Anda di halaman 1dari 28

Topeng cirebon

Topeng Cirebon, demikian sebutan yang dikenal di Jawa


Barat, adalah salah satu genre tari yang berkembang di
daerah pantai utara Jawa Barat, dari Cirebon sampai ke
Banten. Genre tari ini semula tumbuh subur di wilayah
kekuasaan kerajaan Cirebon: Kuningan, Majalengka, dan
Indramayu. Pernyebarannya sampai ke beberapa daerah di
Jawa Barat dari bagian utara sampai ke selatan. Kini,
topeng Cirebon hanya terdapat di beberapa daerah saja,
terutama di Cirebon, sebagian kecil Kabupaten Majalengka,
sebagian kecil Kabupaten Subang, dan di Kabupaten
Indramayu.
Sejarahnya kurang begitu terang karena keraton Cirebon tidak
banyak menyimpan naskah yang khusus berkaitan dengan
kesejarahan topeng. Kalaupun demikian, beberapa rujukan
kepustakaan dan rujukan lisan, setidaknya bisa dijadikan bahan
untuk menggambarkan kesejarahan kesenian ini. Asal-usulnya juga
banyak diceritakan oleh para tokoh topeng dengan berbagai versinya.
Dalam membicarakan topeng, khususnya topeng Cirebon, kita tidak
akan lepas dari kehidupan masa lalu kerajaan ini, karena topeng
Cirebon yang kini berkembang di masyarakat pada awalnya
merupakan kesenian keraton. Seperti juga di Jawa, topeng dipelihara
di istana, bahkan raja sendiri menarikannya
Dalam beberapa keterangan, kerajaan Cirebon mempunyai kedekatan
dengan kerajaan di Jawa Tengah pada masa pemerintahan Sultan
Agung, dan dimulai pada masa Mataram Islam saat Sultan Agung
digantikan oleh Amangkurat I. Kedekatan kedua kerajaan tersebut
tidak saja berpegaruh pada kehidupan sosial politik pada masa itu,
tetapi juga pada kehidupan sosial budaya. Perubahan tipologi
masyarakat Pasundan yang semula termasuk tipologi masyarakat
ladang menjadi masyarakat sawah, adalah salah satu bentuk
perubahan yang dipengaruhi oleh budaya Jawa. Perubahan itu
sekaligus membentuk tatanan kehidupan baru termasuk bentuk
keseniannya.
Tradisi kesenian ladang beralih menjadi tradisi kesenian sawah.
Karena itu tidaklah mengherankan jika beberapa aspek konsep dan
fungsi kesenian-kesenian Cirebon, dan juga Priangan, mempunyai
banyak kemiripan dengan kesenian Jawa. Saling mempengaruhi terus
berlangsung (hingga kini) sehingga pertemuan dua budaya itu telah
memperkaya keduanya. Di Pasundan, bisa diperhatikan beberapa
jenis kesenian, sastra, musik, dan tari misalnya, yang bersifat
kejawen (ke-Jawa-jawa-an) yang dilatarbelakangi oleh keadaan para
menak Pasundan pada waktu itu yang perilaku dan unggah-ungguh
(tata krama) juga berkiblat ke Jawa. Dalam hal ini secara tegas Saleh
Danasasmita menerangkan bahwa:
Sejak Mataram menguasai daerah Priangan, cukup banyak kalangan atas
dari Sumedang yang pergi belajar ke ibukota Mataram, lebih-lebih karena
Bupati Sumedang ditunjuk sebagai Wedana Bupati untuk wilayah Priangan.
Kabupaten Sumedang seolah-olah menjadi “agen pembaharuan kebudayaan”
waktu itu dan merupakan pos penting untuk persinggahan pengaruh kultur
Mataram. Hal ini tampak terutama dalam bidang kesusastraan. Pada masa
Pajajaran, karena ibukota Sumedang mula-mula terletak di daerah
Majalengka, maka secara sosio-kultural dalam hubungan antar keraton,
Sumedang lebih dekat kepada Cirebon dari pada dengan Pakuan. Tidak
mustahil, gaya pantai telah ikut mempengaruhi perkembangan tari di
Sumedang sebelum terkena oleh pengaruh Mataram (Danasasmita, 1976: 12)
 “Jejak pengakuan bahwa pertunjukan topeng berasal dari Jawa
Tengah, masih bisa terlacak seperti yang tertera dalam artikel yang
termuat dalam majalah Parahiyangan” (Narawati, 2003: 57). Selanjutnya
Narawati mengutip keterangan dalam majalah berbahasa Sunda itu
sebagai berikut.

 . . . Topeng téa asalna pisan mah kabinangkitan di Djawa Tengah . . .


Asoepna ka Pasoendan, tjara wajang wong téa baé, baheula pisan
montjorna (sic!) ti Tjirebon madjoe ngoelon bari mentjar ngidoel, nepi
ka entrag sa Pasoendan (2003: 57).
 (. . . Topeng itu berasal dari kreativitas [orang] Jawa tengah. Masuknya
ke Pasundan, seperti wayang wong, dahulu masuk dari Cirebon maju ke
arah selatan, sampai menyebar se Pasundan).
Pada umumnya, topeng yang kini hidup dan berkembang di daerah
Cirebon dan sekitarnya diyakini sebagai ciptaan Sunan Kalijaga, yaitu
salah seorang di antara Waliyulah penyebar agama Islam di tanah
Jawa. Keterangan yang merujuk Wali ini sebagai pencipta topeng
Cirebon banyak dikemukakan beberapa penulis sebagai berikut:

 Berdasarkan tradisi Jawa, pertunjukan topeng itu diciptakan oleh


Sunan Kalijaga, putra Bupati Tuban yang sangat gemar akan
kesenian dan akhirnya menjadi salah seorang wali penyebar agama
Islam di Pulau Jawa.
 Ketika pusat pemerintahan berpindah dari Jawa Timur ke Jawa Tengah
dan para raja memeluk agama Islam, pertunjukan topeng terlempar dari
dalam istana dan kembali dipelihara oleh rakyat jelata yang belum
sepenuhnya melepaskan kepercayaan asli mereka. Dengan melihat
kenyataan ini, Sunan Kalijaga memanfaatkan pertunjukan topeng (dan
wayang kulit) yang digemari rakyat sebagai alat memberikan penerangan
dan penyebaran agama Islam kepada rakyat banyak itu.
 Di Cirebon para dalang (penari) topeng menganggap dirinya keturunan
Pangeran atau Sunan Panggung, putra Sunan Kalijaga yang bukan saja
menaruh perhatian terhadap seni topeng tetapi juga menarikannya sendiri
(Murgiyanto, 1980: 52–53).
Sunan Kalijaga adalah Wali yang paling sakti di antara sembilan wali
penyebar agama Islam. “. . . dia memiliki kesaktian yang terbanyak. Dialah
yang sesungguhnya bertemu dengan raja Budha di Dieng dan
menobatkannya menjadi Islam (yang dimaksud Yudistira dengan
Kalimasada)” (Hardja Somantri, 1978/1979: 7). “Oleh karena itu pula, tidak
mengherankan mengapa kalangan kebatinan menganggap bahwa Sunan
KALIJOGO adalah guru spiritual terbaik yang pernah ada di tanah Jawa,
anggota Walisongo yang paling besar jasanya dalam mengislamkan tanah
Jawa” (Simon, 2006:128). Ia adalah wali yang mengetahui dan amat dekat
dengan Tuhannya. Ia amat gampang berkomunikasi dengan-Nya, sehingga
bisa melakukan apapun yang dikehendakinya
Tari Topeng Panji
 Tari ini berkarakter halus. Gerak tarinya senantiasa kecil dan
lembut. Langkahnya minimalis dan lebih banyak diam. Kedoknya
yang berwarna putih dan tanpa ornamentasi yang rumit,
menggambarkan kesucian seorang manusia yang baru lahir. Ia
tidak perlu dirias, mukanya dibiarkan alami. Sunggingan matanya
disebut wiji bonténg (biji ketimun) dan tatapannya liyep,
pandangannya merunduk dan senyumnya dikulum. Raut wajahnya
(wanda) menunjukkan seseorang yang alim, jika ia bertutur kata,
suaranya lemah-lembut. Topeng Panji sebanding dengan tokoh
Arjuna, atau Rama dalam cerita wayang.
 Jika melihat teksnya, tari topeng Panji
mengandung unsur paradoks, karena antara
gerak dan musiknya berlawanan. Geraknya halus
atau lembut, tetapi musiknya keras.
 Unsur paradoks ini sebagai gambaran Dewa Syiwa yang di dalam
agama Hindu diyakini sebagai dewa pencipta dan sekaligus juga
pemusnah. Sumardjo menjelaskan paradoks dalam tarian ini sebagai
berikut:

 Tarian topeng Panji adalah tarian untuk menghadirkan kekuatan-


kekuatan semesta yang paradoksal. Dengan tarian ini, maka asas-asas
paradoks semesta, kelaki-lakian dan keperempuanan, dihadirkan.
Dewa pencipta itu sendiri dihadirkan lewat mitos dan lambang Panji.
Panji adalah paradoks itu sendiri. Ia bersifat laki-laki dan perempuan,
ia matahari dan bulan, ia siang dan malam, ia hidup dan kematian.
Waktu dan ruang paradoks ada dalam diri dewa ini (2002: 36).
 Koreografinya lebih banyak diam, dan ini mungkin
salah satu yang menyebabkan tari ini kurang
disukai oleh penonton awam. Tari ini diiringi lagu
Kembang Sungsang.
Tari Topeng Panji ditarikan
oleh Keni.
(Dokumentasi Toto Amsar,
2008)
Tari Topeng Pamindo
 Topeng Pamindo ditarikan pada kesempatan kedua. Warna kedoknya

putih dengan hiasan yang melingkar di atas dahinya. Di tengahnya

terdapat hiasan kembang tiba dan pilis yang melingkar di pipinya.

Matanya liyep, hidungnya sedikit mendongkak dan mulutnya sedikit

menganga, seperti seseorang yang tengah tertawa terkekeh-kekeh.

Kedok dan tari ini berkarakter genit atau lincah yang oleh orang

Cirebon disebut ganjen. Geraknya gesit dan menggambarkan

seseorang yang tengah beranjak remaja, periang, serba terburu-buru,

serta penuh suka cita.


Sebagian koreografinya menunjukkan ikon tertentu, misalnya
gerakan gemuyu yang mirip dengan seseorang yang tengah
tertawa. Gerakan ini biasanya diulang beberapa kali dan
dilakukan saat penari telah mengenakan kedoknya. Dengan
lengan yang dibengkokkan dan jari-jemarinya dilentingkan di
depan mulut kedok, penari kemudian menirukan orang yang
tertawa. Gerak tertawa (disebut gerakan gemuyu) ini lebih
diperjelas lagi oleh suara penabuh kecrek yang menirukan orang
tertawa: hi hi hi hi hi . . . Nama lagu pengiringnya sama dengan
nama tarinya, yakni pamindo. Di Slangit, nama lagu pengiring tari
ini disebut Singa Kawung.
Tari topeng Pamindo ditarikan
oleh Rasinah, dalang topeng
dari Pakandangan-Indramayu
(Dokumentasi Toto Amsar,
2003)
Tari Topeng Rumyang
Topeng Rumyang sewanda dengan Pamindo, namun tanpa hiasan rambut.
Hiasan pilis dari dahi sampai pipi bagian bawah. Warna kedoknya merah
jambu tetapi ada juga warna coklat muda. Karakter tarinya termasuk
ladak (lincah, genit) namun lebih lamban dari gerak yang dilakukan oleh
Pamindo. Gerak tarinya menggambarkan seseorang yang penuh kehati-
hatian, dan terkesan seperti ragu-ragu. Ia bak seorang manusia yang
perilaku dan tindak-tanduknya penuh pertimbangan. Di Cirebon, menurut
para dalang topeng, kata Rumyang berasal dari kata ramyang-ramyang,
yang artinya mulai terang. Ini gambaran seorang manusia yang sudah
mulai mengenal kehidupan. Lagu pengingnya sesuai dengan nama
tarinya, Rumyang.
Tari Topeng Rumyang
ditarikan oleh Keni dalang
topeng dari Slangit-Cirebon
(Dokumentasi Toto Amsar,
1994)
Tari Topeng Tumenggung
Tari topeng Tumenggung sering disebut juga tari topeng Patih. Di daerah

Slangit disebut dengan tari Pecian, karena kostum bagian kepalanya

memakai bendo yang dililiti peci. Jika tari ini dilanjutkan dengan tari

perang dengan Jinggananom, maka tari tersebut menggambarkan tokoh

Tumenggung Magangdiraja. Kedoknya selalu dicat dengan warna yang

gelap, coklat atau merah agak kusam. Wandanya menyiratkan

seseorang yang pemberani dan berwibawa. Matanya agak melotot,

berkumis dan berjambang. Tarinya berkarakter gagah dengan gerak-

gerak tegas sebagai gambaran seseorang yang berpangkat dan

mempunyai kekuasaan. Lagu pengiringnya Tumenggungan, Barlen,


Waled, dan atau lagu sejenisnya.
Tari topeng Tumenggung
ditarikan oleh Sujana Arja,
dalang topeng dari Slangit. Tari
ini disebut Pecian karena
kostum bagian kepalanya
memakai bendo-peci.
(Dokumentasi Toto Amsar, 1980)
Tari Topeng Klana
Topeng Klana umumnya dicat warna merah tua. Melihat
perangainya sudah dapat ditebak, bahwa kedok ini
berkarakter gagah kasar. Matanya membelalak, berkumis
tebal dan berjambang. Topeng Klana adalah gambaran
seseorang yang bertabiat buruk, serakah, penuh amarah dan
tidak bisa mengendalikan hawa nafsu, namun tarinya justru
banyak disenangi penonton.
Sebagian dari gerak tarinya menggambarkan
seseorang yang tengah marah, mabuk, dan tertawa
terbahak-bahak. Sebagian lagi menggambarkan
seseorang yang tengah gandrung (mabuk cinta). Lagu
pengiring tariannya adalah Gonjing dan Sarung Ilang
Tari Topeng Klana
ditarikan oleh Sujana Arja
(Dokumentasi Toto Amsar,
1999)
Tari Topeng Jinggananom
 Tari Topeng Jinggananom berkarakter lucu. Ia senantiasa
ditarikan oleh bodor (pelawak). Gerak-gerak tarinya menirukan
ponggawa gagah namun dengan gerakan-gerakan yang lucu.
Warna kedoknya coklat tua, namun ada juga yang warna merah.
Kedok ini ditarikan setelah topeng Tumenggung dan biasanya
dilanjutkan dengan fragmen yang menggambarkan peperangan
dengan Tumenggung Magangdiraja. Dalam penyajian topeng
Cirebon, bagian ini adalah satu-satunya yang mempunyai unsur
literasi yang jelas dari cerita Panji.
 Dikisahkan, bahwa Tumenggung Magangdiraja diutus raja Bawarna
untuk mencari Jinggananom yang hilang (kabur) dan telah lama
tidak membayar upeti. Di perjalanan ia bertemu dengan
Jinggananom. Tumenggung kemudian membujuk Jinggananom
untuk kembali ke Bawarna, namun ia menolak karena ia sendiri
telah menjadi raja di negara Jongjola. Tumenggung memaksa,
namun Jinggananom tetap tidak mau menuruti kemauan
Tumenggung Magangdiraja. Akhirnya terjadi peperangan, dan
Jinggananom dapat dikalahkan.
Tari topeng Tumenggung
(kiri) oleh Inu Kertapati vs
tari topeng Jinggananom
(kanan) oleh Cuplis
(Dokumentasi Toto Amsar,
2002)

Anda mungkin juga menyukai