musik pukul yang menyerupai gentong terbuat dari tanah liat, rebana, dan waditra
lainnya seperti kenong, gong, dan kecrek.
Sebelum dimulai, para juru kawih memulai dengan lagu-lagu untuk
mengundang penonton. Syairnya :
Tambak tambak pawon
Isie dandang kukusan
Ari kebul-kebul wong
Wong nontone pada kumpul
Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton benarbenar berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan sintren. Begitu penonton sudah
banyak, juru kawih mulai melantunkan syair berikutnya :
Kembang trate
Dituku di sebrang kana
Kartini dirante
Kang ranta aran mang rana
Di tengah-tengah kawih di atas, muncullah sintren yang masih muda belia, konon
menurut Ny. Juju seorang sintren haruslah seorang gadis, kalau sintren dimainkan
oleh wanita yang sudah bersuami, maka pertunjukan dianggap kurang pas, dalam hal
ini Ny. Juju enggan lebih jauh menjelaskan kurang pas yang dimaksud semacam apa.
Kemudian sintren diikat dengan tali tambang mulai leher hingga kaki,
sehingga secara syariat, tidak mungkin sintren dapat melepaskan ikatan tersebut
dalam waktu cepat. Lalu sintren dimasukkan ke dalam sebuah carangan (kurungan)
yang ditutup kain, setelah sebelumnya diberi bekal pakaian pengganti. Gamelan terus
menggema, 2 orang yang disebut sebagai pawang tak henti-hentinya membaca doa
dengan asap kemenyan mengepul.
Sudah berganti dengan pakaian yang serba bagus layaknya pakaian yang biasa
digunakan untuk menari topeng, ditambah lagi sang sintren memakai kacamata hitam.
Kemudian menari secara monoton, penonton mulai melempar sintren dengan uang
logam dan begitu mengenai tubuhnya maka sintren akan pingsan. Sintren akan sadar
kembali dan kembali menari setelah diberi jampi-jampi oleh pawang.
Misteri ini hingga kini belum terungkap, apakah betul seorang sintren berada
di bawah alam sadarnya atau hanya sekedar untuk lebih optimal dalam pertunjukan
yang jarang tersebut. Kesenian sintren merupakan warisan tradisi rakyat yang harus
dipelihara.