Anda di halaman 1dari 10

KESENIAN SINTREN

Kehidupan rakyat pesisiran selalu memiliki tradisi yang kuat dan


mengakar. Pada hakikatnya tradisi tersebut bermula dari keyakinan rakyat
setempat terhadap nilai-nilai luhur nenek moyang, atau bahkan bisa jadi bermula
dari kebiasaan atau permainan rakyat biasa yang kemudian menjadi tradisi yang
luhur.
Mungkin orang-orang yang dulu hidup di wilayah pesisiran tidak akan
mengira kalau tradisi tersebut hingga kini menjadi mahluk langka bernama
kebudayaan, yang banyak dicari orang untuk sekedar dijadikan obyek penelitian
dan maksud tertentu lainnya yang tentu saja akan beraneka ragam.
Dari segi asal usul bahasa (etimologi) Sintren merupakan gabungan dua
suku kata Si dan tren. Si dalam bahasa Jawa berarti ia atau dia dan tren
berarti tri atau panggilan dari kata putri. Sehingga Sintren adalah Si putri
yang menjadi pemeran utama dalam kesenian tradisional Sintren.
Kesenian sintren diawali dari cerita rakyat/legenda yang dipercaya oleh
masyarakat dan memiliki dua versi. Versi pertama, berdasar pada legenda cerita
percintaan Sulasih dan R. Sulandono seorang putra Bupati di Mataram Joko
Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr. Rantamsari. Percintaan
Sulasih dan R. Sulandono tidak direstui oleh orang tua R. Sulandono. Sehingga
R. Sulandono diperintahkan ibundanya untuk bertapa dan diberikan selembar
kain (sapu tangan) sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih setelah
masa bertapanya selesai. Sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi
penari pada setiap acara bersih desa diadakan sebagai syarat dapat bertemu R.
Sulandono.
Tepat pada saat bulan purnama diadakan upacara bersih desa diadakan
berbagai pertunjukan rakyat, pada saat itulah Sulasih menari sebagai bagian
pertunjukan, dan R. Sulandono turun dari pertapaannya secara sembunyisembunyi dengan membawa sapu tangan pemberian ibunya. Sulasih yang
menari kemudian dimasuki kekuatan spirit Rr. Rantamsari sehingga mengalami
trance dan saat itu pula R. Sulandono melemparkan sapu tangannya sehingga
Sulasih pingsan. Saat sulasih trance atau kemasukan roh halus atau kesurupan
ini yang disebut Sintren, dan pada saat R. Sulandono melempar sapu
tangannya disebut sebagai balangan. Dengan ilmu yang dimiliki R. Sulandono

maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan keduanya dapat mewujudkan
cita-citanya untuk bersatu dalam mahligai perkawinan.
Versi kedua, sintren dilatar belakangi kisah percintaan Ki Joko Bahu
(Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak disetujui oleh Sultan Agung Raja
Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan
Bahurekso menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja
berangkat ke VOC dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala Adi Duta). Saat
berpisah dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan
sebagai tanda cinta.
Tak lama terbetik kabar bahwa Bahurekso gugur dalam medan
peperangan, sehingga Rantamsari begitu sedihnya mendengar orang yang
dicintai dan dikasihi sudah mati. Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan
tulus, maka Rantamsari berusaha melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui
perjalan sepanjang wilayah pantai utara Rantamsari menyamar menjadi seorang
penari sintren dengan nama Dewi Sulasih. Dengan bantuan sapu tangan
pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi Rantamsari dapat bertemu Ki Bahurekso
yang sebenarnya masih hidup.
Karena kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya
banyak yang gugur, maka Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram,
melainkan pulang ke Pekalongan bersama Dewi Rantamsari dengan maksud
melanjutkan pertapaannya untuk menambah kesaktian dan kekuatannya guna
menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi Rantamsari dapat hidup bersama
dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayatnya.
Kesenian Sintren (akhirnya bukan lagi permainan), terdiri dari para juru
kawih atau sinden yang diiringi dengan beberapa gamelan seperti buyung,
sebuah alat musik pukul yang menyerupai gentong terbuat dari tanah liat,
rebana, dan waditra lainya seperti , kendang, gong, dan kecrek.
Sebelum dimulai, para juru kawih memulai dengan lagu-lagu yang
dimaksudkan untuk mengundang penonton. Syairnya begini :
Tambak tambak pawon
Isie dandang kukusan
Ari kebul-kebul wong nontone pada kumpul.

Syair tersebut dilantunkan secara berulang-ulang sampai penonton


benar-benar berkumpul untuk menyaksikan pertunjukan Sintren. Begitu penonton
sudah banyak, juru kawih mulai melantunkan syair berikutnya:
Kembang trate
Dituku disebrang kana
Kartini dirante
Kang rante aran mang rana
Di tengah-tengah kawih diatas, muncullah Sintren yang masih muda
belia. Seorang sintren haruslah seorang gadis, kalau Sintren dimainkan oleh
wanita yang sudah bersuami, maka pertunjukan dianggap kurang pas.
Kemudian sintren diikat dengan tali tambang mulai leher hingga kaki,
sehingga secara syariat, tidak mungkin Sintren dapat melepaskan ikatan tersebut
dalam waktu cepat. Lalu Sintren dimasukan ke dalam sebuah carangan
(kurungan) yang ditutup kain, setelah sebelumnya diberi bekal pakaian
pengganti. Gamelan terus menggema, dua orang yang disebut sebagai pawang
tak henti-hentinya membaca doa dengan asap kemenyan mengepul. Juru kawih
terus berulang-ulang nembang :
Gulung gulung kasa
Ana sintren masih turu
Wong nontone buru-buru
Ana sintren masih baru
Yang artinya menggambarkan kondisi sintren dalam kurungan yang
masih dalam keadaan tidur. Namun begitu kurungan dibuka, sang Sintren sudah
berganti dengan pakaian yang serba bagus layaknya pakaian yang biasa
digunakan untuk menari topeng, ditambah lagi sang Sintren memakai kaca mata
hitam.
Sintren kemudian menari secara monoton, para penonton yang berdesakdesakan mulai melempari Sintren dengan uang logam, dan begitu uang logam
mengenai tubuhnya, maka Sintren akan jatuh pingsan. Sintren akan sadar
kembali dan menari setelah diberi jampi-jampi oleh pawang.
Secara monoton sintren terus menari dan penonton pun berusaha
melempar dengan uang logam dengan harapan Sintren akan pingsan.

Pada kondisi ini sintren tidak sadarkan diri apa yang ia perbuat diatas
panggung, meskipun sesekali terasa juga tubuhnya ada yang melempar dengan
benda kecil.
Misteri ini hingga kini belum terungkap, apakah betul seorang Sintren
berada dibawah alam sadarnya atau hanya sekedar untuk lebih optimal dalam
pertunjukan yang jarang tersebut.
Kesenian Sintren merupakan warisan tradisi rakyat pesisiran yang harus
dipelihara, mengingat nilai-nilai budaya yang kuat di dalamnya, terlepas dari
apakah pengaruh magis ada di dalamnya atau tidak. Sintren menambah daftar
panjang kekayaan khasanah budaya sebagai warisan tradisi nenek moyang kita.
1. BENTUK PENYAJIAN SINTREN
pra pertunjukan, adalah saat dimulainya tabuhan gamelan sebagai tanda
akan dimulainya pertunjukan kesenian sintren dan dimaksudkan untuk
mengumpulkan massa atau penonton.
Dupan, yaitu acara berdoa bersama-sama diiringi membakar kemenyan
dengan tujuan memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar
selama pertunjukan terhindar dari mara bahaya.
Membentuk (menjadikan) sintren.
Tahapan menjadikan sintren dilakukan oleh Pawang yang dengan
membawa calon penari sintren bersama dengan 4 (empat) orang pemain.
Dayang sebagai lambang bidadari (Jawa: Widodari patang puluh) sebagai
cantriknya Sintren. Kemudian Sintren didudukkan oleh Pawang dalam keadaan
berpakain biasa dan didampingi para dayang atau cantrik. Pawang segera
menjadikan penari sintren secara bertahap, melalui tiga tahapan. Kesenian
sintren disajikan secara komunikatif antara seniman dan seniwati dengan
penonton menyatu dalam satu arena pertunjukan.
Tahap Pertama, pawang memegang kedua tangan calon penari sintren,
kemudian diletakkan di atas asap kemenyan sambil mengucapkan mantra,
selanjutnya calon penari sintren dengan tali melilit ke seluruh tubuh.
Tahap Kedua, calon penari sintren dimasukkan ke dalam sangkar
(kurungan) ayam bersama busana sintren dan perlengkapan merias wajah.
Beberapa saat kemudian kurungan dibuka, sintren sudah berdandan dalam
keadaan terikat tali, lalu sintren ditutup kurungan kembali.

Tahap Ketiga, setelah ada tanda-tanda sintren sudah jadi (biasanya


ditandai kurungan bergetar atau bergoyang) kurungan dibuka, sintren sudah
lepas dari ikatan tali dan siap menari. Selain menari adakalanya sintren
melakukan akrobatik diantaranya ada yang berdiri diatas kurungan sambil
menari.
Selama pertunjukan sintren berlangsung, pembakaran kemenyan tidak
boleh berhenti.
Balangan dan Temohan
Balangan yaitu pada saat penari sintren sedang menari maka dari arah
penonton ada yang melempar (Jawa : mbalang) sesuatu ke arah penari sintren.
Setiap penari terkena lemparan maka sintren akan jatuh pingsan. Pada saat itu,
pawang dengan menggunakan mantra-mantra tertentu kedua tangan penari
sintren diasapi dengan kemenyan dan diteruskan dengan mengusap wajah
penari sintren dengan tujuan agar roh bidadari datang lagi sehingga penari
sintren dapat melanjutkan menari lagi. Sedangkan temohan adalah penari sintren
dengan nyiru/tampah atau nampan mendekati penonton untuk meminta tanda
terima kasih berupa uang ala kadarnya.
2. TEMPAT PENYAJIAN SINTREN
Tempat yang digunakan untuk pertunjukan kesenian sintren adalah arena
terbuka. Maksudnya berupa arena pertunjukan yang tidak terlihat batas antara
penonton dengan penari sintren maupun pendukungnya.Hal ini dimaksudkan
agar lebih komunikatif dengan dibuktikan pada saat acara balangan dan
temohan, dimana antara penonton dan penari sintren terlihat menyatu dalam
satu pertunjukan dengan ikut menari setelah penonton melakukan balangan
pada penari sintren.
3. WAKTU PENYAJIAN
Pegelaran sintren semula disajikan pada waktu sunyi dalam malam bulan
purnama dan menurut kepercayaan masyarakat lebih utama lagi kalau
dipentaskan pada malam kliwon, karena dikandung maksud bahwa sintren
sangat berkaitan dengan kepercayaan adanya roh halus yang menjelma
menyatu dengan penari sintren. Namun demikian pada saat sekarang ini

pertunjukan sintren dapat dilaksanakan kapan saja baik siang atau malam hari
tidak tergantung pada malam bulan purnama.
4. BUSANA SINTREN
Busana yang digunakan penari sintren dulunya berupa pakaian kebaya
(untuk atasan) sekarang ini menggunakan busana golek. Busana kebaya ini lebih
banyak dipakai oleh wanita yang hidup di desa-desa sebagai busana keseharian.
Adapun macam-macam busana yang lain sebagai pelengkap busana penari
sintren dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Baju keseharian, yang dipakai sebelum pertunjukan kesenian sintren
berlangsung.
b. Baju golek, adalah baju tanpa lengan yang biasa dipergunakan dalam tari
golek.
c. Kain atau jarit, model busana wanita Jawa.
d. Celana Cinde, yaitu celana tiga perempat yang panjangnya hanya sampai
lutut.
e. Sabuk, yaitu berupa sabuk lebar dari bahan kain yang biasa dipakai untuk
f.

mengikat sampur.
Sampur, berjumlah sehelai atau selembar dililitkan di pinggang dan diletakkan

di samping kiri dan kanan kemudian diutup sabuk atau diletakkan didepan.
g. Jamang, adalah hiasan yang dipakai dikepala dengan untaian bunga melati di
samping kanan dan kiri telinga sebagai koncer.
h. Kaos kaki hitam dan putih, seperti ciri khas kesenian tradisional lain
i.

khususnya di Jateng.
Kacamata Hitam, berfungsi sebagai penutup mata karena selama menari,
sintren selalu memejamkan mata akibat kerasukan trance, juga sebagai ciri
khas kesenian sintren dan menambah daya tarik atau mempercantik
penampilan.

Bentuk pertunjukan Sintren

5. ALAT MUSIK DAN TEMBANG PENGIRING


Pada awal munculnya kesenian sintren, alat musik yang digunakan untuk
mengiringi adalah alat musik tetekan sebagai ritme dan melodi, bumbung
besar (bambu dipotong) sebagai gong dan kendang.
Setelah alat musik gamelan membudaya di kalangan masyarakat,
kesenian sintren tidak lagi menggunakan alat musik tetekan dan bumbung
besar melainkan menggunakan instrumen gamelan khas laras slendro.
Jenis tembang yang biasanya digunakan mengiringi kesenian sintren
adalah tembang:
a). sulasih sulandono laras slendro pathet manyuro.
b). tembang turun-turun sintren, laras slendro pathet manyuro.
c).tembang pitik walik, laras slendro pathet manyuro.
d). tembang kembang laos, laras slendro pathet manyuro.
Menurut fungsinya tembang pengiring sintren digolongkan menjadi 5
(lima) bagian yaitu :
1. Iringan proses pembentukan sintren

Tembang turun sintren digunkan sebagai doa pembuka agar roh Sulasih
masuk ke dalam raga calon penari sintren. Saat tembang dilantunkan
maka penari sintren akan ganti pakain dari pakain biasa dengan pakain
2.

sintren dalam keadaan badan terikat tali dan dalam kurungan.


Iringan penyajian hiburan
Tembang dolanan khas sintren dan tembang yang sesuai keadaan saat ini

misalnya lagu-lagu campursari.


3. Iringan permohonan dan puji rahayu (pengruwatan)
Lagu kembang orok-orok atau kembang lombok untuk permohonan sintren
ganti

busana

misalnya

dari

pakain

kebaya

menjadi

rok.

Tembang kawula gusti, untuk permohonan maaf kepada sintren yang


pingsan

karena

marah

atau

tidak

berkenan

hatinya.

Tembang kembang mawar, dilantunkan untuk mengiringi permintaan


4.

temohan kepada penonton.


Iringan penyajian akrobat
Tembang dayung untuk atraksi permainan piring dan lilin. Tembang ayam
walik untuk permainan naik diatas kurungan. Tembang hertu gelang untuk

permainan duduk diatas pucuk keris.


5. Iringan Penutup
Tembang turun sintren, untuk pertanda bahwa permainan sintren akan
usai. Tembang piring kedawung, untuk melepas roh Dewi Sulasih dan
sintren berganti busana keseharian.
6. SENIMAN SINTREN
Terdiri dari 1 orang pawang boleh laki-laki atau perempuan, penari sintren
1 orang seorang remaja putri yang masih gadis (lajang), dayang cantrik
biasanya berjumlah 4 orang seniwati dan maksimal 10 orang, dan pengiring
musik atau tembang terdiri dari 3 orang seniwati sebagai penggerong (vokalis)
dan 1 group pengrawit (penabuh gamelan) yang biasanya berjumlah lebih
kurang 10 orang.
Beberapa Seniman Sintren

7. FUNGSI KESENIAN SINTREN


a. Sebagai sarana hiburan masyarakat.
b. Apresiasi seni dan nilai-nilai estetik masyarakat.
c. Digunakan untuk keperluan upacara-upacara ritual seperti : bersih desa,
sedekah laut, upacara tolak bala, nadzar, ruwatan dan pernikahan.
d. Untuk memeriahkan peringatan hari-hari besar, seperti hari ulang tahun
kemerdekaan, hari jadi.
8. KEBERADAAN KESENIAN SINTREN.
Kesenian tradisional dalam era globalisasi keberadaannya sangat tragis.
Para seniman lokal dan masyarakat mayoritas tidak tertarik dengan kesenian
tradisional. Ketika para senimam lokal mengembangkan suatu kesenian
tradisional secara komersial tidak menguntungkan karena minat masyarakat
sangat sedikit untuk menonton, apalagi untuk menggunakan kesenian
tradisional dalam acara tertentu. Berdasarkan tanggapan masyarakat luas
juga sangat sedikit minat untuk menggelar kesenian tradisional dan sangat
sedikit

minat

masyarakatnya

untuk

menonton

pertunjukan

kesenian

tradisional. Masyarakat yang masih mau menonton pertunjukan kesenian


tradisional mayoritas masyarakat yang sudah berumur tua yaitu berumur
kurang lebih 50 tahun keatas. Masyarakat yang umurnya masih muda
mayoritas tidak mau menonton kesenian tradisional dengan alasan gak gaul
(tidak jaman).

Berdasarkan uraian di atas, sebenarnya kesenian tradisional dalam hal


pelestarian menjadi tanggung jawab pemerintah. Dalam pelestarian untuk
masyarakat yang masih muda seharusnya di masukan dalam mata pelajaran
muatan lokal. Cara ini merupakan pengenalan dini untuk masyarakat tentang
kesenian tradisional. Kesenian tradisional di sini yaitu sintren.

Anda mungkin juga menyukai