Anda di halaman 1dari 6

TARIAN TRADISIONAL INDRAMAYU JAWA BARAT

Indramayu dilintasi jalur pantura, yakni jalur utama dan terpadat di Pulau Jawa, terutama pada
musim mudik lebaran. Kabupaten ini juga dilintasi oleh jalur kereta api lintas utara Pulau Jawa,
dengan salah satu stasiun terbesarnya adalah Stasiun Jatibarang yang berada di kota Jatibarang,
sekitar 19 km ke selatan dari pusat Kota Indramayu.

Walaupun Indramayu berada di Jawa Barat yang notabene adalah tanah Pasundan yang berbudaya
dan berbahasa Sunda, namun sebagian besar penduduk Indramayu berbahasa Jawa khas Indramayu,
masyarakat setempat menyebutnya dengan Basa Dermayon, yakni dialek Bahasa Jawa yang hampir
serupa dengan Dialek Cirebon. Di bagian selatan dan barat daya kabupaten ini, beberapa wilayah
menggunakan bahasa Sunda, mengingat sejarah kabupaten Indramayu yang dulu pernah masuk
kedalam wilayah kerajaan Cirebon (diutara), sehingga berbashasa Jawa, Kerajaan Galuh dan
Sumedang Tandang di Wilayah Selatan, sehingga mempengaruhi masyarakatnya berbahasa Sunda
Khas Indramayu.

Tari Topeng Kelana Kencana Wungu

Tari topeng ini sendiri banyak sekali ragamnya, dan mengalami perkembangan dalam hal gerakan,
maupun cerita yang ingin disampaikan. Terkadang tari topeng dimainkan oleh saru penari tarian
solo, atau bisa juga dimainkan oleh beberapa orang.

Kesenian ini merupakan kesenian asli daerah Cirebon, termasuk Indramayu, Jatibarang, Losari, dan
Brebes. Di Cirebon, tari topeng ini sendiri banyak sekali jenisnya, dalam hal gerakan maupun cerita
yang ingin disampaikan. Terkadang tari topeng dimainkan oleh saru penari tarian tunggal, atau bisa
juga dimainkan oleh beberapa orang.

Salah satu jenis tari topeng yang berasal dari Cirebon adalah Tari Topeng Klana. Tarian ini
merupakan semacam bagian lain dari tari topeng cirebon lainnya yaitu Tari Topeng Kencana
Wungu. Adakalanya kedua tari Topeng ini disajikan bersama, biasa disebut dengan Tari Topeng
Klana Kencana Wungu.

Tari Topeng Klana merupakan rangkaian gerakan tari yang menceritakan Prabu Minakjingga
(Klana) yang tergila-gila pada kecantikan Ratu Kencana Wungu, hingga kemudian berusaha
mendapatkan pujaan hatinya. Namun upaya pengejarannya tidak mendapat hasil.Kemarahan yang
tak bisa lagi disembunyikannya kemudian membeberkan segala tabiat buruknya. 

Pada dasarnya, bentuk dan warna topeng mewakili karakter atau watak tokoh yang dimainkan.
Klana, dengan topeng dan kostum yang didominasi warna merah mewakili karakter yang
tempramental.   Dalam tarian ini, Klana yang merupakan orang yang serakah, penuh amarah, dan
tidak bisa menjaga hawa nafsu divisualisasikan dalam gerakan langkah kaki yang panjang-panjang
dan menghentak. Sepasang tangannya juga terbuka, serta jari-jari yang selalu mengepal.

Sebagian gerak tarinya menggambarkan seseorang yang gagah, mabuk, marah, atau tertawa
terbahak-bahak. Tarian ini biasa dipadukan dengan irama Gonjing yang dilanjutkan dengan Sarung
Ilang. Pola pengadegan tarinya sama dengan topeng lainnya, terdiri atas bagian baksarai (tari yang
belum memakai kedok) dan bagianngedok (tari yang memakai topeng).

Tepat sebelum bagian akhir tarian ini, penari biasanya berkeliling kepada tamu yang datang untuk
meminta uang. Ia berkeliling dengan mengasonkan topeng yang dipakainya sebagai wadah uang
pemberian penonton. Bagian ini disebut dengan Ngarayuda atau Nyarayuda, simbol dari raja kaya
raya yang masih tidak merasa cukup dengan apa yang dimilikinya, hingga terus merampas
sebanyak-banyaknya harta rakyat kecil tanpa mempeduikan hak-haknya. Inilah kiranya yang
menginspirasi  Nugraha Soeradiredja ketika menciptakan Tari Klana.

Tari Ronggeng Buyung


Tari Ronggeng Buyung sebenarnya masih dalam koridor terminologi ronggeng secara umum, yakni
sebuah bentuk kesenian tradisional dengan tampilan seorang atau lebih penari. Biasanya dilengkapi
dengan gamelan dan nyanyian atau kawih pengiring. Penari utamanya adalah seorang perempuan
yang dilengkapi dengan sebuah selendang. Fungsi selendang, selain untuk kelengkapan dalam
menari, juga dapat digunakan untuk "menggaet" lawan (biasanya laki-laki) untuk menari bersama
dengan cara mengalungkan ke lehernya.

Kesenian ronggeng buyung ini juga dikenal oleh masyarakat Indramayu dengan sebutan sintren.
Kata sintren konon berasal dari kosa kata Belanda “Sinyo Trenen”, “sinyo” berarti “pemuda” dan
“trenen” berarti “berlatih”. Jadi, secara harafiah sintren dapat dikartikan sebagai kesenian tempat
pemuda berlatih. Pada waktu penjajahan Belanda, kesenian sintren digunakan oleh para pemuda
untuk menyampaikan pesan-pesan perjuangan dalam menghadapi pasukan Belanda.

Kesenian ini dinamakan  ronggeng buyung konon karena salah satu waditra yang digunakan untuk
mengiringinya adalah buyung, yaitu alat untuk mengambil air. Selain itu, ada pula yang menduga
bahwa kata buyung artinya anak, karena penarinya atau ronggengnya adalah anak-anak.
Sebagai catatan, ada pula yang beranggapan bahwa kesenian ronggeng buyung atau sintren ini
bukan murni berasal dari Indramayu, melainkan merupakan kesenian yang tumbuh dan
berkembang di daerah-daerah sekitar Pantai Utara Jawa Tengah, seperti Brebes, Tegal, Pemalang,
dan Pekalongan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya menyebar ke daerah Indramayu,
Kuningan, Cirebon dan Cilacap dengan berbagai ciri dan keunikannya sendiri-sendiri.
Tari Randu Kentir

Berdasarkan sejarahnya, Tari Randu Kentir ini merupakan upacara memperingati meninggalnya
Nyi Dariwan. Dikisahkan keluarga suami istri bernama Ki Dariwan dan Nyi Dariwan yang tinggal
di tepi sungai Cimanuk dengan pekerjaan sehari-hari menangkap ikan menggunakan nener (jaring
berbentuk segitiga). Suatu ketika, pada saat Nyi Dariwan akan mengambil ranting pohon randu
yang melintas pada saat air sungai sedang meluap, Nyi Dariwan terjatuh. Meskipun Nyi Dariwan
telah berteriak meminta tolong kepada suaminya, Ki Dariwan tidak sempat menolongnya karena
Nyi Dariwan telah hanyut terbawa arus sungai. Akan tetapi Ki Dariwan sempat membawa cabang
pohon randu yang kemudian digunakan sebagai alat musik trebang. Untuk menghormati Nyi
Dariwan yang hanyut terbawa arus, sejak saat setiap tahunnya diadakan kesenian tari Trebang
Randu Kentir.

Secara harfiah, pengertian Randu Kentir adalah Randu yang berasal dari nama pohon randu (pohon
kapuk) dan Kéntir dalam bahasa Indramayu berarti hanyut terbawa air mengalir sambil berputar-
putar. Sementara istilah Trebang berasal dari dua kata, yaitu Trep dan Tembang. Trep artinya pas,
cocok, selaras, sesuai, sedangkan Tembang bermakna lagu atau nyanyian. Selain itu, Trebang juga
merupakan nama alat musik yang terdapat dalam kesenian ini, yaitu alat musik Trebang yakni
sebuah alat yang mirip rebana dengan ukuran besar.

Tarian Randu Kentir  cenderung lemah gemulai seakan ingin menyampaikan pertanda kesedihan.
Gerakan tangan  yang melambai-lambai ke bawah dan posisi tubuh sang penari yang cenderung
merunduk mengikatkan pada upaya Nyi Dariwan yang sedang berupaya meraih randu kentir.

Tari Trebang Randu Kentir merupakan salah satu kesenian tradisional yang berasal dari Desa
Jumbleng, Kecamatan Losarang, Kabupaten Indramayu.Tari Trebang Randu Kentir dapat
dipertunjukkan di mana saja dan kapan saja sesuai dengan situasi dan kondisinya. Tarian ini dapat
dilakukan secara tunggal ataupun kelompok.

Struktur iringan musik tari Trebang Randu Kentir terdiri atas tetalu (gagalan), salu-salu, dan
kibuana. Sedangkan lagu yang digunakan dalam tarian ini yaitu sinjang wulung, suket lembut,
empal banteng, lirginuga dingin, bukti nulis, lara mendut, bangbang awak, dll. Alat musik yang
dipakai adalah kendang, terdiri atas: kendang besar dua buah, kendang kecil satu buah, blangber,
trebang kecil (prontong), klenang, dan kecrek.

Makna yang terkandung dalam tarian ini memperlihatkan mata pencaharian masyarakat Indramayu
yang mayoritas sebagai nelayan dan petani. Tokoh Ki Dariwan dan Nyi Dariwan memperlihatkan
mata pencaharian di Cimanuk yaitu mencari ikan. Simbol dan makna gerak yang khas dalam Tari
Trebang Randu Kentir terbagi dalam beberapa gerak. Pertama adalah simbol manji, yang
maknanya adalah keimanan seorang muslim yang mempercayai Tuhan yang esa yaitu Allah SWT.
Kedua adalah Serogan, menggambarkan seseorang yang sedang mengambil sesuatu yang hanyut
terbawa banjir di sungai.

Fungsi pertunjukan tari Randu Kentir pada awalnya digunakan sebagai sarana untuk upacara ritual
memperingati meninggalnya Nyi Dariwan yang hanyut terbawa arus sungai Cimanuk. Tarian ini
berakar dari kesenian Trebang yang dipertunjukkan oleh laki-laki. Meskipun dikenal sebagai sarana
dakwah Islam, kerpercayaan kepada hal-hal mistis dan karuhun masih tampak pada persembahan
sesajen dan bunga-bunga sebelum mulai ditarikan.

Nilai-nilai yang dapat dijadikan pelajaran dari tarian ini adalah: adanya dalang (penari tunggal)
yang dapat dijadikan panutan; terdapatnya penari bodor yang memperlihatkan tawa dan canda
penting untuk keseimbangan kehidupan manusia; dalam perkembangannya tarian ini kerap
dipertunjukkan oleh beberapa orang, hal ini memperlihatkan kekompakan gerakan; selain itu nilai
budaya khas Indramayu yaitu udeng (ikat kepala) pada kostum memperlihatkan ciri khas
Indramayu.
Kelompok 4
Seni Tari Daerah Indramayu

Anggota

Galih Wicaksono (15)

Griselda Martian Fidhy Elyora (16)

Hani’a Tsabita Fajriah Kansa (17)

Hanif Rahmadini (18)

SMA NEGERI 1 KARANGJATI

TAHUN PELAJARAN 2020/2021

Anda mungkin juga menyukai