan Betara Narada itu, maka keluarlah penyakit Angkarasa dari
telingannya berupa telur yang sangat panas. Betara Narada tidak kuasa memegang telur itu, maka
dicampakanya sehingga terpelanting jatuh di Sapta Loka (Bumi lapis tujuh) dan disana
ditemukan oleh Dewi Pertiwi. Setelah dierami maka telur itu menetas.

Dari kulitnya jadilah Emban-Dunya, dari putih-putihnya jadilah Sejana dan dari
kuning-kuningnya, jadilah Dewi Pohaci yaitu Dewi Sri yang cantik rupanya.

Dewi Sri yang cantik jelita itu oleh Betara Guru akan dikawinkan dengan Budug-
Basuh. Tetapi Dewi Sri menolak karena Budug Basuh itu amat buruk rupanya sedang badanya
penuh dengan borok sehingga baunya busuk, namun demikian Betara Guru memaksanya dan
Dewi Sri diancam dengan senjata bernama Jungkat. Dewi Sri pilih mati dari pada dikawinkan
dengan Budug Basuh yang menjijikan itu, maka ia pun nekad menerjang senjata jungkit itu
sehingga badanya putus menjadi dua. Meskipun Dewi Sri sudah mati namun suara tangisnya
masih terdengar meraung-raung menyayat hati, sedang dari kuburanya tumbuh tanaman yang
disebut padi.

Yang disebut senjata Jungkit ialah ani-ani, yaitu sejenis alat yang khusus untuk
memotong padi, selain dengan ani-ani. Sedang yang dimaksud dengan tangis Dewi Sri ialah
suara jerami yang sering dijadikan mainan semacam seruling oleh anak gembala.

Dahulu setiap kali datang musim pemotong padi, maka yang telah dipotong itu
dibiarkan kering disuatu tempat di sawah yang dinamakan bunen. Disanalah padi dibenahi dari
pocongan (satu ikat) dijadikan Gedengan. Tiap empat gedeng dinamakan bawon dan tiap lima
gedeng disebut angga.

Setelah padi itu kering dibunen, baru kemudian diangkat kerumah, untuk disimpan
dilumbung.

Mengangkut padi dari bunen ke lumbung dahulu dengan suatu upacara dimana para
pemuda secara gotong royong mengangkut padi itu dengan menggunakan pikulan panjang,
dimana gedengan padi dijajarkan. Pada kedua ujung pikulan itu biasanya itu digantungkan
gentha, yaitu sejenis kliningan terbuat dari kayu. Oleh goncangan pikulan yang turun naik,
gentha itu brsuara dengan irama yang sedap didengar telinga.

Ada sementara pemuda yang melilitkan kain merah pada gedengan padi yang
dipikulnya sehingga merupakan suatu pandangan yang meriah.

Di bagian belakang dari pawai pengengkut padi itu berbaris pula penabuh gamelan
(kempling) atau reog dengan beberapa ronggeng yang berjalan hilir mudik, sebentar kebelakang,
sebentar depan sambil menyanyikan lagu-lagu khas dermayonan dengan jenaka.
Yang sangat unik ialah setia kali gong berbunyi, gadis itu memeluk pemuda yang
terdekat diciumnya sebagai hiburan untuk membangkitkan semangat mereka sehingga bekerja
tanpa mengenal lelah.

Mereka bekerja secara gotong-royong tanpa upa selain ingon yakni sekedar makan,
minum dan tembakau. Akan tetapi sekarang upacara semacam itu sudah tidak ada lagi dan hanya
merupakan kenangan masa lalu yang indah.

Sebenarnya pada jaman pemerintahan Demak upacara mapag-sri itu telah diganti
dengan muludan, namun upacara mapag-sri, terutama didaerah agraris yang mono-kultur seperti
di Indramayu, upacara itu masih tetap berjalan hingga sekarang dan merupakan upacara resmi
yang diselenggarakan oleh Desa sebelum upacara mapag-sri, sebenarnya masih ada lagi satu
macam upacara adat, yaitu Mapag-Tamba.

Upacara mapag-tamba biasanya diadakan saat tanaman padi mulai disaingi atau kalau
sewaktu-waktu ada serangan hama tanaman padi, melainkan air yang konon diasosiasikan
sebagai air bekas pancuran panjang-jimat.

Panjang-jimat adalah pusaka kraton Cirebon peninggalan Sunan Gunung Jati berupa
pring (keramik Cina). Memang banyak mitos beredar dikalangan masyarakat sekitar benda yang
dianggap keramat itu.

Pamong desa yang bertugas mapag-tamba itu adalah lebai, rupanya tidak semua lebai
percaya begitu saja pada kemapuhan obat itu, namun karena itu upacara adat, apa boleh buat
Lebai pun ergi mapag-tamba, tapi tidak sampai ke Cirebon melainkan cukup di Clancang saja
dan dari sana dibawa air kedesanya. Bahkan ada Lebai yang nekad diambilkan saja air dari
gentongnya sendiri dan dikatakan bahwa air itu bekas pencuci panjang-jimat.

Pada zaman pemerintah Bupati Dasuki, upacara mapag-tamba itu dilarang. Desa tidak
di izinkan memungut dana untuk keperluan tersebut dan dilarang dibicarakan dalam salapangan
sebab dianggapnya hanya kebodohan semata-mata. Namun demikian agaknya masih ada satu-
dua desa yang karena fanafismenya nekad secara diam-diam mengadakan upacara mapag-tamba
itu walaupun tanpa ada keramaian di desa.

Anda mungkin juga menyukai