Anda di halaman 1dari 6

Nama : Isdela Oktovi Budiawati

NPM : 2114060096
Kelas : 2C

Tugas!
1. Sebutkan 2 tarian khas daerah kalian dan alat musik tradisional khas daerah
kalian beserta nilai filosofisnya!

Jawaban:
A. TARIAN KHAS KEDIRI
1. Tari Kethek Oghleng

Tari Ketek Ogleng merupakan tarian khas Kediri yang menceritakan


tentang kisah percintaan Raden Pandji Asmoro Bangun dengan Dewi Kilisuci.
Tarian ini adalah sebuah tari yang gerakannya menirukan tingkah laku kethek
(kera). Tari Kethek Ogleng dipentaskan oleh 3 penari wanita dan seorang penari
laki-laki sebagai manusia kera. Tari diawali dengan ketiga penari wanita masuk
panggung terlebih dulu, kemudian 2 penari berlaku sebagai dayang-dayang dan
seorang penari memerankan sebagai putri Dewi Sekartaji, Putri Kerjaan Jenggala.
Sedangkan seorang penari laki-laki berperan sebagai Raden Panji Asmorobangun
dari kerajaan Dhaha Kediri.
Dalam Sejarahnya, perwujudan Kethek Putih merupakan penjelmaan dari
Panji Asmarabangun yang ingin mencari keberadaan Dewi Sekartaji. Dikisahkan,
Panji Asmarabangun dan Dewi Sekartaji adalah seorang kekasih. Namun, ayah dari
Dewi Sekartaji, Raja Jenggala justru akan menikahkan dia dengan lelaki pilihannya.
Dewi Sekartaji yang mengetahui hal tersebut memutuskan untuk meninggalkan
Kerajaan Jenggala bersama dayang-dayangnya. Kemudian, dia menyamar menjadi
seorang gadis bernama Endang Roro Tompe dan pergi meninggalkan kerajaan
menuju arah barat yaitu ke arah pegunungan.
Panji Asmarabangun yang mendengar kabar perginya Dewi
Sekartaji bergegas untuk pergi mencarinya ke arah barat. Panji Asmarabangun
menyamar menjadi seekor Kethek Putih yang merupakan lambang kesucian
keluarga bangsawan. Panji Asmarabangun dan Dewi diceritakan bertemu di suatu
hutan saat. Pertemuan tersebut membuat keduanya menjadi akrab dan menjadi
dekat. Kethek Putih meminta untuk menikahi Dewi Sekartaji, dan dia memberikan
sebuah syarat yaitu harus menyanyikannya sebuah lagu. Dewi menyetujui
permintaan tersebut, dan mulai menyanyikan sebuah lagu kepada Kethek Putih.
Saat Kethek Putih menikmati lantunan lagu dari Dewi Sekartaji, dia tertidur.
Melihat situasi tersebut, Dewi Sekartaji memutuskan meninggalkan sosok Kethek
Putih tersebut, karena ternyata dirinya tidak menginginkan untuk menikahinya.

2. Tari Panji Asmarabangun Dari Kec. Ngadiluwih Kab. Kediri


Di Kediri tepatnya di Desa Ngadiluwih, Kec. Ngadiluwih, Kab. Kediri juga
memiliki tari yaitu tari Panji Asmarabangun. Tokoh utama tarian ini adalah Raden
Inu Kertapati dari Kerajaan Jenggala dan Dewi Sekartaji alias Dewi Galuh Candra
Kirana dari kerajaan Kediri. Kisah Panji umumnya menceritakan pengembaraan.
Panji adalah putera Dewa Kusuma.Istrinya bernama Sekartaji putri Kediri yang
juga disebut Raden Galuh dan Dewi Tjandra Kirana, putri ini sudah beberapa lama
hilang dari kamar tidurnya dan Panji tak terterhibur hatinya.Ayahnya menghendaki
supaya dia menikah lagi, tetapi sia-sia, Panji hanya menunggu kembalinya Sekartaji
Putri Nguraawa Ni Wadal Kardi yang mendengar tentangkejadian ini
memutuskan untuk mengakui dirinya Sekartaji. Dalam seorang rupa raksasa
muncullah dia diistana Djanggala dan mengatakan bahwa dia telah dilarikan oleh
dewi Durga dan ditempatkan di tempatkan dipengasingan, dia akan mendapatkan
ruanya kembali seperti sediakala, apabila dia telah menikahi dengan Panji. Tapi
dalam rupanya yang demikianpun, Panji mau menerimanya dan hanya dialah yang
diamau.Maka disampaikan berita ke Kediri, bahwa Sekartaji sudah kembali dan
segala sesuatu untuk perkawinannnya kedua kalinya telah disiapkan.Dalam pada
itu Sekartaji yang sebenarnya, yang telah mengandung dua bulan pula hidup dalam
rimba dan melakukan tanpa ingatanya senantiasa kepada panji peralihan rupa
Candra Kirana menjadi seorang muda bernama Kuda Narawangsa. Tidak lama
puteri sekartaji melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan.Ketika dia telah
berumur delaan tahun anak itu bertanya kepada ibunya dan ternyata anak itu bukan
anaknya.Sementara itu candra Kirana gadungan melahirkan seorang anak laki-laki
dengan rupa buta dan sifat buta.

Tari Panji Asmarabangun lahir dari tari kreasi baru miiliki Nur Setyani, tari
tersebut mucul pada tahun 1998.Bertempat di Ngadiluwih tari ini mengajarkan
banyak hal mulai dari kedisiplinan, kekompakan dan saling tolong menolong.Tari
ini juga sudah mengikuti banyak kegiatan mulai dari tahun 2010 hingga sekarang.
Tujuannya untuk memberikan sentuhan warna baru dalam tarian ini dan juga
membuat masyarakat luas agar tetap menjaga kebudayaan disekitar kita.
3. Kesenian Tiban

Tiban merupakan rangkaian upacara ritual sakral, bertujuan untuk meminta


hujan ketika kemarau panjang. Dalam perkembangannya, Tiban berubah menjadi
sebuah kesenian pertunjukan. Dalam kesenian Tiban, pemain disambar dengan
cemeti yang terbuat dari lidi aren. Setelah berlangsung, pemain mengalami luka
berdarah dan kulit mengelupas. Setelah dilumuri ramuan dari pawang, tidak lama
luka mengering. Biasanya kesenian ini dilangsungkan saat musim kemarau
berkepanjangan. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kediri menetapkan
kesenian Tiban sebagai budaya khas Kabupaten Kediri.
Sejarah kemunculan Tiban secara turun temurun menjadi cerita rakyat dan
dimulai masa Kerajaan Kadiri. Berkuasa seorang raja yang otoriter, sang raja ingin
disebut dewa, dia adalah Raja Dandang Gendis atau Kertajaya dengan nama
Kerajaan Katang Katang. Sang Raja menuntut rakyat menurut perintahnya dan
membuat ketakutan. Masyarakat yang lebih dahulu panen membagi kepada para
tetangga. Namun setelah Kertajaya berkuasa, keadaan berubah.
Kerajaan yang semula dalam keadaan makmur, lumbung-lumbung desa
penuh padi berangsur-angsur menipis cenderung habis.Hal ini terjadi karena
kemarau berlangsung sangat panjang. Para petani menganggur karena sawahnya
tidak dapat diolah, sungai-sungai mengering. Musim kemarau seakan-akan tidak
ada selesainya.
Kemudian diceritakan, Raja Kertajaya yang menganggap sebagai dewa
akhirnya mampu dikalahkan oleh Ken Arok, pendiri Kerajaan Tumapel.Untuk itu
para demang bermusyawarah dengan para pinisepuh, beberapa usul, saran dan
pendapat, untuk menebus 'kutukan' kekeringan tersebut. Rakyat Ngimbang dengan
sisa hartanya sedikit diberikan untuk digunakan sebagai syarat pelaksanaan upacara
adat.Bagi yang masih mempunyai padi dimohon memberikan seikat, dan bagi yang
memiliki lembu membawa pecutnya sebagai lambang kekayaannya. Setelah semua
siap, kemudian rakyat berkomunikasi dengan kekuatan supranatural. Memohon
pengampun kepada kekuatan yang lebih tinggi.
Selanjutnya sebagai ritualnya, masyarakat menyiksa diri dan berjemur di
panas terik. Sarana ini dirasa belum dapat berkomunikasi dengan kekuatan
supernatural, maka penyiksaan diri tersebut lebih dipertajam dengan menggunakan
pecut yang terbuat dari sodo aren (lidi dari tumbuhan berbuah kolang-kaling atau
pohonnya menghasilkan ijuk). Proses ritualnya di antara para peserta upacara
tradisi ini saling mencambuk secara bergiliran. Sudah barang tentu dalam
permainan ini banyak cucuran darah, karena kekhusukannya maka segala yang
diderita tidak terasa.Dalam suasana ini kemudian turun hujan yang tidak pada
musimnya. Hujan yang semacam inilah yang disebut hujan Tiban. Kegembiraan
rakyat Ngimbang beserta pinisepuh tidak dapat digambarkan, bersyukur atas hujan
yang turun.
4. Tari Kanaren
Tari Kenaren adalah sebuah tarian yang wujudnya sangat mirip dengan
gerakan pencak silat. Tari Kenaren sendiri berasal dari Desa Brumbung, Kecamatan
Kepung, Kabupaten Kediri. Sayangnya Tari Kenaren hampir punah karena problem
regenerasi dan minimnya perhatian dari pemerintah setempat.

B. MUSIK TRADISIONAL KHAS KEDIRI


1. Musik Tradisional Lesung

Lesung berasal dari Desa Joho, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri. Di


desa tersebut terdapat Budaya Tradisional Lesung. Lesung adalah alat penumbuk
padi tradisional yang terbuat dari kayu. Alat musik lesung berbunyi dhung-dhung-
dhung dhong. Zaman dahulu, masyarakat pedesaan menggunakan lesung sebagai
penumbuk padi.

Dari lesung dengan panjang dua meter tersebut menghasilkan semacam


irama dan bunyi-bunyian. Sehingga sambil menumbuk padi, mereka bermain musik
dengan lesung yang disebut klothekan. Namun seiring berjalannya zaman, kini
lesung tidak lagi digunakan sebagai penumbuk padi. Pada tahun 2005, lesung
dilestarikan di Kabupaten Kediri sebagai kesenian tradisional.
Dalam penyajiannya, setiap lesung biasanya terdiri dari empat, lima atau
enam pemain. Karena sudah empat kali terjadi rigenerasi pemain. Kini untuk satu
lesung terdapat lima orang pemain. Setiap pemain memegang satu alu. Untuk
menggunakan alu, terdapat teknik tertentu. Misalnya arang. Disebut demikian
karena volume pukulan instrumen ini yang jarang-jarang. Sedangkan kerep, yang
berati bermain dua kali lebih cepat. Sedangkan lagu yang dimainkan merupakan
tembang jawa. Salah satunaya jaranan yang kemarin langsung
ditampilkan.“Jaranan.Jaranan Jarane jaran teji. Sing numpak ndoro Bei. Sing
ngiring poro abdi,”.

2. Musik Tradisional Jemblung


Bila didengarkan dengan seksama musik jemblung cukup unik bahkan
harmoni dari alat-alat musiknya dapat membangkitkan semangat bagi
pendengarnya. Makanya tak salah jika jemblung dipilih oleh Sunan Bonang ketika
pertama kali menyebarkan agama Islam di Kota Kediri. Menurut penuturan salah
satu dalang jemblung masih tersisa di Kota Kediri, Mbah Mansyur Musthofa
warga Kelurahan Tamanan, saat itu Sunan Bonang mulai menyebarkan Islam di
daerah Kediri. Untuk menyebarkan ajaran Islam Sunan Bonang berjalan
menyusuri Kali Brantas dengan diiringi oleh beberapa orang santri. Suatu hari
Sunan Bonang sampai di suatu tempat yang diberi nama Tanjung Tani. Setelah
berkeliling kampung dan mempelajari lingkungan sekitarnya ternyata warga di
kampung itu masih banyak yang bodoh dan masih menyembah berhala. Pada awal
memberikan ajaran Islam Sunan Bonang cara yang saklek dan tegas. Tapi ternyata
dengan cara itu tak juga mampu ditangkap oleh warga kampung. Sangking
jengkelnya Sunan Bonang sampai menyebut mereka dengan gemblung yang
artinya bodoh. Akhirnya dipilihlah cara lain yaitu dengan menggunakan bunyi-
bunyian.

Uniknya dengan alat musik yang berbunyi “blang blung-blang bung” itu
akhirnya mampu memukau masyarakat dan menariknya untuk memeluk agama
Islam. Alat-alat yang digunakan untuk memainkan jemblung kala itu terdiri dari
Terbang, Jedor, Gendang, Kethuk, Thithil dan Penerus. Dengan cara itulah misi
Sunan Bonang untuk menyebarkan agama Islam dapat tercapai, walaupun bunyi-
bunyian “Blang Bung-Blang Bung” itu sebenarnya sindiran terhadap
kegemblungan mereka, tapi mereka tidak sadar. Dengan bunyi-bunyian itu Sunan
Bonang memasukkan sholawat. Karena suaranya yang blang bung-blang bung
itulah akhirnya kesenian itu dinamai dengan jemblung. Tapi sejatinya Sunan
Bonang memilih kata jemblung berasal dari gemblung yang sekaligus untuk
menggambarkan kebodohan mereka. Bahkan Kyai Juwaini Pengasuh Pondok
Pesantren Ngasaluddin Krembangan Kepung Kabupaten Kediri mengatakan,
belajar Jemblung berarti ‘belajar mencari kebodohan‘.

Pada mulanya, Jemblung dimanfaatkan hanya sebagai alat untuk mencari


simpatik masyarakat agar mengetahui ajaran Islam. Namun dalam
perkembangannya Jemblung juga berfungsi sebagai media komunikasi budaya,
memahami dan menjalankan ajaran ke-Islaman serta tata kehidupan yang lainnya.
Dalam setiap pertunjukan Jemblung, lakon yang diceritakan oleh dalang adalah
kisah-kisah tentang sejarah kebudayaa Islam, Marmoyo-Marmadi, sejarah tentang
kerajaan-kerajaan di tanah Jawa khususnya Kediri, dan masih banyak lagi tema lain
yang diangkat menjadi bahan cerita.

Sesuai dengan struktur dramatik, setelah jejer babak pertama, dalang akan
bercerita tentang lakon, isi, klimaks, anti klimaks, penutup dan doa. Dan benar bila
dicermati, sesungguhnya seni Jemblung sarat dengan nilai-nilai moral yang sangat
tinggi. Tak hanya dijadikan tontonan semata, tapi sesungguhnya seni jemblung
berisi tuntunan untuk hidup.

Anda mungkin juga menyukai